Minggu, Februari 05, 2012

Lindungi Hak-Hak Pejalan Kaki

Doa bersama
Mereka yang lebih lemah di jalan raya yaitu para pejalan kaki haruslah dijamin hak-haknya dan dilindungi

Iwan Samariansyah

Untuk mengingatkan semua orang, muncul usulan agar 22 Januari ditetapkan sebagai Hari Pejalan Kaki Nasional. Tanggal itu dipilih untuk mengenang 12 pejalan kaki yang ditabrak mobil xenia yang dikendarai Afriani Susanti (29), sembilan diantaranya tewas di lokasi kejadian. Komunitas Pejalan Kaki (KPK) menyatakan penetapan itu diperlukan untuk melindungi mereka yang lebih lemah di jalan raya, yakni para pejalan kaki.

"Kita semua harus melakukan instropeksi agar tidak menciptakan situasi dan kondisi yang menegaskan bahwa kota adalah milik mereka yang kuat saja. Kota adalah milik semua orang,” kata Awalil Rizky, Ketua KPK, di kawasan Tugu Tani, Jakarta, Minggu (5/2) Ahad, 5 Februari 2012.

Pada Minggu (5/2) pagi sekitar 25 orang aktivis KPK melakukan aksi doa bersama dan tabur bunga di lokasi terjadinya kecelakaan maut di kawasan Tugu Tani, Jakarta. Mereka kemudian membagikan pernyataan yang mendukung hak-hak pejalan kaki kepada anggota masyarakat yang lewat di sekitar kawasan Tugu Tani. Awalil berharap agar kecelakaan maut itu dijadikan momentum untuk memperbaiki cara dan etika masyarakat dalam berlalu lintas.

Awalil menegaskan agar para pemerintah bisa menerapkan aturan tegas mengenai perlindungan terhadap hak-hak pejalan kaki yang kerap dirampas. Jalan raya dan lalu lintas di jalan raya seyogyanya harus lebih menghargai para pejalan kaki. Bukan hanya untuk kendaraan bermotor saja. ”Pejalan kaki berhak mendapatkan tempat yang lebih aman dan layak bagi mereka,” kata Awalil.

Pernyataan KPK ini kian menambah kalangan masyakat yang prihatin atas terpinggirkannya hak-hak pejalan kaki di jalan raya. Sebelumnya, sejumlah warga yang tergabung dalam Koalisi Pejalan Kaki pimpinan Anthony Ladjar pada Jum’at (3/2) memblokade trotoar. Aksi blokade itu dilakukan pukul 17.00 – 19.30 WIB dan berlangsung di trotoar sepanjang BII - Hotel Pullman (ex Nikko), sekitar Bundaran HI, Jl MH Thamrin, Jakarta.

Dalam aksinya mereka membawa poster bertuliskan 'Trotoar untuk Pejalan Kaki' dan mensweeping para pengendara sepeda motor yang berjalan di trotoar.  ”Hak pejalan kaki di trotoar sering dirampas secara paksa oleh para pengendara sepeda motor. Sayangnya, pihak kepolisian tidak mencermati hal tersebut dan cenderung membiarkan saja. Seharusnya mereka ditilang,” kata Anthony Ladjar.

Antony meminta mereka yang akan mengikuti aksi tersebut  membawa kaus (t-shirt). Panitia akan menyediakan spanduk dan masker. Membanjirnya sepeda motor tanpa terkendali menjadi masalah yang belum mampu dipecahkan pihak kepolisian maupun Pemprov DKI sebagai pengelola kota. Pada jam-jam sibuk sepeda motor menjadi penguasa jalan, bahkan sering kali melawan arus, menutup jalanan, dan merambah trotoar.

Para pengendara sepeda motor melakukan hal itu untuk mempercepat waktu tempuh mereka di tengah kemacetan Ibu Kota yang semakin tidak terkendali. Ironis, antusiasme warga untuk menggunakan sepeda ke tempat kerja tidak mendapat perhatian dari Pemprov DKI.

Tulus Wijanarko, salah seorang aktivis KPK mengatakan bahwa pihaknya akan menggelar aksi rutin setiap dua minggu sekali di berbagai ruas jalan berbeda untuk  melakukan gerakan penyadaran hak-hak pejalan kaki. Salah satunya, setiap dua pekan pada hari Minggu, aktivis KPK turun ke jalan untuk melakukan aksi-aksi yang terencana. Dia berharap semakin banyak masyarakat bergabung dalam gerakan ini dalam aksi-aksi KPK mendatang.

Baik Awalil maupun Tulus berharap nantinya KPK akan menjadi sebuah gerakan budaya yang terus meluas di berbagai kota di Indonesia. KPK sendiri bermula dari sebuah grup di facebook (Komunitas Pejalan Kaki) yang anggotanya memiliki keprihatinan sama tentang terpinggirkannya hak-hak pejalan kaki, jauh sebelum kasus kecelakaan maut itu terjadi. Mereka lalu berpikir untuk membawa gerakan ini dalam aksi nyata.

* Dimuatdi Harian Jurnal Nasional edisi Senin, 6 Februari 2012

Kamis, Februari 02, 2012

Tingkatkan Kemampuan Koordinasi BNPB

Iwan Samariansyah

BNPB harus berani mengurai sekat kelembagaan yang ada di pemerintahan. 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) didesak untuk benar-benar fokus pada penanggulangan bencana dan meningkatkan koordinasinya dengan lembaga lain. Meskipun saat ini ada persoalan kelembagaan yang masih dihadapi oleh institusi tersebut. Bila tidak, kondisi ini menyebabkan penanganan bencana berjalan kurang maksimal.

Demikian disampaikan Abdul Hakim, anggota Komisi VIII DPR-RI yang merupakan mitra kerja BNPB dalam kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia.‘Bila hal ini terus dibiarkan maka persoalan utama yang menjadi tanggungjawab BNPB akan banyak yang terlantar,‘ ujarnya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, Kamis (2/2).

Anggota DPR dari Fraksi PKS itu menilai ada tiga persoalan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan BNPB. Pertama, alokasi dana gempa Padang sejak 2009 yang masih belum dicairkan sebesar Rp3 Trilyun. Kedua, keterlambatan dana bantuan Wasior, Papua Barat karena persoalan politik dan birokrasi lokal. Dan ketiga dana bantuan dari pemerintah Arab Saudi untuk rekonstruksi Padang sebesar Rp490 Miliar yang terkikis oleh penurunan nilai mata uang dollar.

"Itu semua patut disayangkan. Coba dilihat, uang bantuan dari Arab Saudi bisa susut sampai Rp80 Miliar karena nilai dollar turun. Coba jika segera dicairkan tanpa ada hambatan birokrasi, dana itu dapat digunakan untuk membangun pemukiman, rumah sakit atau sekolahan" ujar Hakim.

Karena itu Abdul Hakim menyatakan perlunya landasan hukum yang mengatur hubungan lintas lembaga antara BNPB dengan lembaga pemerintah lainnya. "Mesti diperjelas hubungan lintas lembaganya. Misal dengan pemerintah daerah berkaitan dengan dana on call saat terjadi bencana atau dengan Kementerian Keuangan saat pencairan bantuan bencana" kata Abdul Hakim.

Menurut dia, BPBD perlu diberdayakan dengan baik, agar koordinasi dan sistem terpadu penanggulangan bencana bisa berjalan sesuai dengan tugas pokok BNPB. Yaitu menangani pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana.

Dalam amanat UU No.24 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden No.8 Tahun 2008 menyebutkan bahwa secara teknis BPBD di bawah pemerintah daerah. Harusnya untuk meminimalisir hambatan kelembagaan BPBD mestinya di bawah struktur BNPB. "Jika memungkinkan UU No.24 itu harus direvisi. Ini demi kebutuhan masyarakat juga" kata Hakim.
Mobil dan Motor BNPB

Kepala Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa dia mendukung perlunya revisi aturan yang ada sehingga rantai komando penanggulangan bencana bisa diperpendek. Saat ini yang sudah dilakukan adalah mengirimkan sejumlah peralatan dan logistik sudah dikirimkan ke 33 provinsi dan 265 kabupaten/kota untuk memperkuat kapasitas BPBD.

"Kami sendiri terus melakukan koordinasi dengan berbagai kementerian/lembaga sebagai tindakan antisipatif atas adanya ancaman bencana banjir, longsor dan puting beliung di seluruh Indonesia. Saat ini penyusunan rencana kontijensi dan rencana aksi terpadu menghadapi bencana sudah tuntas," ujarnya kepada Jurnal Nasional, tadi malam.

Selain itu pihak BNPB telah pula menyiapkan tim Satuan Reaksi Cepat yang bisa dimobilisasi setiap saat. Dan ada pula dana siap pakai sebesar Rp116 miliar untuk dipakai menanggulangi bencana. BNPB juga telah menggelar Rapat koordinasi di tingkat provinsi dan gelar kesiapan di DKI Jakarta dan Jawa Timur, dua daerah yang dianggap rawan bencana.

Sutopo Purwo Nugroho
Dalam rencana aksi terpadu tersebut, BNPB akan berperan sebagai Koordinator, Komando, dan Pelaksana sesuai dengan ketentuan undang-undang. "Selaku Koordinator, BNPB mengatur kementerian/lembaga melakukan apa dan bagaimana sesuai dengan portofolionya," terang alumni Fakultas Geografi UGM itu.

* Dimuat di Harian Jurnal Nasional edisi Jum'at, 3 Februari 2012 halaman 9