Sabtu, Januari 28, 2012

In Memoriam Muhammad Musa

Usianya 75 tahun saat Allah SWT akhirnya memanggilnya kembali ke alam keabadian. Drs. H. Muhammad Musa nama beliau. Seorang lelaki pendiam yang rendah hati, puluhan tahun menjadi pendidik mengamalkan ilmu yang dia dapatkan selama belajar di Fakultas Ekonomi UGM. Lelaki kelahiran Purbalingga, 10 Maret 1934 ini karirnya dihabiskan dengan menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto sejak berdirinya pada 9 Oktober 1963.

Pada waktu itu Fakultas Ekonomi UNSOED masih menempati gedung Balai Desa Purwokerto Lor dan gedung Kesenian Jalan Ragasemangsang No. 384 Purwokerto. Jurusan yang ada barulah Ekonomi Perusahaan dan Ekonomi Pertanian. Sebagian besar tenaga pengajar adalah tenaga pengajar dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Baru kemudian pada tahun 1971 Fakultas Ekonomi pindah ke Gedung di Kalibakal sampai tahun 1983.

Pada tahun 1974, Musa terpilih sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Unsoed menggantikan Roedhiro yang belakangan terpilih sebagai Rektor Unsoed. Dia adalah Dekan ketiga sejak FE Unsoed berdiri. Musa menjabat Dekan periode pertama hingga 1979, kemudian digantikan oleh Soejitno pada 1979 - 1981. Musa kemudian menjadi Dekan periode kedua pada 1981 - 1987. Satu-satunya Dekan yang menjabat dalam dua periode selama berdirinya FE Unsoed.

Musa juga aktif dalam organisasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan sempat menjadi Ketua ISEI cabang Banyumas. Musa menikah dengan Nurul Laili (Nunung), puteri tokoh Muhammadiyah KH Abu Dardiri yang dikenal juga dalam sejarah modern Indonesia sebagai pendiri Departemen Agama.Sang isteri yang telah memberikannya tiga puteri dan dua putera ini telah pergi mendahului sang suami pada 30 Desember 2010 yang lalu karena sakit.


KH Abu Dardiri adalah Wakil Komite Nasional Indonesia Daerah Banyumas bersama M. Saleh Suaidi dan M. Sukoso Wirjosaputro mengusulkan pendirian Depag RI pada Sidang Pleno Badan Pekerja KNIP 25-28 November 1945. Saat itu Dardiri mengatakan bahwa dalam negara Republik Indonesia yang sudah merdeka maka hendaknya urusan agama tidak hanya menjadi bagian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saja atau Departemen lainnya melainkan diurus oleh satu Departemen sendiri. Usulan ini lantas mendapat dukungan dari Mohammad Natsir, Dr Mawardi, Dr Marzuki Mahdi dan N Kartosudarmo. Abu Dardiri juga salah satu tokoh yang ikut mendorong pendirian Unsoed di Purwokerto.


Hubunganku dengan Musa, pria berkacamata yang selalu tampil rapi dan kelimis semasa hidupnya tersebut adalah hubungan keluarga. Dan cukup dekat pula. Ibuku, Hj Musliah adalah keponakan langsungnya karena nenekku Hj Darsiyah adalah kakak kandung Musa, dengan beda usia sekitar 10 tahun. Mereka berdua adalah anak dari pasangan Tarnuji dan Rainten. Sewaktu bersekolah SD di Purwokerto, aku masih sempat berjumpa dan hidup bersama dengan Mbah Rainten, nenek buyutku itu dan mendapat cerita-cerita menarik jaman penjajahan Belanda dan Jepang dulu. Rainten meninggal dunia pada tahun 1982.


Selama pernikahannya, Mbah Tarnuji dan Mbah Rainten ini dikaruniai tiga putera dan tiga puteri dengan urutan Suminah (alm), Syuaib (alm), Darsiyah, Harun, Musa dan Romlah. Anak, cucu, cicit dan canggahnya kini tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Beranak pinak hingga ratusan keturunan. Adapun Musa dan Nurul Laili sendiri mempunyai anak-anak yaitu Eviati Tentamina, Eliati Lustiana, Triani Arofah, Henki Yul Agrianto dan Aktif Subhan. Dua diantaranya tinggal di Jakarta dan tiga lainnya menetap di Purwokerto.


Almarhum Muhammad Musa dan Isteri
Seorang diantara puteri beliau yaitu Triani Arofah meneruskan karir sang ayah sebagai dosen di FE Unsoed bidang Akuntansi. Semuanya sudah berkeluarga dan memberikan delapan orang cucu kepada Musa. Saat masih aktif bekerja keluarga Musa tinggal di Jalan Masjid Nomor 11 Purwokerto. Pada sekitar tahun 2000, rumah peninggalan KH Abu Dardiri itu berpindah tangan pada Fuad Yahya, salah satu kerabat Nurul Laili, dan keluarga Musa pindah ke Perumahan Purwosari di Jalan Gunung Slamet No. 28 Purwokerto.


Selama bersekolah di SMA Negeri 2 Purwokerto aku tinggal bersama keluarga Musa di Jalan Masjid No. 11 sampai akhirnya lulus pada tahun 1987. Terkadang orang keliru menganggapku sebagai putera Musa, karena kesamaan nama panggilanku dengan putera keempatnya yaitu Iwan. Kebetulan usiaku pas terletak antara Triani (puteri ketiga) dengan Henky Yul Agrianto (putera keempat). Di rumah itu, untuk membedakan dengan Henky yang juga punya nama panggilan Iwan, aku akhirnya dipanggil dengan nama Iwan Syah. "Biar gampang membedakannya," kata Musa.

Rumah di Jalan Masjid itu terbagi menjadi dua bagian, sebelah utara adalah Kantor Percetakan Serayu yang selalu berisik setiap hari kecuali hari libur, penuh kertas dan bau tinta, dan sebelah selatan adalah rumah keluarga Musa. Aku sendiri tinggal di lantai dua bagian belakang persis di atas Musholla keluarga. Aku di kamar sebelah barat dan Mohammad Sobri, putera Mbah Syuaib yang bekerja di Unsoed di kamar sebelah timur. Asyik juga punya kamar sendiri disitu.

Dalam tiga tahun yang singkat itulah, aku menitipkan diriku pada keluarga yang hebat itu. Prestasi belajarku sebagai murid SMA biasa-biasa saja. Maklum sajalah, aku terlalu aktif berorganisasi ketika itu. Terutama dalam Gerakan Kepanduan. Musa beberapa kali mengingatkanku agar mengurangi aktivitasku dalam berorganisasi karena menyita waktu belajarku. Dia prihatin melihat nilai-nilaiku di sekolah yang terus melorot terutama saat duduk di kelas 2 SMA. Aku mengenang masa-masa itu dengan sedih pula.

Meski terlambat, akupun mulai memperbaiki diri. Musa memberikan masukan buatku agar belajar mengatur waktu dengan baik. Dan saat duduk di Kelas 3 SMA, nilai-nilaiku membaik. Aku juga mulai bisa mengejar ketertinggalanku dalam pelajaran sekolah. Dia gembira melihat perkembanganku dan terus memberiku semangat dengan caranya sendiri. Meski segan, aku selalu mendengar nasihat-nasihatnya. Aku juga belajar sangat keras bak prajurit Spartan.

Menjelang ujian masuk perguruan tinggi, Musa sempat bertanya padaku apa jurusan yang aku pilih. Aku lalu mengatakan bahwa aku ingin ke Jogjakarta. "Jurusan apapun yang engkau pilih, bertanggungjawablah pada pilihanmu," ujarnya memberi petuah. Yang jelas, aku belajar dengan semangat tinggi dan menjalani ujian Sipenmaru 1987 dengan harapan bisa membanggakan orangtua ini. Juga tentu saja kedua orang tuaku di Kalimantan Timur yang tiga kali lebaran ini tak pernah kukunjungi.

Tiga tahun yang penuh kenangan itu berakhir happy ending ketika aku dinyatakan lolos Sipenmaru dan diterima sebagai mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta. Tepatnya di jurusan Geografi Teknik. Musa tak dapat menutupi rasa bangganya bahwa salah satu anak yang dididiknya dan diasuhnya di Jalan Masjid Nomor 11 dapat juga mengikuti jejaknya sebagai mahasiswa UGM. Musa sendiri adalah alumni FE UGM tahun 1960-an.

Kini, pria baik itu telah pergi. Allah SWT telah memanggil beliau pada Jum'at Kliwon, 27 Januari 2012 lalu di Purwokerto setelah menderita sakit berkepanjangan yang membuatnya sulit berkomunikasi lisan dengan orang lain. Amal ibadahnya sebagai pendidik selama puluhan tahun membuatnya menjadi pemilih kunci-kunci surga. Aku akan selalu berdoa untuk Musa. Namanya abadi di hatiku dan pria jujur dan berintegritas tinggi ini akan terus kuingat hingga ajal menjemputku nanti. Insya Allah khusnul khotimah.

Tidak ada komentar: