Kamis, Oktober 14, 2010

Asosiasi Manager Security Indonesia (AMSI)

Satpam di sebuah kantor
Profesionalisme Security Harus Ditingkatkan

”Ada perbedaan antara petugas satpam biasa dengan security profesional yang sudah terlatih.”


SAAT mendatangi satu cafe di kawasan Kemang Selatan, Selasa (28/7) malam lalu yang terbayang oleh saya adalah acara ulang tahun yang gemerlap. Dihadiri oleh sejumlah petugas bertampang sangar berseragam satpam. Maklumlah, hari itu Asosiasi Manager Security Indonesia (AMSI) berulang tahun yang ke 8. Dan AMSI adalah organisasi profesi yang menghimpun para pemimpin satpam di tanah air.

Tetapi bayangan itu sirna seketika saat memasuki ruangan tempat acara berlangsung. Para pengurus dan anggota AMSI yang berkumpul rata-rata berperawakan sedang, bahkan ada pula perempuan berjilbab di antaranya. Duduk satu meja dengan saya adalah Heroe Djasa, GM PT Global Arrow, salah satu perusahaan security yang menjadi provider untuk sejumlah perusahaan migas dan tambang di Indonesia.

Di meja yang lain, Ketua Umum AMSI A. Azis Said, yang sehari-hari adalah chief security untuk PT Astra Internasional duduk bersama Ketua Dewan Penasehat AMSI yang juga mantan Kapolri Prof Dr Awaloedin Djamin. Sementara di bagian depan tampak spanduk bertuliskan ”Selamat Hari Ulang Tahun AMSI ke VIII. Tingkatkan Peranan AMSI dalam Industrial Security Indonesia.” Begitu bersahaja.

Padahal AMSI bukanlah organisasi kecil bila ditilik dari jumlah anggota satuan pengamanan yang ada di Indonesia. AMSI yang didirikan sejak delapan tahun lalu itu telah mengumpulkan lebih dari 500 anggota yang terdiri dari para manajer security dari seluruh Indonesia. Bila satu manajer security saja mengkoordinir anggota 1.000 satpam, maka berarti ada 500 ribu satpam profesional yang bernaung di bawah AMSI.

Heroe Djasa bercerita kepada saya bahwa perusahaannya mempekerjakan sedikitnya 1.200 satpam untuk beberapa perusahaan tambang di Indonesia. ”Klien kami yang besar adalah PT Adaro, Kaltim Prima Coal dan Chevron-Duri. Untuk yang kecil-kecil ndak usah disebutkan ya?” ujarnya merendah.

Menurut Azis, mendirikan perusahaan security di Indonesia tidak bisa sembarangan. Semua perusahaan security haruslah memiliki ijin dari Mabes Polri. Sesuai dengan SK Kapolri No. 17 Tahun 2006, ada enam bidang usaha jasa pengamanan (BUJP) yang ada di Indonesia.

Keenam bidang usaha itu adalah Jasa Konsultasi Keamanan, Jasa Penerapan Peralatan Keamanan, Jasa Pendidikan dan Latihan Keamanan, Jasa Kawal Angkut Uang dan Barang Berharga, Jasa Penyediaan Tenaga Pengamanan, dan Jasa Penyediaan Satwa.

Dari data yang ada, saat ini telah ada sekitar 300 BUJP yang mempunyai izin operasional dari Mabes POLRI. Sebagai elemen penting dalam sebuah industri, AMSI sebagai sebuah organisasi profesi memiliki beberapa peranan yaitu strategi, organisasi, sistem, human resources, networking dan komunikasi.

Untuk mewujudkan peran tersebut, yang dilakukan AMSI antara lain promosi ke beberapa perusahaan agar lebih meluas keanggotannya. Caranya adalah membantu pihak kepolisian sebagai otoritas keamanan dalam mengawasi pelaksanaan management security perusahaan pengguna dan penyedia jasa sekuriti. ”Ini merupakan peran strategis yang dapat dilakukan oleh AMSI,” ujar Azis.

Kedua, peran organisasi. Dalam hal ini AMSI harus mampu mendorong kinerja polisi agar lebih tegas dalam bertindak dan juga lebih konsisten melaksanakan peraturan. Serta membuat program bidang security di setiap Polda melalui kerjasama antara BPD AMSI dengan Binamitra setempat. Ketiga, peran sistem. AMSI dapat memformulasikan konsep pengamanan dan membuat buku panduan tentang BUJP, serta meningkatkan kebanggaan korps.

Keempat, peran Human Resources yaitu meningkatkan profesionalisme penyelenggara dan pelaku bidang sekuriti melalui pelatihan atau seminar. Serta mengadakan perubahan kurikulum pendidikan untuk personil dan bekerjasama dengan lembaga pendidikan. Dan yang kelima peran pembangunan networking yaitu AMSI menjalin hubungan dengan asosiasi profesi lain di tingkat regional maupun internasional. Dan peningkatan komunikasi dengan stakeholder AMSI, seperti Polri, TNI, Media massa, DPR, dan Depnaker.

Ditegaskan oleh Azis bahwa peranan AMSI itu merupakan suatu kebutuhan yang seharusnya dimiliki setiap golongan, bukan hanya perusahaan yang memiliki investasi besar. Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan kecil yang juga ingin meningkatkan pengamanannya ? ”Ini merupakan tantangan AMSI ke depannya. Mengingat banyak yang belum bisa membedakan antara satpam dengan petugas security,” kata Azis.

Menurut dia, di Indonesia ini orang yang merekrut security secara benar dengan merekrut security secara sembarangan sama saja. Contohnya perusahaan security merekrut security dengan segala persyaratannya, mulai dari usia, pendidikan, tinggi badan, tes kesehatan jasmani, psikotes, tes narkoba, wawancara setelah itu dididik selama satu bulan untuk mengikuti Basic Training (Gada Tama).

Dilain pihak, ada orang kaya yang ingin punya petugas security di rumahnya maka dia merekrut orang di sekitarnya. Syaratnya asal mau saja cukup, ditambah badan tegap dan sehat. Lantas, keesokan harinya lantas dibelikan seragam satpam di Pasar Senen, tanpa dididik, maka jadilah dia petugas security. Keduanya sama-sama bernama security, nyaris tak bisa dibedakan.

Ketika disandingkan antara yang direkrut dengan benar dan yang direkrut tanpa persyaratan dan pendidikan, namanya sama, yaitu security, dengan seragam sama putih biru. Inilah yang membuat nama security itu jadi tidak baik. ”Jika ini terus dibiarkan maka nama security akan terus seperti sekarang kurang mendapat perhatian. Saya punya obsesi security harus dibedakan dengan satpam,” kata Azis.

Diakui olehnya bahwa apapun aspek dalam kehidupan pasti memerlukan rasa aman dan nyaman. Apalagi dalam sebuah industri energi dan pertambangan, pengamanan sangat dibutuhkan, baik industri besar maupun kecil. Garansi atas keamanan dan kenyamanan sangatlah penting keberadaannya. Setiap obyek pasti membutuhkan pengamanan. Hanya saja, pengamanan tanpa manajemen pun tak akan berjalan dengan baik.

Dan karena itu, disinilah posisi AMSI berada. Pada saatnya nanti, petugas security akan memiliki semacam sertifikasi. Selain imbauan memakai satpam bersertifikat melalui badan usaha jasa pengamanan (BUJP) yang terdaftar di AMSI, satpam profesional juga dituntut senyum, sapa, dan salam (3S). Satpam 3S ini, kategori satpam pelayanan yang umumnya ada di perbankan, mall, dan jasa publik lainnya.

Ke depannya nanti, satpam baik di bidang perusahaan shipyard maupun lainnya harus memiliki kualifikasi pelayanan 3S. Di sinilah peran AMSI yang menaungi BUJP terdaftar. Dan sesuai dengan telegram Kapolri nomor 30/III/2007 pada 14 Maret 2007, salah satu isi poin telegram tersebut menyatakan bahwa AMSI merupakan satu-satunya organisasi di bidang sekuriti yang dibina oleh Polri.

Saat ini, AMSI diarahkan dan dikembangkan terus sebagai embrional untuk membentuk organisasi profesi sekuriti Indonesia. Tak heran bila jajaran pengurus AMSI mengupayakan agar segera lahir perubahan undang-undang untuk mewujudkan gagasan tersebut. Pihak AMSI bertekad bahwa pada 2010 nanti, Indonesia bisa memiliki profesional security lokal kelas dunia yang mampu dibanggakan.


Pelatihan Security jadi Program Utama

PELATIHAN security untuk mewujudkan sosok petugas yang handal dan profesional menjadi pilihan program utama AMSI. Bahkan salah satu deklarasi AMSI adalah menjadikan 2009 sebagai tahun profesionalisasi security Indonesia. Azis Said, Ketua Umum AMSI mengatakan bahwa agar setiap profesional security bisa segera menajamkan kualifikasi dan kompetensinya.
Untuk mewujudkannya maka segenap jajaran AMSI dari pusat hingga daerah menjadikan pelatihan security yang berjenjang sebagai entry point-nya. ”Kita ingin membedakan security profesional dengan petugas satpam biasa. Bisa saja syarat dan sistim perekrutannya, pendidikannya, bayarannya, seragamnya bahkan kalau perlu namanya juga perlu dibedakan,” kata dia.
Security profesional juga nantinya memiliki status kepegawaian dan jenjang karier yang jelas karena melekat di perusahaan, sedangkan Satpam tidak. Kalau bisa dibedakan antara Security dan Satpam, maka AMSI akan mudah meningkatkan profesionalismenya dan pekerjaan security akan menjadi profesi. Kalau sudah menjadi profesi, maka pekerjaan tersebut akan membanggakan bagi anggotanya dan dihargai oleh masyarakat.
Karena itu pihak AMSI berharap ada Peraturan Pemerintah (PP) khusus tentang Security yang merupakan penjabaran dari Undang Undang No 2 Thn 2002. Apalagi kalau dilihat dari jumlah personilnya yang sudah besar, yaitu lebih dari 500.000 orang seluruh Indonesia, sehingga sudah saatnya ada aturan tersendiri agar semua bisa menjadi lebih baik dan masyarakat juga semakin percaya pada keamanan yang ada.
AMSI sendiri terus melakukan berbagai langkah untuk mempromosikan ke perusahaan-perusahaan yang ada agar securitinya diwajibkan mengikuti Basic Training Gada Pratama. Memberikan masukan kepada Mabes Polri untuk merubah beberapa peraturan tentang security maupun perubahan kurikulum pendidikan security. Juga membantu Mabes Polri dalam mengawasi pelaksanaan peraturan security di lapangan.
AMSI juga menjalin hubungan baik dengan pemangku kepentingan bidang security baik dtingkat lokal maupun regional, seperti Polri, TNI, Media, DPR, dan Depnaker, sedangkan regional dengan Asean Professional Security Association (APSA) serta mengadakan benchmarking keluar negeri agar kita tahu kemajuan atau kebaikan security negara lain.
Dari berbagai diskusi dan dialog di kalangan AMSI, ada tiga faktor untuk mewujudkan sosok security profesional sebagaimana dikehendaki AMSI yakni Attitude (perilaku), Knowledge (pengetahuan), dan Skill (keterampilan). Ketiga faktor dasar ini harus dimiliki oleh seorang security mulai dari Perekrutan, Pendidikan dan Pembinaan secara terus menerus baik di kelas maupun di lapangan.
Sesuai Peraturan Kapolri No Pol. 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Perusahaan/Instansi Pemerintahan, bahwa setiap petugas keamanan (Security Guard) wajib mengikuti Basic Training Security pola 232 jam (Gada Pratama). Untuk Komandan Regu/Komandan Peleton, Basic triningnya dinamakan Gada Madya dengan pola 160 jam pelajaran ,sedangkan untuk Chief Security atau Manager Security, Basic trainingnya dinamakan Gada Utama dengan pola 100 jam pelajaran.
Yang berhak melatih dan punya kewenangan secara hukum adalah Binamitra setiap Polda. Tempatnya biasanya di SPN, dan BUJP yang memiliki ijin pendidikan dari Mabes Polri. Sedangkan pendidikan untuk Chief dan Manager Security, yaitu Gada Utama, penyelenggaraannya dikoordinasikan dengan Mabes Polri. Untuk Sertifikat, yang berhak mengeluarkan hanya Binamitra atas nama Kapolda dan Kabag Kamsaan Karo Bimmas.
Kalau ada pihak lain yang melatih dengan caranya sendiri, boleh saja tapi dalam rangka meningkatkan kompetensi saja, bukan untuk memperoleh sertifikat Gada Pratama, Gada Madya dan Gada Utama.
Mengenai seragam security, dalam tiga tahun terakhir telah menjadi isu yang cukup sering dibahas oleh AMSI. Sejak tahun 2005 telah ada kesepakatan bahwa seragam yang ada sekarang yaitu PDH ( biru putih), PDL (biru-biru) dan Safari Biru. Dan hal tersebut tetap dipertahankan. Tapi dalam kenyataannya masih banyak yang mengenakan baju yang berbeda-beda.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 26/September 2009

Tidak ada komentar: