Senin, November 08, 2010

Mendistribusikan BBM, Pahlawan dalam Diam

Taicing : Jumlah mereka ribuan, ada di seluruh pelosok negeri. Mereka bekerja keras dengan penuh dedikasi, kadang tanpa publikasi. Inilah beberapa diantaranya.

Setiap masa ada kisahnya, dan setiap kisah ada pahlawannya. Pada masa lampau, Mahapatih Majapahit Gadjah Mada menjadi pahlawan karena dia berhasil menyatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Pada masa revolusi kemerdekaan, Soekarno-Hatta menjadi pahlawan berkat keberanian mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bagaimana dengan era pembangunan saat ini? Pahlawan seperti apakah yang muncul?

Bagi Pertamina, sosok pekerja yang bertugas mendistribusikan BBM dengan penuh dedikasi di berbagai pelosok negeri pantas dijadikan figur pahlawan. Banyak diantaranya yang bekerja bertahun-tahun sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Merekalah ujung tombak pemasaran produk Pertamina di dalam negeri.

Dua sosok berikut yaitu Purwo Hadiwibowo Kepala Kamar Mesin Kapal Tanker MT Gunung Geulis P 8004 dan Wilhelmus Landa Pasa Labina, Kepala Depot Atapupu, daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Keduanya adalah teladan bagi karyawan Pertamina terutama mereka yang bekerja dalam mendistribusikan BBM untuk masyarakat.

Purwo, bisa disebut sebagai Kepala kapal kanker tiga zaman. Sejak tahun 1970-an dia mulai berkarir di Pertamina. Pria Jawa ini menguasai segala hal teknologi kamar mesin dari berbagai jenis kapal buatan asing maupun dalam negeri. Mengarungi lautan dengan resiko jarang pulang ke rumah menjadi hal biasa. Semua dilakukan demi pengabdiannya kepada Pertamina, dan demi kelancaran pengiriman minyak mentah ke kilang.

Soal teknologi mesin kapal, Purwo bisa dibilang nglothok (menguasai luar kepala). Prinsip belajar dari masing-masing karakter mesin menjadi  kuncinya, hingga ia tak gagap teknologi setiap kali ditugaskan menangani kapal baru. Pengalaman saat ia dipercaya menjadi Kepala Kapal mesin MT Gunung Geulis menjadi pelajaran berharga, bahwa prinsip “mencuri” ilmu dari ahlinya harus diterapkan di tengah minimnya ahli mesin kapal tanker.

Purwo pun bercerita pada saya bahwa awak kapal Rusia dan Filipina sangat pelit berbagi ilmu pengoperasian kapal tanker Gunung Geulis, sebelum dipindahtangankan ke Pertamina. Mereka enggan berbagi dengan awak kapal orang Indonesia. ”Waktu itu manual yang diberikan hanya sebatas buku saja, dan kita memang benar-benar belum akrab dengan teknologi kapal jenis terbaru yang serba otomatis ini,” kenang Purwo.

Dalam waktu dua hari, Purwo mengamati pengoperasian kapal dari awak kapal asing yaitu warga Rusia dan Filipina itu. ”Ada beberapa hal yang sepertinya mereka sembunyikan, agar kita nantinya tergantung pada awak kapal orang asing. Tapi saya tidak menyerah begitu saja,” katanya. Sesekali Purwo mengintip dan berusaha mencatat hal-hal penting untuk diterapkan saat kapal itu di tangan Pertamina.   

”Selain itu saya bersama tim di mesin mengembangkan teknologi pengoperasian mesin kapal, agar sesuai dengan perairan kita yang dangkal,” kata Purwo. Alhasil kini puluhan buku manual pengoperasian mesin terlahir dari inovasi yang diterapkan Purwo dan timnya bisa terdokumentasikan dengan baik sehingga bermanfaat dan bisa menjadi bahan pelajaran siapapun yang bertugas di mesin kapal tanker ini.

Meski terbilang senior, Purwo tak pernah beranggapan dialah yang paling pintar di bagian mesin. Berbagi ilmu menjadi kunci agar transfer teknologi bisa secepatnya dikuasai pada generasi berikutnya. Apalagi regenerasi di perkapalan bisa dibilang tidak lancar.  ”Lihat saja asisten saya seperti Bapak dan anak saja dengan saya,” kata Purwo.

Departemen Mesin dipimpin oleh Kepala Kamar Mesin (KKM) dan membawahi Masinis I (orang mesin nomor dua), lalu ke bawahnya Masinis II, Masinis III, Pengawas Listrik I, Pengawas Listrik II.
Mengenai konotasi negatif yang lekat dengan profesi pelaut, termasuk pula mereka yang bekerja di kapal tanker, Purwo menangkisnya dengan tangkas. ”Ah itukan pelaut jaman dulu. Kalau sekarang itu pelaut BTN,” katanya.

Maksudnya? Lalu Purwo yang termasuk orang mesin kapal Pertamina yang senior sekali ini menjelaskan kalau dulu pelaut ngontrak rumah semua. Tidak ada pelaut yang punya rumah karena mereka tidak bisa menyimpan uang.

Sekarang, kata Purwo, pelaut sudah berpikir rasional tentang masa depannya bersama anak-anak dan keluarga. Itu yang mencegah perbuatan negatif mengham­bur-hamburkan uang di pelabuhan. Jadi sekarang pelaut sudah berpikir mencicil rumah BTN.

Mengatasi kekangenan, Purwo meng­atur dengan khas. Istrinya disuruh datang ke kota di mana kapal tempat Purwo bertugas hendak berlabuh. ”Biaya berapa sudah tidak menjadi pertimbangan lagi. Yang penting bisa berkangen-kangenan dengan isteri tercinta,” katanya sambil terkekeh-kekeh.

Sosok berikutnya akrab dipanggil sebagai Wem. Berbeda dengan Purwo yang pelaut, Wem adalah karyawan Pertamina yang bekerja di bagian distribusi di daratan. Selama 25 tahun dia bekerja di Larantuka, Flores Timur sebelum akhirnya selama dua tahun terakhir ini dia memimpin Depo Pertamina persis di garis perbatasan negara di Atambua, Kabupaten Belu, NTT. 

Uniknya, Depo pimpinan Wem ini biasa pula melayani pasokan BBM untuk Timor Leste. ”Saya memulai karir saya sebagai pemuka distribusi teknik di Larantuka,” kenangnya saat ditanya awalnya dia bekerja di lingkungan Pertamina pada 1983.


Selama bertahun-tahun dia mendistribusikan BBM di Flores Timur. Perharinya 80 kiloliter BBM dipasarkan di wilayah kerjanya. Penyaluran melalui dua pompa bensin dan dua sub pompa bensin Pertamina yang ada di Pulau Adonan dan Pulau Lembata, NTT. Sebagai putera daerah, dia sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan pihak-pihak yang terkait dengan pendistribusian BBM di wilayah kerjanya.

Pengalaman yang menarik bagi dirinya adalah saat pasokan BBM datang terlambat sehingga terjadilah kekosongan pasokan BBM yang ada di Flores Timur. Protespun muncul dan terjadi antrian panjang kendaraan di dua pom bensin yang ada di daerah Larantuka. Untungnya, Wem yang berpembawaan tenang membuat dia bisa menjelaskan dengan baik pada warga dan yokoh masyarakat. Satu keuntungan dari dirinya yang merupakan putera daerah setempat.

Menurutnya, pernah beberapa kali terjadi kekosongan pasokan BBM selama satu minggu. Cuaca buruk menghambat kapal tanker yang hendak merapat di pelabuhan Larantuka. Tak ayal lagi agar semua kebagian maka masyarakat dijatah dalam pembelian BBM agar semua pembeli kebagian. ”Syukur tak ada keributan karena memang hambatan itu karena faktor alam yaitu ombak yang besar hingga kapal tak bisa merapat,” kata ayah lima anak itu.

Pengalaman paling menarik di posnya yang baru di Atambua ini adalah kenyataan bahwa Pertamina di daerah perbatasan ini juga melayani penjualan BBM ke negara tetangga, yaitu Timor Leste. Hanya saja harga yang diberlakukan adalah harga BBM industri, yang naik turun sesuai dengan harga pasaran yang berlaku dalam dollar. Setiap 14 hari sekali, harga BBM jatah Timor Leste itu berubah secara fluktuatif dalam satuan dollar.

Perbedaan harga yang signifikan tersebut membuat Wem harus pandai-pandai mengatur jatah untuk warga sendiri di Belu, NTT dan jatah BBM industri untuk pengusaha negara tetangga. Perdagangan BBM di perbatasan ini diatur dengan MOU tersendiri antara pemerintah kedua negara, dan selama ini berjalan dengan baik. Untuk menjalankan pekerjaannya di perbatasan, Wem dibantu oleh delapan orang stafnya.

Ditulis atas permintaan Direksi Pertamina oleh Iwan Samariansyah

Tidak ada komentar: