Selasa, Mei 01, 2012

Uji Kompetensi Jurnalis AJI Perdana


Pertama kali digelar, 19 peserta UKJ mengikuti kegiatan itu dengan antusias.

Antusias dan tangkas. Itulah yang sepintas tertangkap dari para peserta yang mengikuti kegiatan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) di Wisma Hijau, Cimanggis, akhir pekan lalu. Kegiatan yang untuk pertama kalinya digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia itu diikuti oleh 19 peserta dari seluruh Indonesia, empat diantaranya jurnalis perempuan. Tanpa kenal lelah mereka mengikuti semua tugas dan materi UKJ yang disiapkan oleh tim penguji.

UKJ digelar selama dua hari, Sabtu (28/4) dan Minggu (29/4) diikuti oleh 18 orang jurnalis media cetak dan seorang jurnalis media elektronik Radio Prosalina, Jember. Lima peserta berasal dari Jakarta, juga dari Bandung (4 orang), Balikpapan dan Semarang masing-masing dua orang dan Surabaya, Jayapura, Ternate dan Manado diwakili masing-masing seorang jurnalis. Selain UKJ sehari sebelumnya digelar pula Training of Trainers (TOT) calon penguji UKJ.

Yang menarik, jumlah peserta yang mengikuti TOT sebagai calon penguji ternyata lebih banyak dari peserta yang mengikuti UKJ itu sendiri. Ada 31 peserta yang mengikuti TOT calon penguji dengan 28 orang diantaranya membubuhkan tanda tangannya di daftar hadir yang saya minta dari pihak panitia. Hanya empat peserta TOT berasal dari Jakarta dan selebihnya dari berbagai kota di seluruh Indonesia. Mereka berasal dari 25 media cetak dan enam media elektronik.

Meski diikuti cukup banyak peserta, UKJ pertama kali ini masih didominasi peserta pria. Tidak banyak jurnalis perempuan yang ikut serta dalam kegiatan ini, entah kenapa. Hanya empat orang dari 19 peserta. 20 persen peserta perempuan mestinya jumlah yang kurang memadai. Apalagi penyelenggaraan kegiatan ini diselenggarakan di bulan April, bulan yang seharusnya menjadi milik kaum hawa karena ada peringatan Hari Kartini disitu.

Wisma Hijau, bangunan milik Bina Swadaya ini merupakan sebuah bangunan lama yang berdiri pada tahun 1982. Tentu saja dengan harapan bahwa di tengah alam bernuansa hijau, segar lantaran pagar bambu, tanaman rumput, tanaman hias dan berbagai jenis pohon yang tumbuh di lingkungan ini akan lahir generasi pertama anggota AJI yang kompeten dan professional. Lantai dua Gedung Utama Wisma Hijau berukuran sekitar 14 meter x 11 meter itu menjadi riuh rendah oleh suara para panitia, peserta UKJ, calon penguji dan para penguji.

Wisma Hijau telah menjadi saksi bisu terciptanya sebuah sejarah. Di tengah-tengah ruangan yang didominasi warna hijau itu akan tercipta generasi baru anggota AJI, organisasi jurnalis yang berkeinginan ingin terus meningkatkan mutu para pekerja pers yang menjadi anggotanya. Panitia dan peserta menyebar di beberapa meja terpisah, asyik dengan kesibukannya sendiri-sendiri. Tim penguji dan peserta yang diuji sama-sama sibuk.

Yang satu sibuk menyiapkan pertanyaan yang harus diajukan ke peserta, dan yang lain sibuk menyiapkan jawaban yang dianggap bisa memuaskan penanya. Saling umpan balik. Sekitar 50-an orang hilir mudik dalam ruangan berukuran sekitar 14 meter x 11 meter itu. Di atas meja bertebaran laptop, ponsel, gelas minuman, kertas ujian, kunci, alat tulis dan tas peserta. Pendek kata segala macam peralatan yang dibawa oleh peserta, panitia, penguji maupun observer yang ikut hadir pada UKJ pertama ini.

Ketua Umum AJI Indonesia Eko Maryadi kepada wartawan mengatakan bahwa penyelenggaraan AJI Indonesia itu adalah amanat Kongres AJI di Makassar. AJI berkomitmen untuk mendukung pengembangan kapasitas profesi para anggotanya. ”Kita mendukung peningkatan kualitas profesionalisme para anggota AJI. Oleh karena itu mau tidak mau kita harus mengadakan UKJ ini,” katanya saat ditanya wartawan di Depok, Sabtu (28/4) lalu. 

Dia berkeyakinan bahwa bagi jurnalis, UKJ ini memberikan keuntungan bagi semua pihak yang berkepentingan pada profesi jurnalis. Termasuk pula bagi masyarakat umum. Makin banyak jurnalis yang memiliki kompetensi yang memadai maka akan muncul pers yang sehat dan beretika di Indonesia. ”Jurnalis yang yang lulus UKJ ini jelas memiliki kompetensi dan standar etik yang berbeda,” katanya.

Abdullah Alamudi, mantan anggota Dewan Pers yang kini menjadi staf pengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo menyampaikan apresiasinya pada antusiasme peserta yang mengikuti ajang UKJ kali ini. ”Ini jelas merupakan bukti keseriusan AJI dalam melahirkan para jurnalis yang profesional,” katanya.

*) Dimuat di Harian Jurnal Nasional edisi Rabu, 2 Mei 2012 halaman 9

Kamis, April 26, 2012

Korban Lapindo Terus Bertahan

Bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo
Oleh : Iwan Samariansyah

Tanpa memedulikan keselamatannya, warga korban lumpur Lapindo menduduki titik 25.


RATUSAN warga korban lumpur Lapindo masih terus bertahan di tanggul penahan lumpur di titik 25 menunggu proses pelunasan ganti rugi oleh Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar dari Lapindo Brantas Inc.

Salah seorang korban luapan lumpur asal Glagah Arum, Suhadi, Selasa (24/4), mengatakan, warga akan tetap bertahan di tanggul penahan lumpur di titik 25 sambil menunggu proses pembayaran sisa ganti rugi warga kepada korban lumpur.

"Kami akan bertahan di lokasi ini sampai proses pembayaran ganti rugi tersebut sudah diselesaikan oleh juru bayar ganti rugi mengingat warga saat ini sudah jenuh dengan janji-janji yang diberikan selama ini," katanya.

Ia mengemukakan, sambil menunggu proses ganti rugi tersebut warga bertahan dan tidur di tanggul penahan lumpur yang biasa digunakan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebagai wilayah kerja mereka sehari-hari.

Akibat adanya aksi yang dilakukan oleh warga tersebut, sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh BPLS untuk mengalirkan luapan lumpur dari kolam penampungan ke Kali Porong, menjadi terhenti.

Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Kusairi mengaku pihaknya akan menampung aspirasi masyarakat terkait dengan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur yang belum terselesaikan hingga saat ini.

"Kami akan menampung aspirasi warga terkait dengan tuntutan warga yang melakukan aksinya di untuk sementara ini kondisi di tanggul penahan lumpur di titik 25," katanya.

Ia mengemukakan, untuk saat ini kondisi tanggul penahan lumpur masih belum menunjukkan tanda berbahaya setelah dihentikannya proses pengaliran lumpur dari dalam kolam penampungan ke Kali Porong.

"Namun, jika penghentian pengaliran tersebut terus dilakukan, maka kemungkinan melebarnya luapan lumpur bisa saja terjadi karena sudah tidak dilakukan lagi proses pengaliran ke Kali Porong," katanya.
Banjir Lumpur Lapindo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran milik anak perusahaan Bakrie, PT Lapindo Brantas Inc, di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006.

Semburan selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan, yang mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang, baik untuk mengganti tanah masyarakat, maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun.

Tapi, PT Lapindo lebih sering mengingkari perjanjian yang telah disepakati dengan korban. Padahal dari 12.883 dokumen pada Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah belum jelas. Namun para korban banyak yang mengaku kepada Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa mereka sudah diminta meneken kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo, sementara pembayarannya diangsur belum lunas hingga sekarang.

Dalam keterangannya baru-baru ini kepada pers di Surabaya, Direktur Utama PT Lapindo Brantas, Andi Darusalam Tabusala, mengakui, dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000 berkas yang diselesaikan, kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan banyak keterangan yang simpang siur dan tidak jelas.

*) Naskah berita ini dimuat di Harian Jurnal Nasional edisi Kamis, 26 April 2012 halaman 16