Selasa, Januari 03, 2012

Mitigasi Bencana dan Masalah Perbatasan : Akibat Otonomi Daerah Setengah Hati

Aturan main harus diperjelas dan pengawasan serta penegakan hukum harus dipertegas


Meneropong outlook atau prospek permasalahan daerah pada 2012 mau tak mau akan kembali pada perdebatan klasik soal otonomi daerah. Benarkah otonomi daerah telah on the right track? Sebagian menilai otonomi daerah mampu melahirkan kesejahteraan dan kemajuan di sejumlah daerah. Sragen dan Solo di Jawa Tengah, Tarakan di Kalimantan Timur dan Solok di Sumatera Barat setidaknya menjadi contoh yang baik.

Akan tetapi sebagian lainnya beranggapan otonomi daerah telah kelewat batas dan membuka peluang korupsi lebih besar dan melahirkan banyak 'raja-raja kecil' di daerah. Kewenangan yang berujung pada praktik korupsi tanpa kontrol. Akibatnya di sepanjang 2011 ini, halaman surat kabar diwarnai berita digelandangnya sejumlah kepala daerah dan mantan kepala daerah ke penjara sebagai terdakwa maupun narapidana tindak pidana korupsi.

Lantas bagaimana dengan tahun 2012 mendatang? Di era reformasi dengan semangat desentralisasi dan demokratisasi maka kedaulatan akhirnya bisa dimiliki oleh daerah. Sejumlah kewenangan diberikan pada para bupati, walikota dan Gubernur. Namun setelah lebih dari satu dekade bergulir, timbul wacana yang menganggap otonomi daerah mulai 'lepas kendali'.

Namun akibat isu 'raja-raja kecil' tadi, pemerintah pusat secara perlahan namun sistematis menarik kembali kewenangan yang telah diserahkannya pada awal era reformasi. Maka polemik pun mencuat. Sepanjang 2011 ini diwarnai pula dengan dua masalah yang kerap dihadapi daerah dan bikin sakit kepala para Bupati dan Gubernur. Apalagi kalau bukan masalah bencana alam dan konflik perbatasan.

Sebut saja daerah rawan bencana macam Sumatera Barat. Dihantam gempa, banjir dan tanah longsor hampir setiap tahun APBD tanah Minangkabau itu tersengal-sengal dan nyaris tak bisa melakukan pembangunan apapun. Sebab anggaran yang tersedia habis terserap untuk dana rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana yang susul menyusul sejak gempa dahsyat (September 2009), tsunami Mentawai (Oktober 2010) dan Banjir Badang Pesisir Selatan (November 2011).

APBD Sumbar secara kasat mata jelas tidak mampu mendukung beban anggaran mitigasi bencana. Untungnya masih ada bantuan dari BNPB, lembaga PBB, swasta dan LSM baik lokal, nasional maupun internasional. Hal serupa dihadapi pula oleh daerah rawan bencana lainnya sebagaimana laporan koresponden Jurnal Nasional dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Utara.

Masalah lain yang masih membutuhkan perhatian serius untuk dituntaskan pada 2012 adalah sengketa perbatasan. Ada dua macam masalah kisruh perbatasan yaitu perbatasan antar negara, terutama dengan Malaysia dan perbatasan antar provinsi. Kisruh perbatasan memang tak hanya terjadi antarnegara dan yang celakanya lantas menyalakan nasionalisme semu.

Sepanjang 2011 mencuat beberapa kasus sengketa perbatasan yang hingga kini belum tuntas. Misalnya sengketa Pulau Berhala antara Jambi dan Kepulauan Riau, Pulau Tujuh antara Sumatera Selatan dan Bangka Belitung, Pulau Lari Larian antara Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat, dan tapal batas Kota Bandung dengan Bandung Selatan.

Jika kisruh perbatasan ini tak segera diantisipasi dan segera dilaksanakan bisa memicu konflik horizontal dan ketidakpercayaan terhadap pusat. Sengketa antara Provinsi Kepri dan Jambi mengenai Pulau Berhala, misalnya. Melalui Permendagri No 44/2011 tertanggal 27 September dan diundangkan 7 Oktober 2011, Mendagri menetapkan pulau itu masuk wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Ini membuat masyarakat Kepri marah sampai melarang Mendagri berkunjung ke pulau tersebut.

Salah satu akar masalah mengapa daerah seolah-olah tidak berdaya mengatasi problematika mereka justru karena penerapan kebijaksaaan otonomi daerah yang dianggap masih setengah hati. Akibatnya, tidak jarang kepala daerah menemui kendala krusial dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan proses pembangunan di wilayahnya.

Sebagai contoh dalam hal pembentukan organisasi pemerintah daerah, maka dibawah UU yang lama, pemerintah daerah dapat menentukan sendiri besar dan jenis organisasi pemerintah daerah atau SKPD-nya sesuai kebutuhan. Namun dibawah UU No.32, kewenangan tersebut tak ada lagi, karena semuanya sudah diatur dari pusat.

Akibatnya ada sejumlah kabupaten yang sebelumnya memiliki organisasi pemerintahan yang kecil dan efisien, namun karena ada perintah dari pusat maka terpaksa harus membentuk dinas-dinas baru yang sebelumnya sudah disatukan. Akibatnya mekarlah organisasi birokrasi didaerah.

Implikasinya adalah makin besarnya biaya birokrasi. Padahal seharusnya biaya birokrasi yang besar tersebut dapat digunakan untuk membiayai pelayanan publik. Termasuk membiayai program mitigasi bencana dan melakukan perluasan pelayanan pemerintah hingga daerah-daerah perbatasan. Seharusnya sebuah aturan yang dianggap tidak bagus dievaluasi terlebih dahulu baru kemudian diganti.

Contoh lainnya lagi adalah dalam soal perizinan. Perusahaan penanaman modal asing (PMA) atau perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang akan berinvestasi di suatu daerah harus mengurus perizinan yang justru tidak melalui daerah yang bersangkutan, tetapi melalui badan yang dibentuk pemerintah pusat. Oleh karena itu hal-hal seperti ini sudah seharusnya segera dibereskan pada 2012. Paling tidak aturan mainnya harus lebih jelas agar pemerintah daerah baik kabupaten, kota maupun provinsi tidak bingung, dan akhirnya malah tak bisa berbuat apa-apa. Begitulah.

* Dimuat oleh Harian Jurnal Nasional edisi 30 Desember 2011 halaman 7

Tidak ada komentar: