Minggu, Desember 23, 2007

Malas Menulis

Bukan main,

Kalau sudah malas menulis, aku juga bisa keterlaluan seperti ini ya ? Bayangkan, sejak 6 Oktober sampai dengan hari ini, 23 Desember 2007 blog kesayangan ini tidak aku isi dengan tulisan apapun. Ini konsekwensi dari orang perfeksionis seperti diriku, inginnya kalau menulis blog yang sempurna, bagus dan enak dinikmati. Giliran nggak mood, malah memilih tidak menulis sama sekali. Benar-benar tidak patut dicontoh.

Padahal, berbagai peristiwa lewat begitu saja tanpa kutorehkan catatan tentang itu sedikitpun. Mulai dari perayaan Idul Fitri 1428 H, kemudian peringatan tiga tahun pemerintahan SBY ketika aku ditunjuk sebagai Pemimpin proyek edisi khusus di koran tempatku bekerja, lantas masih ada juga peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2007, disusul perayaan Hari Pahlawan 10 November 2007. Kalau dibuat tulisan di blog ini, sudah banyak tuh hasilnya.

Di kantorku, dua redaktur mengundurkan diri yaitu Prima dan Nurul. Semua terjadi pada bulan November yang lalu. Kemudian kurang lebih seminggu yang lalu, aku baru saja pulang dari Jogjakarta mengikuti kegiatan PP Kagama dan berceramah di depan adik-adik pengurus Jama'ah Shalahuddin UGM serta membereskan urusan kost-kost an yang ruwet itu.

Yahh, nanti satu persatu aku ceritakan. Mungkin untuk menghindari penyakit malas menulis, bisa jadi pada masa mendatang aku akan menulis dalam bentuk yang singkat-singkat saja. Mementingkan kesempurnaan ternyata juga tidak begitu bagus ya ? Ujung-ujungnya malah malas menulis.

Segitu dulu ah. Selamat Hari Raya Idul Adha 1428 H.

Sabtu, Oktober 06, 2007

Gerakan Koperasi dan Gotong Royong di AS

Komunitas Makmur pun Terbentuk

Oleh : Abang Rahino
sanggarkertas@gmail.com

SELAMA ini masyarakat Amerika, dan negara Barat pada umumnya, sering kita anggap sebagai masyarakat individualis. Jauh dari budaya gotong-royong. Dalam beberapa hal bisa benar, tetapi dalam hal lain bisa juga salah. Buktinya, di sana ada komunitas yang hidup makmur dengan koperasi dan tradisi gotong-royong.

Kita seperti terbius menyaksikan semangat kewirausahaan individual dan iklim bisnis bebas merdeka telah melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa macam Ford, Microsoft, Kodak, Coca Cola, Pepsi, IBM, maupun 3M. Namun, di Amerika ternyata ada gerakan koperasi yang berazaskan kekeluargaan dan gotong-royong seperti cita-cita Bung Hatta di Indonesia. Paling tidak itu yang saya lihat di kehidupan beberapa komunitas di lima negara bagian Negeri Paman Sam.

Audit superketat
Di wilayah Laton, dekat Bakersfield, Kalifornia - sekitar 3,5 jam perjalanan darat ke arah Timur dari Los Angeles - saya sempat berbincang-bincang dengan Tony Cunha (baca: Kunya). Ia termasuk peternak "gurem" dengan seratus ekor sapi perah. Sebelum berusaha sendiri, ia ikut pamannya yang memiliki ribuan sapi perah. Untuk meningkatkan taraf hidupnya, Cunha, yang asli Meksiko, bergabung dengan sebuah koperasi sapi perah. Dari sinilah ia bisa memiliki 100 ekor sapi. Untuk memperoleh itu semua ia hanya menyediakan dana sekitar 35%-nya. Dalam menjalankan roda peternakannya, ia memperkerjakan seorang karyawan. Karyawan lain, ya, dia dan istrinya.

Lahan rumput yang luas untuk menggembalakan sapi-sapinya juga diperoleh melalui koperasi. Manajemen dan teknik-teknik yang belum dia kuasai di bidang ternak sapi perah juga ditimbanya dari koperasi. Termasuk cara menggilir petak-petak padang rumput yang ditanami kekacangan untuk dimakan sapi-sapi perah nan gemuk. Tentu, dasar pertimbangannya adalah iptek.

Ketika saya bercerita tentang koperasi di Indonesia, Cunha tertawa-tawa. Apalagi ketika tahu plesetan KUD yang bukan Koperasi Unit Desa, tapi Ketua Untung Duluan. Namun, buru-buru ia menyela, "Mana bisa jika mereka kerja di sini, ... apa dia mau dipecat karena sistem audit kami sangat ketat diawasi dalam hitungan hari," katanya bangga.

Saat itu, koperasinya sedang melakukan negosiasi tahap akhir dengan Mitsui untuk membangun pabrik susu bubuk, sesuatu yang tidak populer di Amerika. "Tampaknya, Mitsui mau ikutan dengan kami dalam bisnis ini," katanya. Wah, hebat juga. Mana ada koperasi di sini yang punya gigi untuk bernegosiasi dengan perusahaan kelas dunia macam Mitsui!

Ketika saya diajak teman berputar-putar di sana, sejauh mata memandang terhampar lahan pertanian dengan segala jenis tanaman. Ada bunga mawar seluas ratusan hektar, ada juga perkebunan bit gula. Semua jenis usaha tanaman itu dimiliki para petani yang tergabung dalam koperasi dan dibudidayakan dengan teknologi tinggi. Bahkan dilengkapi pula dengan laboratorium penelitian dan pengembangan.

Koperasi juga memiliki dan mengelola mesin pencabut umbi bit yang disebut combine harvester. Ukurannya sebesar tiga atau empat kali rumah tipe 36. Si combine, begitu orang Amrik menyebutnya, hanya perlu seorang operator. Daya tahannya tinggi. Untuk diajak bekerja nonstop oke-oke saja. Truk penadah pulang-pergi sambil berjalan di samping combine.

Sangat sosialis
Di negara bagian Illinois dan New York, saya juga sempat mengunjungi dua kelompok masyarakat yang menyebut diri mereka sebagai intentional community (IC). Mereka menerapkan pola kehidupan sosial ekonomi seperti penganut gereja purba di abad pertama dan kedua. Tidak ada kepemilikian pribadi, kecuali pakaian, obat-obatan, dan jenis-jenis barang yang sangat pribadi lainnya. Bisnis dan kehidupan sosial mereka atur bersama dengan mengumpulkan semua harta milik mereka menjadi milik komunal. Sosialis? Ini Amerika, Bung!

IC tersebar di beberapa daerah dengan kegiatan masing-masing. Masyarakat Bruderhoff yang lahir di Jerman pada tahun 1930-an misalnya, tersebar di New York, Pennsylvania, Australia, Paraguay, dan Inggris. Mereka dikenal sebagai pembuat dan pengekspor mainan pendidikan, alat-alat bantu penderita cacat seperti kursi roda, dan juga alat-alat rumah sakit.

Kelompok lain berpusat di Chicago. Mereka punya bisnis konstruksi dan jasa hiburan. Di Tiskilwa, Illinois, ada kelompok lain yang menggarap lahan pertanian rasberi, melon, dan produk lain. Sedangkan di Minneapolis ada IC yang memiliki bisnis inti di bidang penerbitan. Ketika itu, kelompok tersebut dipimpin oleh seseorang yang sebelumnya pernah lama bekerja di Jawa Tengah.

Ada juga kelompok yang pola hidupnya sangat konservatif seperti masyarakat Huterite. Kelompok semacam itu ada ratusan jumlahnya di seluruh AS, Kanada, dan beberapa negara Barat. Kehidupan ekonomi mereka makmur merata. Kehidupan sosialnya sangat jauh dari sikap individualistis dan mau menangnya sendiri. Saya yakin, tingkat sosialis mereka melebihi sosialisme di Cina. Mereka pencinta damai dan anti-perang secara radikal, pencinta lingkungan, pembela HAM yang gigih tapi tidak banyak omong, antirasis, dan jarang bertindak kriminal.

Produktivitas mereka juga tinggi. Salah satunya karena semua orang dewasa menjadi pekerja penuh waktu. Tidak ada pengangguran di antara mereka. Di beberapa kelompok, bahkan tidak ada istilah pensiun. Tidak adanya pengangguran mematahkan "iman" kapitalisme yang percaya pada trickling down effect di bidang penyediaan lapangan kerja. Mereka memang setengah mencibir pada filsafat ekonomi sebagian besar saudara-saudara sebangsanya.

"Kuncinya terletak di sini," kata John Trapnell dari Bruderhoff sambil menunjuk dadanya. Yang dimaksudkan adalah hati yang tulus dan bersih. Seluruh kelompok IC memang mengatur kehidupan perekonomian mereka dengan koperasi.

Relawan siap membantu
Apa yang bisa dipetik dari suburnya koperasi dan tatanan kehidupan IC tadi? Setidaknya, kita bisa mengaca pada cermin Amerika dari sisi lain. Di masyarakat yang sudah kadung dikenal sebagai masyarakat individualis dan liberal, tampak kehidupan gotong-royong menyelinap di antaranya.

Saya sempat "bekerja" sehari dengan mereka; memperbaiki rumah-rumah penduduk di daerah kumuh Philadelphia. Kota yang lumayan besar ini merupakan kota di Negara Bagian Pennsylvania yang memiliki banyak masalah. Kerja gotong-royong di sini bukanlah seremonial belaka, tetapi betul-betul memperbaiki rumah rusak milik mereka yang tidak mampu. Kegiatan rutin semacam ini dikoordinasikan oleh masyarakat Quaker.

Sebuah museum sejarah kota di Palmer Lake, Colorado, dikelola oleh masyarakat secara bersama. Mereka berembug bagaimana memelihara dan mengembangkan museum itu. Masih di kota yang sama, saya ikut merasakan nyamannya sebuah art centre bernama Tri Lakes Center yang dikelola bersama oleh masyarakat setempat. Sederhana memang, namun dari sini penduduk setempat bisa memasyarakatkan seni dan mendorong timbulnya apresiasi terhadap karya seni. Difasilitasi oleh Jina Pierce, saya sempat ikut dua lokakarya seni cat air dan seni gerabah.

Saya juga mengikuti Pertemuan Dewan Kota dan masyarakat yang berlangsung sangat demokratis, kekeluargaan, sangat informal, dan menunjukkan semangat tolong-menolong. Padahal topik-topiknya termasuk sulit, seperti menyangkut rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh beberapa keluarga.

Di Chambersburg, Pennsylvania, beberapa dinas kota dibentuk dengan cara rembugan. Anggota Dinas Pemadam Kebakaran, misalnya, adalah para relawan tanpa bayaran. Urusan sampah jalanan dan pemeliharaan jalanan kota juga diatur bersama-sama. "Saya di sini jadi cleaning lady," kata Sharon Swartzentruber, wanita yang pernah bekerja sebagai wakil direktur sebuah LSM di Papua dan Jakarta selama delapan tahun, dengan bangga.

Relawan tanpa bayaran juga bertugas sebagai "Pak Ogah" yang mengatur lalu lintas pada jam-jam sibuk pagi, siang, sore. Namun, jangan membayangkan mirip Pak Ogah di sini yang OD, orientasinya duit. Seperti yang terlihat di kota kecil Akron, yang menjadi "Pak Ogah" di sini bukan remaja tanggung bermuka galak, melainkan bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah pensiun. Selain mengatur lalu lintas, mereka juga menolong anak-anak atau siapa saja untuk menyeberang jalan. Maklumlah, kota kecil itu hanya memiliki satu lampu bang-jo (traffic light).

Pola rekrutmen relawan diterapkan di beberapa daerah. Mereka yang diterima sebagai relawan akan membantu proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah, terutama bagi para pelajar yang mengalami kesulitan dalam belajar. Jangan dikira relawan ini adalah pendidik profesional atau mereka yang pandai mengajar. "Yang paling diperlukan adalah sekadar menemani dan mendorong anak dalam kesulitan mereka belajar, bukan materinya," kata Nancy Graber yang sudah berusia 51 tahun. Graber adalah guru seni di sebuah SD di Colorado.

Jadi, dengan melihat praktik hidup yang penuh gotong-royong di berbagai tempat tadi, kita sepatutnya malu bila masih berani bilang bahwa kegotongroyongan adalah monopoli masyarakat kita. Tanpa harus menimbang mana yang lebih bergotong-royong, alangkah baiknya jika kita belajar dari kepiawaian masyarakat Amerika memobilisasi kekuatan masyarakat. Di dalamnya terkandung penghargaan tinggi pada jenis profesi apa pun yang menjadi pilihan anggota masyarakat untuk membaktikan diri mereka bagi kehidupan bersama.

Sumber : Majalah Intisari, No. 487 TH. XLI, Februari 2004

Minggu, September 30, 2007

Fakta Seputar Kehidupan Penulis

Oleh : Mridu Khullar

JADI, anda bermimpi menjadi penulis terkenal? Anda ingin menyelesaikan sebuah artikel di selembar kertas secepat mungkin dan melihatnya dimuat di suatu media cetak. Anda memiliki ide yang luar biasa untuk sebuah buku dan anda akan memulainya sekarang. Tapi tahukah anda bagaimana sebenarnya kehidupan riil seorang penulis? Bacalah untuk menemukan jawabannya?

1. Penolakan adalah bagian dari hidup. Tulisan anda bakal ditolak. Tak peduli seberapa bagus tulisan anda, seberapa ciamiknya teknik menulis anda, atau sedetil apapun tulisan anda. Suatu hari, anda bangun dari tidur dan menemukan penolakan dari penerbit atau editor melalui surat atau e-mail. Janganlah patah arang. Hal ini terjadi pada setiap penulis.

2. Penulisan ulang (rewriting) pasti terjadi.
Tanpa peduli sebagus apapun kosakata yang anda pakai, sebagus apapun materi tulisan anda, pasti akan datang suatu ketika, manakala seorang editor meminta anda menulis ulang naskah anda. Sebenarnya, itu berarti sang editor menyukai karya anda, namun butuh anda memoles kembali sejumlah detail yang ia butuhkan.

3. Deadline pasti anda jumpai.
Taat deadline merupakan bagian penting dalam karir menulis anda. Luput satu deadline, dapat dipastikan bahwa anda kehilangan kesempatan untuk menulis di penerbit tersebut. Waspadalah, jangan mengambil terlalu banyak pesanan tulisan yang tidak mampu anda rampungkan. Ini akan menurunkan reputasi anda dan membuat anda tampak tidak profesional.

4. Kebuntuan Penulis (Writer's Block) bukan mitos. Writer's block adalah realitas. Suatu hari anda terbangun dari tidur dan mendapati bahwa diri anda sedang tak mampu lagi menulis. Santai. Itu cuma sebuah fase. Tingkatkan motivasi anda, dan anda akan kembali pulih tanpa memakan waktu lama.

5. Lakukan selingan, lakukan selingan, lakukan selingan. Jika anda bekerja di rumah, anda memiliki kemudahan untuk melakukan kegiatan selingan. Anak anda butuh makanan, pakaian kotor perlu dicuci, anda butuh secangkir kopi. Dan ketika semua telah dirampungkan, telepon berbunyi. Itu mungkin telepon dari suami atau istri anda, yang mengingatkan anda agar tak lupa hal-hal yang perlu dikerjakan.

6. Tak dapat dilakukan tanpa "thesaurus" atau kamus. Tak peduli sebetapa bagus daftar kosakata yang anda kuasai atau betapa kocaknya gaya penulisan anda. Faktanya dalam kehidupan menulis anda membutuhkan "thesaurus". Bakal ada saatnya anda terlalu sering menggunakan kata yang sama, atau sulit menemukan ungkapan yang lebih baik. Saat itulah anda memerlukan thesaurus.

7. Anda tak mungkin dapat menyenangkan semua orang. Setiap orang berbeda. Lusinan orang yang akan mengapresiasi pekerjaan anda. Ada juga orang yang akan merobek karya anda dengan kritik pedas mereka. Belajarlah mengambil hal-hal baik dari hal-hal buruk.

8. Perlu kesabaran yang luar biasa.
Banyak editor yang aneh. Para editor membutuhkan waktu mereka, dan kita butuh kesabaran kita. Jangan meminta jawaban sehari setelah kita mengirimkan pengajuan. Kesempatan
membutuhkan waktu.

9. Uang tidak datang dengan mudah.
Dalam dunia penulisan, uang tak datang semudah di dunia kerja yang lain. Anda mungkin menulis lusinan artikel setiap minggu, dan berharap banyak akan sejumlah uang akan datang darinya. Atau, anda mungkin berharap buku anda akan melampaui target yang anda perkirakan. Anda tidak pernah tahu, ini cuma dalam angan-angan, namun tidak setiap orang bisa menjadi Stephen King. Dan anda berpeluang untuk belajar menjalaninya bersama fakta
bahwa tak akan ada film dibuat berdasarkan novel pertama anda.

10. Jalan Penulis itu panjang dan keras.
Jalannya bergelombang, dan bakal ada saatnya dimana anda merasa ingin menyerah. Tapi tujuan akhir merupakan sebuah kepuasan. Jangan biarkan jalan itu menghalangi anda dari mimpi yang anda bangun. Dan, jangan pernah menyerah.

[Penulis asli artikel ini, Mridu Khullar adalah editor pada http://www.writerscrossing.com, sebuah situs "resources untuk penulis web". Ia juga penulis pada Ebook 'The Writer's Handbook'. Diterjemahkan secara bebas oleh Syam Asinar Radjam untuk blog http://ourblogismoney.blogspot.com untuk kemudian dikutip dari milis jurnalisme]

Kamis, September 20, 2007

Buka Bersama Forum Muda Kagama

PENUH canda dan tawa. Begitulah buka bersama dan Dialog para alumni Universitas Gadjah Mada di Universitas Paramadina Mulia, Kamis (20/9) malam. Maklumlah. Perhelatan itu dihadiri oleh sejumlah aktivis pada jamannya masing-masing, dan dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Tak ayal lagi, forum yang dikemas dengan dengan gaya santai ala Jogja itu menjadi arena olok-olokan dan mengerjai sesama teman bahkan panitia penyelenggara.

Hikmat Hardono yang didapuk jadi Panitia mengatakan bahwa inilah forum untuk mengingatkan kembali semua alumni Universitas Gadjah Mada bahwa mereka pernah merajut pengalaman yang sama di kampus yang sama dulu. "Inilah saatnya saling kenal diantara kita dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih baik lagi yaitu saling bantu sesama teman. Paling tidak, untuk hal-hal yang kita sama-sama sepakat bisa melakukannya," ujarnya.

Alumni Fakultas Ekonomi ini memang cerdas mengatur acara. Dia meminta sejumlah alumni untuk duduk di depan, kemudian mengajak yang lain untuk juga turut serta menghidupkan suasana pertemuan agar tak ada yang merasa pasif begitu saja. Sempat-sempatnya pula dia mengerjai M. Thoriq, kakak kelasnya dengan menanyai para peserta pertemuan : "Ada yang ndak kenal dengan mas Thoriq ? Wah kebangetan kalau begitu !" tukasnya disambut gelak tawa para hadirin.

Thoriq yang diminta berbicara tak mau kalah. Dia lantas mengkritik panitia yang terkesan tidak siap menggelar acara. "Ini panitia jelas under estimate. Nggak menghormati tuan rumah. Apa dikira yang datang ke acara ini cum 20-30 orang. Lha inikan ada ratusan orang yang hadir disini. Mosok buka bersama cuma minum air putih tokh. Padahal kita ini sebagai alumni UGM mestinya uang bukan masalah," sindirnya yang disambut tepukan hadirin.

Aku yang duduk disamping Dr Hasanudin Abdurrahman, alumni Fisika UGM yang kini bekerja di sebuah perusahaan PMA Jepang tersenyum-senyum menyaksikan semua itu. Alumni UGM yang hadir saat itu memang orang-orang hebat. Ada Ganjar Pranowo, anggota DPR dari PDIP yang kini memimpin Panitia Khusus Paket RUU Politik. Juga ada Ridho Zarkasyi, pengusaha HPH yang juga pengasuh PP Modern Gontor.

Juga nama-nama lain yang kukenal seperti Afnan Malay (alumni Fakultas Hukum yang juga konon sedang menapak karir sebagai politisi PDIP), Budi Santoso (dosen FE Universitas Trisakti), Sri Nuryanti (calon Anggota KPU yang lolos seleksi 21 orang), Andi Arief (Komisaris PT Pos), Janoe Arijanto (Direktur Kreatif PT Inter Admark), Heru Dewanto (pengusaha yang juga berkarir politik di Partai Golkar) dan sejumlah nama lainnya.

Sayang aku tidak sempat lama mengikuti acara tersebut. Tugas kantor memanggil. Aku yang datang bersama Redpel Jurnas, Wahyudi M Pratopo terpaksa pamit kepada panitia karena harus segera kembali ke kantor pada pukul 19.15. Buka puasa pertama dengan hanya meminum air putih dan makan krupuk. Tapi tak apalah. Aku maklum dengan situasi darurat berhubung panitia rupanya juga kaget dengan kehadiran peserta sebanyak itu.

Aku sampai di kantor sekitar pukul 20.00 dan kemudian mengerjakan tugas-tugas rutin mengedit laporan para reporter. Malam ini kebetulan kantor juga ada acara Olahraga malam, sekitar pukul 22.00 WIB yaitu pertandingan futsal melawan Tim Republik Mimpi pimpinan Effendy Ghazali. Yahhh, semoga mereka menang. Sempat kepikiran untuk balik ke Paramadina, tetapi apa acara masih berlangsung ya?

Rawamangun, pukul 22.15 WIB

Selasa, September 18, 2007

SMS Ramadhan

SAAT menyambut Ramadhan, banyak teman-teman yang tiba-tiba menjadi penyair dadakan. Tak segan-segan menghabiskan pulsa SMS untuk mengirimkan sapaan ataupun do'a menyambut datangnya Ramadhan pada teman-temannya. Ini ada beberapa SMS yang paling menarik kutuliskan disini, soalnya sayang kalau dibuang atau didelete begitu saja. Soalnya isinya unik-unik dan lumayan menarik sih.

(1) Dari Ibu Nurul, yang tinggal di Tarakan-Kalimantan Timur. Ini kenalan lama yang aktif juga berbisnis pulsa elektrik pra bayar. Ibu Nurul bekerja sebagai PNS di salah satu instansi militer yang ada di kota tersebut :

"Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga Allah memberikan limpahan rahmat & berkah di bulan Ramadhan ini, dan mempertemukan kita di Ramadhan yang akan datang, amiin. Mohon maaf lahir & bathin. Teriring salam hormat kami untuk bapak/ibu sekeluarga."

(2) Dari Ibu Yuni Deli, yang tinggal di Tarakan-Kalimantan Timur. Ini bekas mahasiswaku di Fakultas Ekonomi Universitas Borneo-Tarakan. Dia bekerja sebagai PNS di Pemda Kota Tarakan tepatnya di Kelurahan Karang Anyar :

"Marhaban Ya Ramadhan. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. Mohon maaf Lahir & Bathin. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan HidayahNya kepada kita semua."

(3) Dari M. Maimun Wahid, yang tinggal di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Ini kawan kuliah di S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia :

"Sucikan hati kita dengan Al-Qur'an. Sucikan jiwa kita dengan ilmu. Sucikan jasad kita dengan puasa. Sucikan ruh kita dengan tarawih .... "Marhaban Ya Ramadhan" ... Selamat Ramadhan Mas Iwan.

(4) Dari Aam Sapulete, SH, aktivis FKMY era 1980-an yang pada jaman kampanye Presiden tahun 2004 membela kubu SBY ini ternyata masih menyimpan nomor HP-ku juga :

"Assalamu 'alaikum. Jelang Ramadhan, mohon dibukakan pintu maaf seluas-luasnya atas segala kesalahan dan khilaf kami. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Semoga kita selalu diberi oleh Allah SWT panjang umur, kesehatan, kesuksesan dan rezeki yang melimpah."

(5) Dari Nurhanafiansyah, alumni Fakultas Geografi UGM, kawanku seangkatan yang kini memilih menjadi pengusaha dan bergerak di sektor media di Jawa Tengah :

"Bapak2/ibu2 serta saudara2ku semuanya : Mata kadang salah melihat, mulut kadang salah berucap, hati kadang salah menduga, sebelum cahaya padam, sebelum hidup berakhir, sebelum Ramadhan datang. Mohon maaf segala yang salah dan khilaf. Hadiah yang paling terindah adalah dimaafkan dan didoakan. Amiin Salamin Ahlukum Kullu afwan."

(6) Dari Hani, isteri Silih Agung Wasesa. Hani yang alumni Teknologi Pertanian UGM ini bekerja di Bank BNI. Sang suami, Silih Agung Wasesa adalah alumni Psikologi UGM :

"Selamat berpuasa, kami sekeluarga mohon maaf lahir dan batin. Semoga Ramadhan ini kita dilimpahi ampunan, keberkahan dan kemuliaan dari Allah SWT. Amiin."

(7) Dari Agus Wahyudi, Redaktur foto Jawa Pos, mantan teman sekamar sewaktu kos di kawasan Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada kurun waktu 1995-1996 :

"Taqabalallahu minna wa minkum. Selamat menunaikan Ibadah Puasa 1428 H dan tahun 2007. Minal Aidin Wal Faidzin, mohon maaf Lahir dan Batin : agus wahyudi & vitasari, nuraini dan anisa."

(8) Dari Niken Purwantini, alumni SMA Negeri 2 Purwokerto yang sekelas saat kelas 1 SMA dulu, aku ikut asuransi pensiun hasil promosi Niken :

"Marhaban yaa Ramadhan, mohon maaf lahir dan bathin. Selamat menjalankan ibadah puasa .."

(9) Dari Heru Sutadi, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), teman sesama alumni S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia :

"Assalamu 'alaikum. Yaa Allah, Muliakanlah Saudaraku ini, Bahagiakan Keluarganya, Berkahi Rezekinya & Kesehatannya, Kuatkan Imannya, Tinggikan Derajatnya, Eratkan Tali Persaudaraan Kami & Kabulkan Do'anya ... Amin Yaa ... Robbal 'Alamin ... Dalam menyambut Bulan Suci Ramadhon, mohon dibukakan pintu maaf buat kami."

(10) Dari Moh Isya, pengusaha yang juga Sekretaris LDII Kabupaten Bulungan ini adalah teman baik sejak SMP, kami sama2 perantau. Bedanya dia kembali ke kampung halaman sementara aku memilih terus merantau :

"Marhaban Yaa Ramadhan. Tiada kehendak selain izin Allah, tiada idola selain Rasulullah, tiada kalimat seindah Al-Qur'an, tiada perbuatan semulia memaafkan, mohon dimaaf atas lisan yang tak terjaga, janji yang terabaikan, hati & perasaan yang berprasangka, perbuatan yang menyakitkan. Selamat berpuasa, semoga selalu mendapat ridho dari Ilahi."

Begitulah. 10 SMS yang aku pilihkan dari sekitar 100-an SMS yang aku terima menjelang Ramadhan tahun ini. Teman-temanku berasal dari kalangan beragam. Dan itulah kekayaanku, punya banyak teman dimana-mana. Semoga Ramadhan tahun ini kita semua dimudahkan oleh Allah SWT untuk melaluinya dan sukses menggapai Hari Kemenangan Idul Fitri nanti. Amiin.

Minggu, September 16, 2007

Dewan Pers dan Pengaduan Masyarakat

DEWAN Pers yang independen dibentuk berdasarkan ketentuan Undang-Undang RI No. 40 tahun 1999 tentang Dewan Pers. Dalam upaya mengembangkan dan menjamin kemerdekaan pers. Dewan Pers mengembangkan amanat atas dipatuhinya kode etik pers dan penggunaan standar jurnalistik profesional. Dengan demikian, unsur kebebasan pers dan etika profesional menjadi landasan utama dari Dewan Pers.

Oleh karena itu, menurut UU yang sama dan sesuai dengan Statuta Dewan Pers sendiri maka Dewan Pers berfungsi untuk pertama, menjaga kemerdekaan pers sebagai wujud hak publik untuk mengetahui dan memperoleh informasi serta berkomunikasi. Kedua,
kemungkinan penyalahgunaan profesi dan kemerdekaan pers. Ketiga, menjadi mediator untuk membantu menyelesaikan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pemberitaan pers yang merugikan publik.

Dewan pers independen, yang lahir dalam semangat reformasi, bersifat mandiri dan tidak ada lagi unsur pemerintah dalam kepengurusannya. Hanya ada tiga unsur dalam keanggotaan Dewan Pers, yaitu unsur organisasi pers, unsur perusahaan pers dan unsur tokoh masyarakat. Ichlasul Amal mewakili unsur tokoh masyarakat sedangkan RH Siregar dari Harian Suara Pembaruan mewakili organisasi pers.


Dengan dukungan masyarakat pers Indonesia, otoritas Dewan Pers semata-mata terletak pada kemauan perusahaan dan redaksi media pers untuk menghargai pandangan Dewan Pers serta secara sukarela mematuhi kode etik jurnalistik dan mengakui kesalahan, segaja atau tidak, secara terbuka. Persoalannya adalah bagaimana jika terjadi kasus pelanggaran jurnalisme ?


Hingga kini, pendapat masyarakat mengenai hal tersebut terpecah dua. Kelompok pertama, terutama dari kalangan jurnalis/pers, meninginkan agar persoalan tersebut diselesaikan secara etika, yaitu menerapkan kode etik profesi jurnalisme. Mereka yang lain, terutama penegak hukum dan masyarakat yang merasa menjadi korban (victim) minta diselesaikan secara hukum, berproses ke pengadilan.


Manakala jalan yang terakhir tersebut – yakni melalui jalur pengadilan -- diambil maka kalangan pers akan mengatakannya sebagai kriminalisasi pers. Kesalahan pers dianggap sama dengan tindak kejahatan biasa, misalnya mencuri, membunuh, merampok, dan menipu. Padahal, demikian alasan mereka, karya jurnalisme adalah karya intelektual, yang tidak mungkin disamakan dengan karya keterampilan mencopet, misalnya.


Pada masa pemerintahan Soeharto, berlaku UU Pers No 21/1982, yang menempatkan dominasi kedudukan dan peran pemerintah dalam pembinaan pers nasional. Pers media cetak dikendalikan dengan pemberian izin yang ketat dan pers media elektronika kebanyakan dikuasai oleh keluarga orang-orang sangat penting.

Pada periode itu, untuk wartawan, hanya diakui satu organisasi yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tidak ada wartawan yang bukan anggota PWI. Bila media melakukan kesalahan jurnalisme maka wartawan tersebut pertama-tama dikeluarkan dari keanggotaan PWI, yang otomatis tidak bisa lagi bisa mencari nafkah melalui kegiatan jurnalisme.


Tidak jarang, jika ada wartawan dianggap melanggar seperti itu, dilakukan tindakan politis oleh pemerintah, yakni penghentian penerbitan. Contoh yang paling terkenal adalah penghentian penerbitan Majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik, yang memuat pemberitaan mengenai pembelian kapal selam bekas oleh pemerintah yang dianggap sarat dengan praktek-praktek Nepotisme, Kolusi dan Korupsi (NKK) pada tahun 1994.


Juga penghentian penerbitan Tabloid Monitor yang memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Nabi Muhammad SAW terpilih menjadi tokoh nomor 11 sementara Arswendo Atmowiloto, pimpinan Tabloid Monitor terpilih menjadi tokoh nomor 10. Sebagian masyarakat Muslim marah, terjadi keresahan di tengah masyarakat.


Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai dihukum penjara. Mestinya kasus ini cukup diproses secara hukum kalau dianggap terjadi tindak pidana berat tanpa harus mematikan terbitnya Tabloid Monitor. UU Pers yang sekarang lebih maju dan reformis. UU ini dilahirkan pada periode Presiden BJ Habibie.

Untuk mendirikan media cetak, tidak perlu lagi izin. PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Sebanyak 26 organisasi wartawan membuat kode etik bersama yang diberi nama Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). PWI sendiri tetap mempunyai Kode Etik Jurnalistik PWI, yang hanya berlaku untuk anggota-anggotanya saja.


Pasal 7 Ayat 2 UU Pers No 40/1999 menyebutkan bahwa wartawan Indonesia mempunyai dan menaati kode etiknya. Pada bagian yang lain (Pasal 15 Ayat 2c), Dewan Pers diberi kewenangan untuk memutuskan KEWI sebagai kode etik wartawan yang dipakai bersama dan mengawasi pelaksanaannya. Karena dinyatakan dalam UU Pers maka KEWI mempunyai implikasi hukum. Beberapa hal yang ada di dalam KEWI, yang sebetulnya berlingkup etika profesi atau norma, juga ''ditingkatkan'' ke tataran hukum.


Pelanggaran yang dilakukan oleh wartawan dalam bentuk karya jurnalismenya, diharapkan cukup diselesaikan dengan mekanisme jurnalisme juga. Media yang memuatnya wajib membuat perbaikan atau ralat tulisan yang pertama, dalam format yang kurang lebih sama. Ini dikenal sebagai Hak Jawab yang dimiliki masyarakat dan media wajib melayaninya. Manakala media tidak melayani Hak Jawab diancam hukuman denda paling tinggi Rp 500 juta (Pasal 18 Ayat 2).


Seringkali media kurang memperhatikan kemungkinan dia melanggar tatanan. Jika pihak yang merasa dirugikan bereaksi dalam bentuk somasi sekalian mengancam tuntutan ganti rugi, baru terkejut. Tuntutannya cukup besar sampai miliaran rupiah, yang membuat pusing media. Media lalu mencoba mencari akses ke pihak penuntut termasuk pengacaranya. Biasanya terjadi tawar menawar. Media menawarkan lipuan khusus sebagai imbalan tulisan yang dianggap merugikan tersebut atau pemuatan tulisan perbaikan tanpa revisi.


Mahkamah Agung pernah berpendapat, tidak digunakannya hak jawab oleh seseorang yang dirugikan berarti yang bersangkutan mengakui bahwa tulisan tersebut benar. Pendapat MA ini terjadi pada tahun 1993 atas perkara Harian Garuda, Medan, dan pembacanya, yang dikalahkan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. MA menyatakan, berita-berita yang telah dimuat Garuda tidak tergolong sebagai perbuatan melawan hukum. Tapi sayang, keputusan MA tidak dipakai sebagai jurisprudensi.


Pihak lain di dalam masyarakat ingin memproses ke pengadilan, baik setelah mendapatkan layanan hak jawab maupun tidak. Warga yang merasa dirugikan nama baiknya (pencemaran nama baik) oleh media cetak langsung protes atau menggugat melalui Dewan Pers. Dewan Pers kemudian mencarikan penyelesaian dengan muara penggunaan hak jawab. Jika yang bersangkutan belum puas, dia masih bisa melapor ke polisi untuk proses ke pengadilan, melalui proses hukum pidana. Bisa juga dia langsung melapor ke polisi tanpa menggunakan hak jawab.


Di lingkungan Kode Etik Jurnalistik PWI ada kebiasaan baik. Mereka yang mengajukan perkara ke Dewan Kehormatan PWI Pusat harus menyatakan jika menggunakan proses hak jawab tidak perlu lagi mengajukan proses pengadilan. Di sini ada pilihan yang tegas. Sikap mendua sebaiknya diakhiri. Kalangan pers ingin tidak ada lagi kriminalisasi pers. Paling tinggi kalau ada perkara hasil karya wartawan hukumannya bukan penjara kurungan melainkan denda (perdata), yang tidak dibayar oleh pribadi wartawan yang bersangkutan melainkan dibayar oleh perusahaannya.


Pada zaman UU Pers No 11/1966 dan UU No. 21/1982, pertanggungjawaban yuridis berjenjang seperti air terjun. Jika terjadi pelanggaran pidana pemberitaan maka yang bertanggung jawab adalah pimpinan, yang bisa menurunkan tanggung jawabnya kepada redaktur atau pun reporter.

Mungkin karena sejarah, biasanya yang tetap tampil sebagai penanggung jawab di pengadilan adalah pimpinan redaksi. Namun, menurut UU Pers No 40/1999, jika terjadi tindak pidana pers maka berlaku undang-undang yang telah ada, yakni tidak bisa tidak mestilah KUHP. Itu disebut dalam Penjelasan Pasal 12 UU No. 40/1999. Pertanggungjawaban menurut KUHP adalah siapa yang berbuat harus bertanggung jawab.


Proses yang dijalani oleh obyek berita adalah pengaduan ke Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Media yang memuat/menyiarkan berita tersebut dipanggil oleh Dewan Pers, diminta klarifikasi. Jika menurut penilaian Dewan Pers, berdasar KEWI, tidak terjadi pelanggaran maka media itu bebas. Bila ternyata media bersalah maka media ini wajib melayani hak jawab yang dimuat pada tempat, kolom dan proporsi pemberitaan yang setara.


Masih ada pendapat yang perlu diperhatikan pula, yakni yang mengatakan semua orang berposisi sama dalam tatanan hukum. Artinya, tidak ada keistimewaan yang melekat pada subyek hukum yang berprofesi tertentu. Wartawan diposisikan sama dengan siapa saja terhadap hukum. Karena perbuatan pidana, wartawan akan ditindak dengan KUHP. Persoalannya adalah apakah jika ada pelanggaran atas karya jurnalisme, itu tindak pidana dengan ancaman kurungan ataukah tindak kesalahan profesi.


Seberapa jauh Dewan Pers mampu memikul beban yang berat itu? Tak semuanya merasa optimis. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga salah satu pihak yang pernah kecewa terhadap Dewan Pers. Apa pasal? Ternyata ini buntut sengketa YLKI dan harian Media Indonesia. Suratkabar ini pada 8 Juli 2001 yang lalu memuat berita berjudul "Wakil Ketua YLKI Terima Rp 6 Milyar Dana Untuk Sosialisasi Kenaikan Tarif Dasar Listrik."


YLKI merasa berita itu berbau fitnah. Mereka mengadukan Media Indonesia ke Dewan Pers. Setelah melakukan kajian dan negosiasi, Dewan Pers mengeluarkan pernyataan resmi pada 18 September 2001 yang menyatakan berita itu memenuhi standar jurnalistik serta tak mengandung pelanggaran kode etik. Tapi Dewan Pers mengatakan judul berita memang kurang sinkron dengan isinya.


YLKI tentu saja merasa kecewa. Mereka menilai Dewan Pers kurang konsisten dan tidak transparan. Di satu sisi Dewan Pers mengakui berita Media Indonesia tidak konsisten dan merugikan image YLKI, namun di sisi lain Dewan Pers menyatakan tidak ada pelanggaran prinsipal. “Kalau memang dianggap tidak melanggar kode etik, mestinya secara tegas saja diputuskan begitu. Lagi pula, proses lahirnya PPR (pernyataan) itu tidak transparan sehingga publik tidak tahu apa yang terjadi," ujar Sudaryatmo dari YLKI.


Jadi apa yang sebaiknya dilakukan untuk menyelesaikan persoalan dengan sebaik-baiknya dan memuaskan semua pihak (win-win solution). Sejumlah tokoh masyarakat dan organisasi pers mengusulkan perlunya UU No. 40 Tahun 1999 direvisi. Aliansi Jurnalis Independen, misalnya, mengakui bahwa UU tersebut banyak bolongnya. Hanya saja upaya tersebut terhadang oleh vested interest dari pengusaha pers yang menentang habis-habisan upaya melakukan amandemen terhadap UU tersebut. (**)

Selasa, September 11, 2007

Pornografi dan Sensor Negara

BERKALI-kali kita mendengar dilakukannya operasi VCD porno. Berkali-kali pula kita menyaksikan para pedagang yang sama berjualan kembali barang haram tersebut, di berbagai pojok kota di Indonesia. Seperti juga pelacuran, aksi pornografi memang sulit diberantas dari negeri ini, meskipun berbagai upaya dan tindakan hukum telah dilakukan. Himbauan ulama tidak digubris, ancaman penegak hukum disepelekan dan kecaman berbagai kelompok masyarakat diacuhkan. Kesemuanya tidak mampu mengatasi persoalan tersebut.

Meski begitu, kita di Indonesia cukup beruntung karena urusan syahwat itu tetap tersembunyi dibandingkan, misalnya, dua negara jiran kita : Malaysia dan Thailand. Negara kita ini masih lebih pandai ”menutup-nutupi” borok-borok yang ada. Dibandingkan dengan Indonesia, kedua negara tersebut relatif lebih terbuka dalam soal pornografi.

Begitu juga dengan pelacuran, alkohol dan perjudian. Begitulah yang terjadi. Sebagai bangsa, kita relatif masih bisa mengendalikan diri. Jakarta memang tetap undercover dalam soal-soal tersebut. Tidak heran bila buku-buku berjudul undercover dan underground yang membahas soal-soal urusan seks laku keras di negeri kita.

Di Bangkok, misalnya, masalah alkohol dan pornografi telah meracuni kaum mudanya sedemikian rupa. Dengan mudah kita bisa mendapatkan majalah-majalah playboy versi Thailand dijual di kaki lima seharga 20 – 30 Bath, sedangkan alkohol dijual di sembarang tempat. Remaja-remaja dengan rileks membaca buku-buku porno dan minum alkohol di muka umum. Malahan di etalase-etalase toko, minuman keras berbagai merk ditata sedemikian rupa dengan sentuhan artistik.

Adapun di Kualalumpur, ibukota negeri jiran kita yang terkenal dengan budaya melayunya itu, para pelaku pelacuran melakukan bisnis prostitusi terang-terangan. Mereka menulis Rumah Tumpangan – biar lelaki hidung belang tidak tersesat --- di depan rumahnya, bergandengan dengan nama-nama toko, dan dilindungi negara. Mereka yang membutuhkan jasa rumah tumpangan tersebut tanpa malu-malu dan tanpa menengok kiri kanan langsung saja masuk ke ruangan, mengisi daftar tamu dan memilih pekerja seks komersial yang disukainya.

Bisnis prostitusi di Thailand, bentuknya lebih canggih yaitu mengarah pada hiburan (entertainment). Seperti yang ada di kawasan Patpong, Bangkok yang tampaknya dikonsumsi oleh turis-turis bule baik dari Eropa, Amerika maupun Australia. Hampir semua jenis hiburan malam tersedia di sini mulai dari cewek go go dance, menari dengan pakaian dalam, sampai ke striptease betulan tanpa sehelai benang. Mulai dari penari sampai waitress semuanya anak muda. Bioskop dan iklan luar ruangan juga tak luput dari arus deras pornografi tersebut.

Meskipun lebih terbuka dan terang-terangan dibandingkan Indonesia, Badan sensor Malaysia sama galaknya dengan Lembaga Sensor Film-nya kita. Badan sensor negaranya Mahathir Mohamad itu luar biasa protektifnya terhadap moral generasi muda Malaysia. Pendek kata, generasi muda Malaysia harus dilindungi habis-habisan dari ekspose berlebihan terhadap segala wujud elemen-elemen pornografi.

Berhasilkah upaya tersebut ? Faktanya adalah, Badan sensor tersebut tidak mampu menghentikan tayangan pamer goyang para denok Bollywood di televisi, serta jutaan mata lelaki Melayu yang saban hari terpaku pada guncangan dada Karina Kapoor dan juga pusar indah
Urmilla Matondkar.

Meski begitu, badan sensor Malaysia tetap saja galak dengan menggunting habis adegan-adegan yang dianggap akan merusak mentalitas dan moralitas bangsa. Contohnya adalah serial ”Zhou Yu's Train” yang dibintangi oleh aktris Gong Li. Penggemar Gong Li kerapkali hanya bisa melongo. Mereka dianggap belum cukup dewasa sehingga dari adegan berpandangan mata saja, bisa tiba-tiba meloncat ke shoot atas selimut yang sudah acak-acakan.

Jangankan Gong Li, satu-satunya adegan ciuman dalam ”Ada Apa Dengan Cinta' yang digambarkan di film review sebagai ”a mere brush of lips so pure and far from vulgarity” juga di-cut dengan kejamnya. Meskipun itu film remaja, tetapi film yang dibintangi oleh bintang-bintang muda Indonesia tersebut tetap dianggap mengeksploitase nafsu rendah anak muda. Begitulah sikap keras badan sensor Malaysia. (iwan samariansyah)

Minggu, September 09, 2007

Kenangan era Taman Kanak-kanak

AGAK bingung juga kalau berbicara soal sekolahanku. Maklum selalu berpindah-pindah dari satu kota yang satu ke kota yang lain. Tapi aku akan mulai menulis tentang kenangan di masa Taman Kanak-kakan (TK), tentu seingat yang aku bisa. Pertama kali di TK aku menyadari diriku sebagai anak kecil berusia empat tahun di Kota Tarakan, sebuah kota kecil di utara Kaltim. Tahunnya, kalau tidak salah ingat adalah tahun 1973.

Nama TK-nya, TK Kartini dengan seragam hijau putih dan mainan khas TK di halamannya yang luas. Ada ayunan, kemudian jungkitan juga prosotan. Tetapi aku lebih senang bermain dengan temanku bernama Anis, untuk balapan mengumpulkan belalang yang banyak berkeliaran di halaman sekolah. Duh senangnya. TK ini letaknya bersebelahan dengan Kantor Perusda, tempat ibuku bekerja sebagai sekretaris. Jadi usai pulang sekolah aku ke kantor ibuku.

Hanya setahun aku bersekolah di TK ini, karena setahun kemudian pada tahun 1974, ayahku ditarik untuk bekerja di Kantor Bupati Bulungan. Kamipun harus meninggalkan kota Tarakan, menuju ke daerah pedalaman yaitu Kota Tanjung Selor. Tanjung Selor adalah Ibukota dari Kabupaten Bulungan, sedangkan Tarakan adalah salah satu kecamatan dari Kabupaten Bulungan meskipun sesungguhnya jauh lebih ramai Tarakan daripada Tanjung Selor.

Akupun masuk TK lagi. Kali ini namanya TK Pertiwi, yang diasuh oleh Yayasan milik isteri tentara. Aku masuk langsung kelas B atau kelas 0 besar. Dan begitulah. Sekolah TK ini halamannya tidak seluas TK-ku di Tarakan, dan banyak angsa berkeliaran di sekitar sekolahku. Suatu hari, iseng aku melempar angsa-angsa itu. Wah, rupanya mereka tidak terima. Aku langsung dikejar-kejar sama induk Angsa tersebut. Tentu saja aku terkejut dan lari ketakutan.

Waduh, pengalaman yang sangat menakutkan. Sampai jatuh bangun aku dikejar angsa-angsa yang marah itu, sampai akhirnya aku diselamatkan oleh ibu guru. Akupun menangis di pelukan ibu guruku. Untunglah aku tidak sampai dipatuk oleh angsa-angsa tersebut.

Waktu di TK itulah aku mendapat luka yang membekas sampai sekarang. Tanganku kejepit balok yang ada di halaman sekolahku. Akibatnya jempol tangan kiriku hancur. Sewaktu sudah sembuh, luka tersebut membekas dan kuku jempok tangan kiriku terpecah menjadi dua bagian, tak bisa utuh lagi. Pada bulan Desember 1974 akupun menyelesaikan sekolah taman kanak-kanakku.

Baik TK Kartini di Tarakan maupun TK Pertiwi di Tanjung Selor bangunannya sudah tak berwujud lagi sekarang ini. TK Kartini maupun Kantor Perusda yang terletak di Simpang tiga Tarakan sudah berubah menjadi pusat pertokoan. Sedangkan TK Pertiwi di Tanjung Selor sudah berubah wujud menjadi arena olahraga warga kota. Begitulah nasib sekolahan masa TK-ku dulu itu.

Senin, September 03, 2007

Pemilu 2004 dan Kelahiran Kelompok Oposisi


Oleh : Iwan Samariansyah

SETELAH ditetapkannya hasil pemilu presiden putaran pertama oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan keberhasilan meraih suara terbanyak pada pasangan SBY-Jusuf Kalla (33,57 %) dan Megawati-Hasyim Muzadi (26,27 %), maka proses demokrasi kita berkembang begitu cepat. Amien Rais, calon presiden dari PAN yang menduduki urutan keempat dalam perolehan suara (14,90 %) telah mengakui kekalahan tersebut dan mulai mempertimbangkan langkah menjadi oposisi penuh.

Ini tentu saja merupakan terobosan dalam perkembangan demokrasi di era reformasi sekarang ini. Apabila Amien bisa mewujudkan gagasannya tersebut, dengan sokongan PAN dan PKS, maka hal tersebut seperti gayung bersambut menyambut ajakan SBY, calon Presiden dari Partai Demokrat. Dalam berbagai kesempatan, SBY selalu menyampaikan sikapnya bahwa bila terpilih nanti dalam Pemilu putaran kedua dia akan membentuk pemerintahan koalisi terbatas. Sedangkan kelompok partai yang tidak masuk dalam koalisi dipersilahkannya untuk menjadi oposisi terhadap pemerintah.

Bagaimanapun, bila Indonesia hendak menjadi negara demokrasi yang sebenar-benarnya maka menjadi kelompok oposisi sama terhormatnya dengan menjadi penguasa. Oposisi tidak selalu berarti perlawanan asal beda, apalagi jika pemerintah hasil Pemilu 2004 bersedia membuka pintu lebar-lebar dikritik, serta jika yang kalah Pemilu 2004 berbesar hati menjadi oposisi seperti yang ditunjukkan Prof. Amien Rais.

Tampaknya tekad Amien menjadi oposisi penuh terhadap pemerintah itu patut didukung. Paling tidak, sekali lagi dia hendak memberikan ”pendidikan politik” seperti yang pernah dikatakan oleh koleganya Prof. Nurcholish Madjid dalam suatu kesempatan bahwa menjadi oposisi tidaklah lebih rendah martabat politiknya ketimbang menjadi penguasa.

Oposisi yang dilakukan oleh pers, aktivis LSM dan kaum intelektual meski kritik-kritik yang disampaikan bisa mempengaruhi opini masyarakat, akan tetapi tidak cukup kuat untuk merombak kebijakan pemerintahan. Bila Amien bisa ”menjelmakan” diri menjadi pemimpin oposisi nasional dan hal tersebut disokong penuh oleh partainya di Parlemen yang memiliki 52 kursi dan PKS dengan 46 kursi maka kekuatan ini tentu saja patut diperhitungkan oleh pemerintah yang berkuasa.

Amien bersama Hidayat Nur Wahid, presiden PKS akan menjadi pemimpin oposisi yang efektif untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Amien akan menjadi pemimpin oposisi di luar parlemen (karena dia tidak lagi menjadi anggota DPR untuk periode 2004-2009) sedangkan Hidayat Nur Wahid akan menjadi pemimpin oposisi di dalam parlemen. Hidayat juga salah satu dari dua anggota DPR yang terpilih secara langsung dan memenuhi angka bilangan pembagi pemilih (BPP) sehingga legitimasinya di mata pemilih sangat tinggi.

Kelompok oposisi seperti ini cukup efektif untuk demokratisasi. Tentu saja agar berfungsi penuh maka pengurus dan anggota kedua partai (PAN dan PKS) diharapkan tidak masuk dalam kabinet koalisi yang dibentuk oleh Presiden terpilih hasil pemilu putaran kedua, 20 September 2004. Amien dan Hidayat bisa secara bersama-sama mewujudkan gagasannya mengenai pemerintahan yang jujur dan bersih dari korupsi dengan melakukan pengawasan terhadap penguasa.

Kebutuhan untuk membentuk suatu kelompok oposisi yang kuat memang salah satu pekerjaan rumah yang belum bisa diwujudkan dengan baik dalam era reformasi. Harus kita akui bahwa budaya politik kita belum mampu memproduksi kelompok oposisi yang serius tersebut. Sistem dan mentalitas politik bangsa masih belum mampu melahirkan partai dan kepemimpinan yang betul-betul berkualitas.

Demokrasi di tingkat elite tidak kunjung bersemai subur di satu pihak, di pihak lain mentalitas korup dan pengabsahan cara apa saja menjadi perilaku politik yang betul-betul mentradisi, bahkan mengakar. Dibandingkan dengan sebagian elite yang betul-betul memperjuangkan aspirasi rakyat, jumlah mereka amat sedikit serta tak sebanding dengan banyaknya para petualang politik yang hanya mencari keuntungan kelompoknya.

Karena itulah, kelahiran kelompok oposisi paska Pemilu 2004 ini haruslah kita sambut gembira. Kita benar-benar menunggu adanya partai oposisi yang kuat pasca-Pemilu 2004 ini, untuk mengontrol kinerja partai berkuasa. Oposisi bukan sebagai komoditas politik, sebagaimana kita lihat saat ini, banyak partai yang ragu-ragu menjadi oposisi ketika tergiur ditawari kursi kekuasaan. PAN dan PKS harus mampu memberikan pembelajaran kepada publik bagaimana menjadi oposisi yang bermartabat.

Dengan kekuatan dan sumberdaya yang dimiliki oleh kedua partai politik tersebut, maka sebagai kekuatan oposisi keduanya mampu memobilisasi kekuatan massa. Dan mereka berpotensi melakukannya secara tertib dan damai karena begitu banyaknya pemimpin-pemimpin partai dengan latar belakang intelektual yang memadai dalam tubuh kedua partai politik tersebut. Kedua partai politik tersebut juga memiliki visi yang jelas tentang masa depan Indonesia, lepas dari bayang-bayang pola lama Orde Baru.

Partai politik di Indonesia harus mulai membiasakan diri mengambil posisi yang jelas dan tegas dalam siklus lima tahunan Pemilu. Yang menang menjadi penguasa, dan yang kalah menjadi kelompok oposisi. Yang menang harus memilih sebagian dari kelompok yang dikalahkannya menjadi mitra koalisi dan membiarkan partai-partai politik yang tidak ikut serta bergabung dalam kubu oposisi.

Tentu saja, pihak penguasa tidak boleh alergi dan selalu terbuka terhadap kritik-kritik yang disampaikan kubu oposisi. Bahkan, bilamana perlu mengikuti solusi kubu oposisi bila setelah dikaji dan diuji secara mendalam memang layak diterapkan oleh pemerintah.

Kubu oposisi juga bisa meninggalkan tradisi party marketing sebagaimana yang dilakukan selama masa kampanye dengan rally-rally politik yang megah namun kosong isinya. Langkah seperti itu tidak pernah membuahkan hasil apa-apa, sebab hanya hura-hura yang dihasilkan. Kemampuan kubu oposisi melakukan mobilisasi masyarakat harus diarahkan untuk memberikan alternatif pemecahan terhadap masalah yang dihadapi pemerintah dalam proses pembangunan bangsa.

Sudah saatnya pola lama mobilisasi massa peninggalan Orde Baru ditinggalkan. Para pemimpin oposisi tidak boleh lagi berbicara atas nama rakyat saja melainkan berbicara bersama rakyat. Para pemimpin oposisi harus melibatkan rakyat dalam arti sebenarnya. Kini tugas partai oposisi yang utama adalah mengembalikan fungsi partai agar dapat dimanfaatkan rakyat dalam posisi yang wajar. Salah satu contoh mobilisasi rakyat adalah mencari masukan dari daerah untuk memecahkan suatu masalah.

Kubu oposisi juga bisa menggunakan kemampuannya memobilisasi massa rakyat untuk menekan pemerintah. Misalnya dengan mengajak pendukung partai untuk melakukan mogok diam nasional. Oposisi bisa dengan tegas menyampaikan kepada pemerintah, jika pemberantasan korupsi tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka kelompok oposisi akan menyerukan mogok nasional.

Artinya rakyat ambil bagian dalam perjuangan yang ril. Langkah ini lebih baik daripada membuat huru-hara. Mogok diam secara damai, juga relatif lebih dekat dengan budaya politik Indonesia yang sebagian besar rakyatnya adalah petani. Sejarah Indonesia juga menuliskan rakyat sudah terbiasa melakukan gerakan damai ini.

Selain itu mogok diam, seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi di India atau Martin Luther King di Amerika, mempunyai kekuatan yang maha dahsyat. Pemerintah tidak bisa melawan dengan senjata, karena demonstran memang tidak melakukan apa-apa. Pemerintah akan dengan terpaksa menuruti kemauan kubu oposisi dan mulai memperbaiki diri. Dengan demikian perbaikan kehidupan bangsa bisa dilakukan tanpa harus melakukan perubahan pemerintahan yang bermakna kudeta. (**)

- Artikel ini dibuat bulan September 2004, namun tidak dipublikasikan

Pindah Pos Keredaksian


MULAI 1 September 2007 aku tidak lagi menangani rubrik Olahraga di halaman 14 dan 15 surat kabar tempatku bekerja, Jurnal Nasional. Sesuai dengan keputusan rapat, ada sejumlah perubahan dilakukan. Halaman Olahraga ditambah sehingga menuntut pula perubahan personil yang menangani halaman yang diproyeksikan menjadi unggulan dalam pemasaran koran ini di hari-hari mendatang.

Aku kemudian dipindahkan menjadi Redaktur rubrik Yudikatif di halaman 8, seksi 1 menggantikan Mbak Retno Kustiati yang akan menjadi Sekjen Redaksi. Mbak Ati - begitu panggilan akrabnya - akan menggantikan Mas Aries Margono yang mulai 1 September resmi menjabat sebagai Manajer HRD di Harian Jurnas (masuk ke bagian perusahaan) di bawah komando Pak Ananta Setiawan.

Sementara di rubrik Olahraga yang kutinggalkan akan masuk Solichin dan Hikmat Soeriatanuwijaya yang berduet menangani empat halaman olahraga yang kini namanya berganti menjadi Jurnal Sport. Keduanya jelas lebih berkompeten dariku, karena selain punya pengalaman jauh lebih panjang di bidang peliputan olahraga - juga mempunyai hobi berolahraga pula sehingga ada harapan tim ini adalah tim terbaik menangani rubrik Jurnal Sport.

Reporternya juga berganti. Cininta pindah ke eksekutif, namun Anton dipertahankan, ditambah dengan Reza Junior dan Suhartono Zidane. Aku ucapkan selamat untuk tim Olahraga yang baru semoga bisa bekerja dengan baik dan membesarkan Jurnas bersama-sama.

Aku sendiri bersyukur karena juga berada di tempat dan posisi yang tepat. Pos Yudikatif yang meliputi soal hukum, kriminalitas dan persoalan Hak Asasi Manusia, adalah pos yang cukup lama kugeluti ketika menjadi reporter yunior di Jawa Pos. Sehingga ketika diberi amanah menangani halaman ini, maka bersyukur sekali. Bagaimanapun aku bisa membagi pengalaman yang pernah kuperoleh ketika meliput di pos tersebut.

Apalagi tim yang kuperoleh dan kuwarisi dari Mbak Atik adalah tim yang sangat solid dan mumpuni. Wartawan yang bertugas di rubrik Yudikatif ini adalah Okky Puspa Madasari, wartawati muda energik yang mengenakan jilbab dan punya daya mengendus berita yang sangat baik. Juga masih ada Grathia Pithaloka, yang walaupun bertubuh mungil namun pantang menyerah dalam mengejar sumber berita. Terakhir adalah Noor Irawan, bekas wartawan Olahraga dan reporter senior yang ditugaskan meliput di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.

Selama bekerja di Jurnal Nasional sejak 1 Maret 2006, aku sudah menangani cukup banyak rubrik mulai dari rubrik Internasional (selama satu tahun), rubrik Megapolitan (3 bulan), rubrik Olahraga (6 bulan) dan rubrik Iptek (3 bulan). Semoga Allah SWT memudahkan diriku dalam bekerja menangani rubrik ini dengan sebaik-baiknya.

Minggu, September 02, 2007

Batam Telah Memberlakukan SIN

Ide pemberlakuan single identification number, atau nomor identifikasi tunggal, sendiri sesungguhnya merupakan gagasan yang menarik. Tujuan SIN adalah untuk mengatasi kesimpangsiuran proses administratif masalah-masalah kependudukan.

Dengan sistem ini maka ke depan nanti, ada angka identitas tunggal bagi masing-masing penduduk di Indonesia. Satu saja (nomor identifikasi) yang sah bisa digunakan untuk semua instansi, misalnya untuk pemilu (pemilihan umum), SIM (Surat Izin Mengemudi), dan pajak.

Proses pemberlakuan nomor identifikasi tunggal itu dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah menggabungkan sistem yang sudah ada di berbagai instansi, yang bisa satu sama lain berkomunikasi. Kemungkinan hal tersebut bisa dilaksanakan antara 1-2 tahun.


Di Amerika Serikat, sebagai contoh, diberlakukan semacam nomor jaminan sosial (social security number) yang dimiliki tiap penduduk. Nomor itu digunakan untuk bermacam tujuan. Pemerintah secara bertahap akan mewujudkan SIN itu untuk melakukan perbaikan kualitas pelayanan publik dan pemberantasan korupsi di tubuh birokrasi secara sistematis.

Salah satu daerah yang telah diujicoba menggunakan SIN adalah Batam. Di daerah tersebut SIN bahkan dilakukan dengan menggunakan teknologi modern yaitu mengidentifikasi seseorang lewat sidik jari dan kornea mata.

Lewat semacam smart card, semua identitas telah dicatat sehingga tidak mungkin lagi ada KTP dobel, paspor ganda, dan identitas palsu. Sistem ini juga bakal menggabungkan fungsi perpajakan, penegakan hukum, dan fungsi kependudukan.

Kementerian PAN memang sangat getol mengkampanyekan sistem ini. Alasannya untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan melaksanakan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Bila telah terwujud nantinya, maka dalam sistem pengenal tunggal dan terpadu maka setiap penduduk mulai dari lahir hingga meninggal dunia akan menggunakan satu nomor yang sama. Dengan demikian paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak dan berbagai kartu pengenal lainnya yang dikeluarkan menggunakan nomor yang sama.

Jadi sistem ini akan berkaitan langsung pada institusi yang harus mencermati akurasi data individu seperti bea cukai, pajak, pertanahan, perdagangan, investasi dan lainnya untuk mencegah KKN.

Seorang wajib pajak, misalnya tidak mungkin bisa menggelapkan kewajiban pajaknya karena dia hanya memiliki satu identitas diri sehingga demikian pendapatan negara akan semakin meningkat.

Memang untuk jangka panjang, penerapan dan pengembangan SIN sebaiknya sekalian saja disatukan dengan pengembangan KTP biometrik. Jadi, KTP selain berisi data nama, tanggal lahir dan alamat, juga berisi informasi biometrik yang disimpan pada kartu berupa kode bar dua dimensi (2D barcode).

Sepintas memang terkesan mahal. Padahal seperti yang ada di Batam, tidak ada solusi yang terlalu mahal atau pun sangat mewah bagi penduduk kalau solusi itu merupakan solusi yang secara praktek dapat diterapkan dan bisa dihitung ongkos pengembangan dan ongkos produksinya.

Penyimpanan informasi biometrik dalam bentuk kode bar dua dimensi bukan hal yang mewah dan mahal. Solusi ini sudah diterapkan di Kamboja untuk ID Nasional dan Zimbabwe untuk Social Security ID dan Secure ID Verification. Jadi untuk Indonesia, tentu memalukan sekali bila harus ketinggalan dari dua negara yang secara de facto ”lebih terbelakang” daripada Indonesia.

Bila Niat Baik Diproyekkan


Sulitnya Mewujudkan Single Identification Number

Oleh : Iwan Samariansyah

PEMBERLAKUAN Nomor Identifikasi Tunggal atau Single Identification Number (SIN) belum juga berjalan, meski sudah dicanangkan sejak 2004. Justru yang muncul adalah kekisruhan. Mulai dari munculnya tudingan korupsi anggota Komisi Pertahanan dan Keamanan DPR-RI Ade Daud Nasution pada Menteri PAN Taufik Effendi sampai dengan rebutan proyek SIN antar instansi pemerintah. Siapa sebetulnya yang berhak atas proyek tersebut ?

Awalnya adalah tudingan Ade Daud Nasution, anggota Komisi I yang menangani bidang Pertahanan dan Keamanan DPR-RI pertengahan bulan lalu. Anggota Fraksi Bintang Reformasi itu melaporkan pada KPK adanya proyek SIN di lingkungan Badan Kepegawaian Nasional yang tidak sesuai dengan ketentuan, yakni harus melalui tender. Proyek SIN itu melalui penunjukan langsung Kepala BKN pada sebuah perusahaan spanyol.

Tudingan tersebut dibantah oleh Taufik maupun Prapto Hadi. Menteri Negara PAN membantah telah melakukan korupsi dalam pengadaan sistem informasi kepegawaian. Taufik mengatakan bahwa pengadaan sistem informasi kepegawaian dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara atau BKN. BKN merupakan salah satu dari empat lembaga pemerintah non departemen atau LPND dibawah naungan Kementrian PAN.

Belakangan terungkap adanya ”pertempuran” antar instansi pemerintah berkaitan dengan rebutan proyek SIN. Ada tiga instansi yang ngotot bahwa proyek tersebut harus dikelola oleh pihaknya yaitu Depdagri, Ditjen Pajak dan Kementerian PAN. Masing-masing dengan argumentasinya sendiri sesuai kepentingan tiap departemen. Bahkan Departemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ikut-ikutan pula terjun dalam ”rebutan” proyek tersebut.

Departemen Keuangan, misalnya, menyambut SIN sebagai upaya mengintensifkan penarikan pajak terhadap subyek pajak yang selama ini menghindar. Depdagri tak kalah antusiasnya demi penataan administrasi kependudukan. Departemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun membuat IGASIS (inter governmental access share information system atau sistem pertukaran informasi/data antarinstansi pemerintah) sebagai pendukung terciptanya SIN. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara pun berkepentingan dengan SIN dalam upaya menegakkan birokrasi yang efektif dan antikorupsi.

Kepala Subdit Teknologi Informasi Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan Depdagri Ani Yulistiani mengatakan, Depdagri mengolah SIN untuk mengatasi kesimpangsiuran administrasi kependudukan. Depdagri mengembangkan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) online hingga ke daerah, sesuai yang diamanatkan Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2004.

Untuk mencegah pencatatan ganda, Depdagri pun mengeluarkan NIK yang tak lain adalah SIN. Mereka memakai data hasil Pendataan Penduduk dan Pendaftaran Pemilih Berkelanjutan (P4B). Data tersebut sudah dikonversikan ke dalam sistem digital yang mendukung pelaksanaan SIN.

Depdagri memang telah melangkah cukup jauh. Menurut Ani Yulistiani, saat ini pembuatan NIK sudah dilakukan. Tiap penduduk—seperti tercantum dalam data P4B—sudah diberi nomor 16 digit. ”Sekarang tinggal pemutakhiran data saja,” kata Ani. Depdagri juga sudah menyiapkan sistem dan peralatan untuk mendukung program SIAK. Pemerintah tinggal menyiapkan peralatan di daerah, mulai dari di tingkat kabupaten/kota sampai ke kantor-kantor kelurahan.

Agar NIK ganda dapat dihindari, database tersentralisasi di Jakarta. Perekaman data dengan menggunakan aplikasi SIAK dilakukan di simpul pelayanan pendaftaran penduduk di daerah. Bersamaan dengan hal itu, Departemen Keuangan pun mulai mengolah data obyek pajak sebesar 84 juta. Direktorat PBB menggabungkan nomor objek pajak (NOP) dengan subyek pajak. Tidak hanya informasi PBB yang ditampilkan, atribut lain seperti informasi keluarga, kendaraan, tagihan listrik, telepon, dan PDAM juga dicantumkan.

Data tersebut dikemas dalam informasi rinci obyek pajak berbentuk smart mapping secara digital. Sekali klik, muncullah data dan foto obyek pajak. Hal tersebut dapat menjadi peluang terbentuknya SIN. Semua Departemen berbicara mengenai subyek yang sama. Data yang diolah juga sama. Hanya saja selama ini masing-masing instansi memberi nomor berbeda. Setidaknya terdapat sekitar 32 nomor yang saat ini terpakai seperti nomor KTP, nomor Kartu Keluarga, nomor SIM, BPKB, Paspor, NPWP dan sebagainya.

Anggota Komisi II DPR, Saifullah Ma’sum, menengarai adanya tarik-menarik antardepartemen soal penggarapan SIN. Kominfo dengan IGASIS-nya, Departemen Keuangan dengan SIN-nya, dan Depdagri dengan SIAK-nya serta BKKBN. Oleh karena itu dia menyarankan agar Presiden segera mengambil alih dan segera menentukan lembaga yang bertanggung jawab terhadap SIN. ”Mereka harus duduk satu meja untuk membahas hal tersebut. Serahkan ke satu lembaga sebagai induk pembuatan SIN. Yang lainnya mendukung saja,” katanya.

Apabila hal itu tidak dilakukan, Saifullah menduga tarik-menarik tersebut akan menjadi berlarut-larut. Akibatnya, SIN pun tidak juga terealisasi. Ditanya departemen yang paling pas menjadi induk SIN, Saifullah mengusulkan agar SIN diserahkan ke Depdagri. Departemen tersebut berhubungan langsung dengan data-data kependudukan. Dan bila benar Depdagri yang ditunjuk maka setiap penduduk di Indonesia mulai tahun ini akan mempunyai identitas yang terdiri dari 16 digit. Angka tersebut dicantumkan baik di kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, maupun dokumen lain yang terkait dengan transaksi keuangan.



Jumat, Agustus 31, 2007

Bacaan Bagus untuk Wartawan Muda


Amplop-isme dan Moralitas Wartawan

Oleh : Stanley

Mengikuti rombongan wartawan yang tengah meliput sebuah acara secara beramai-ramai, biasanya kita akan melihat fenomena menarik yang khas Indonesia. Bila yang diliput adalah demonstrasi atau peristiwa politik yang terlihat adalah suasana pertemanan yang luar biasa kompaknya. Yang datang terlambat akan meminta informasi atau bahan dari yang datang duluan. Yang datang di lokasi lebih dulu umumnya juga dengan senang hati membagi informasi atau pers release yang didapatnya kepada sang kolega (dari media yang berbeda).

Namun, lain halnya bila yang diliput adalah sebuah konferensi pers atau undangan menghadiri product launching dari sebuah perusahaan yang memproduksi barang baru. Selesai mengikuti acara, biasanya para wartawan akan diminta panitia untuk mengisi absensi dengan cara membubuhkan tanda tangan. Acara ini kerap merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu wartawan, sebab setelah mengisi absen pihak panitia akan membagikan cinderamata beserta "amplop" berisi uang "ala kadarnya". Harap maklum, yang namanya ala kadarnya di sini berbeda-beda besarnya. Bisa sekadar pengganti uang transpor yang besarnya sekitar Rp 75.000 bisa juga uang "lelah" untuk imbalan jasa pemuatan yang berkisar antara Rp 250 ribu - Rp 400 ribu.

Menghadiri undangan instansi pemerintah, BUMN atau militer, lain lagi. Biasanya acara bagi-bagi amplop telah dikoordinir wartawan kepercayaan instansi yang bersangkutan. Tidak pernah diketahui, berapa besar uang yang diterima para koordinator itu. Yang jelas, sang koordinator membagi amplop secara seragam pada teman-temannya. Kemungkinan kelebihan amplop disimpan sendiri oleh sang koordinator. Meliput acara hiburan, seni, dunia selebritis dan artis tak jauh berbeda. Masing-masing telah punya koordinator sendiri.

Wartawan di Indonesia menganggap pemberian amplop adalah hal yang wajar. Apalagi wartawan senior yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI, Rosihan Anwar, malah menganjurkan agar para wartawan tak menolak pemberian amplop. Pada jaman PWI di bawah kepemimpinan Sofyan Lubis, sang ketua juga menganjurkan hal serupa. "Sejauh hal itu tak ada paksaan dari si wartawan atau sumber berita," ujar Sofyan Lubis mencoba berkilah bahwa hal itu tidak bertentangan dengan kode etik dan moralitas seorang wartawan.

Sikap pragmatisme para tokoh PWI yang nota bene adalah pimpinan di sejumlah media bukan tanpa alasan. Umumnya mereka melihat gaji wartawan yang telalu rendah sebagai dasar legitimasi kebijakan yang mereka berikan. "Mau apa lagi, perusahaan belum mampu menggaji wartawannya secara layak. Jadi silakan cari tambahan di luar, asalkan halal," begitu ucap sejumlah pimpinan media.

Apakah memang demikian halnya? Ternyata sejumlah penerbitan besar terkemuka lebih memilih melarang wartawannya untuk menerima amplop, karena bisa mengganggu integritas wartawan sekaligus kredibilitas lembaga. Para wartawan yang baru masuk diajari teknik menolak amplop. Mulai dari sikap terima dulu untuk kemudian dikembalikan lewat sekretaris, hingga teknik menghindari absensi. Sejumlah pimpinan media malah menerapkan kebijakan keras berupa tindakan langsung mengeluarkan wartawannya yang ketahuan menerima amplop.

Namun, yang jadi pertanyaan apakah kebijakan keras itu disertai dengan sistem penggajian yang memadai bagi para wartawannya? Jawabannya : tidak. Contoh yang terkemuka adalah para wartawan di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menerapkan ketentuan melarang amplop pada karyawannya ternyata tak digaji cukup layak. Gaji pokok seorang wartawan baru di Gramedia Majalah sekarang "cuma" sekitar Rp 400 ribu - Rp 650 ribu (tulisan ini dibuat pada 1 April 2000, red). Wartawan tabloid semacam Citra di lingkungan Gramedia Majalah bergaji paling rendah. Yang tertinggi adalah majalah Intisari dan Bobo yang dianggap telah mapan dan menguntungkan. Di kelompok penerbitan majalah, gaji wartawan Gramedia ini masih berada jauh di bawah rata-rata gaji karyawan Tempo, Forum, Gatra maupun Gamma.

Rendahnya (under-paid -red.) gaji wartawan memang sudah dalam taraf yang memprihatinkan. Hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dilakukan di Jakarta pada Mei-Juni 1999 lalu menyatakan dari 250 wartawan responden tercatat 5% bergaji di bawah Rp 250 ribu, 35% bergaji antara Rp 500-1 juta , 30% bergaji antara Rp 1-2 juta dan 8% bergaji di atas Rp 2 juta. Sayang, hasil survei AJI tak membedakan antara jabatan reporter dan redaktur.

Menurut hasil survei majalah Asiaweek Edisi 29 November 1996 yang memetakan gaji tertinggi kelompok profesional di kawasan Asia-Australia memperjelas rendahnya gaji wartawan. Menurut hasil survei gaji tertinggi reporter di Indonesia berada di urutan no 4 paling rendah setelah Cina, Vietnam dan India. Sedangkan gaji redaktur tertinggi di Indonesia menempati urutan ke 5 terendah setelah Cina, Vietnam, Filipina dan India. Negara di kawasan Asia-Australia yang paling mensejahterakan wartawannya tercatat adalah Jepang, disusul Australia, Hongkong, Korea Selatan dan Thailand.

Sejumlah media malah tak memberi gaji wartawannya. Kepada para wartawan yang baru direkurut, si pemilik media menyatakan bahwa pihaknya hanya bisa memberi kartu pers. Si wartawan dipersilakan untuk mencari uang dan kehidupan yang layak sendiri. Si wartawan diperlakukan seperti halnya anak ayam yang dilepas induknya untuk cari makan sendiri. Kondisi seperti ini paling banyak dipraktekkan para pemilik media di luar Jawa.

Kehidupan wartawan di Indonesia betul-betul tragis. Para wartawan media berpenampilan glossy ala Tiara dan Jakarta-Jakarta (keduanya telah ditutup oleh direksi Gramedia Majalah) setiap hari adalah meliput meliput orang kaya beserta gaya hidupnya yang serba "wah". Si wartawan hanya bisa gigit jari saat dipameri koleksi ratusan arloji narasumber yang mencapai nilai ratusan juta. Apa yang dilihat dan dijalani si wartawan bagai bumi dan langit. Ketika diajak makan siang narasumber si wartawan naik Baby Benz, namun ketika selesai wawancara ia harus naik bajaj untuk balik menuju ke kantor. Dasinya cuma dipakai saat pergi wawancara ke hotel, ketika kembali kekantor dasi yang sama yang cuma satu-satunya terpaksa harus dilepas karena takut kotor.

Gaji wartawan Indonesia memang memperihatinkan, kecuali media baru semacam Astaga!Com. Tak heran bila ada banyak wartawan yang kemudian terkondisikan untuk selalu "mencari" amplop guna menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Beberapa waktu lalu terbongkar ada seorang wartawan gadungan yang telah berhasil menipu sejumlah gubernur dan pejabat daerah. Termasuk Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Si wartawan dengan alasan akan melakukan kunjungan ke daerah guna membuat liputan lantas menyodorkan surat rekomendasi dari DPR pada sang pejabat yang ditemuinya. Si pajabat yang tampaknya berkepentingan agar ditulis beritanya dengan "baik-baik" lantas menyodorkan uang bernilai ratusan ribu.

Untuk menghindari kebutuhan menerima amplop, ada banyak wartawan mengambil pekerjaan sambilan. Kita juga bisa melihat ada sejumlah wartawan yang memposisikan diri sebagai jurubicara atau ghost-writer seorang pejabat. Ada juga yang jadi think-tanker seorang tokoh yang ingin muncul sebagai budayawan. Ada yang mencoba jadi penulis atau editor buku. Ada yang mencoba mengerjakan inhouse magazine. Ada yang mencoba merangkap jadi sales di bidang multi level marketing. Ada juga yang buka usaha baru dengan jadi penggalang tenaga pamswakarsa. Ada yang merangkap pekerjaan sebagai pemberi informasi pada aparat intelijen. Ada juga yang terang-terangan jadi mucikari untuk artis-artis figuran yang pernah diwawancarainya.

Fenomena amplopisme di kalangan wartawan kini telah berada dalam taraf yang betul-betul memprihatinkan. Terutama sejak masa krisis ekonomi yang dimulai pada Agustus 1997, kebanyakan para pemilik media memilih tak menaikkan gaji wartawannya tapi cuma mengkompensasinya dengan "tunjangan kemahalan".

Selain istilah amplop, di kalangan wartawan juga dikenal istilah "wartawan Bodrex", nama obat sakit kepala produksi PT Bayer Indonesia. Wartawan dari kalangan ini setiap tengah bulan selalu "sakit kepala" akibat harus memikirkan kebutuhan diri dan keluarga yang tak tercukupi. Para wartawan ini kemudian mencari-cari kesalahan orang yang bisa diperas dengan cara menuliskannya sebagai berita dan kemudian mendatangi si tokoh. Kepada sang tokoh si wartawan menyodorkan berita yang dibuatnya dan menawarkan apakah si tokoh berkeberatan dengan tulisan tersebut. Bila berkeberatan si tokoh bisa mengambil "konsep" berita tersebut asal membayar dengan jumlah tertentu sesuai kesepakatan.

Cara kerja lainnya adalah dengan mendatangi pengusaha dengan menunjukkan kartu pers dan menyatakan ingin wawancara. Para pengusaha yang umumnya telah hafal dengan langgam semacam ini biasanya akan langsung menyodorkan segepok uang sambil mempersilakan si wartawan untuk pergi.

Sejak 6 tahun terakhir sejumlah wartawan yang medianya menerapkan kebijakan melarang menerima amplop memilih jalan lain yang lebih canggih, halus dan tak mencolok mata. Mereka memberikan nomor rekening bank pada sang narasumber, hingga uang bisa langsung di transfer ke rekening bank wartawan bersangkutan. Demikian juga parsel yang di sejumlah media diputuskan untuk dibagi rata seluruh karyawan, oleh wartawan kalangan ini dianjurkan untuk langsung di antar ke rumah, bukan ke tempat kerja. Luar biasa.

Fenomena amplopisme hampir merata di kalangan wartawan. Termasuk di kalangan media terkemuka di Jakarta. Kalau pun ada media yang malu-malu menolak amplop, mereka tak malu menerima tiket pesawat, fasilitas penginapan di hotel, liburan di spa, jamuan makan, tiket nonton, bahkan voucher main golf. Artinya, yang kecil ditolak tapi yang lebih besar dan lebih nikmat diterima dengan tangan terbuka.

Di Indonesia , amplopisme tak bisa dilepaskan dari semata-mata masalah kemiskinan dan kepelitan pemilik media, tapi juga karena ketidakberdayaan wartawan dalam menuntut hak-haknya. Kebanyakan pemilik media hanya memproduksi sejumlah aturan, namun tak pernah memperhatikan sisi kesejahteraan karyawannya. Sejumlah media terkemuka yang dikenal sebagai pembela demokrasi, yang tiap hari melaporkan soal nasib buruh dan TKW, ternyata justru melarang "gerakan buruh" yang dilakukan wartawannya sendiri. Wartawan yang coba-coba terus melawan keputusan pelarangan "gerakan buruh", biasanya akan dikucilkan atau dimutasi.

Masalah amplop adalah masalah pelik yang juga terkait dengan fenomena para "penjahat" dan para "oknum" yang mempunyai jabatan dan usaha penting. Mereka ini punya kepentingan dengan adanya publikasi positif tentang dirinya. Untuk itu mereka melakukan gerakan amplopisme sebagai upaya sogokan. Yang terjadi kemudian adalah sebuah simbiosis mutualistis, di mana si wartawan dapat uang dan si tokoh dapat nama baik.

Sejumlah kalangan lebih melihat moralitas sebagai salah satu penyebab menjamurnya budaya amplop. Menurut mereka nilai-nilai moralitas bangsa ini memang tengah merosot drastis. Hal ini antara lain bisa dilihat bagaimana para wartawan yang menghadiri undangan seminar sehari biasanya datang menjelang waktu makan siang dan segera pergi setelah menikmati makan siang gratis. Artinya, peristiwa politik dan perjumpaan dengan narasumber, di mata kebanyakan wartawan, tak lebih adalah peristiwa ekonomi biasa, yaitu sekadar cari bahan dan formalitas wawancara serta bisa makan gratis.

Masalah moral dan amplop memang pelik dan khas Indonesia. Seorang mahasiswa doktoral di bidang komunikasi asal Australia pernah bertanya pada saya, "Saya tak habis mengerti kenapa bisa ada wartawan menerima uang dari orang yang diwawancarainya? Bukankah itu suap? Bukankah itu kejahatan?" Terus terang, saya tak mampu menjawabnya. Sebab masalah suap-menyuap dan kejahatan di bidang pers sepenuhnya bukan monopoli wartawan, para pemilik modal yang menguasai media juga melakukan hal serupa. Barangkali karena itulah kita perlu sama-sama perlu mengadili diri sendiri. ***

*) Stanley adalah seorang teman, juga seorang wartawan yang baik dan secara intens berkampanye menentang amplopisme dalam profesi ini.

Kamis, Agustus 30, 2007

Taufiq Effendi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Polisi Budayawan dan Politisi Peneliti

Oleh : Iwan Samariansyah

TAMPAKNYA tidak banyak yang tahu kalau Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dulunya lama berkarir sebagai polisi. Maklum, pria kelahiran Barabai Kalimantan Selatan, 12 April 1941 ini sudah cukup lama pensiun sebagai polisi. Tepatnya pada tahun 1996. Malah banyak yang menyangka Taufik berlatar belakang pengusaha. "Apa potongan saya mirip pengusaha kali ya?" ujar Taufiq, geli.

Ayah satu anak ini memang punya talenta beragam. Pembawaannya yang supel, terbuka dan senang humor membuat pergaulannya begitu luas. Alhasil, selain di lingkungan kepolisian, Taufiq juga dikenal luas di kalangan seniman dan budayawan. Juga di lingkungan peneliti, karena dia lama bekerja di lingkungan BPPT. Terakhir, tentu saja dia dikenal sebagai politisi Partai Demokrat, partai yang mengusung SBY sebagai Presiden pada Pemilu 2004. Hanya satu yang tidak dijalaninya yaitu menjadi pengusaha.

Sebagai seniman dan budayawan, di kalangan koleganya, Taufiq dikenal pandai bermain drama dan mahir menyusun naskah sandiwara. Maklumlah, semasa mahasiswa di UGM dia aktif dalam kegiatan Teater mahasiswa. Taufik yang masuk Fakultas Sospol UGM jurusan Hubungan Internasional tahun 1960 ini tidak pernah berdiam diri ketika merantau di Jogjakarta. Dia aktif di HMI, organisasi mahasiswa terbesar saat itu.

Dan begitulah. Taufiq kemudian terpilih sebagai Ketua Umum HMI Komisariat Fisipol UGM saat itu. Dia terus meniti jenjang kepemimpinan di HMI sampai tingkat Pengurus Besar. “Saya pernah dipercaya memimpin Departemen Seni Budaya PB HMI saat itu. Wakil saya adalah Nurcholish Madjid (belakangan Cak Nur menanjak karirnya di HMI menjadi Ketua Umum PB HMI, red), dari HMI IAIN Ciputat Jakarta,” kenang Taufiq.

Anehnya, ketika lulus dari UGM, Taufiq justru memilih masuk kepolisian. Meski begitu, aktivitas kesenimanannya tidaklah surut meski tidak seintens dulu. Di Polri, sesuai dengan latar belakang keilmuannya, dia ditempatkan pada divisi hubungan internasional (cikal bakal Interpol, red). Dan dengan prestasinya yang menonjol, diapun mendapat kesempatan memperdalam ilmunya di International Police Academy, Washington DC, Amerika Serikat.

Taufiq beruntung, berkat kemampuannya berbahasa Inggris yang prima dia sering mendapat kesempatan belajar di luar negeri. Selain di International Police Academy, dia juga pernah mengecap Barety American Ranger, belajar terjun payung dan mengemudikan helikopter. Dia juga sempat dikirim ke Paris dan terakhir ke Australia memperdalam masalah Airport Security.

Di lingkungan kepolisian, kariernya banyak dihabiskan di bidang intelejen. Berpindah-pindah tempat tugas dari Bali, Nusa Tenggara, provinsi-provinsi di Kalimantan dia tetap di jabatan yang sama sebagai Asisten Intelejen. Baru setelah ditarik ke Mabes Polri di Jakarta, Taufiq kemudian ditempatkan di sektor Pembinaan Masyarakat Polri. Lahirlah konsep-konsep Bimas yang kreatif dan inovatif dari tangannya seperti Polisi Masuk Desa, Polisi Pariwisata dan Polisi Sahabat Anak. Puncak kariernya sebelum pensiun adalah sebagai Sekretaris Deputi Operasi Kapolri.

Saat itu di DPR masih ada Fraksi ABRI, Taufiq kemudian diperintahkan oleh Kapolri untuk mengikuti seleksi untuk menjadi anggota DPR mewakili Polri. Hasilnya sungguh mengejutkan, Taufiq dinyatakan tidak lulus. Gagal menjadi anggota DPR tidak membuatnya kecewa. Apalagi tugas lain menanti dirinya. Dia dikaryakan di BPPT yang saat itu dipimpin oleh Prof BJ Habibie. Kali ini sebagai Peneliti. Dari budayawan, Intel polisi dan sekarang peneliti. Bukan main. Di institusi tersebut, Taufiq bertahan sampai tahun 2000. Pensiun dari Polri tahun 1996, dia sempat terpilih sebagai Sekjen organisasi Purnawirawan Polri.

Pada era reformasi, Taufiq yang masih aktif sebagai peneliti di BPPT dan menjadi Kepala Divisi Proyek Khusus sering ditarik dan diajak teman-teman dan koleganya untuk terjun ke dunia politik. Namun dia tetap wait and see. Sampai akhirnya SBY pribadi mengajaknya bergabung dalam partai yang didirikannya yaitu Partai Demokrat. Kali ini Taufiq tanpa fikir panjang setuju. Jadilah dia duduk sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat.

Pada Pemilu tahun 2004 dia akhirnya dicalonkan sebagai anggota DPR, dan kali ini sukses terpilih sebagai anggota DPR. Idiom bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda benar-benar terjadi pada Taufiq. Padahal modal harta sama sekali dia tidak punya. Maklumlah, sebagai peneliti Taufiq hidup bersih dan lurus. Dan dia tidak pintar main proyek pula. Alhasil, dia salah satu politikus yang berangkat tanpa punya simpanan, dan tidak pula punya deposito. “Mungkin karena itu tadi. Potongan saya seperti orang kaya, jadi cocok aja,” kelakarnya. (***).