Jumat, Agustus 31, 2007

Bacaan Bagus untuk Wartawan Muda


Amplop-isme dan Moralitas Wartawan

Oleh : Stanley

Mengikuti rombongan wartawan yang tengah meliput sebuah acara secara beramai-ramai, biasanya kita akan melihat fenomena menarik yang khas Indonesia. Bila yang diliput adalah demonstrasi atau peristiwa politik yang terlihat adalah suasana pertemanan yang luar biasa kompaknya. Yang datang terlambat akan meminta informasi atau bahan dari yang datang duluan. Yang datang di lokasi lebih dulu umumnya juga dengan senang hati membagi informasi atau pers release yang didapatnya kepada sang kolega (dari media yang berbeda).

Namun, lain halnya bila yang diliput adalah sebuah konferensi pers atau undangan menghadiri product launching dari sebuah perusahaan yang memproduksi barang baru. Selesai mengikuti acara, biasanya para wartawan akan diminta panitia untuk mengisi absensi dengan cara membubuhkan tanda tangan. Acara ini kerap merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu wartawan, sebab setelah mengisi absen pihak panitia akan membagikan cinderamata beserta "amplop" berisi uang "ala kadarnya". Harap maklum, yang namanya ala kadarnya di sini berbeda-beda besarnya. Bisa sekadar pengganti uang transpor yang besarnya sekitar Rp 75.000 bisa juga uang "lelah" untuk imbalan jasa pemuatan yang berkisar antara Rp 250 ribu - Rp 400 ribu.

Menghadiri undangan instansi pemerintah, BUMN atau militer, lain lagi. Biasanya acara bagi-bagi amplop telah dikoordinir wartawan kepercayaan instansi yang bersangkutan. Tidak pernah diketahui, berapa besar uang yang diterima para koordinator itu. Yang jelas, sang koordinator membagi amplop secara seragam pada teman-temannya. Kemungkinan kelebihan amplop disimpan sendiri oleh sang koordinator. Meliput acara hiburan, seni, dunia selebritis dan artis tak jauh berbeda. Masing-masing telah punya koordinator sendiri.

Wartawan di Indonesia menganggap pemberian amplop adalah hal yang wajar. Apalagi wartawan senior yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI, Rosihan Anwar, malah menganjurkan agar para wartawan tak menolak pemberian amplop. Pada jaman PWI di bawah kepemimpinan Sofyan Lubis, sang ketua juga menganjurkan hal serupa. "Sejauh hal itu tak ada paksaan dari si wartawan atau sumber berita," ujar Sofyan Lubis mencoba berkilah bahwa hal itu tidak bertentangan dengan kode etik dan moralitas seorang wartawan.

Sikap pragmatisme para tokoh PWI yang nota bene adalah pimpinan di sejumlah media bukan tanpa alasan. Umumnya mereka melihat gaji wartawan yang telalu rendah sebagai dasar legitimasi kebijakan yang mereka berikan. "Mau apa lagi, perusahaan belum mampu menggaji wartawannya secara layak. Jadi silakan cari tambahan di luar, asalkan halal," begitu ucap sejumlah pimpinan media.

Apakah memang demikian halnya? Ternyata sejumlah penerbitan besar terkemuka lebih memilih melarang wartawannya untuk menerima amplop, karena bisa mengganggu integritas wartawan sekaligus kredibilitas lembaga. Para wartawan yang baru masuk diajari teknik menolak amplop. Mulai dari sikap terima dulu untuk kemudian dikembalikan lewat sekretaris, hingga teknik menghindari absensi. Sejumlah pimpinan media malah menerapkan kebijakan keras berupa tindakan langsung mengeluarkan wartawannya yang ketahuan menerima amplop.

Namun, yang jadi pertanyaan apakah kebijakan keras itu disertai dengan sistem penggajian yang memadai bagi para wartawannya? Jawabannya : tidak. Contoh yang terkemuka adalah para wartawan di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menerapkan ketentuan melarang amplop pada karyawannya ternyata tak digaji cukup layak. Gaji pokok seorang wartawan baru di Gramedia Majalah sekarang "cuma" sekitar Rp 400 ribu - Rp 650 ribu (tulisan ini dibuat pada 1 April 2000, red). Wartawan tabloid semacam Citra di lingkungan Gramedia Majalah bergaji paling rendah. Yang tertinggi adalah majalah Intisari dan Bobo yang dianggap telah mapan dan menguntungkan. Di kelompok penerbitan majalah, gaji wartawan Gramedia ini masih berada jauh di bawah rata-rata gaji karyawan Tempo, Forum, Gatra maupun Gamma.

Rendahnya (under-paid -red.) gaji wartawan memang sudah dalam taraf yang memprihatinkan. Hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dilakukan di Jakarta pada Mei-Juni 1999 lalu menyatakan dari 250 wartawan responden tercatat 5% bergaji di bawah Rp 250 ribu, 35% bergaji antara Rp 500-1 juta , 30% bergaji antara Rp 1-2 juta dan 8% bergaji di atas Rp 2 juta. Sayang, hasil survei AJI tak membedakan antara jabatan reporter dan redaktur.

Menurut hasil survei majalah Asiaweek Edisi 29 November 1996 yang memetakan gaji tertinggi kelompok profesional di kawasan Asia-Australia memperjelas rendahnya gaji wartawan. Menurut hasil survei gaji tertinggi reporter di Indonesia berada di urutan no 4 paling rendah setelah Cina, Vietnam dan India. Sedangkan gaji redaktur tertinggi di Indonesia menempati urutan ke 5 terendah setelah Cina, Vietnam, Filipina dan India. Negara di kawasan Asia-Australia yang paling mensejahterakan wartawannya tercatat adalah Jepang, disusul Australia, Hongkong, Korea Selatan dan Thailand.

Sejumlah media malah tak memberi gaji wartawannya. Kepada para wartawan yang baru direkurut, si pemilik media menyatakan bahwa pihaknya hanya bisa memberi kartu pers. Si wartawan dipersilakan untuk mencari uang dan kehidupan yang layak sendiri. Si wartawan diperlakukan seperti halnya anak ayam yang dilepas induknya untuk cari makan sendiri. Kondisi seperti ini paling banyak dipraktekkan para pemilik media di luar Jawa.

Kehidupan wartawan di Indonesia betul-betul tragis. Para wartawan media berpenampilan glossy ala Tiara dan Jakarta-Jakarta (keduanya telah ditutup oleh direksi Gramedia Majalah) setiap hari adalah meliput meliput orang kaya beserta gaya hidupnya yang serba "wah". Si wartawan hanya bisa gigit jari saat dipameri koleksi ratusan arloji narasumber yang mencapai nilai ratusan juta. Apa yang dilihat dan dijalani si wartawan bagai bumi dan langit. Ketika diajak makan siang narasumber si wartawan naik Baby Benz, namun ketika selesai wawancara ia harus naik bajaj untuk balik menuju ke kantor. Dasinya cuma dipakai saat pergi wawancara ke hotel, ketika kembali kekantor dasi yang sama yang cuma satu-satunya terpaksa harus dilepas karena takut kotor.

Gaji wartawan Indonesia memang memperihatinkan, kecuali media baru semacam Astaga!Com. Tak heran bila ada banyak wartawan yang kemudian terkondisikan untuk selalu "mencari" amplop guna menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Beberapa waktu lalu terbongkar ada seorang wartawan gadungan yang telah berhasil menipu sejumlah gubernur dan pejabat daerah. Termasuk Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Si wartawan dengan alasan akan melakukan kunjungan ke daerah guna membuat liputan lantas menyodorkan surat rekomendasi dari DPR pada sang pejabat yang ditemuinya. Si pajabat yang tampaknya berkepentingan agar ditulis beritanya dengan "baik-baik" lantas menyodorkan uang bernilai ratusan ribu.

Untuk menghindari kebutuhan menerima amplop, ada banyak wartawan mengambil pekerjaan sambilan. Kita juga bisa melihat ada sejumlah wartawan yang memposisikan diri sebagai jurubicara atau ghost-writer seorang pejabat. Ada juga yang jadi think-tanker seorang tokoh yang ingin muncul sebagai budayawan. Ada yang mencoba jadi penulis atau editor buku. Ada yang mencoba mengerjakan inhouse magazine. Ada yang mencoba merangkap jadi sales di bidang multi level marketing. Ada juga yang buka usaha baru dengan jadi penggalang tenaga pamswakarsa. Ada yang merangkap pekerjaan sebagai pemberi informasi pada aparat intelijen. Ada juga yang terang-terangan jadi mucikari untuk artis-artis figuran yang pernah diwawancarainya.

Fenomena amplopisme di kalangan wartawan kini telah berada dalam taraf yang betul-betul memprihatinkan. Terutama sejak masa krisis ekonomi yang dimulai pada Agustus 1997, kebanyakan para pemilik media memilih tak menaikkan gaji wartawannya tapi cuma mengkompensasinya dengan "tunjangan kemahalan".

Selain istilah amplop, di kalangan wartawan juga dikenal istilah "wartawan Bodrex", nama obat sakit kepala produksi PT Bayer Indonesia. Wartawan dari kalangan ini setiap tengah bulan selalu "sakit kepala" akibat harus memikirkan kebutuhan diri dan keluarga yang tak tercukupi. Para wartawan ini kemudian mencari-cari kesalahan orang yang bisa diperas dengan cara menuliskannya sebagai berita dan kemudian mendatangi si tokoh. Kepada sang tokoh si wartawan menyodorkan berita yang dibuatnya dan menawarkan apakah si tokoh berkeberatan dengan tulisan tersebut. Bila berkeberatan si tokoh bisa mengambil "konsep" berita tersebut asal membayar dengan jumlah tertentu sesuai kesepakatan.

Cara kerja lainnya adalah dengan mendatangi pengusaha dengan menunjukkan kartu pers dan menyatakan ingin wawancara. Para pengusaha yang umumnya telah hafal dengan langgam semacam ini biasanya akan langsung menyodorkan segepok uang sambil mempersilakan si wartawan untuk pergi.

Sejak 6 tahun terakhir sejumlah wartawan yang medianya menerapkan kebijakan melarang menerima amplop memilih jalan lain yang lebih canggih, halus dan tak mencolok mata. Mereka memberikan nomor rekening bank pada sang narasumber, hingga uang bisa langsung di transfer ke rekening bank wartawan bersangkutan. Demikian juga parsel yang di sejumlah media diputuskan untuk dibagi rata seluruh karyawan, oleh wartawan kalangan ini dianjurkan untuk langsung di antar ke rumah, bukan ke tempat kerja. Luar biasa.

Fenomena amplopisme hampir merata di kalangan wartawan. Termasuk di kalangan media terkemuka di Jakarta. Kalau pun ada media yang malu-malu menolak amplop, mereka tak malu menerima tiket pesawat, fasilitas penginapan di hotel, liburan di spa, jamuan makan, tiket nonton, bahkan voucher main golf. Artinya, yang kecil ditolak tapi yang lebih besar dan lebih nikmat diterima dengan tangan terbuka.

Di Indonesia , amplopisme tak bisa dilepaskan dari semata-mata masalah kemiskinan dan kepelitan pemilik media, tapi juga karena ketidakberdayaan wartawan dalam menuntut hak-haknya. Kebanyakan pemilik media hanya memproduksi sejumlah aturan, namun tak pernah memperhatikan sisi kesejahteraan karyawannya. Sejumlah media terkemuka yang dikenal sebagai pembela demokrasi, yang tiap hari melaporkan soal nasib buruh dan TKW, ternyata justru melarang "gerakan buruh" yang dilakukan wartawannya sendiri. Wartawan yang coba-coba terus melawan keputusan pelarangan "gerakan buruh", biasanya akan dikucilkan atau dimutasi.

Masalah amplop adalah masalah pelik yang juga terkait dengan fenomena para "penjahat" dan para "oknum" yang mempunyai jabatan dan usaha penting. Mereka ini punya kepentingan dengan adanya publikasi positif tentang dirinya. Untuk itu mereka melakukan gerakan amplopisme sebagai upaya sogokan. Yang terjadi kemudian adalah sebuah simbiosis mutualistis, di mana si wartawan dapat uang dan si tokoh dapat nama baik.

Sejumlah kalangan lebih melihat moralitas sebagai salah satu penyebab menjamurnya budaya amplop. Menurut mereka nilai-nilai moralitas bangsa ini memang tengah merosot drastis. Hal ini antara lain bisa dilihat bagaimana para wartawan yang menghadiri undangan seminar sehari biasanya datang menjelang waktu makan siang dan segera pergi setelah menikmati makan siang gratis. Artinya, peristiwa politik dan perjumpaan dengan narasumber, di mata kebanyakan wartawan, tak lebih adalah peristiwa ekonomi biasa, yaitu sekadar cari bahan dan formalitas wawancara serta bisa makan gratis.

Masalah moral dan amplop memang pelik dan khas Indonesia. Seorang mahasiswa doktoral di bidang komunikasi asal Australia pernah bertanya pada saya, "Saya tak habis mengerti kenapa bisa ada wartawan menerima uang dari orang yang diwawancarainya? Bukankah itu suap? Bukankah itu kejahatan?" Terus terang, saya tak mampu menjawabnya. Sebab masalah suap-menyuap dan kejahatan di bidang pers sepenuhnya bukan monopoli wartawan, para pemilik modal yang menguasai media juga melakukan hal serupa. Barangkali karena itulah kita perlu sama-sama perlu mengadili diri sendiri. ***

*) Stanley adalah seorang teman, juga seorang wartawan yang baik dan secara intens berkampanye menentang amplopisme dalam profesi ini.

Kamis, Agustus 30, 2007

Taufiq Effendi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Polisi Budayawan dan Politisi Peneliti

Oleh : Iwan Samariansyah

TAMPAKNYA tidak banyak yang tahu kalau Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dulunya lama berkarir sebagai polisi. Maklum, pria kelahiran Barabai Kalimantan Selatan, 12 April 1941 ini sudah cukup lama pensiun sebagai polisi. Tepatnya pada tahun 1996. Malah banyak yang menyangka Taufik berlatar belakang pengusaha. "Apa potongan saya mirip pengusaha kali ya?" ujar Taufiq, geli.

Ayah satu anak ini memang punya talenta beragam. Pembawaannya yang supel, terbuka dan senang humor membuat pergaulannya begitu luas. Alhasil, selain di lingkungan kepolisian, Taufiq juga dikenal luas di kalangan seniman dan budayawan. Juga di lingkungan peneliti, karena dia lama bekerja di lingkungan BPPT. Terakhir, tentu saja dia dikenal sebagai politisi Partai Demokrat, partai yang mengusung SBY sebagai Presiden pada Pemilu 2004. Hanya satu yang tidak dijalaninya yaitu menjadi pengusaha.

Sebagai seniman dan budayawan, di kalangan koleganya, Taufiq dikenal pandai bermain drama dan mahir menyusun naskah sandiwara. Maklumlah, semasa mahasiswa di UGM dia aktif dalam kegiatan Teater mahasiswa. Taufik yang masuk Fakultas Sospol UGM jurusan Hubungan Internasional tahun 1960 ini tidak pernah berdiam diri ketika merantau di Jogjakarta. Dia aktif di HMI, organisasi mahasiswa terbesar saat itu.

Dan begitulah. Taufiq kemudian terpilih sebagai Ketua Umum HMI Komisariat Fisipol UGM saat itu. Dia terus meniti jenjang kepemimpinan di HMI sampai tingkat Pengurus Besar. “Saya pernah dipercaya memimpin Departemen Seni Budaya PB HMI saat itu. Wakil saya adalah Nurcholish Madjid (belakangan Cak Nur menanjak karirnya di HMI menjadi Ketua Umum PB HMI, red), dari HMI IAIN Ciputat Jakarta,” kenang Taufiq.

Anehnya, ketika lulus dari UGM, Taufiq justru memilih masuk kepolisian. Meski begitu, aktivitas kesenimanannya tidaklah surut meski tidak seintens dulu. Di Polri, sesuai dengan latar belakang keilmuannya, dia ditempatkan pada divisi hubungan internasional (cikal bakal Interpol, red). Dan dengan prestasinya yang menonjol, diapun mendapat kesempatan memperdalam ilmunya di International Police Academy, Washington DC, Amerika Serikat.

Taufiq beruntung, berkat kemampuannya berbahasa Inggris yang prima dia sering mendapat kesempatan belajar di luar negeri. Selain di International Police Academy, dia juga pernah mengecap Barety American Ranger, belajar terjun payung dan mengemudikan helikopter. Dia juga sempat dikirim ke Paris dan terakhir ke Australia memperdalam masalah Airport Security.

Di lingkungan kepolisian, kariernya banyak dihabiskan di bidang intelejen. Berpindah-pindah tempat tugas dari Bali, Nusa Tenggara, provinsi-provinsi di Kalimantan dia tetap di jabatan yang sama sebagai Asisten Intelejen. Baru setelah ditarik ke Mabes Polri di Jakarta, Taufiq kemudian ditempatkan di sektor Pembinaan Masyarakat Polri. Lahirlah konsep-konsep Bimas yang kreatif dan inovatif dari tangannya seperti Polisi Masuk Desa, Polisi Pariwisata dan Polisi Sahabat Anak. Puncak kariernya sebelum pensiun adalah sebagai Sekretaris Deputi Operasi Kapolri.

Saat itu di DPR masih ada Fraksi ABRI, Taufiq kemudian diperintahkan oleh Kapolri untuk mengikuti seleksi untuk menjadi anggota DPR mewakili Polri. Hasilnya sungguh mengejutkan, Taufiq dinyatakan tidak lulus. Gagal menjadi anggota DPR tidak membuatnya kecewa. Apalagi tugas lain menanti dirinya. Dia dikaryakan di BPPT yang saat itu dipimpin oleh Prof BJ Habibie. Kali ini sebagai Peneliti. Dari budayawan, Intel polisi dan sekarang peneliti. Bukan main. Di institusi tersebut, Taufiq bertahan sampai tahun 2000. Pensiun dari Polri tahun 1996, dia sempat terpilih sebagai Sekjen organisasi Purnawirawan Polri.

Pada era reformasi, Taufiq yang masih aktif sebagai peneliti di BPPT dan menjadi Kepala Divisi Proyek Khusus sering ditarik dan diajak teman-teman dan koleganya untuk terjun ke dunia politik. Namun dia tetap wait and see. Sampai akhirnya SBY pribadi mengajaknya bergabung dalam partai yang didirikannya yaitu Partai Demokrat. Kali ini Taufiq tanpa fikir panjang setuju. Jadilah dia duduk sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat.

Pada Pemilu tahun 2004 dia akhirnya dicalonkan sebagai anggota DPR, dan kali ini sukses terpilih sebagai anggota DPR. Idiom bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda benar-benar terjadi pada Taufiq. Padahal modal harta sama sekali dia tidak punya. Maklumlah, sebagai peneliti Taufiq hidup bersih dan lurus. Dan dia tidak pintar main proyek pula. Alhasil, dia salah satu politikus yang berangkat tanpa punya simpanan, dan tidak pula punya deposito. “Mungkin karena itu tadi. Potongan saya seperti orang kaya, jadi cocok aja,” kelakarnya. (***).

Kisah Inspirasional Penggugah Hati


I cried for my brother six times

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.

Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku : "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata ber- cucuran sampai suaraku hilang.

Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.

Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.

Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit.Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku.

Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.

Sejak hari itu, aku bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Sumber: Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times" (Dari email seorang teman)

Minggu, Agustus 26, 2007

Foto-foto Sawangan Esmadu Deltu Reunion

Sebagian foto yang diambil melalui kameranya Adjib Al Hakim dan Alfina Damayanti :

Foto 1 (dari kiri ke kanan) : Mas Sugeng (suaminya Catur), Adjib, aku, Eko, Mas Toni (suaminya Nina), Nina, Ni Luh Dewi, Alfina, Ken Cintowati, Catur dan Rudy Siswadi (wajahnya melengos).
Ini saat pertemuan sudah nyaris usai, berpose di depan rumahnya Alfina sejenak untuk kenang-kenangan.

Foto 2 (masih mejeng di depan rumah dengan posisi berbeda) : Mas Sugeng, aku, Rudy, Mas Tony, Nina, Ni Luh Dewi, Ana (ketutupan sama Alfina), Alfina, Ken Cintowati, Catur, Ajib. Di deret belakang ada Eko, Herry Drajat, Asep dan Mas Yudi Irianto (suaminya Alfina).

Foto 3 (di dalam ruangan) : Ibu-ibu Esmadu Deltu sejenak menghentikan gosip hangatnya soal pacar-pacar lama mereka, untuk diambil gambarnya (dari kiri ke kanan) : Nina, Alfina, Nuriana, Ni Luh Dewi, Catur dan Ken Cintowati.

Foto 4 (di depan rumah lagi) : Alfina memanggil-manggil semua peserta agar segera keluar, Catur ikut pula melengos, Mas Sugeng, Ajib dan aku konsentrasi ke kamera. Dan beginilah hasilnya.

Foto 5 (Di beranda rumah) : Tiga bapak-bapak Esmadu Deltu yang pertama hadir. Asep Adiyani, Ajib Al Hakim dan Sujangi. Mereka mentertawakan siapa ya ?












Sawangan Esmadu Deltu Reunion

Bernostalgia, Mendekatkan Hati

Oleh : Iwan Samariansyah

MERIAH dan penuh canda. Begitulah ketika para alumni SMA Negeri 2 Purwokerto Angkatan 1987 menggelar Reuni di rumahnya Alfina Damayanti, di Sawangan Depok (Jawa Barat) Sabtu, 25 Agustus 2007 lalu. Aku datang terlambat ke acara itu. Maklum, selain lokasinya yang lumayan jauh di hari yang sama aku juga mesti menghadiri sejumlah undangan yang mesti dipenuhi terlebih dahulu sebelum akhirnya meluncur ke Sawangan.

Aku menyebutnya dengan istilah singkat Sawangan Esmadu Deltu Reunion. Biar enak didengar saja di telinga. Undangan kami sebar melalui milis dan SMS, dan sedikitnya ada 30 alumni Angkatan 1987 (Deltu = delapan tujuh) yang mendapatkan undangan tersebut. Ditambah dengan keluarganya, kalau hadir semua, bakal cukup banyak yang datang pada acara tersebut. Meski kenyataannya tentu saja bisa berbeda.

Tamu istimewa yang datang dari tempat tugasnya yang cukup jauh tentu saja Ajib Al Hakim. Putera sulung guru agama kami semua dulu, Ibu Munjiyah Mughoffir ini bekerja di salah satu BUMN di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, PT Hutama Karya. Tempat tugasnya di Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. "Jum'at sore aku terbang dari Balikpapan langsung ke Jakarta," ujar Ajib.

Dia memelukku hangat. Maklum, Ajib adalah salah satu sahabatku semasa sekolah dulu. Sangat akrab dan kami saling berbagi cerita setiap saat dulu. Begitulah hubunganku dengan Ajib dulu. Mirip persahabatanku dengan Wikan. Sayangnya, reuni kali ini Wikan berhalangan hadir. "Sorry Wan, aku nggak bisa datang. Ada acara yang tak bisa kutinggalkan," ujar karyawan Radio 68H Jakarta itu saat kutelepon di ponselnya dua hari sebelumnya.

Tuan rumah, mas Yudi Irianto (suaminya Alfina) menyambutku hangat. Pria ramah itu tersenyum lebar dan menyalamiku erat-erat sebelum akhirnya mempersilahkanku masuk. Di beranda, duduk Mas Erik (suaminya Nuriana), Aji (adiknya Ajib) dan Mas Toni, suaminya Nina. Mereka tengah asyik memperbincangkan sesuatu saat aku tiba di tempat acara. Wah, sempat agak repot juga aku mencari lokasi rumahnya Alfina ini.

Saat aku datang, yang sudah hadir di tempat acara adalah sejumlah muka baru. Sebut saja nama Sujangi, Herry Drajat, Ni Luh Dewi, Ken Cintowati dan Nuriana. Yang terakhir ini datang bersama dua puteranya yang kerjanya ribut melulu. Maklum, anak-anak. Lantas ada Nina, suaminya Toni dan dua putera mereka yang cakep-cakep. "Yang sulung nggak ikut," ujar Nina yang tetap cantik dalam busana jilbabnya di usianya yang sudah menjelang kepala empat itu.

Nuriana dan Nina dulu semasa jaman sekolah adalah dua gadis primadona yang sering jadi bahan obrolan anak-anak muda kurang kerjaan seperti diriku. Tentu saja kedatangan keduanya di acara reuni ini membuat semarak suasana. Apalagi temanku Asep Adiyani yang kerjaannya menggoda melulu ikut pula hadir, seraya melontarkan gojlokannya membuat acara diwarnai tertawa tak henti-henti.

Herry Drajat, kawan sekelas di kelas 2 dan 3 membawa serta isterinya yang cantik, adik kelas kami semua. Angkatan 1988, Roslina namanya. Seangkatan dengan Bayu, Ira dan Rina. Herry ini sudah sering telpon-telponan dan kemudian chat lewat YM, tapi baru kali ini bersua secara fisik. Setelah 20 tahun lamanya. Bukan main ya? Nina juga begitu. Ken dan juga Ni Luh Dewi serta Sujangi dan Rudy. Lama juga ya. Jadinya pangling.

Sang tuan rumah, Alfina yang mantan penyiar Indosiar itu juga tuan rumah yang sangat baik. Berbagai suguhan makanan melimpah ruah pada acara reuni itu. Tentu dengan sajian khas Purwokerto yang mampu membuat lidah bergoyang saking lezatnya itu : Soto sokaraja, pecel Banyumas dan tempe mendoan. Belum lagi sejumlah kue dan buah-buahan yang terus menerus digerus oleh mulut-mulut kelaparan sore itu.

Datang pula di acara itu Rudy Siswadi, yang kebiasaannya tak berubah, santai dan ceriwis. Dulu semasa sekolah, entah kenapa, kawan-kawan menggelarinya sebagai playboy cap kucing. "Ora ngerti aku kok digelari macem-macem ya? Padahal aku kan dudu playboy ya," ujarnya dengan mata mengerjap-ngerjap jenaka. Hebat. Kemana kacamatamu Rud ? "Udah lama aku nggak pake kacamata," ujarnya.

Catur Yuliastuti juga hadir pada acara Reuni kali ini, jauh-jauh dari Tanjung Pinang, Riau. Dia adalah peserta yang paling setia datang ke setiap acara reuni. Di ujung acara datang pula Eko Priyanto, isteri beserta dua anaknya. Wicak yang katanya mau datang ternyata tidak kelihatan batang hidungnya. Begitu juga Niken, Bayu, Bowie dan Dimas. Dora berhalangan hadir karena mesti retreat di puncak. Eko item yang mengatakan hendak datang juga tidak terlihat. Begitu pula Indarti Suryaningsih yang bilang siap datang.

Tak ada acara khusus kami gelar. Sebagaimana biasa, kami saling bertukar informasi mengenai kabar kawan-kawan lama. Rudy bertanya soal kabar lama bernama si anu, dan yang lain menimpali dengan memberikan informasi mengenai kabar kawan tersebut. Begitu seterusnya. Soal kelakuan guru-guru kami dulu dan juga cerita-cerita lucu masa lalu tentu saja kami singgung, termasuk juga insiden pencurian mikroskop yang terkenal itu.

Apapun itu. Reuni kali ini cukup sukses dan menyenangkan. Sejak kumpul-kumpul pertama di rumahnya Catur Yuliastuti pada tahun 2000 dulu, ini adalah untuk kedua kalinya Alfina menjadi tuan rumah pertemuan kali ini. Sesuai kesanggupan yang disampaikan lewat telepon, Bowie yang tidak datang pada acara Reuni kali ini menyanggupi untuk menjadi tuan rumah Reuni berikutnya pada 8 Desember 2007 mendatang.

Alamatnya Bowie sebagai tempat pertemuan Esmadu Deltu Reunion mendatang adalah Jalan Kebagusan Dalam I No. 19, Jakarta Selatan. Disarankan datang melalui Jl JOE biar tidak ribet, begitulah SMS yang diterima oleh Alfina saat itu. Lanjutannya yang unik : Kalau ada yang kesasar bilang saja dekat rumah Ibu Megawati (mantan Presiden), ibune wong cilik. Hehehe, aku bukan PDI Perjuangan lho.

Reuni bagi kami adalah sarana untuk mengeratkan tali silaturahmi dan mendekatkan hati. Tiga tahun dari hidup kami semua yang singkat ini kami semua telah bersekolah di sekolah yang sama. Begitu banyak kenangan dan cerita yang telah kami buat ketika itu. Tidak ada salahnya kalau kami mengenang kembali nostalgia itu, saat kami semua masih di usia yang begitu muda dan begitu penuh kesalahan. Tiga tahun yang luar biasa dari kehidupan kami semua.

Kamis, Agustus 23, 2007

Quo Vadis Prestasi Olahraga Indonesia ?


Saatnya Kita Berbenah Diri

Men Sana in Corpore Sano, dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Mengandung arti bahwa untuk membentuk mental yang sehat dibutuhkan kondisi fisik atau raga yang kuat. Daya pikir, kreativitas, dan inovasi bangsa akan terpacu bilamana prestasi olahraga kita juga tinggi, yang sayangnya saat ini masih belum menggembirakan.

Prestasi olahraga kita di ajang persaingan antarbangsa saat ini memang tidak terlalu menggembirakan. Bahkan sejumlah kalangan menyebutnya berada dalam kondisi kritis. Setidaknyaitu tercermin dari posisi Indonesia di SEA Games Manila tahun 2005 lalu yang boleh dikatakan sebagai kegagalan.

Dalam event olahraga terbesar di Asia Tenggara itu, Indonesia hanya mampu meraih 50 medali emas saja. Padahal targetnya adalah mendapatkan 69 keping emas. Dalam SEA Games Manila ada 348 medali emas yang diperebutkan. Selain itu, Indonesia hanya mengikuti 217 nomor pertandingan saja. Tim SEA Games pun pulang ke Jakarta dengan kepala tertunduk karena kegagalan itu.

Setahun sebelumnya pada Olimpiade Athena 2004 di Athena, Yunani, Indonesia hanya bisa meraih 1 emas dan 2 perunggu. Itu juga dari cabang olahraga yang secara tradisional menjadi kebanggaan kita yaitu bulu tangkis. Taufik Hidayat meraih emas dari nomor tunggal putra dan Soni Dwi Kuncoro meraih perunggu. Perunggu lainnya diraih oleh Flandy Limpele/Eng Hian untuk ganda putra.

Padahal, andaikata saja pembinaan olahraga kita bagus, kita pastilah bisa mendapatkan medali Olimpiade lebih dari satu. Haruslah diakui bahwa di luar cabang bulu tangkis, kita masih belum banyak bisa bicara. Bahkan, dengan kemajuan pesat dari China dan Malaysia, dominasi kita di cabang olahraga bulu tangkis juga semakin terancam.

Kita memang mesti berkaca ke RRC. Secara luar biasa, negeri tirai bambu itu muncul sebagai kekuatan dahsyat dalam olahraga di tingkat dunia. Pada Olimpiade Athena 2004, China melejit melampaui Rusia dan Jepang untuk menempati posisi Runner-Up di bawah Amerika Serikat.

Bahkan China nyaris menggusur AS sebagai Juara Umum karena medali emas yang diperoleh hanya berbeda tiga medali. AS meraih 35 medali emas, berbanding China yang memperoleh 32 medali emas. Indonesia sendiri harus puas menempati peringkat ke 48 dari 202 negara yang berpartisipasi di Olimpiade itu.

Olimpiade selanjutnya digelar di Beijing tahun depan, dan ajang SEA Games digelar di Vietnam beberapa bulan lagi. Pertanyaannya sekarang, berada di peringkat berapakah Indonesia nanti? Prestasi Olahraga Indonesia baik di tingkat ASEAN maupun di ajang Olimpiade yang masih belum mampu bicara banyak hendaknya patut menjadi renungan kita bersama.

Negeri ini sesungguhnya memiliki bibit atlet-atlet tangguh yang cukup besar, karenanya terasa agak aneh juga begitu minimnya prestasi yang ditorehkan oleh atlet-atlet nasional kita. Tampaknya itu semua dilatarbelakangi banyak faktor. Mulai dari faktor pembinaan yang kurang berjalan sebagaimana mestinya, minimnya biaya pembinaan hingga kepengurusan organisasi olahraga yang kurang profesional.

Yang terakhir ini patut mendapatkan perhatian kita semua. Karena kerap kali, pengurus sebuah organisasi olahraga, terkadang bukanlah orang yang sudah lama menggeluti olahraga tersebut. Yang lebih menonjol adalah, pengurus itu mampu dari aspek menanggung biaya organisasi. Kita ingat dulu saat PB PASI dipimpin oleh pengusaha Bob Hasan, atau Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso yang menjadi Ketua Umum PB PBSI.

Yang jelas, bila prestasi olahraga kita sangat buruk maka citra bangsa juga akan jatuh. Untuk mencapai prestasi yang bagus diperlukan suatu kerja keras semua stake holder di bidang olahraga. Kesempatan untuk melakukan kompetisi diperluas, dan pencarian bibit-bibit unggul berbagai cabang olahraga mesti diintensifkan.

Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Prof Toho Cholik Mutohir dalam sebuah Seminar Internasional tentang Keolahragaan di ITB Bandung, beberapa waktu yang lalu mengatakan perlunya dilakukan pembinaan olahraga secara berkesinambungan. Menurutnya, pembinaan olahraga harus dimulai dari sekolah, sebab di sekolah bibit-bibit olahragawan berbakat muncul.

Apa yang disampaikan oleh Prof Toho benar adanya. Selama ini pembinaan atlet-atlet muda kita tidak terarah, tidak berjenjang apalagi berkelanjutan. Padahal sudah lama kita ketahui bahwa atlet berprestasi itu lahir dari pembinaan jangka panjang. Dari penelitian yang ada, diperlukan 8 - 12 tahun untuk melahirkan atlet berprestasi.

Menurut Toho, bila hendak mencapai target kebangkitan dunia olahraga Indonesia tahun 2011 , maka pembinaan atlet muda berbakat harus terarah. Pendidikan olahraga usia dini itu penting, meski tidak harus diidentikkan dengan spesialisasi. Spesialisasi harus dimulai dengan berjenjang, yang dimulai dengan latihan-latihan yang sifatnya fun, sampai akhirnya mencapai kemenangan.

Selama ini, atlet muda berbakat gagal meraih prestasi karena mereka diraih oleh guru-guru olahraga, yang belum menguasai dan belum mempunyai sertfikat untuk melatih. Karena itu di masa mendatang, pendidikan pelatih menjadi amat penting. Apalagi olahraga di sekolah bukanlah untuk prestasi melainkan untuk memenuhi kurikulum semata. Oleh karenanya, sekolah harus menjalin kerja sama dengan klub-klub.

Selasa, Agustus 21, 2007

Hari-hari yang Terlewatkan


Saat Mood Menulisku Hilang


MENULIS adalah satu hal, dan mood untuk menulis soal lain pula. Itu pula yang tengah terjadi pada diriku. Setelah 15 Agustus, aku mandeg menulis di blog ini cukup lama. Padahal dalam periode seminggu ini begitu banyaknya peristiwa penting yang pantas untuk ditulis. Aku baca beberapa penulis blog lain menulis peristiwa-peristiwa itu dengan amat khidmat. Dan bagus-bagus pula hasilnya.

Tapi, ada soal lain pula kenapa aku mesti berhenti sejenak mengisi blog ini. Aku cuti sejak 16 Agustus lalu ! Cuti ? Iya. Resminya aku meliburkan diri sejenak, menjauhkan diri dari dunia keseharianku di Bekasi dan Rawamangun. Kemana aku pergi ? Lumayan jauh, sebenarnya, dan aku tak pergi sendiri. Bersamaku ikut juga keluargaku : isteri dan kedua puteriku. Kami mengikuti perjalanan muhibah keluarga ke Solo, cikal bakal keluarga besar isteriku.

Akibatnya, terlewatkanlah tahun ini aku menulis kontemplasi pribadiku mengenai peristiwa-peristiwa berikut ini :

Pertama, 14 Agustus 2007 : Perayaan Hari Pramuka Nasional. Sebagai orang yang pernah dibesarkan oleh Gerakan Pramuka, mestinya aku bisa menulis kenangan lama masa SD, SMP dan SMA ketika aku mendapat begitu banyak pelajaran berharga sebagai seorang Pandu. Terutama masa-masa SMA, ketika aku mengikuti begitu banyak kegiatan nasional saat berseragam Pramuka.

Kedua, 17 Agustus 2007 : Hari Proklamasi Kemerdekaan. Perayaan tujuh belasan selalu memberikan makna tersendiri buatku. Orang Indonesia, sepertiku, patut menulis sesuatu yang lain dari biasanya di hari ini. Hari ketika bangsa ini dilahirkan, dan nasionalisme sebuah komunitas dibangun. Tentu menarik mengamati makna kemerdekaan bagi kita semua saat usia tersebut sudah menginjak usia 62 tahun.

Ketiga, 17 - 19 Agustus 2007 : Perjalanan muhibah ke Solo. Ini perjalanan besar bagi keluarga besar isteriku, keturunan Panembahan Samber Nyowo atau yang lebih dikenal sebagai Gusti Mangku Negoro I, pendiri Kraton Mangku Negoro di Surakarta. Cikal bakal keluarga besar yang berpusat di Wonogiri ini adalah dari salah satu tumenggung Mangku Negoro I yang bernama Prawiro Martoyo, dan karena itu disebutlah trah Prawiro Martoyo. Ada 50 orang bepergian dalam satu bus besar sewaan. Semuanya satu kerabat. Hebat !

Keempat, 20 Agustus : Yogyakarta. Pada perjalanan pulang aku memutuskan untuk tinggal di Jogjakarta karena mesti mengurus beberapa surat-surat kendaraan seperti STNK dan SIM yang kebetulan lebih enak dibuat di Jogjakarta. Luar biasa, dalam tempo sehari surat itu berhasil kubuat dengan biaya yang kurang dari Rp 500 ribu. Apa benar ya ? Bahwa sudah terjadi reformasi birokrasi dalam pelayanan publik kita ? Aku membuktikannya.

Kelima, 21 Agustus : Travel. Perjalanan pulang ke Bekasi dari Jogjakarta menumbuhkan suatu hal yang menarik untuk ditulis. Namanya kendaraan travel. Ini moda transportasi yang agak unik karena kita bisa naik dari depan rumah, dan langsung turun di depan rumah pula. Kendaraan antar jemput ini fenomena unik yang menarik dicermati. Harga travel Jogjakarta - Bekasi yang mesti aku bayar adalah Rp 125.000,- per orang.

Nah, kapan semua itu aku tulis ? Mungkin tak akan pernah ditulis. Aku lagi sedang tidak mood untuk menulis. Anggap saja, tulisan dengan judul "Hari-hari yang Terlewatkan" ini sebagai rangkuman dari semua itu. Juga menjadi alasan bagi semua orang yang mampir ke blog ini untuk mengetahui apa saja yang kulakukan selama beberapa hari ini. Mood untuk menulis memang tidak datang setiap waktu.

Rawamangun, 21 Agustus 2007 jam 13 : 00

Rabu, Agustus 15, 2007

Sikap Iwan Fals pada Politik (1996)


''Menurutku Cuma Politik Cengengesan''

MUSISI kondang Iwan Fals tetap saja tak berubah. Saat ditemui Iwan Samariansyah dari Jawa Pos di rumahnya yang teduh dan asri di kawasan Bintaro Jaya, kemarin, dia tetap tampil bersahaja : ramah dan senang guyon. Rambutnya tetap lebat dan gondrong, bahkan kumis dan jenggotnya juga dibiarkan tumbuh tak beraturan.

Ia tidak langsung menemui Jawa Pos. Maklum, Iwan sedang sibuk rekaman. Maka, dia minta istrinya menyilakan masuk dan menunggu sebentar, karena Iwan sedang sibuk menyelesaikan rekaman. ''Inilah kegiatan rutin saya. Sudah 50 lagu kubuat dengan cara begini. Asyik dan senang aja sih. Kan ini sudah menjadi profesiku,'' katanya, dengan gaya cuek.

Mengenakan jins belel pendek dan baju kaus lusuh, Iwan sesekali tampak serius menjawab pertanyaan yang memang melintas tapal batas bidang kegiatannya sehari-hari. Yakni, soal partai politik. Pasalnya, belakangan Iwan diperebutkan organisasi politik peserta pemilu. Inilah petikan wawancaranya :

Mas Iwan, kayaknya Anda sedang diperebutkan orsospol. Anda tahu nggak nih?
Yee, orang kayak begini kok diperebutkan. Apanya yang mau direbutin. Tetapi, omong-omong, saya sudah beberapa hari nggak baca koran. Ada apaan sih? Sorry ya, saya balik nanya.

Kabarnya Mas Iwan diajak 'manggung' oleh ...?
(Pertanyaan belum selesai Iwan langsung memotongnya). Oh itu. Iya, per telepon. Waktu itu kan lagi ribut-ribut pas zaman mimbar bebas. Aku pikir asyik juga. Tetapi aku nggak langsung menyanggupi. Aku waktu itu cuman bilang ntar aja dulu deh. Tunggu September. Eh, tahu-tahu keburu ada ribut-ribut tanggal 27 Juli itu. Ya udah bubar. Padahal, lagunya udah aku siapin lho. Udah jadi. (Rupanya Iwan salah sangka, dikiranya Jawa Pos bertanya soal rencana manggungnya di mimbar bebas PDI yang akhirnya batal itu. Tetapi biar tak menyinggung perasaannya, pertanyaan diteruskan saja).

Terus kelanjutannya? Ya gitu. Males akhirnya. Padahal salah satu lagunya sudah aku selesaikan, judulnya Ibu. Itu lagu khusus dariku untuk Mbak Megawati. Aku kan simpati padanya. Dia orang baik. Sekarang lagu itu kusimpan saja. Aku kan lagi negosiasi album baru sama Musica Record. Nah, lagu itu kumasukkan juga ke situ. Nggak tahu kapan diterbitkan.

Gimana pendapat Mas Iwan tentang situasi politik sekarang ?
Ah, malas ngelihatnya. Aku ini kan musisi. Tetapi nggak berarti aku nggak peduli sama politik. Aku sih mengikuti. Tetapi kalau menurutku sih, politik yang ada sekarang ini cuma politik cengengesan. Payah. Jadi, bikin orang nggak demen saja. Kita ini belum dewasa dalam berpolitik.

Pernah nggak Mas Iwan ditawarin jadi caleg? Jadi calon anggota DPR begitu? Pernah. Waktu 1992 kan aku dihubungi sama orang-orang PPP. Aku ini sebenarnya seneng juga sama partai ini. Tetapi waktu itu aku tolak. Kayaknya nggak deh, begitu kujawab waktu itu. Aku memang merasa nggak punya bakat jadi anggota DPR. Lebih baik jadi pemusik saja. Lebih asyik.

Terus kalau sekarang ditawari lagi gimana? Ya sikapku nggak berubah. Nggak deh. Dengan bermain musik kan aku juga bisa berbuat untuk orang lain. Ya, mungkin bisa jadi anggota DPR sambil tetap menekuni musik. Tetapi aku ragu itu akan berhasil. Menjadi pemusik itu bukan main-main lho. Aku sendiri aja kerap kerepotan kok ngatur waktuku.

Aku ini kan sudah diberi rahmat sama Tuhan menjadi pemain musik. Ya aku turuti saja. (Saat mengucapkan itu, nadanya menjadi serius dan pandangannya menerawang menembus jendela kaca ke halaman rumahnya yang ditanami pohon-pohonan. Tetapi itu tak lama. Karena dia kembali tersenyum dan tertawa lepas).

Pernah dihubungi lagi sama orang-orang PPP? Ya kalau ditelepon sih sering. Tetapi mereka paham kok pada pendirianku. Kalau sekadar disuruh manggung sih aku mau. Bahkan kalau perlu main musik di depan seluruh anggota DPR/MPR juga aku mau. Wah kalau boleh, asyik juga itu. Aku pasti dengan senang hati bersedia kalau ada yang memintanya.

Jadi, tegasnya, Mas Iwan nggak bersedia nih jadi caleg? Nggak deh. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran lewat musik kan pahalanya nggak kalah dengan berjuang lewat politik.

Tetapi kan Pak Haji Rhoma Irama jadi caleg Golkar tuh? Lho beliau kan sudah lillahi ta'ala. Itu yang kudengar. Aku mendukung dan mencintai Pak Haji itu. Kalau memang itu pilihannya, tentu itu pilihan terbaik baginya. Kalau aku, kayaknya lebih sreg seperti sekarang ini saja. (Tangannya segera menyeka rambutnya yang tergerai lebat. Tatapan matanya sungguh tajam menikam. Tetapi tingkahnya tetap saja cuek. Waktu omong-omong itu, Iwan duduk di depan tuts organ yang sedang dipakai untuk rekaman musik. Rokoknya mengebul tebal ke langit-langit rumahnya yang bertingkat dua itu. Percakapan kemudian beralih sejenak pada kegiatannya sehari-hari dan persiapan album barunya nanti).

Mas Iwan, kalau Anda dicalonkan oleh Mbak Mega sebagai anggota DPR versi dia bersedia apa nggak? Nggak mau juga. Terima kasih kalau nama saya memang dicantumkan dalam daftar calonnya Mbak Mega. Saya setuju dengan perjuangan moral yang dilakukan Mbak Mega. Saya mendukungnya. Tetapi kalau jadi caleg, baik dari PPP, PDI, maupun Golkar, wah kayaknya aku nggak bakat deh.

Alasan Mas Iwan? Yaah, kalau politiknya masih tetap politik cengengesan, ya susah dong kita. Nggak tahu ya kalau nanti-nanti.

Mas Iwan optimistis kita akan melangkah lebih baik ? Oh, optimistis. Saya percaya bahwa masih ada hari esok yang lebih baik dan penuh harapan. Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Dan aku bangga menjadi bagian dari bangsa ini. Aku yakin makin hari kita akan menjadi semakin baik.

(Ketika berpamitan, jabatan tangannya terasa tulus sekali. Akrab dan hangat. Dia mengantarkan sampai ke depan pintu. Dan tak lama kemudian, musik terdengar lagi dari dalam rumahnya. Dia melanjutkan pekerjaannya semula yang terganggu sejenak dengan kedatangan Jawa Pos. Bento .... bento. Begitu musiknya. (iwan samariansyah)

Disajikan di Harian Jawa Pos, edisi 14 September 1996



Senin, Agustus 13, 2007

Menggugat Peristiwa Kelam 1964


Kraton Bulungan Dibakar Tentara

BANYAK peristiwa di masa lalu yang sekedar menjadi catatan sejarah yang tenggelam dalam tumpukan arsip di masa lalu. Tetapi banyak pula sejarah masa lalu yang menimbulkan keinginan banyak pihak untuk mengungkapkannya lebih jauh. Apalagi bila peristiwa itu berkaitan dengan tragedi dan tindakan yang bertentangan dengan rasa keadilan dan kebenaran.

Kabupaten Bulungan, sebuah daerah otonom yang terletak di provinsi Kaltim juga punya hal yang sama. Aku ingat, saat DPP Golkar dipimpin oleh Akbar Tanjung, tokoh-tokoh di daerah itu pernah mengajukan sebuah tuntutan kepada Akbar yang saat itu menjadi Ketua DPR-RI. Kebetulan, aku mencatat peristiwa itu dengan sangat baik.

Maklumlah, aku berasal dari daerah itu. Meski tidak lagi berdomisili di sana, bekerja sebagai perantau di Jakarta, aku terus mengikuti perkembangan yang ada di daerah itu. Apalagi orangtuaku tinggal di sana. Begitu pula politik lokal yang ada di daerah yang letaknya cukup jauh di pelosok dan dekat dengan perbatasan Malaysia Timur itu.

Tuntutan yang disebut “Bulungan Menggugat” itu disampaikan pada Akbar pada 1 Februari 2003 saat acara Temu Kader Partai Golkar di Lapangan Agathis, Tanjung Selor. Saat itu Akbar memang tengah berkunjung ke Kabupaten Bulungan dalam rangka melakukan konsolidasi partai. Para aktivis Partai Golkar memanfaatkan kesempatan itu mengajukan “Bulungan Menggugat”.

Tuntutan itu meminta Akbar sebagai salah satu tokoh nasional mendukung rakyat di Kabupaten Bulungan menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi Tenguyun – julukan untuk Kabupaten Bulungan – dalam kaitannya dengan peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada tahun 1964.

Maklumlah, setelah era reformasi, baru kali itulah tokoh-tokoh di Kabupaten Bulungan berani menyampaikan aspirasi mereka. Aspirasi yang tersimpan di dalam hati semua anak bangsa yang bermukim di seluruh Kabupaten Bulungan, dan menjadi sesuatu yang mengganjal, menurutku sangatlah wajar. Sesuatu yang menyesakkan dada mereka semua karena bertentangan dengan rasa kemanusiaan patutlah didengarkan.

Sejumlah tokoh dan warga masyarakat saat itu menuntut agar persoalan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1964 itu bisa diselesaikan secara tuntas. Latar belakangnya, kata mereka, adalah tuduhan kontra revolusi kepada tetua adat Kabupaten Bulungan yang umumnya adalah para anggota bangsawan Kerajaan Bulungan dan penistaan habis-habisan terhadap keluarga kerajaan Bulungan ketika itu.

Tuduhan kontra revolusi itu dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) cabang setempat. Dan karena saat itu PKI adalah salah satu partai yang dekat dengan kekuasaan, dengan mudah mereka merekayasa fitnah yang ditujukan pada para tetua adat Kerajaan Bulungan. Akibat fitnah tanpa bukti itu, pasukan KKO dan sejumlah aktivis PKI akhirnya melakukan tindakan sepihak.

Pasukan KKO dari Tarakan yang bergerak atas perintah Panglima Daerah Militer Mulawarman Brigjen Suharyo (Haryo Kecik, red) melakukan penyerbuan terhadap Kraton Bulungan di Tanjung Palas. Akibatnya, Kraton bersejarah itu dibakar habis dan harta kekayaannya dijarah oleh para penyerbu. Para kerabat kraton yang ingin membela Sultan Bulungan dan keluarganya dibantai. Dalam peristiwa pada 1964 itu terbunuh sekitar 50 orang keluarga Sultan Bulungan !

Meskipun peristiwa tersebut sudah berlalu lebih dari 40 tahun yang lalu, namun kejadian tersebut masih terus terbayang-bayang di benak para warga Kabupaten Bulungan. Mereka tak berdaya menggugat tragedi tersebut saat era Soeharto masih berkuasa, karena begitu kuatnya cengkraman rezim militer yang ada. Tetapi setelah reformasi datang, sejumlah keturunan keluarga Kesultanan yang masih hidup merasa perlu mengungkapkan hal itu.

Bagi mereka, peristiwa itu begitu mengerikan dan tak mungkin terlupakan sebelum ditegakkannya kebenaran dan keadilan. Kalau diperlukan saksi-saksi hidup, maka sejumlah orang menyatakan kepadaku bahwa siap untuk menjadi saksi sejarah akan kebenaran peristiwa kelam di masa lalu yang kerapkali hendak disembunyikan rapat-rapat itu !

Sepucuk surat telah dilayangkan ke pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan penyelidikan terhadap kejadian memilukan yang telah melukai harga diri rakyat Kabupaten Bulungan itu. Menurut salah satu tokoh, permintaan yang diajukan kepada pemerintah pusat itu adalah permintaan sederhana yang seyogyanya bisa dipenuhi oleh Jakarta.

“Kami tidak minta merdeka ! Kami tidak pernah menuntut macam-macam sejak Indonesia merdeka sampai sekarang ! Tetapi ijinkan kami kali ini bersuara agar ganjalan di hati kami lenyap,” begitulah ungkap salah satu tokoh kepadaku dengan bersemangat. Aku mencatatnya. Dan aku menuliskannya disini.

Tuntutan yang disebut sebagai “Bulungan Menggugat” itu terdiri dari dua pasal yaitu : Pertama, meminta agar pemerintah pusat menyampaikan permohonan maaf kepada ahli waris Kesultanan Bulungan atas terjadinya pembunuhan terhadap 50 orang keluarga Sultan Bulungan pada kejadian tahun 1964. Kedua, meminta agar pemerintah pusat dapat memberikan ganti rugi yang layak atas hancur dan terbakarnya Kraton Kesultanan Bulungan serta dirampoknya harta benda Kesultanan yang kini lenyap tak bersisa.

Apakah tuntutan tersebut dikabulkan atau tidak, tinggallah pada pihak-pihak yang menuntut untuk terus memperjuangkan haknya. Sedangkan pemerintah pusat di Jakarta, sepatutnyalah mendengarkan tuntutan itu sebaik-baiknya. Bagaimanapun Kabupaten Bulungan adalah bagian sah dari wilayah Republik Indonesia dan mereka juga berhak mendapatkan kebenaran dan keadilan.

Latihan Kepemimpinan Alam Bebas (2)


Berperang Melawan Para Komandan

MENGASYIKKAN. Mungkin itulah yang kebanyakan kami rasakan setelah hari pertama Outbond terlewati dan malam menjelang. Ceramah Pak Yakub tentang jati diri dan karakter seorang pemimpin juga benar-benar mempesona. Materinya bagus dan retorika atau cara penyampaian pada para peserta juga menarik. Kuperhatikan tak seorangpun mengantuk saat ceramah berlangsung, bahkan terkesan amat antusias.

Saat sesi kelas hendak dimulai, Pak Yakub menawarkan pada teman-teman yang ingin dibaca karakternya mengajukan diri sebagai sukarelawan. Majulah Mbak Atik (Retno Kustiati), redaktur halaman Yudisial juga asisten Redpel seksi dua dan Hikmat, redaktur Olahraga Jurnas minggu. Pertama-tama, mereka diminta menggoreskan tanda tangan di papan tulis. Baru kemudian dianalisis oleh Pak Yakub. Luar biasa. Tepat semua hasilnya.

Tak perlu kuceritakan secara rinci, tipe pemimpin seperti apakah Mbak Atik dan Hikmat. Yang jelas keduanya menyetujui analisis karakter berbasis tanda tangan yang dilakukan Pak Yakub. Outbond kali ini bertemakan PUSH, singkatan dari Padu, Utuh, Selaras, Harmoni. Dan tampaknya panitia, juga Pak Yakub berusaha membawakan materi yang kira-kira berkaitan dengan tema utama tersebut.

Usai ceramah, acara dilanjutkan dengan acara yang menurutku agak melankolis. Peserta berkumpul dengan kelompoknya masing-masing : kelompok bebek, kelompok Jos dan kelompok kucing garong. Masing-masing dari kami menuliskan kepada siapa kami hari itu mesti mengucapkan terima kasih. Isni, yang sedang berulang tahun di kelompokku mendapat ucapan terima kasih paling banyak. Aku dapat dua ucapan terima kasih : Dari Nus dan dari Iman. Hehehe, terima kasih kembali.

Habis itu ya apalagi kalau bukan acara suka ria menghabiskan malam, membakar api unggun. Dan sebagaimana biasa juga, acara diisi dengan sejumlah permainan dan pentas seni dari sejumlah artis karbitan. Ya, lumayan gokil juga deh. Cuma sehabis dihajar empat permainan seharian penuh, badan rasanya pegal-pegal, jadi sebelum acara tuntas, aku memilih masuk tenda untuk tidur. Aduhh, udaranya dingin banget.

Aku tidur satu tenda dengan Mas Aris (Sekred), Rihad Wiranto (Redaktur Eksekutif), Prima Harrison (Redaktur Internasional), Wahyu (Redaktur BUMN) dan Thontowi (Redaktur JBS dan Web). Satu tenda memang hanya bisa diisi oleh enam orang. Karena melihatku kedinginan, mas Aris menyarankan aku memakai sleeping bag. Jadi dengan mata setengah mengantuk, akupun mencari sleeping bag. Untung ketemu. Dan lumayanlah, bisa menjadi pengganti selimut.

Tahu-tahu, hari sudah pagi. Usai sholat shubuh, aku bangun keluar tenda dan berjalan-jalan keliling. Lokasi tempat tenda outbond itu dikelilingi oleh sejumlah perbukitan yang dipenuhi oleh pohon-pohon pinus. Meski jam sudah menunjukkan jam 07.00 pagi tetapi matahari belum kelihatan karena terlindung di balik perbukitan. Kegiatan kami pada hari kedua itu diawali dengan melakukan Senam Aerobik. Wah, musiknya dahsyat dan enak buat bergoyang.

Usai aerobik dan sarapan pagi, game pun dimulai. Kelompok bebek yang sudah semakin kompak memulai game hari itu dengan carpet games, yaitu peserta berdiri diatas sehelai karpet plastik dan berusaha membalikkan karpet tersebut tanpa keluar dari atas karpet. Kelompok kami berhasil menyelesaikannya dengan baik. Waktunya juga paling cepat. Game kedua belum bisa kami lakukan karena kelompok lain masih belum selesai.

Kamipun bermain game selingan yang namanya Game Apa. Pertanyaan dilontarkan secara berantai dan tidak boleh salah. Betul-betul permainan yang menurutku konyol, tetapi cukup menyenangkan. Teman-teman menyebutnya sebagai permainan bolot. Cocok saja sih kufikir, karena memang kelakuan kita benar-benar kayak orang bloon.

Game kedua adalah memasukkan air dari botol kecil ke botol yang besar, tetapi dengan menggunakan beberapa utas tali yang cukup panjang. Game inipun berhasil kami lewati dalam waktu sekitar 18 menit. Dan game yang ketiga adalah memecahkan persoalan traffic jam dimana ada sembilan kotak, satu kotak dikosongkan. Kelompok dibagi dua, empat menghadap ke barat dan empat lagi menghadap ke timur. Game inipun bisa kami selesaikan dengan cepat.

Ketiga game tersebut selesai dan cukup mengejutkan bahwa kelompok kami yakni Bebek Kwek Kwek Kwek dinyatakan sebagai juara, padahal pada hari pertama yang menjadi juara adalah Kucing Garong. Sekotak permen pun menjadi piala kami.

Kamipun beristirahat sejenak di tenda utama sebelum melanjutkan dengan game keempat yaitu lomba kelompok menggulirkan bola golf di atas potongan talang air yang akan disambung-sambung. Untuk game terakhir ini kami menempati posisi runner-up karena dikalahkan oleh kelompok Kucing Garong. Dan sebagai penutup game adalah kami mesti berperang dengan para komandan. Kelompok-kelompok di bubarkan.

Darson, sang manajer IT Jurnas, kami angkat sebagai Panglima Tempur. Jadi ceritanya, kami harus membawa dua buah lilin yang menyala dari sebuah tempat ke tempat lain sejauh 500 meter, sementara para komandan akan menembaki kami dengan senapan air. Medannya lumayan berat, karena berada di daerah perbukitan. Darson mengatur posisi dan strategi. Heny dan Bonnie ditunjuk membawa lilin, dan sisanya akan berusaha menjadi benteng untuk menjaga lilin tetap hidup.

Pertama kali dilakukan, rupanya strategi ini kurang berhasil. Baru berjalan sejauh 50 meter, lilin sudah mati kena tembak air para komandan. Kamipun mengubah taktik. Hanya delapan orang yang akan menjadi pengawal pembawa lilin, sedangkan sisanya akan bertindak sebagai tentara pengganggu yang aktif menghalang-halangi komandan yang akan berusaha menyerbu para pengawal dan pembawa lilin.

Rupanya strategi ini cukup jitu dan kami semua sukses membawa lilin yang menyala tersebut ke tempat yang sudah ditentukan. Hebat juga kita semua ya ? Kalau dipaksa untuk kompak bisa juga kompak. Yang jelas dalam hal ini diperlukan team player yang bekerjasama dengan baik. Hari kedua outbond diakhiri dengan sesi kelas oleh Albert Kuhon tentang manajemen media massa. Sayangnya, sesi ini kurang menarik. Banyak peserta yang tertidur saat ceramah sedang berlangsung. Entah karena mengantuk atau kecapekan, atau keduanya. Entahlah.

Kami pun turun kembali ke Jakarta dengan membawa sejumlah kenangan yang indah tentang Outbond dua hari di puncak. Manajemen tentu berharap bahwa kami mendapat nilai tambah dari kegiatan ini. Aku akui itu. Tetapi kalau untuk mengulanginya lagi, waduh mohon maaf, cukuplah sudah sekali saja. Capek. Pegal-pegal di badan bahkan terasa sampai ketika posting ini aku tulis. Tapi apapun itu, terima kasih untuk pengalaman mengasyikkan ini.

Minggu, Agustus 12, 2007

Latihan Kepemimpinan Alam Bebas (1)


Outbond ala Jurnas di Ciburial

MELEPAS penat akibat beban rutinitas harian selalu diimpikan para pekerja. Apalagi para pekerja di media, karena itu hari libur bagi kami yang bekerja di media seperti Jurnal Nasional tentu sangatlah ditunggu-tunggu. Tetapi berbeda dengan liburan Jum'at dan Sabtu, 10 dan 11 Agustus lalu. Manajemen kantor mengharuskan kami, para redaktur untuk mengikuti kegiatan di alam terbuka. Sebuah upgrading untuk melatih jiwa kepemimpinan, dan karena itu diharuskan, maka mesti dengan setengah menggerutu kamipun ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Maklumlah. Kegiatan alam bebas buat kami tentulah hal yang baru. Apalagi sebelum berangkat, Yusrianty, sang panitia melemparkan email di milis internal bahwa outbond ala Jurnas kali ini dilangsungkan dengan cara berkemah. Berkemah ? Waduh, terbayang masa-masa ikut Pramuka jaman sekolah dulu. Tak heran bila komentar yang muncul
di milis juga aneh-aneh. Aku sendiri tak keberatan dengan kegiatan ini. Hitung-hitung mencari suasana baru. Bosan berada di kantor terus, ataupun kalau libur paling-paling juga tidur di rumah.

Bagi seorang jurnalis mencari berita adalah tugas yang menjadi kegiatan rutin yang harus dilakoni. Usai mengumpulkan berita, dia harus kembali ke kantor: membuat laporan, menulis artikel atau merangkum menjadi sebuah tulisan menarik. Siklus itu tak dapat dihindari. Kadangkala, siklus itu membuatnya jenuh dan merasa terhimpit dalam sekat-sekat. Pasalnya, ia selalu dituntut untuk berkreasi dan inovasi untuk mengembangkan ide tulisan. Buatku, kegiatan outbond salah satu selingan yang cukup menyenangkan buatku.

Berangkat dari kantor ternyata mesti pagi hari. Jam 07.00 WIB semua sudah harus berkumpul di Jalan Pemuda No. 234 Rawamangun. Waduh, mesti berangkat pagi-pagi sekali kalau begitu, fikirku. Meski kuusahakan berangkat dari rumah jam 06.00 pagi ternyata baru jam 06.30 aku baru bisa meluncur ke Rawamangun. Untunglah ternyata banyak yang juga datang terlambat, jadi ketika sampai pukul 07.45 ke kantor bisnya belum bergerak.

Perjalanan ke lokasi outbond lancar-lancar saja. Tetapi kerisauan sejumlah teman di milis terbawa-bawa di dalam bis. Alhasil, omelan sejumlah rekan redaktur tercetus begitu saja di bis. Intinya mereka keberatan dengan kegiatan ini. Aku yang mendengar celetukan khas Nurul, penjaga rubrik halaman ekonomi dan bisnis cuma tersenyum saja. Begitu juga keluh kesah yang dikeras-keraskan yang dilontarkan Isni, manajer iklan Jurnas itu.

Yang terkesan cuek, mungkin karena masih mengantuk adalah Hikmat. Redaktur yang bertugas di halaman olahraga untuk Jurnal edisi mingguan itu langsung terlelap begitu bus mulai berjalan. "Baru bisa tidur tadi jam 3 pagi, biasa nonton bola sama main play station," ujar Hikmat terkekeh, sembari mengatur posisi. Dia duduk persis di belakangku. Sementara duduk bersamaku adalah Isni.

Kami sampai di lokasi, Ciburial sekitar pukul 10.00 WIB dan kemudian dilangsungkan acara pembukaan. Penyelenggara Outbond ini rupanya ada dua pihak yaitu Mentari Outbond dan Mada Development Institute. Selain Outbond, juga ada dua sesi kelas masing-masing pada Jum'at malam dan Sabtu siang esok. Usai acara pembukaan, kami langsung melakukan orientasi lapangan. Lokasinya sebetulnya cukup menyenangkan, dan tendanya juga di luar dugaan ada kasurnya. "Wah, kalau begini ya asyik asyik aja," ujar Wahyu, redaktur halaman BUMN.

Karena waktu Jum'at sudah masuk, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan sholat Jum'at terlebih dahulu. Usai sholat Jum'at peserta yang jumlahnya 23 orang langsung dibagi menjadi tiga kelompok. Cara pembagiannya cukup unik. Pertama-tama, diadakan dulu aktivitas Ice Breaking untuk memecahkan kebekuan suasana. Tiap-tiap peserta memilih kelompok Outbond dengan cara mengikuti sejumlah permainan yang disiapkan para komandan. Ya, komandan adalah cara panitia menyebut diri mereka.

Aku akhirnya masuk kelompok Bebek. Ada tujuh orang yang tergabung dalam kelompok ini yaitu Heny Prasetyo (Manajer HRD), Isni (manajer Iklan), Wahyu (redaktur BUMN), aku (redaktur Olahraga), Sapariah (redaktur Ekonomi Mikro), Nuswantoro (redaktur Jurnal Utama) dan Prima Harrison (redaktur Internasional). Belakangan Iman Syukri (redaktur halaman opini dan Iptek) juga bergabung. Dia datang terlambat.

Tantangan pertama yang kami hadapi adalah game pampers. Disebut demikian karena peserta pada game ini bisa basah, karena kejatuhan ember yang diisi dengan air. Bayangkan saja disiram air seember dengan pakaian masih lengkap, tentu tidak enak sekali. Jadi permainan dilakukan dengan berdua. Seorang bertugas sebagai pemandu, dan satunya lagi dengan mata ditutup berjalan melewati rintangan yang sudah dihubungkan dengan tali yang disambungkan dengan jebakan air. Pemain yang bertugas sebagai pemandu duduk di bawah ember yang diisi air.

Wahyu, Prima maupun aku gagal melewati tantangan ini dan basah kuyup disiram air seember penuh. Yang berhasil adalah Heny, yang kebetulan kami tunjuk sekalian menjadi Ketua kelompok. Dia meminta Nus sebagai pemeran yang matanya ditutup, dan Nus sukses melewati rintangan dengan cara merayap di bawah semua rintangan. Waduh, tak terfikirkan olehku tadi. Waktu itu aku memilih Sapariah sebagai pasangan bermain game ini.

Game kedua adalah menaiki sebuah batang kayu yang mesti dipanjat dengan cara menaiki tonggak-tonggak kayu di sepanjang batang kayu itu. Kami mengenakan alat pengaman agar kalaupun jatuh tetap aman. Tonggak kayu itu didirikan dengan cara menghubungkannya dengan enam utas tali yang dipegang oleh peserta lainnya. Sampai di puncak, bukan berarti selesai, karena kami mesti berdiri di atas tonggak kayu itu kemudian memukul sebuah bola yang digantung diatas kepala kami. Untuk game ini, ternyata Sapariah dan Prima berhasil mengatasi tantangan. Isni dan Wahyu gagal mencapai puncak. Dan aku, Pras dan Nus sudah mencapai puncak tonggak kayu namun gagal memukul bola tersebut.

Kami melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya. Itulah dia pos flying fox yang terkenal sebagai simbol kegiatan outbond itu. Jadi kami mesti meluncur di atas sehelai kawat baja yang dibentangkan diantara dua pohon besar sejauh 500 meter. Awalnya cukup menakutkan. Tetapi aku nekad mencoba sebagai orang pertama dan sukses besar. Semua anggota kelompok bebek berhasil menyelesaikan tantangan ini.

Hari sudah menjelang sore ketika kami akhirnya tiba pada pos terakhir hari ini, yaitu menyelesaikan game Benteng Alcatraz. Wow. Namanya seram, tetapi sebetulnya hanyalah sebuah permainan, dimana kami harus melewati kotak-kotak berjumlah 7 x 9 dan diantara kotak-kotak itu terdapat bom yang ditentukan komandan. Di luar dugaan, kami sukses melewati tantangan tersebut tanpa korban sedikitpun. Luar biasa.

Game pun akhirnya berakhir, dan kami kembali ke tenda. Aku menyempatkan diri untuk mandi sore. Wah asyiknya, meski airnya dingin betul, karena memang terletak di dataran tinggi. Embun mulai turun menusuk badan. Akupun mengenakan jaket dan bersiap untuk acara malam hari yaitu sesi kelas yang akan dibawakan oleh Pak Yakub, seorang motivator profesional yang sering siaran di Radio Smart FM. Ceramahnya bagus sekali dan sangat inspiratif. Saya suka orang ini.

Berikutnya cerita dihari kedua, aku ketik besok saja ya ? Sudah malam soalnya.


Kamis, Agustus 09, 2007

Tersebar Isu Beckham Turun Main


Dan 45.000 Tiketpun Terjual Habis !


Oleh : Iwan Samariansyah

NAMA besar bintang sepakbola asal Inggris David Beckham benar-benar laku dijual di Amerika Serikat. Buktinya, isu bahwa Beckham akan turun main dalam Liga Sepakbola Amerika (Major League Soccer) bersama klub barunya Los Angeles Galaxy membuat penjualan tiket pertandingan meningkat drastis. Total tiket 45 ribu lembar sudah terjual untuk pertandingan Kamis (9/8) malam atau Jum'at pagi WIB di RFK Stadium di tengah kota.

Padahal hingga kini, pihak Galaxy belum bisa memberikan jaminan apakah Beckham bakal ikut bermain bersama timnya melawan DC United atau tidak. Pada pertandingan sebelumnya saat Galaxy bermain imbang 1-1 melawan Toronto FC, Minggu (5/8 lalu), pemain tengah internasional itu hanya bisa duduk di bangku cadangan mengingat cedera pergelangan kakinya yang belum sembuh.

Beckham sendiri sungguh risau dengan keadaannya tersebut. Saat pertandingan eksibisi melawan Chelsea dalam pertandingan eksibisi baru-baru ini, dia sempat turun lapangan selama 15 menit. Saat itu dia mendapat aplaus meriah dari penonton yang memang sejak lama menantikan penampilan Beckham di Amerika, dan Beckham sendiri merasa puas atas kesempatan itu.

Yang jelas, isu mengenai bakal turunnya Beckham membawa berkah tersendiri bagi tim MLS tuan rumah yang sudah dan akan menjamu Galaxy seperti FC Dallas, DC United dan New England Revolution. Tiket-tiket pertandingan mereka diserbu para pemesan, pertanda bahwa demam sepakbola (soccer) mulai melanda publik Amerika yang biasanya tergila-gila dengan American football.

Dari laporan media, penjualan tiket yang bagus sudah diumumkan oleh tiga tim yang akan didatangi Galaxy. DC United bertemu pada pertandingan Kamis (9/8), sedangkan New England Revolution akan menjadi tuan rumah bagi Galaxy Minggu (12/8). New England bahkan menyatakan sudah membuka stadion mereka yang selama ini ditutup bila tidak ada pertandingan MLS.

"DC United tidak saja akan mendapat dukungan dari penggemar mereka selama ini, tetapi Kamis malam akan banyak penonton yang selama ini bahkan belum pernah menyaksikan permainan DC United. Saya akui, daya pikat Beckham dan Galaxy memang luar biasa," kata Wakil Ketua United, Stephen Zack.

New England biasanya menyelenggarakan pertandingan kompetisi MLS di Gillette Stadium yang berkapasitas 69.000 tempat duduk. Tempat itu akan dipenuhi penonton apabila tim khas sepak bola Amerika New England Patriots sedang bermain, dan biasanya didatangi penonton sekitar 20.000 orang. Tiket yang terjual saat ini sudah hampir mencapai separuh kapasitas stadion.

Untuk pertandingan Minggu, data yang ada menunjukkan bahwa pihak tuan rumah sudah menjual tiket sebanyak 32.000 lembar, karena antusias penonton untuk melihat Beckham untuk pertama kali di Massachusetts. Para pendukung FC Dallas amat vokal menyuarakan rasa kecewa mereka karena tidak melihat bintang MLS itu pada pertandingan Superliga 31 Juli lalu di Texas.

Para ofisial Dallas dengan cepat bereaksi menyatakan siapa yang membeli tiket lebih dahulu akan dapat menyaksikan pertandingan 2008 dan tiket akan dijual sebelum kompetisi diputar.

Beckham sendiri berjanji bahwa bila kesehatannya memungkinkan, maka dia akan berupaya turun ke lapangan. Dia meneruskan perjalanannya bersama tim untuk melakukan tiga pertandingan di kawasan timur Amerika Serikat. Tetapi kendati mereka menaiki pesawat jet carteran yang mewah, tetap saja cedera pada pergelangan kaki Beckham tidak berubah dengan cepat.

Jadi, begitulah. Kelihatannya penantian panjang dan keberuntungan suami mantan Spice Girls Victoria Beckham itu untuk bermain dalam liga sepak bola Amerika bersama klub Los Angeles Galaxy sembari mempopulerkan olahraga tersebut di daratan Amerika masih akan tetap belum berubah.

Setelah mengikuti latihan ringan di Washington Rabu lalu, ia mengatakan bahwa ia sudah bisa berlari lurus, tetapi bila lari sembari membelok ia masih merasakan nyeri di kakinya. "Saya kira membuat frustrasi atlet bila ia tidak dapat melakukan apa yang sebelumnya suka dilakukannya," kata Beckham, "Ini amat membuat frustrasi karena rasa nyeri ini sudah membuat saya tidak bisa bermain selama delapan minggu."

"Tetapi rasanya sudah membaik dan semakin sembuh dari hari ke hari. Tetapi saya menginginkan ini cepat sembuh. Tapi ini kejadian alamiah," katanya.

Tim itu akan terbang ke Boston setelah melakukan pertandingan di United, dan mereka akan berhadapan dengan New England Revolution, Minggu. Pertandingan selanjutnya pada semifinal SuperLiga melawan DC United Rabu di Los Angeles.
(AFP/Reuters/NYT)

Rabu, Agustus 08, 2007

Putri Indonesia 2007 : Cerdas dan Memikat


"Seorang pengecut mati berkali-kali di sepanjang hidupnya, sedangkan seorang pahlawan hanya mati satu kali dalam hidupnya."
Itulah jawaban lugas dan tepat dari gadis ayu berusia 20 tahun, Putri Raemawasti yang kemudian terpilih menjadi Puteri Indonesia 2007. Waktu itu, puteri menjawab pertanyaan pembaca acara Ferdi Hasan yang melontarkan pertanyaan kepada dirinya tentang perbedaan antara seorang "Pahlawan" dan "Pengecut".

Bukan main. Begitu percaya dirinya mahasiswi Intitut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya semester empat itu. Cerdas dan memikat. Itulah kesan umum para juri pada malam Grand Final Pemilihan Puteri Indonesia 2007, Jumat malam (3/8) pekan lalu. Dan begitulah. Tak salah kalau akhirnya, total nilainya berhasil menyingkirkan dua kandidat lainnya dalam ajang tiga besar yakni Duma Riris Silalahi (Sumatera Utara) dan Ika Fiyonda Putri (DKI Jakarta 4).

Kemampuan Putri menjawab pertanyaan dewan juri pada babak tiga besar benar-benar mencuri perhatian para juri yang terdiri dari pakar di berbagai bidang itu. Kecerdasannya terpancar keluar. Dia menjawab tanpa ragu-ragu, dan sama sekali tak takut dengan apapun pertanyaan yang dilontarkan oleh Dewan Juri. Luar biasa.

Gadis kelahiran Blitar, Jawa Timur, pada5 Desember 1986 itu juga mampu menjawab secara baik pertanyaan dari salah seorang juri, Thamrin B. Bachri (Direktorat Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata/Depbudpar) pada saat ia masuk babak 10 besar.

Thamrin yang malam itu menanyakan lima dari 10 target Millenium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium /MDGs) mengangguk-anggukkan kepala seolah puas dengan jawaban Putri.

"Pertama adalah penyetaraan gender, pemerataan kesehatan, pendidikan bagi anak-anak, memerangi HIV/AIDS dengan menggalakkan penyuluhan, serta menggalang kerjasama dengan pihak swasta," ujar gadis yang hobi menari, membaca, dan olahraga ini.

Sejak duet pembawa acara Ferdy Hassan dan Nadia Mulia mengumumkan 10 besar terbaik dari 36 finalis Puteri Indonesia 2007, Putri yang sejak kecil memiliki ketertarikan di bidang pariwisata ini melenggang dengan tenang. Ia pun lantas menembus babak tiga besar dan akhirnya terpilih sebagai Puteri Indonesia 2007 menggantikan Agni Pratistha, Puteri Indonesia 2006.

Sebelumnya, dalam babak 10 besar terpilih Duma Riris Silalahi (Sumatera Utara), Ika Fiyonda Putri (DKI Jakarta 4), Elvaretta Nathania Gunawan (Jawa Tengah), Putri Raemawasti (Jawa Timur), Tri Handayani (DKI Jakarta 2), Milfa Yeni (Sumatera Barat), Yuli Ramadayanti (Kalimatan Barat), Fitri Adityasari (DKI 3), Christy Anggeline Jawiraka (Papua), dan Putri Widyasari (DKI Jakarta 5).

Jumlah ini kemudian mengerucut menjadi tiga besar setelah 10 besar finalis mendapat masing-masing satu pertanyaan dari dewan juri. Pertanyaan yang dilontarkan diantaranya seputar bagaimana finalis memandang hidup, pengetahuan tentang pemanasan global, kampanye anti narkoba, kekuatan diri seorang wanita, serta tentang nilai-nilai persahabatan.

Dari 10 besar itu akhirnya terpilih tiga besar, yakni Putri Raemawasti (20), Duma Riris Silalahi (23) dan Ika Fionda Putri (19). Dalam babak penentuan akhir ini mereka masing-masing mendapat pertanyaan yang sama yakni tentang apa artinya perbedaan "Pahlawan" dan "Pengecut".

Dalam jumpa pers usai perhelatan yang berakhir lewat tengah malam itu Putri mengungkapkan luapan kegembiraan dan rasa syukur telah terpilih menjadi Puteri Indonesia 2007. "Saya tidak menyangka akan terpilih, sebab dua orang rekan saya, Duma dan Putri sama-sama kompeten. Mereka juga memiliki kriteria 3B," ujarnya yang tampak anggun dalam balutan busana karya desainer Anne Avantie.

Kemenangannya malam itu bagi Putri adalah anugerah Tuhan yang dipersembahkan untuk daerah yang diwakilinya, Jawa Timur, untuk orang tua dan Blitar sebagai kota kelahirannya tercinta, serta teman-teman kuliahnya di ITS.

"Mereka semua yang memberi saya dukungan dan kesempatan untuk mengikuti ajang Pemilihan Puteri Indonesia 2007 ini," ujar gadis yang ketertarikannya pada pariwisata berawal dari rumahnya yang berdekatan dengan kawasan wisata Malam Bung Karno di Blitar.

Terkait langkah selanjutnya setelah terpilih, Putri mengungkapkan akan berupaya sebaik-baiknya untuk menjalankan tugas sebagai Puteri Indonesia. "Tentu saja juga persiapan untuk ajang Miss Universe 2008 dengan melalui serangkaian pembekalan," ujarnya yang dalam jumpa pers didampingi Duma dan Putri.

Malam Grand Final Pemilihan Puteri Indonesia 2007 dihadiri Menteri Depatemen Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Meutia Hatta, dan sejumlah Puteri Indonesia terdahulu diantaranya Indira Soediro, Shanti Manuhutu, Dian Khrisna, Artika Sari Devi, Nadine Chandrawinata, Agni Pratistha, Valerina Daniel, dan Rahma Alia.

Miss Universe 2007, Riyo Mori, juga tampil di penghujung acara dalam tarian singkat bersama Agni Pratistha. Malam itu keduanya terlihat anggun dalam balutan busana khusus yang dirancang oleh Anne Avantie.

Acara yang disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta sejak pukul 21.00 WIB ini dimeriahkan penampilan Agnes Monica, Gita Gutawa, Ungu, Christoper Abimanyu, dan iringan musik Yovie Widianto.

Atas kemenangannya, Putri mendapat berbagai hadiah diantaranya sebuah mobil Suzuki Karimun Estilo. Ia juga mendapat satu unit sepeda motor Yamaha Mio, seperangkat perhiasan, tabungan, dan beasiswa sekolah.

Yang jelas, untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilihan Putri Indonesia, maka kita mendapatkan seorang perempuan yang tidak saja berwajah cantik tetapi juga berisi. Ucapannya memikat, cerdas dan punya wawasan yang luas. Bahkan bila dibandingkan para putri Indonesia sebelumnya, inilah dia putri Indonesia terbaik yang pernah ada !

Sumber : Kantor Berita Antara.

Selasa, Agustus 07, 2007

Wawancara Sukendra Martha, Sekretaris Utama Bakosurtanal (2006)

Pernah Mencalonkan Diri Jadi Astronot

SIAPA bilang seorang peneliti harus berpenampilan kaku dan serius ? Sukendra Martha adalah satu dari sedikit peneliti yang menepis anggapan tersebut. Orang nomor dua di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) ini dikenal sejawatnya sebagai pria yang berpenampilan supel, hangat dan humoris.

Tidak itu saja. Saking banyaknya koleksi humornya, maka koleksi humor itu telah dia tulis dan kumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul Peneliti Membanyol yang berisi hal-hal lucu dan ringan dalam lingkungan kerja para peneliti.

Alumni Fakultas Geografi UGM tahun 1979 ini menyadari betul peran pers dalam mendukung tugas, pokok dan fungsi dari instansi yang digelutinya sejak dia usai menempuh pendidikan tingginya dulu. Kebetulan jurusan yang dipilihnya di Fakultas Geografi adalah jurusan Kartografi pula sehingga klop dengan bidang tugasnya di Bakosurtanal yang mengurusi soal survai dan pemetaan. Yang juga menarik, Kendra - begitu panggilan pria berkumis ini - selama ini dia tidak pernah melamar ke instansi lain kecuali Bakosurtanal.

”Mungkin saya ini tipe orang yang loyal pada sesuatu yang sudah saya tetapkan sebagai pilihan hidup saya. Karena menjadi peneliti itu sudah komitmen hidup saya maka akan saya jalani dengan sebaik-baiknya,” ujar pria kelahiran Cirebon, 12 September 1954 ini saat saya temui di kantornya yang asri, Cibinong, Bogor Jawa Barat, Kamis, 2 Maret 2006 yang lalu.

Perjalanan hidup Kendra, yang juga Ketua Umum IGEGAMA (KAGAMA Komisariat Geografi, red) ini banyak yang menarik. Tidak banyak yang tahu bahwa suami dari Dra. Hj. Retno Indro Estuti (adik almarhum Dr. Kuntowijoyo, red) ini pernah mencalonkan diri menjadi Astronot Indonesia. Menjadi calon Astronot artinya juga menjadi calon peneliti di angkasa luar.

Didorong oleh atasannya dan izin dari isterinya tercinta, Sukendra pun akhirnya mantap melamar jadi astronot. Untuk menjadi astronot baik dalam program Badan Antariksa Eropa (ESA), Badan Antariksa AS (NASA), Rusia, Jepang maupun Kanada membutuhkan persyaratan yang tidak mudah.

Secara umum diperlukan pendidikan minimum Sarjana muda dari Universitas yang sudah terakreditasi. Dan mereka juga harus mempunyai pengalaman kerja minimal tiga tahun setelah lulus.

Dengan begitu banyaknya persyaratan, diapun tetap ’’nekad’’ untuk mengikuti tes seleksi menjadi Astronot bersama 49 pelamar lainnya. Mulai dari tes tertulis, tes wawancara, latihan kesehatan (fisik) diikuti bersama bakal calon Astronot lainnya sebagaimana tes masuk Angkatan Udara di Lakespra Saryanto, Jakarta.

”Waktu itu saya berfikir, ini penting buat saya. Minimal untuk mencari pengalaman aneh dalam hidup ini yang lain dari yang lain, hahaha …..” ujar ayah tiga anak ini tergelak.

Dan begitulah. Hasilnya diumumkan lewat surat dan istrinya juga turut membaca surat tersebut. Hasilnya, alhamdulillah ….. tidak lulus. Ucapan syukur tersebut meniru ungkapan spontan isterinya yang ternyata berhari-hari berdoa setiap malam agar sang suami tidak lulus tes. Lho kok ? ”Isteri saya bilang, walaupun memberi ijin tertulis dia keberatan. Karena kalau terjadi apa-apa, pasti kehilangan suami dong,’’ senyum Sukendra mengenang kejadian tersebut.

Menjadi peneliti memang merupakan pilihan hidup pemegang dua gelar Master dari Oklahoma State University, Stillwater, Amerika Serikat (bidang Geografi, 1984) dan University of New South Wales, Kensington, Australia (bidang Remote Sensing, 1992) ini. Itu pernah diungkapkannya sendiri ketika ditanya oleh Kepala Bakosurtanal (saat itu), Prof Jacub Rais sepulang dia dari Australia.

”Beliau tanya pada saya, You mau kemana? Mungkin saja tawaran tersebut merupakan kesempatan jabatan atau sekedar basa-basi, saya tidak tahu. Tetapi dengan mantap saya menjawab bahwa saya ingin menjadi peneliti saja. Saya pilih jadi peneliti karena itu sesuai dengan pilihan hati nurani saya dan bisa mengamalkan ilmu yang telah saya dapatkan dengan sebaik-baknya,” kisah Kendra.
Pengalaman lain yang tidak bisa terlupakan oleh Kendra adalah ketika dirinya mengikuti kursus bersama Ratu Thailand, Sirikit Bhumibol Adulyadey. Disitu, tidak setiap orangt bisa bertemu langsung dengan Ratu Thailand tersebut. Suasana selama mengikuti kursus pun dibuat resmi. Akibatnya, peserta kursus sama sekali tidak bisa bercanda selama menjadi classmate. Maklum sekelas dengan seorang ratu. Benar-benar tidak enak. (iwan samariansyah).