Senin, Juli 23, 2007

Tadjus Sobirin dan Kontroversinya (1997)


Jadi Ketua Golkar Bergaya Pasar

TADJUS Sobirin, sang tokoh ''tanggung'' ini, memang unik. Kalau tak ''unik'', mana pula mau tokoh sekaliber Gus Dur dan Cak Nun menulis prolog dan epilog biografinya. Gus Dur menulis, setelah membaca beberapa bab, timbul empati terhadap sosok yang satu ini. Sementara itu, Cak Nun berkomentar, fenomena Tadjus memang tidak luas echo-nya dan tidak besar gaungnya, namun tetap besar kualitas prinsipalnya. Kenapa?

Siapa sebenarnya Tadjus Sobirin, mungkin, cukup tecermin dalam puisi cekak yang menjadi pembuka biografinya. Begini bunyinya :

Anak Pasar

Bercita Jadi Kopral

Mudanya Radikal

Wataknya Kontroversial

Eh, Tahunya Jadi Jenderal

Sufi Dia Punya Moral

Walau Jadi Ketua Golkar

Tetap Bergaya Pasar

Begitulah. Kisah Birin - begitu panggilan akrabnya - menjadi bupati Tangerang selama dua periode masa jabatan di Tangerang adalah kisah penuh pernik-pernik. Soal dia memukul seorang anggota polisi, misalnya. Ternyata, dengan penuh kebesaran hati, dia meminta maaf pada petugas itu, yang dirawat di RS Tangerang.

Sebagai bupati, Birin bisa jadi adalah yang paling banyak menyita perhatian atasannya. Dari Gubernur Jawa Barat, Menteri Dalam Negeri, hingga Panglima ABRI, karena dia masih ABRI aktif saat menjadi bupati. Selain soal pemukulan polisi tadi, dia pernah diperingatkan karena peristiwa tragedi cambuk dan pisau.

Apa pula itu? Itu peristiwa 1985. Pemilu 1987 belum terlalu dekat. Menko Kesra Alamsyah Ratu Perwiranegara berkunjung ke Tangerang. Waktu itu, Bupati Birin satu mobil dengan Ketua DPD Golkar Tingkat I Jawa Barat, Pak Suratman namanya.

Mereka terlibat percakapan. ''Pak Birin, kalau menghadapi massa harus emosi, harus penuh semangat,'' pinta Suratman. Perkataan itu merangsang Birin. Semangatnya berkobar-kobar. Cuma dia berpikir terus mencari-cari bahan yang bisa membuat massa bersemangat.

Tibalah saatnya saat dia harus memberikan sambutan di pendopo kabupaten. Pencariannya terus dilanjutkan cuma demi satu obsesi, mengobarkan semangat kader Golkar! Lantas, dia tiba-tiba ingat sesuatu. Di atas lemari ada cambuk. Dan di lemari ada pula pisau. Cambuk dan pisau. Klop.

Kedua barang itu mendadak memberinya ilham. Tanpa berpikir panjang dia membawa kedua benda itu ke atas podium. Dan, di situlah terjadi peristiwa yang menggegerkan gara-gara ucapan Birin : "Saya ada cambuk dan pisau. Cambuk ini saya serahkan agar nanti bisa buat mencambuk DPD Golkar, kepada Pak Kamjah. Kalau Golkar sampai kalah di Tangerang, saya siap digorok oleh gubernur dengan pisau ini. Tetapi, sebelum saya digorok oleh gubernur, akan saya gorok dulu ketua DPD Golkar, camat, serta lurahnya ...''.

Kemudian, dia turun dari podium, menyerahkan pisau kepada gubernur dan Pak Gubernur dilihatnya terkaget-kaget. Ucapan yang dimaksudkannya sebagai pengobar semangat bagi para kader Golkar itu berkelebat bagai mata pedang yang siap menyambarnya. Pasalnya, dalam rombongan Pak Alamsyah ada wartawan dan kejadian itu jelas merupakan berita sensasional.

Esoknya, berita merebak di berbagai media massa. Di surat kabar-surat kabar, termasuk juga majalah Tempo. Dan, dia pun dipanggil Pangab (ketika itu) Benny Moerdani melalui Pak Nugroho, direktur BAIS merangkap jaksa agung muda bidang intel di Kejaksaan Agung. ''Wah, Pak Birin. Coba baca ini,'' kata Nugroho, teman Birin sewaktu sama-sama di satuan kavaleri dulu, menyodorkan sepucuk surat.

Surat itu berupa tulisan tangan Benny Moerdani. Ada tiga baris tulisan. Pertama, pernyataan yang bersangkutan sudah berlebihan. Kedua, info Wakasad. Ketiga, yang bersangkutan supaya dipanggil. Birin tertunduk lesu. Selain ditegur keras, Birin juga diperingatkan ayahnya. ''Jangan takabur kamu !'' sentak sang Abah. Birin tertunduk makin dalam.

Padahal, ucapannya kala itu hanyalah guyonan. Dia tak sungguh-sungguh untuk menggorok leher bawahannya. Itu hal yang mustahil. Tetapi, itulah Birin. Dia tadinya memahami ucapannya itu seperti ucapan orang ''samber gledek gue pasti datang''. Tetapi meski yang bersangkutan tak datang, tak mungkin gledek menyambarnya.

Dia bingung kalau ternyata orang lain mengartikannya lain. Dan, dia hanya bisa menghela napas panjang ketika akhirnya pada Pemilu 1987, Golkar Tangerang hanya naik 3 persen dari hasil yang dicapai sebelumnya. Birin memang tidak jadi menggorok leher orang atau lehernya digorok oleh sang gubernur, meski angka kenaikan itu jauh dari yang diharapkan.

Birin juga tercatat sebagai salah satu bupati yang 'menentang' SDSB. Untuk yang ini, dia perlu mempertimbangkan matang-matang dengan seluruh ilmu dan kebijaksanaan yang dimiliki. Dia tidak menolak terang-terangan, tetapi di depan DPRD dan wartawan dia umumkan lima
kecamatan yang sama sekali tak boleh dimasuki bandar SDSB.

Tadjus Sobirin, walau bagaimanapun, adalah orang biasa-biasa saja, sama sekali bukan orang yang luar biasa. Ia adalah produk sejarah yang ikut sejarah, bukannya mengubah sejarah. Dia adalah seorang pelaku aktif dari berbagai unit sosial. Baik itu unit keluarga, unit ketentaraan, unit pemerintahan, maupun unit politik.

Ia adalah orang kampung yang tidak pernah berhenti menjadi orang kampung. Tak ada seorang pun yang akan mempercayai prediksi bahwa dia akan mampu memimpin unit-unit sosial yang lebih besar daripada apa yang dipimpinnya secara bertahap selama ini. Menjadi Dandim, bupati, dan kini ketua Golkar DKI. Keinginannya bergaul ramah dengan siapa pun, dan tanggung jawabnya kepada masa depan keluarga maupun masyarakat yang dipimpinnya, itu semua muncul menjadi benang merah kariernya. Pendek kata, Tadjus Sobirin adalah sosok menarik yang pantas digugu dan ditiru.

Ia dikenal tak senang keformalan, tetap merakyat dan pemaaf kepada siapa pun. Bahkan, dua minggu setelah kerusuhan 27 Juli berlangsung, dia pernah mengutus Cak Nun untuk mengajak Megawati, ketua umum DPP PDI yang disingkirkan, untuk bertemu. ''Pak Birin tak pernah setuju terhadap tindakan yang dilakukan terhadap PDI dan Megawatinya !,'' ujar Cak Nun
bersaksi. (iwan samariansyah).

Diterbitkan di Harian Jawa Pos edisi 28 Januari 1997

Tidak ada komentar: