Minggu, September 30, 2007

Fakta Seputar Kehidupan Penulis

Oleh : Mridu Khullar

JADI, anda bermimpi menjadi penulis terkenal? Anda ingin menyelesaikan sebuah artikel di selembar kertas secepat mungkin dan melihatnya dimuat di suatu media cetak. Anda memiliki ide yang luar biasa untuk sebuah buku dan anda akan memulainya sekarang. Tapi tahukah anda bagaimana sebenarnya kehidupan riil seorang penulis? Bacalah untuk menemukan jawabannya?

1. Penolakan adalah bagian dari hidup. Tulisan anda bakal ditolak. Tak peduli seberapa bagus tulisan anda, seberapa ciamiknya teknik menulis anda, atau sedetil apapun tulisan anda. Suatu hari, anda bangun dari tidur dan menemukan penolakan dari penerbit atau editor melalui surat atau e-mail. Janganlah patah arang. Hal ini terjadi pada setiap penulis.

2. Penulisan ulang (rewriting) pasti terjadi.
Tanpa peduli sebagus apapun kosakata yang anda pakai, sebagus apapun materi tulisan anda, pasti akan datang suatu ketika, manakala seorang editor meminta anda menulis ulang naskah anda. Sebenarnya, itu berarti sang editor menyukai karya anda, namun butuh anda memoles kembali sejumlah detail yang ia butuhkan.

3. Deadline pasti anda jumpai.
Taat deadline merupakan bagian penting dalam karir menulis anda. Luput satu deadline, dapat dipastikan bahwa anda kehilangan kesempatan untuk menulis di penerbit tersebut. Waspadalah, jangan mengambil terlalu banyak pesanan tulisan yang tidak mampu anda rampungkan. Ini akan menurunkan reputasi anda dan membuat anda tampak tidak profesional.

4. Kebuntuan Penulis (Writer's Block) bukan mitos. Writer's block adalah realitas. Suatu hari anda terbangun dari tidur dan mendapati bahwa diri anda sedang tak mampu lagi menulis. Santai. Itu cuma sebuah fase. Tingkatkan motivasi anda, dan anda akan kembali pulih tanpa memakan waktu lama.

5. Lakukan selingan, lakukan selingan, lakukan selingan. Jika anda bekerja di rumah, anda memiliki kemudahan untuk melakukan kegiatan selingan. Anak anda butuh makanan, pakaian kotor perlu dicuci, anda butuh secangkir kopi. Dan ketika semua telah dirampungkan, telepon berbunyi. Itu mungkin telepon dari suami atau istri anda, yang mengingatkan anda agar tak lupa hal-hal yang perlu dikerjakan.

6. Tak dapat dilakukan tanpa "thesaurus" atau kamus. Tak peduli sebetapa bagus daftar kosakata yang anda kuasai atau betapa kocaknya gaya penulisan anda. Faktanya dalam kehidupan menulis anda membutuhkan "thesaurus". Bakal ada saatnya anda terlalu sering menggunakan kata yang sama, atau sulit menemukan ungkapan yang lebih baik. Saat itulah anda memerlukan thesaurus.

7. Anda tak mungkin dapat menyenangkan semua orang. Setiap orang berbeda. Lusinan orang yang akan mengapresiasi pekerjaan anda. Ada juga orang yang akan merobek karya anda dengan kritik pedas mereka. Belajarlah mengambil hal-hal baik dari hal-hal buruk.

8. Perlu kesabaran yang luar biasa.
Banyak editor yang aneh. Para editor membutuhkan waktu mereka, dan kita butuh kesabaran kita. Jangan meminta jawaban sehari setelah kita mengirimkan pengajuan. Kesempatan
membutuhkan waktu.

9. Uang tidak datang dengan mudah.
Dalam dunia penulisan, uang tak datang semudah di dunia kerja yang lain. Anda mungkin menulis lusinan artikel setiap minggu, dan berharap banyak akan sejumlah uang akan datang darinya. Atau, anda mungkin berharap buku anda akan melampaui target yang anda perkirakan. Anda tidak pernah tahu, ini cuma dalam angan-angan, namun tidak setiap orang bisa menjadi Stephen King. Dan anda berpeluang untuk belajar menjalaninya bersama fakta
bahwa tak akan ada film dibuat berdasarkan novel pertama anda.

10. Jalan Penulis itu panjang dan keras.
Jalannya bergelombang, dan bakal ada saatnya dimana anda merasa ingin menyerah. Tapi tujuan akhir merupakan sebuah kepuasan. Jangan biarkan jalan itu menghalangi anda dari mimpi yang anda bangun. Dan, jangan pernah menyerah.

[Penulis asli artikel ini, Mridu Khullar adalah editor pada http://www.writerscrossing.com, sebuah situs "resources untuk penulis web". Ia juga penulis pada Ebook 'The Writer's Handbook'. Diterjemahkan secara bebas oleh Syam Asinar Radjam untuk blog http://ourblogismoney.blogspot.com untuk kemudian dikutip dari milis jurnalisme]

Kamis, September 20, 2007

Buka Bersama Forum Muda Kagama

PENUH canda dan tawa. Begitulah buka bersama dan Dialog para alumni Universitas Gadjah Mada di Universitas Paramadina Mulia, Kamis (20/9) malam. Maklumlah. Perhelatan itu dihadiri oleh sejumlah aktivis pada jamannya masing-masing, dan dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Tak ayal lagi, forum yang dikemas dengan dengan gaya santai ala Jogja itu menjadi arena olok-olokan dan mengerjai sesama teman bahkan panitia penyelenggara.

Hikmat Hardono yang didapuk jadi Panitia mengatakan bahwa inilah forum untuk mengingatkan kembali semua alumni Universitas Gadjah Mada bahwa mereka pernah merajut pengalaman yang sama di kampus yang sama dulu. "Inilah saatnya saling kenal diantara kita dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih baik lagi yaitu saling bantu sesama teman. Paling tidak, untuk hal-hal yang kita sama-sama sepakat bisa melakukannya," ujarnya.

Alumni Fakultas Ekonomi ini memang cerdas mengatur acara. Dia meminta sejumlah alumni untuk duduk di depan, kemudian mengajak yang lain untuk juga turut serta menghidupkan suasana pertemuan agar tak ada yang merasa pasif begitu saja. Sempat-sempatnya pula dia mengerjai M. Thoriq, kakak kelasnya dengan menanyai para peserta pertemuan : "Ada yang ndak kenal dengan mas Thoriq ? Wah kebangetan kalau begitu !" tukasnya disambut gelak tawa para hadirin.

Thoriq yang diminta berbicara tak mau kalah. Dia lantas mengkritik panitia yang terkesan tidak siap menggelar acara. "Ini panitia jelas under estimate. Nggak menghormati tuan rumah. Apa dikira yang datang ke acara ini cum 20-30 orang. Lha inikan ada ratusan orang yang hadir disini. Mosok buka bersama cuma minum air putih tokh. Padahal kita ini sebagai alumni UGM mestinya uang bukan masalah," sindirnya yang disambut tepukan hadirin.

Aku yang duduk disamping Dr Hasanudin Abdurrahman, alumni Fisika UGM yang kini bekerja di sebuah perusahaan PMA Jepang tersenyum-senyum menyaksikan semua itu. Alumni UGM yang hadir saat itu memang orang-orang hebat. Ada Ganjar Pranowo, anggota DPR dari PDIP yang kini memimpin Panitia Khusus Paket RUU Politik. Juga ada Ridho Zarkasyi, pengusaha HPH yang juga pengasuh PP Modern Gontor.

Juga nama-nama lain yang kukenal seperti Afnan Malay (alumni Fakultas Hukum yang juga konon sedang menapak karir sebagai politisi PDIP), Budi Santoso (dosen FE Universitas Trisakti), Sri Nuryanti (calon Anggota KPU yang lolos seleksi 21 orang), Andi Arief (Komisaris PT Pos), Janoe Arijanto (Direktur Kreatif PT Inter Admark), Heru Dewanto (pengusaha yang juga berkarir politik di Partai Golkar) dan sejumlah nama lainnya.

Sayang aku tidak sempat lama mengikuti acara tersebut. Tugas kantor memanggil. Aku yang datang bersama Redpel Jurnas, Wahyudi M Pratopo terpaksa pamit kepada panitia karena harus segera kembali ke kantor pada pukul 19.15. Buka puasa pertama dengan hanya meminum air putih dan makan krupuk. Tapi tak apalah. Aku maklum dengan situasi darurat berhubung panitia rupanya juga kaget dengan kehadiran peserta sebanyak itu.

Aku sampai di kantor sekitar pukul 20.00 dan kemudian mengerjakan tugas-tugas rutin mengedit laporan para reporter. Malam ini kebetulan kantor juga ada acara Olahraga malam, sekitar pukul 22.00 WIB yaitu pertandingan futsal melawan Tim Republik Mimpi pimpinan Effendy Ghazali. Yahhh, semoga mereka menang. Sempat kepikiran untuk balik ke Paramadina, tetapi apa acara masih berlangsung ya?

Rawamangun, pukul 22.15 WIB

Selasa, September 18, 2007

SMS Ramadhan

SAAT menyambut Ramadhan, banyak teman-teman yang tiba-tiba menjadi penyair dadakan. Tak segan-segan menghabiskan pulsa SMS untuk mengirimkan sapaan ataupun do'a menyambut datangnya Ramadhan pada teman-temannya. Ini ada beberapa SMS yang paling menarik kutuliskan disini, soalnya sayang kalau dibuang atau didelete begitu saja. Soalnya isinya unik-unik dan lumayan menarik sih.

(1) Dari Ibu Nurul, yang tinggal di Tarakan-Kalimantan Timur. Ini kenalan lama yang aktif juga berbisnis pulsa elektrik pra bayar. Ibu Nurul bekerja sebagai PNS di salah satu instansi militer yang ada di kota tersebut :

"Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga Allah memberikan limpahan rahmat & berkah di bulan Ramadhan ini, dan mempertemukan kita di Ramadhan yang akan datang, amiin. Mohon maaf lahir & bathin. Teriring salam hormat kami untuk bapak/ibu sekeluarga."

(2) Dari Ibu Yuni Deli, yang tinggal di Tarakan-Kalimantan Timur. Ini bekas mahasiswaku di Fakultas Ekonomi Universitas Borneo-Tarakan. Dia bekerja sebagai PNS di Pemda Kota Tarakan tepatnya di Kelurahan Karang Anyar :

"Marhaban Ya Ramadhan. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. Mohon maaf Lahir & Bathin. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan HidayahNya kepada kita semua."

(3) Dari M. Maimun Wahid, yang tinggal di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Ini kawan kuliah di S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia :

"Sucikan hati kita dengan Al-Qur'an. Sucikan jiwa kita dengan ilmu. Sucikan jasad kita dengan puasa. Sucikan ruh kita dengan tarawih .... "Marhaban Ya Ramadhan" ... Selamat Ramadhan Mas Iwan.

(4) Dari Aam Sapulete, SH, aktivis FKMY era 1980-an yang pada jaman kampanye Presiden tahun 2004 membela kubu SBY ini ternyata masih menyimpan nomor HP-ku juga :

"Assalamu 'alaikum. Jelang Ramadhan, mohon dibukakan pintu maaf seluas-luasnya atas segala kesalahan dan khilaf kami. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Semoga kita selalu diberi oleh Allah SWT panjang umur, kesehatan, kesuksesan dan rezeki yang melimpah."

(5) Dari Nurhanafiansyah, alumni Fakultas Geografi UGM, kawanku seangkatan yang kini memilih menjadi pengusaha dan bergerak di sektor media di Jawa Tengah :

"Bapak2/ibu2 serta saudara2ku semuanya : Mata kadang salah melihat, mulut kadang salah berucap, hati kadang salah menduga, sebelum cahaya padam, sebelum hidup berakhir, sebelum Ramadhan datang. Mohon maaf segala yang salah dan khilaf. Hadiah yang paling terindah adalah dimaafkan dan didoakan. Amiin Salamin Ahlukum Kullu afwan."

(6) Dari Hani, isteri Silih Agung Wasesa. Hani yang alumni Teknologi Pertanian UGM ini bekerja di Bank BNI. Sang suami, Silih Agung Wasesa adalah alumni Psikologi UGM :

"Selamat berpuasa, kami sekeluarga mohon maaf lahir dan batin. Semoga Ramadhan ini kita dilimpahi ampunan, keberkahan dan kemuliaan dari Allah SWT. Amiin."

(7) Dari Agus Wahyudi, Redaktur foto Jawa Pos, mantan teman sekamar sewaktu kos di kawasan Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada kurun waktu 1995-1996 :

"Taqabalallahu minna wa minkum. Selamat menunaikan Ibadah Puasa 1428 H dan tahun 2007. Minal Aidin Wal Faidzin, mohon maaf Lahir dan Batin : agus wahyudi & vitasari, nuraini dan anisa."

(8) Dari Niken Purwantini, alumni SMA Negeri 2 Purwokerto yang sekelas saat kelas 1 SMA dulu, aku ikut asuransi pensiun hasil promosi Niken :

"Marhaban yaa Ramadhan, mohon maaf lahir dan bathin. Selamat menjalankan ibadah puasa .."

(9) Dari Heru Sutadi, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), teman sesama alumni S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia :

"Assalamu 'alaikum. Yaa Allah, Muliakanlah Saudaraku ini, Bahagiakan Keluarganya, Berkahi Rezekinya & Kesehatannya, Kuatkan Imannya, Tinggikan Derajatnya, Eratkan Tali Persaudaraan Kami & Kabulkan Do'anya ... Amin Yaa ... Robbal 'Alamin ... Dalam menyambut Bulan Suci Ramadhon, mohon dibukakan pintu maaf buat kami."

(10) Dari Moh Isya, pengusaha yang juga Sekretaris LDII Kabupaten Bulungan ini adalah teman baik sejak SMP, kami sama2 perantau. Bedanya dia kembali ke kampung halaman sementara aku memilih terus merantau :

"Marhaban Yaa Ramadhan. Tiada kehendak selain izin Allah, tiada idola selain Rasulullah, tiada kalimat seindah Al-Qur'an, tiada perbuatan semulia memaafkan, mohon dimaaf atas lisan yang tak terjaga, janji yang terabaikan, hati & perasaan yang berprasangka, perbuatan yang menyakitkan. Selamat berpuasa, semoga selalu mendapat ridho dari Ilahi."

Begitulah. 10 SMS yang aku pilihkan dari sekitar 100-an SMS yang aku terima menjelang Ramadhan tahun ini. Teman-temanku berasal dari kalangan beragam. Dan itulah kekayaanku, punya banyak teman dimana-mana. Semoga Ramadhan tahun ini kita semua dimudahkan oleh Allah SWT untuk melaluinya dan sukses menggapai Hari Kemenangan Idul Fitri nanti. Amiin.

Minggu, September 16, 2007

Dewan Pers dan Pengaduan Masyarakat

DEWAN Pers yang independen dibentuk berdasarkan ketentuan Undang-Undang RI No. 40 tahun 1999 tentang Dewan Pers. Dalam upaya mengembangkan dan menjamin kemerdekaan pers. Dewan Pers mengembangkan amanat atas dipatuhinya kode etik pers dan penggunaan standar jurnalistik profesional. Dengan demikian, unsur kebebasan pers dan etika profesional menjadi landasan utama dari Dewan Pers.

Oleh karena itu, menurut UU yang sama dan sesuai dengan Statuta Dewan Pers sendiri maka Dewan Pers berfungsi untuk pertama, menjaga kemerdekaan pers sebagai wujud hak publik untuk mengetahui dan memperoleh informasi serta berkomunikasi. Kedua,
kemungkinan penyalahgunaan profesi dan kemerdekaan pers. Ketiga, menjadi mediator untuk membantu menyelesaikan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pemberitaan pers yang merugikan publik.

Dewan pers independen, yang lahir dalam semangat reformasi, bersifat mandiri dan tidak ada lagi unsur pemerintah dalam kepengurusannya. Hanya ada tiga unsur dalam keanggotaan Dewan Pers, yaitu unsur organisasi pers, unsur perusahaan pers dan unsur tokoh masyarakat. Ichlasul Amal mewakili unsur tokoh masyarakat sedangkan RH Siregar dari Harian Suara Pembaruan mewakili organisasi pers.


Dengan dukungan masyarakat pers Indonesia, otoritas Dewan Pers semata-mata terletak pada kemauan perusahaan dan redaksi media pers untuk menghargai pandangan Dewan Pers serta secara sukarela mematuhi kode etik jurnalistik dan mengakui kesalahan, segaja atau tidak, secara terbuka. Persoalannya adalah bagaimana jika terjadi kasus pelanggaran jurnalisme ?


Hingga kini, pendapat masyarakat mengenai hal tersebut terpecah dua. Kelompok pertama, terutama dari kalangan jurnalis/pers, meninginkan agar persoalan tersebut diselesaikan secara etika, yaitu menerapkan kode etik profesi jurnalisme. Mereka yang lain, terutama penegak hukum dan masyarakat yang merasa menjadi korban (victim) minta diselesaikan secara hukum, berproses ke pengadilan.


Manakala jalan yang terakhir tersebut – yakni melalui jalur pengadilan -- diambil maka kalangan pers akan mengatakannya sebagai kriminalisasi pers. Kesalahan pers dianggap sama dengan tindak kejahatan biasa, misalnya mencuri, membunuh, merampok, dan menipu. Padahal, demikian alasan mereka, karya jurnalisme adalah karya intelektual, yang tidak mungkin disamakan dengan karya keterampilan mencopet, misalnya.


Pada masa pemerintahan Soeharto, berlaku UU Pers No 21/1982, yang menempatkan dominasi kedudukan dan peran pemerintah dalam pembinaan pers nasional. Pers media cetak dikendalikan dengan pemberian izin yang ketat dan pers media elektronika kebanyakan dikuasai oleh keluarga orang-orang sangat penting.

Pada periode itu, untuk wartawan, hanya diakui satu organisasi yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tidak ada wartawan yang bukan anggota PWI. Bila media melakukan kesalahan jurnalisme maka wartawan tersebut pertama-tama dikeluarkan dari keanggotaan PWI, yang otomatis tidak bisa lagi bisa mencari nafkah melalui kegiatan jurnalisme.


Tidak jarang, jika ada wartawan dianggap melanggar seperti itu, dilakukan tindakan politis oleh pemerintah, yakni penghentian penerbitan. Contoh yang paling terkenal adalah penghentian penerbitan Majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik, yang memuat pemberitaan mengenai pembelian kapal selam bekas oleh pemerintah yang dianggap sarat dengan praktek-praktek Nepotisme, Kolusi dan Korupsi (NKK) pada tahun 1994.


Juga penghentian penerbitan Tabloid Monitor yang memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Nabi Muhammad SAW terpilih menjadi tokoh nomor 11 sementara Arswendo Atmowiloto, pimpinan Tabloid Monitor terpilih menjadi tokoh nomor 10. Sebagian masyarakat Muslim marah, terjadi keresahan di tengah masyarakat.


Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai dihukum penjara. Mestinya kasus ini cukup diproses secara hukum kalau dianggap terjadi tindak pidana berat tanpa harus mematikan terbitnya Tabloid Monitor. UU Pers yang sekarang lebih maju dan reformis. UU ini dilahirkan pada periode Presiden BJ Habibie.

Untuk mendirikan media cetak, tidak perlu lagi izin. PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Sebanyak 26 organisasi wartawan membuat kode etik bersama yang diberi nama Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). PWI sendiri tetap mempunyai Kode Etik Jurnalistik PWI, yang hanya berlaku untuk anggota-anggotanya saja.


Pasal 7 Ayat 2 UU Pers No 40/1999 menyebutkan bahwa wartawan Indonesia mempunyai dan menaati kode etiknya. Pada bagian yang lain (Pasal 15 Ayat 2c), Dewan Pers diberi kewenangan untuk memutuskan KEWI sebagai kode etik wartawan yang dipakai bersama dan mengawasi pelaksanaannya. Karena dinyatakan dalam UU Pers maka KEWI mempunyai implikasi hukum. Beberapa hal yang ada di dalam KEWI, yang sebetulnya berlingkup etika profesi atau norma, juga ''ditingkatkan'' ke tataran hukum.


Pelanggaran yang dilakukan oleh wartawan dalam bentuk karya jurnalismenya, diharapkan cukup diselesaikan dengan mekanisme jurnalisme juga. Media yang memuatnya wajib membuat perbaikan atau ralat tulisan yang pertama, dalam format yang kurang lebih sama. Ini dikenal sebagai Hak Jawab yang dimiliki masyarakat dan media wajib melayaninya. Manakala media tidak melayani Hak Jawab diancam hukuman denda paling tinggi Rp 500 juta (Pasal 18 Ayat 2).


Seringkali media kurang memperhatikan kemungkinan dia melanggar tatanan. Jika pihak yang merasa dirugikan bereaksi dalam bentuk somasi sekalian mengancam tuntutan ganti rugi, baru terkejut. Tuntutannya cukup besar sampai miliaran rupiah, yang membuat pusing media. Media lalu mencoba mencari akses ke pihak penuntut termasuk pengacaranya. Biasanya terjadi tawar menawar. Media menawarkan lipuan khusus sebagai imbalan tulisan yang dianggap merugikan tersebut atau pemuatan tulisan perbaikan tanpa revisi.


Mahkamah Agung pernah berpendapat, tidak digunakannya hak jawab oleh seseorang yang dirugikan berarti yang bersangkutan mengakui bahwa tulisan tersebut benar. Pendapat MA ini terjadi pada tahun 1993 atas perkara Harian Garuda, Medan, dan pembacanya, yang dikalahkan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. MA menyatakan, berita-berita yang telah dimuat Garuda tidak tergolong sebagai perbuatan melawan hukum. Tapi sayang, keputusan MA tidak dipakai sebagai jurisprudensi.


Pihak lain di dalam masyarakat ingin memproses ke pengadilan, baik setelah mendapatkan layanan hak jawab maupun tidak. Warga yang merasa dirugikan nama baiknya (pencemaran nama baik) oleh media cetak langsung protes atau menggugat melalui Dewan Pers. Dewan Pers kemudian mencarikan penyelesaian dengan muara penggunaan hak jawab. Jika yang bersangkutan belum puas, dia masih bisa melapor ke polisi untuk proses ke pengadilan, melalui proses hukum pidana. Bisa juga dia langsung melapor ke polisi tanpa menggunakan hak jawab.


Di lingkungan Kode Etik Jurnalistik PWI ada kebiasaan baik. Mereka yang mengajukan perkara ke Dewan Kehormatan PWI Pusat harus menyatakan jika menggunakan proses hak jawab tidak perlu lagi mengajukan proses pengadilan. Di sini ada pilihan yang tegas. Sikap mendua sebaiknya diakhiri. Kalangan pers ingin tidak ada lagi kriminalisasi pers. Paling tinggi kalau ada perkara hasil karya wartawan hukumannya bukan penjara kurungan melainkan denda (perdata), yang tidak dibayar oleh pribadi wartawan yang bersangkutan melainkan dibayar oleh perusahaannya.


Pada zaman UU Pers No 11/1966 dan UU No. 21/1982, pertanggungjawaban yuridis berjenjang seperti air terjun. Jika terjadi pelanggaran pidana pemberitaan maka yang bertanggung jawab adalah pimpinan, yang bisa menurunkan tanggung jawabnya kepada redaktur atau pun reporter.

Mungkin karena sejarah, biasanya yang tetap tampil sebagai penanggung jawab di pengadilan adalah pimpinan redaksi. Namun, menurut UU Pers No 40/1999, jika terjadi tindak pidana pers maka berlaku undang-undang yang telah ada, yakni tidak bisa tidak mestilah KUHP. Itu disebut dalam Penjelasan Pasal 12 UU No. 40/1999. Pertanggungjawaban menurut KUHP adalah siapa yang berbuat harus bertanggung jawab.


Proses yang dijalani oleh obyek berita adalah pengaduan ke Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Media yang memuat/menyiarkan berita tersebut dipanggil oleh Dewan Pers, diminta klarifikasi. Jika menurut penilaian Dewan Pers, berdasar KEWI, tidak terjadi pelanggaran maka media itu bebas. Bila ternyata media bersalah maka media ini wajib melayani hak jawab yang dimuat pada tempat, kolom dan proporsi pemberitaan yang setara.


Masih ada pendapat yang perlu diperhatikan pula, yakni yang mengatakan semua orang berposisi sama dalam tatanan hukum. Artinya, tidak ada keistimewaan yang melekat pada subyek hukum yang berprofesi tertentu. Wartawan diposisikan sama dengan siapa saja terhadap hukum. Karena perbuatan pidana, wartawan akan ditindak dengan KUHP. Persoalannya adalah apakah jika ada pelanggaran atas karya jurnalisme, itu tindak pidana dengan ancaman kurungan ataukah tindak kesalahan profesi.


Seberapa jauh Dewan Pers mampu memikul beban yang berat itu? Tak semuanya merasa optimis. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga salah satu pihak yang pernah kecewa terhadap Dewan Pers. Apa pasal? Ternyata ini buntut sengketa YLKI dan harian Media Indonesia. Suratkabar ini pada 8 Juli 2001 yang lalu memuat berita berjudul "Wakil Ketua YLKI Terima Rp 6 Milyar Dana Untuk Sosialisasi Kenaikan Tarif Dasar Listrik."


YLKI merasa berita itu berbau fitnah. Mereka mengadukan Media Indonesia ke Dewan Pers. Setelah melakukan kajian dan negosiasi, Dewan Pers mengeluarkan pernyataan resmi pada 18 September 2001 yang menyatakan berita itu memenuhi standar jurnalistik serta tak mengandung pelanggaran kode etik. Tapi Dewan Pers mengatakan judul berita memang kurang sinkron dengan isinya.


YLKI tentu saja merasa kecewa. Mereka menilai Dewan Pers kurang konsisten dan tidak transparan. Di satu sisi Dewan Pers mengakui berita Media Indonesia tidak konsisten dan merugikan image YLKI, namun di sisi lain Dewan Pers menyatakan tidak ada pelanggaran prinsipal. “Kalau memang dianggap tidak melanggar kode etik, mestinya secara tegas saja diputuskan begitu. Lagi pula, proses lahirnya PPR (pernyataan) itu tidak transparan sehingga publik tidak tahu apa yang terjadi," ujar Sudaryatmo dari YLKI.


Jadi apa yang sebaiknya dilakukan untuk menyelesaikan persoalan dengan sebaik-baiknya dan memuaskan semua pihak (win-win solution). Sejumlah tokoh masyarakat dan organisasi pers mengusulkan perlunya UU No. 40 Tahun 1999 direvisi. Aliansi Jurnalis Independen, misalnya, mengakui bahwa UU tersebut banyak bolongnya. Hanya saja upaya tersebut terhadang oleh vested interest dari pengusaha pers yang menentang habis-habisan upaya melakukan amandemen terhadap UU tersebut. (**)

Selasa, September 11, 2007

Pornografi dan Sensor Negara

BERKALI-kali kita mendengar dilakukannya operasi VCD porno. Berkali-kali pula kita menyaksikan para pedagang yang sama berjualan kembali barang haram tersebut, di berbagai pojok kota di Indonesia. Seperti juga pelacuran, aksi pornografi memang sulit diberantas dari negeri ini, meskipun berbagai upaya dan tindakan hukum telah dilakukan. Himbauan ulama tidak digubris, ancaman penegak hukum disepelekan dan kecaman berbagai kelompok masyarakat diacuhkan. Kesemuanya tidak mampu mengatasi persoalan tersebut.

Meski begitu, kita di Indonesia cukup beruntung karena urusan syahwat itu tetap tersembunyi dibandingkan, misalnya, dua negara jiran kita : Malaysia dan Thailand. Negara kita ini masih lebih pandai ”menutup-nutupi” borok-borok yang ada. Dibandingkan dengan Indonesia, kedua negara tersebut relatif lebih terbuka dalam soal pornografi.

Begitu juga dengan pelacuran, alkohol dan perjudian. Begitulah yang terjadi. Sebagai bangsa, kita relatif masih bisa mengendalikan diri. Jakarta memang tetap undercover dalam soal-soal tersebut. Tidak heran bila buku-buku berjudul undercover dan underground yang membahas soal-soal urusan seks laku keras di negeri kita.

Di Bangkok, misalnya, masalah alkohol dan pornografi telah meracuni kaum mudanya sedemikian rupa. Dengan mudah kita bisa mendapatkan majalah-majalah playboy versi Thailand dijual di kaki lima seharga 20 – 30 Bath, sedangkan alkohol dijual di sembarang tempat. Remaja-remaja dengan rileks membaca buku-buku porno dan minum alkohol di muka umum. Malahan di etalase-etalase toko, minuman keras berbagai merk ditata sedemikian rupa dengan sentuhan artistik.

Adapun di Kualalumpur, ibukota negeri jiran kita yang terkenal dengan budaya melayunya itu, para pelaku pelacuran melakukan bisnis prostitusi terang-terangan. Mereka menulis Rumah Tumpangan – biar lelaki hidung belang tidak tersesat --- di depan rumahnya, bergandengan dengan nama-nama toko, dan dilindungi negara. Mereka yang membutuhkan jasa rumah tumpangan tersebut tanpa malu-malu dan tanpa menengok kiri kanan langsung saja masuk ke ruangan, mengisi daftar tamu dan memilih pekerja seks komersial yang disukainya.

Bisnis prostitusi di Thailand, bentuknya lebih canggih yaitu mengarah pada hiburan (entertainment). Seperti yang ada di kawasan Patpong, Bangkok yang tampaknya dikonsumsi oleh turis-turis bule baik dari Eropa, Amerika maupun Australia. Hampir semua jenis hiburan malam tersedia di sini mulai dari cewek go go dance, menari dengan pakaian dalam, sampai ke striptease betulan tanpa sehelai benang. Mulai dari penari sampai waitress semuanya anak muda. Bioskop dan iklan luar ruangan juga tak luput dari arus deras pornografi tersebut.

Meskipun lebih terbuka dan terang-terangan dibandingkan Indonesia, Badan sensor Malaysia sama galaknya dengan Lembaga Sensor Film-nya kita. Badan sensor negaranya Mahathir Mohamad itu luar biasa protektifnya terhadap moral generasi muda Malaysia. Pendek kata, generasi muda Malaysia harus dilindungi habis-habisan dari ekspose berlebihan terhadap segala wujud elemen-elemen pornografi.

Berhasilkah upaya tersebut ? Faktanya adalah, Badan sensor tersebut tidak mampu menghentikan tayangan pamer goyang para denok Bollywood di televisi, serta jutaan mata lelaki Melayu yang saban hari terpaku pada guncangan dada Karina Kapoor dan juga pusar indah
Urmilla Matondkar.

Meski begitu, badan sensor Malaysia tetap saja galak dengan menggunting habis adegan-adegan yang dianggap akan merusak mentalitas dan moralitas bangsa. Contohnya adalah serial ”Zhou Yu's Train” yang dibintangi oleh aktris Gong Li. Penggemar Gong Li kerapkali hanya bisa melongo. Mereka dianggap belum cukup dewasa sehingga dari adegan berpandangan mata saja, bisa tiba-tiba meloncat ke shoot atas selimut yang sudah acak-acakan.

Jangankan Gong Li, satu-satunya adegan ciuman dalam ”Ada Apa Dengan Cinta' yang digambarkan di film review sebagai ”a mere brush of lips so pure and far from vulgarity” juga di-cut dengan kejamnya. Meskipun itu film remaja, tetapi film yang dibintangi oleh bintang-bintang muda Indonesia tersebut tetap dianggap mengeksploitase nafsu rendah anak muda. Begitulah sikap keras badan sensor Malaysia. (iwan samariansyah)

Minggu, September 09, 2007

Kenangan era Taman Kanak-kanak

AGAK bingung juga kalau berbicara soal sekolahanku. Maklum selalu berpindah-pindah dari satu kota yang satu ke kota yang lain. Tapi aku akan mulai menulis tentang kenangan di masa Taman Kanak-kakan (TK), tentu seingat yang aku bisa. Pertama kali di TK aku menyadari diriku sebagai anak kecil berusia empat tahun di Kota Tarakan, sebuah kota kecil di utara Kaltim. Tahunnya, kalau tidak salah ingat adalah tahun 1973.

Nama TK-nya, TK Kartini dengan seragam hijau putih dan mainan khas TK di halamannya yang luas. Ada ayunan, kemudian jungkitan juga prosotan. Tetapi aku lebih senang bermain dengan temanku bernama Anis, untuk balapan mengumpulkan belalang yang banyak berkeliaran di halaman sekolah. Duh senangnya. TK ini letaknya bersebelahan dengan Kantor Perusda, tempat ibuku bekerja sebagai sekretaris. Jadi usai pulang sekolah aku ke kantor ibuku.

Hanya setahun aku bersekolah di TK ini, karena setahun kemudian pada tahun 1974, ayahku ditarik untuk bekerja di Kantor Bupati Bulungan. Kamipun harus meninggalkan kota Tarakan, menuju ke daerah pedalaman yaitu Kota Tanjung Selor. Tanjung Selor adalah Ibukota dari Kabupaten Bulungan, sedangkan Tarakan adalah salah satu kecamatan dari Kabupaten Bulungan meskipun sesungguhnya jauh lebih ramai Tarakan daripada Tanjung Selor.

Akupun masuk TK lagi. Kali ini namanya TK Pertiwi, yang diasuh oleh Yayasan milik isteri tentara. Aku masuk langsung kelas B atau kelas 0 besar. Dan begitulah. Sekolah TK ini halamannya tidak seluas TK-ku di Tarakan, dan banyak angsa berkeliaran di sekitar sekolahku. Suatu hari, iseng aku melempar angsa-angsa itu. Wah, rupanya mereka tidak terima. Aku langsung dikejar-kejar sama induk Angsa tersebut. Tentu saja aku terkejut dan lari ketakutan.

Waduh, pengalaman yang sangat menakutkan. Sampai jatuh bangun aku dikejar angsa-angsa yang marah itu, sampai akhirnya aku diselamatkan oleh ibu guru. Akupun menangis di pelukan ibu guruku. Untunglah aku tidak sampai dipatuk oleh angsa-angsa tersebut.

Waktu di TK itulah aku mendapat luka yang membekas sampai sekarang. Tanganku kejepit balok yang ada di halaman sekolahku. Akibatnya jempol tangan kiriku hancur. Sewaktu sudah sembuh, luka tersebut membekas dan kuku jempok tangan kiriku terpecah menjadi dua bagian, tak bisa utuh lagi. Pada bulan Desember 1974 akupun menyelesaikan sekolah taman kanak-kanakku.

Baik TK Kartini di Tarakan maupun TK Pertiwi di Tanjung Selor bangunannya sudah tak berwujud lagi sekarang ini. TK Kartini maupun Kantor Perusda yang terletak di Simpang tiga Tarakan sudah berubah menjadi pusat pertokoan. Sedangkan TK Pertiwi di Tanjung Selor sudah berubah wujud menjadi arena olahraga warga kota. Begitulah nasib sekolahan masa TK-ku dulu itu.

Senin, September 03, 2007

Pemilu 2004 dan Kelahiran Kelompok Oposisi


Oleh : Iwan Samariansyah

SETELAH ditetapkannya hasil pemilu presiden putaran pertama oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan keberhasilan meraih suara terbanyak pada pasangan SBY-Jusuf Kalla (33,57 %) dan Megawati-Hasyim Muzadi (26,27 %), maka proses demokrasi kita berkembang begitu cepat. Amien Rais, calon presiden dari PAN yang menduduki urutan keempat dalam perolehan suara (14,90 %) telah mengakui kekalahan tersebut dan mulai mempertimbangkan langkah menjadi oposisi penuh.

Ini tentu saja merupakan terobosan dalam perkembangan demokrasi di era reformasi sekarang ini. Apabila Amien bisa mewujudkan gagasannya tersebut, dengan sokongan PAN dan PKS, maka hal tersebut seperti gayung bersambut menyambut ajakan SBY, calon Presiden dari Partai Demokrat. Dalam berbagai kesempatan, SBY selalu menyampaikan sikapnya bahwa bila terpilih nanti dalam Pemilu putaran kedua dia akan membentuk pemerintahan koalisi terbatas. Sedangkan kelompok partai yang tidak masuk dalam koalisi dipersilahkannya untuk menjadi oposisi terhadap pemerintah.

Bagaimanapun, bila Indonesia hendak menjadi negara demokrasi yang sebenar-benarnya maka menjadi kelompok oposisi sama terhormatnya dengan menjadi penguasa. Oposisi tidak selalu berarti perlawanan asal beda, apalagi jika pemerintah hasil Pemilu 2004 bersedia membuka pintu lebar-lebar dikritik, serta jika yang kalah Pemilu 2004 berbesar hati menjadi oposisi seperti yang ditunjukkan Prof. Amien Rais.

Tampaknya tekad Amien menjadi oposisi penuh terhadap pemerintah itu patut didukung. Paling tidak, sekali lagi dia hendak memberikan ”pendidikan politik” seperti yang pernah dikatakan oleh koleganya Prof. Nurcholish Madjid dalam suatu kesempatan bahwa menjadi oposisi tidaklah lebih rendah martabat politiknya ketimbang menjadi penguasa.

Oposisi yang dilakukan oleh pers, aktivis LSM dan kaum intelektual meski kritik-kritik yang disampaikan bisa mempengaruhi opini masyarakat, akan tetapi tidak cukup kuat untuk merombak kebijakan pemerintahan. Bila Amien bisa ”menjelmakan” diri menjadi pemimpin oposisi nasional dan hal tersebut disokong penuh oleh partainya di Parlemen yang memiliki 52 kursi dan PKS dengan 46 kursi maka kekuatan ini tentu saja patut diperhitungkan oleh pemerintah yang berkuasa.

Amien bersama Hidayat Nur Wahid, presiden PKS akan menjadi pemimpin oposisi yang efektif untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Amien akan menjadi pemimpin oposisi di luar parlemen (karena dia tidak lagi menjadi anggota DPR untuk periode 2004-2009) sedangkan Hidayat Nur Wahid akan menjadi pemimpin oposisi di dalam parlemen. Hidayat juga salah satu dari dua anggota DPR yang terpilih secara langsung dan memenuhi angka bilangan pembagi pemilih (BPP) sehingga legitimasinya di mata pemilih sangat tinggi.

Kelompok oposisi seperti ini cukup efektif untuk demokratisasi. Tentu saja agar berfungsi penuh maka pengurus dan anggota kedua partai (PAN dan PKS) diharapkan tidak masuk dalam kabinet koalisi yang dibentuk oleh Presiden terpilih hasil pemilu putaran kedua, 20 September 2004. Amien dan Hidayat bisa secara bersama-sama mewujudkan gagasannya mengenai pemerintahan yang jujur dan bersih dari korupsi dengan melakukan pengawasan terhadap penguasa.

Kebutuhan untuk membentuk suatu kelompok oposisi yang kuat memang salah satu pekerjaan rumah yang belum bisa diwujudkan dengan baik dalam era reformasi. Harus kita akui bahwa budaya politik kita belum mampu memproduksi kelompok oposisi yang serius tersebut. Sistem dan mentalitas politik bangsa masih belum mampu melahirkan partai dan kepemimpinan yang betul-betul berkualitas.

Demokrasi di tingkat elite tidak kunjung bersemai subur di satu pihak, di pihak lain mentalitas korup dan pengabsahan cara apa saja menjadi perilaku politik yang betul-betul mentradisi, bahkan mengakar. Dibandingkan dengan sebagian elite yang betul-betul memperjuangkan aspirasi rakyat, jumlah mereka amat sedikit serta tak sebanding dengan banyaknya para petualang politik yang hanya mencari keuntungan kelompoknya.

Karena itulah, kelahiran kelompok oposisi paska Pemilu 2004 ini haruslah kita sambut gembira. Kita benar-benar menunggu adanya partai oposisi yang kuat pasca-Pemilu 2004 ini, untuk mengontrol kinerja partai berkuasa. Oposisi bukan sebagai komoditas politik, sebagaimana kita lihat saat ini, banyak partai yang ragu-ragu menjadi oposisi ketika tergiur ditawari kursi kekuasaan. PAN dan PKS harus mampu memberikan pembelajaran kepada publik bagaimana menjadi oposisi yang bermartabat.

Dengan kekuatan dan sumberdaya yang dimiliki oleh kedua partai politik tersebut, maka sebagai kekuatan oposisi keduanya mampu memobilisasi kekuatan massa. Dan mereka berpotensi melakukannya secara tertib dan damai karena begitu banyaknya pemimpin-pemimpin partai dengan latar belakang intelektual yang memadai dalam tubuh kedua partai politik tersebut. Kedua partai politik tersebut juga memiliki visi yang jelas tentang masa depan Indonesia, lepas dari bayang-bayang pola lama Orde Baru.

Partai politik di Indonesia harus mulai membiasakan diri mengambil posisi yang jelas dan tegas dalam siklus lima tahunan Pemilu. Yang menang menjadi penguasa, dan yang kalah menjadi kelompok oposisi. Yang menang harus memilih sebagian dari kelompok yang dikalahkannya menjadi mitra koalisi dan membiarkan partai-partai politik yang tidak ikut serta bergabung dalam kubu oposisi.

Tentu saja, pihak penguasa tidak boleh alergi dan selalu terbuka terhadap kritik-kritik yang disampaikan kubu oposisi. Bahkan, bilamana perlu mengikuti solusi kubu oposisi bila setelah dikaji dan diuji secara mendalam memang layak diterapkan oleh pemerintah.

Kubu oposisi juga bisa meninggalkan tradisi party marketing sebagaimana yang dilakukan selama masa kampanye dengan rally-rally politik yang megah namun kosong isinya. Langkah seperti itu tidak pernah membuahkan hasil apa-apa, sebab hanya hura-hura yang dihasilkan. Kemampuan kubu oposisi melakukan mobilisasi masyarakat harus diarahkan untuk memberikan alternatif pemecahan terhadap masalah yang dihadapi pemerintah dalam proses pembangunan bangsa.

Sudah saatnya pola lama mobilisasi massa peninggalan Orde Baru ditinggalkan. Para pemimpin oposisi tidak boleh lagi berbicara atas nama rakyat saja melainkan berbicara bersama rakyat. Para pemimpin oposisi harus melibatkan rakyat dalam arti sebenarnya. Kini tugas partai oposisi yang utama adalah mengembalikan fungsi partai agar dapat dimanfaatkan rakyat dalam posisi yang wajar. Salah satu contoh mobilisasi rakyat adalah mencari masukan dari daerah untuk memecahkan suatu masalah.

Kubu oposisi juga bisa menggunakan kemampuannya memobilisasi massa rakyat untuk menekan pemerintah. Misalnya dengan mengajak pendukung partai untuk melakukan mogok diam nasional. Oposisi bisa dengan tegas menyampaikan kepada pemerintah, jika pemberantasan korupsi tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka kelompok oposisi akan menyerukan mogok nasional.

Artinya rakyat ambil bagian dalam perjuangan yang ril. Langkah ini lebih baik daripada membuat huru-hara. Mogok diam secara damai, juga relatif lebih dekat dengan budaya politik Indonesia yang sebagian besar rakyatnya adalah petani. Sejarah Indonesia juga menuliskan rakyat sudah terbiasa melakukan gerakan damai ini.

Selain itu mogok diam, seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi di India atau Martin Luther King di Amerika, mempunyai kekuatan yang maha dahsyat. Pemerintah tidak bisa melawan dengan senjata, karena demonstran memang tidak melakukan apa-apa. Pemerintah akan dengan terpaksa menuruti kemauan kubu oposisi dan mulai memperbaiki diri. Dengan demikian perbaikan kehidupan bangsa bisa dilakukan tanpa harus melakukan perubahan pemerintahan yang bermakna kudeta. (**)

- Artikel ini dibuat bulan September 2004, namun tidak dipublikasikan

Pindah Pos Keredaksian


MULAI 1 September 2007 aku tidak lagi menangani rubrik Olahraga di halaman 14 dan 15 surat kabar tempatku bekerja, Jurnal Nasional. Sesuai dengan keputusan rapat, ada sejumlah perubahan dilakukan. Halaman Olahraga ditambah sehingga menuntut pula perubahan personil yang menangani halaman yang diproyeksikan menjadi unggulan dalam pemasaran koran ini di hari-hari mendatang.

Aku kemudian dipindahkan menjadi Redaktur rubrik Yudikatif di halaman 8, seksi 1 menggantikan Mbak Retno Kustiati yang akan menjadi Sekjen Redaksi. Mbak Ati - begitu panggilan akrabnya - akan menggantikan Mas Aries Margono yang mulai 1 September resmi menjabat sebagai Manajer HRD di Harian Jurnas (masuk ke bagian perusahaan) di bawah komando Pak Ananta Setiawan.

Sementara di rubrik Olahraga yang kutinggalkan akan masuk Solichin dan Hikmat Soeriatanuwijaya yang berduet menangani empat halaman olahraga yang kini namanya berganti menjadi Jurnal Sport. Keduanya jelas lebih berkompeten dariku, karena selain punya pengalaman jauh lebih panjang di bidang peliputan olahraga - juga mempunyai hobi berolahraga pula sehingga ada harapan tim ini adalah tim terbaik menangani rubrik Jurnal Sport.

Reporternya juga berganti. Cininta pindah ke eksekutif, namun Anton dipertahankan, ditambah dengan Reza Junior dan Suhartono Zidane. Aku ucapkan selamat untuk tim Olahraga yang baru semoga bisa bekerja dengan baik dan membesarkan Jurnas bersama-sama.

Aku sendiri bersyukur karena juga berada di tempat dan posisi yang tepat. Pos Yudikatif yang meliputi soal hukum, kriminalitas dan persoalan Hak Asasi Manusia, adalah pos yang cukup lama kugeluti ketika menjadi reporter yunior di Jawa Pos. Sehingga ketika diberi amanah menangani halaman ini, maka bersyukur sekali. Bagaimanapun aku bisa membagi pengalaman yang pernah kuperoleh ketika meliput di pos tersebut.

Apalagi tim yang kuperoleh dan kuwarisi dari Mbak Atik adalah tim yang sangat solid dan mumpuni. Wartawan yang bertugas di rubrik Yudikatif ini adalah Okky Puspa Madasari, wartawati muda energik yang mengenakan jilbab dan punya daya mengendus berita yang sangat baik. Juga masih ada Grathia Pithaloka, yang walaupun bertubuh mungil namun pantang menyerah dalam mengejar sumber berita. Terakhir adalah Noor Irawan, bekas wartawan Olahraga dan reporter senior yang ditugaskan meliput di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.

Selama bekerja di Jurnal Nasional sejak 1 Maret 2006, aku sudah menangani cukup banyak rubrik mulai dari rubrik Internasional (selama satu tahun), rubrik Megapolitan (3 bulan), rubrik Olahraga (6 bulan) dan rubrik Iptek (3 bulan). Semoga Allah SWT memudahkan diriku dalam bekerja menangani rubrik ini dengan sebaik-baiknya.

Minggu, September 02, 2007

Batam Telah Memberlakukan SIN

Ide pemberlakuan single identification number, atau nomor identifikasi tunggal, sendiri sesungguhnya merupakan gagasan yang menarik. Tujuan SIN adalah untuk mengatasi kesimpangsiuran proses administratif masalah-masalah kependudukan.

Dengan sistem ini maka ke depan nanti, ada angka identitas tunggal bagi masing-masing penduduk di Indonesia. Satu saja (nomor identifikasi) yang sah bisa digunakan untuk semua instansi, misalnya untuk pemilu (pemilihan umum), SIM (Surat Izin Mengemudi), dan pajak.

Proses pemberlakuan nomor identifikasi tunggal itu dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah menggabungkan sistem yang sudah ada di berbagai instansi, yang bisa satu sama lain berkomunikasi. Kemungkinan hal tersebut bisa dilaksanakan antara 1-2 tahun.


Di Amerika Serikat, sebagai contoh, diberlakukan semacam nomor jaminan sosial (social security number) yang dimiliki tiap penduduk. Nomor itu digunakan untuk bermacam tujuan. Pemerintah secara bertahap akan mewujudkan SIN itu untuk melakukan perbaikan kualitas pelayanan publik dan pemberantasan korupsi di tubuh birokrasi secara sistematis.

Salah satu daerah yang telah diujicoba menggunakan SIN adalah Batam. Di daerah tersebut SIN bahkan dilakukan dengan menggunakan teknologi modern yaitu mengidentifikasi seseorang lewat sidik jari dan kornea mata.

Lewat semacam smart card, semua identitas telah dicatat sehingga tidak mungkin lagi ada KTP dobel, paspor ganda, dan identitas palsu. Sistem ini juga bakal menggabungkan fungsi perpajakan, penegakan hukum, dan fungsi kependudukan.

Kementerian PAN memang sangat getol mengkampanyekan sistem ini. Alasannya untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan melaksanakan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Bila telah terwujud nantinya, maka dalam sistem pengenal tunggal dan terpadu maka setiap penduduk mulai dari lahir hingga meninggal dunia akan menggunakan satu nomor yang sama. Dengan demikian paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak dan berbagai kartu pengenal lainnya yang dikeluarkan menggunakan nomor yang sama.

Jadi sistem ini akan berkaitan langsung pada institusi yang harus mencermati akurasi data individu seperti bea cukai, pajak, pertanahan, perdagangan, investasi dan lainnya untuk mencegah KKN.

Seorang wajib pajak, misalnya tidak mungkin bisa menggelapkan kewajiban pajaknya karena dia hanya memiliki satu identitas diri sehingga demikian pendapatan negara akan semakin meningkat.

Memang untuk jangka panjang, penerapan dan pengembangan SIN sebaiknya sekalian saja disatukan dengan pengembangan KTP biometrik. Jadi, KTP selain berisi data nama, tanggal lahir dan alamat, juga berisi informasi biometrik yang disimpan pada kartu berupa kode bar dua dimensi (2D barcode).

Sepintas memang terkesan mahal. Padahal seperti yang ada di Batam, tidak ada solusi yang terlalu mahal atau pun sangat mewah bagi penduduk kalau solusi itu merupakan solusi yang secara praktek dapat diterapkan dan bisa dihitung ongkos pengembangan dan ongkos produksinya.

Penyimpanan informasi biometrik dalam bentuk kode bar dua dimensi bukan hal yang mewah dan mahal. Solusi ini sudah diterapkan di Kamboja untuk ID Nasional dan Zimbabwe untuk Social Security ID dan Secure ID Verification. Jadi untuk Indonesia, tentu memalukan sekali bila harus ketinggalan dari dua negara yang secara de facto ”lebih terbelakang” daripada Indonesia.

Bila Niat Baik Diproyekkan


Sulitnya Mewujudkan Single Identification Number

Oleh : Iwan Samariansyah

PEMBERLAKUAN Nomor Identifikasi Tunggal atau Single Identification Number (SIN) belum juga berjalan, meski sudah dicanangkan sejak 2004. Justru yang muncul adalah kekisruhan. Mulai dari munculnya tudingan korupsi anggota Komisi Pertahanan dan Keamanan DPR-RI Ade Daud Nasution pada Menteri PAN Taufik Effendi sampai dengan rebutan proyek SIN antar instansi pemerintah. Siapa sebetulnya yang berhak atas proyek tersebut ?

Awalnya adalah tudingan Ade Daud Nasution, anggota Komisi I yang menangani bidang Pertahanan dan Keamanan DPR-RI pertengahan bulan lalu. Anggota Fraksi Bintang Reformasi itu melaporkan pada KPK adanya proyek SIN di lingkungan Badan Kepegawaian Nasional yang tidak sesuai dengan ketentuan, yakni harus melalui tender. Proyek SIN itu melalui penunjukan langsung Kepala BKN pada sebuah perusahaan spanyol.

Tudingan tersebut dibantah oleh Taufik maupun Prapto Hadi. Menteri Negara PAN membantah telah melakukan korupsi dalam pengadaan sistem informasi kepegawaian. Taufik mengatakan bahwa pengadaan sistem informasi kepegawaian dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara atau BKN. BKN merupakan salah satu dari empat lembaga pemerintah non departemen atau LPND dibawah naungan Kementrian PAN.

Belakangan terungkap adanya ”pertempuran” antar instansi pemerintah berkaitan dengan rebutan proyek SIN. Ada tiga instansi yang ngotot bahwa proyek tersebut harus dikelola oleh pihaknya yaitu Depdagri, Ditjen Pajak dan Kementerian PAN. Masing-masing dengan argumentasinya sendiri sesuai kepentingan tiap departemen. Bahkan Departemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ikut-ikutan pula terjun dalam ”rebutan” proyek tersebut.

Departemen Keuangan, misalnya, menyambut SIN sebagai upaya mengintensifkan penarikan pajak terhadap subyek pajak yang selama ini menghindar. Depdagri tak kalah antusiasnya demi penataan administrasi kependudukan. Departemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun membuat IGASIS (inter governmental access share information system atau sistem pertukaran informasi/data antarinstansi pemerintah) sebagai pendukung terciptanya SIN. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara pun berkepentingan dengan SIN dalam upaya menegakkan birokrasi yang efektif dan antikorupsi.

Kepala Subdit Teknologi Informasi Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan Depdagri Ani Yulistiani mengatakan, Depdagri mengolah SIN untuk mengatasi kesimpangsiuran administrasi kependudukan. Depdagri mengembangkan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) online hingga ke daerah, sesuai yang diamanatkan Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2004.

Untuk mencegah pencatatan ganda, Depdagri pun mengeluarkan NIK yang tak lain adalah SIN. Mereka memakai data hasil Pendataan Penduduk dan Pendaftaran Pemilih Berkelanjutan (P4B). Data tersebut sudah dikonversikan ke dalam sistem digital yang mendukung pelaksanaan SIN.

Depdagri memang telah melangkah cukup jauh. Menurut Ani Yulistiani, saat ini pembuatan NIK sudah dilakukan. Tiap penduduk—seperti tercantum dalam data P4B—sudah diberi nomor 16 digit. ”Sekarang tinggal pemutakhiran data saja,” kata Ani. Depdagri juga sudah menyiapkan sistem dan peralatan untuk mendukung program SIAK. Pemerintah tinggal menyiapkan peralatan di daerah, mulai dari di tingkat kabupaten/kota sampai ke kantor-kantor kelurahan.

Agar NIK ganda dapat dihindari, database tersentralisasi di Jakarta. Perekaman data dengan menggunakan aplikasi SIAK dilakukan di simpul pelayanan pendaftaran penduduk di daerah. Bersamaan dengan hal itu, Departemen Keuangan pun mulai mengolah data obyek pajak sebesar 84 juta. Direktorat PBB menggabungkan nomor objek pajak (NOP) dengan subyek pajak. Tidak hanya informasi PBB yang ditampilkan, atribut lain seperti informasi keluarga, kendaraan, tagihan listrik, telepon, dan PDAM juga dicantumkan.

Data tersebut dikemas dalam informasi rinci obyek pajak berbentuk smart mapping secara digital. Sekali klik, muncullah data dan foto obyek pajak. Hal tersebut dapat menjadi peluang terbentuknya SIN. Semua Departemen berbicara mengenai subyek yang sama. Data yang diolah juga sama. Hanya saja selama ini masing-masing instansi memberi nomor berbeda. Setidaknya terdapat sekitar 32 nomor yang saat ini terpakai seperti nomor KTP, nomor Kartu Keluarga, nomor SIM, BPKB, Paspor, NPWP dan sebagainya.

Anggota Komisi II DPR, Saifullah Ma’sum, menengarai adanya tarik-menarik antardepartemen soal penggarapan SIN. Kominfo dengan IGASIS-nya, Departemen Keuangan dengan SIN-nya, dan Depdagri dengan SIAK-nya serta BKKBN. Oleh karena itu dia menyarankan agar Presiden segera mengambil alih dan segera menentukan lembaga yang bertanggung jawab terhadap SIN. ”Mereka harus duduk satu meja untuk membahas hal tersebut. Serahkan ke satu lembaga sebagai induk pembuatan SIN. Yang lainnya mendukung saja,” katanya.

Apabila hal itu tidak dilakukan, Saifullah menduga tarik-menarik tersebut akan menjadi berlarut-larut. Akibatnya, SIN pun tidak juga terealisasi. Ditanya departemen yang paling pas menjadi induk SIN, Saifullah mengusulkan agar SIN diserahkan ke Depdagri. Departemen tersebut berhubungan langsung dengan data-data kependudukan. Dan bila benar Depdagri yang ditunjuk maka setiap penduduk di Indonesia mulai tahun ini akan mempunyai identitas yang terdiri dari 16 digit. Angka tersebut dicantumkan baik di kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, maupun dokumen lain yang terkait dengan transaksi keuangan.