Oleh karena itu, menurut UU yang sama dan sesuai dengan Statuta Dewan Pers sendiri maka Dewan Pers berfungsi untuk pertama, menjaga kemerdekaan pers sebagai wujud hak publik untuk mengetahui dan memperoleh informasi serta berkomunikasi. Kedua, kemungkinan penyalahgunaan profesi dan kemerdekaan pers. Ketiga, menjadi mediator untuk membantu menyelesaikan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pemberitaan pers yang merugikan publik.
Dewan pers independen, yang lahir dalam semangat reformasi, bersifat mandiri dan tidak ada lagi unsur pemerintah dalam kepengurusannya. Hanya ada tiga unsur dalam keanggotaan Dewan Pers, yaitu unsur organisasi pers, unsur perusahaan pers dan unsur tokoh masyarakat. Ichlasul Amal mewakili unsur tokoh masyarakat sedangkan RH Siregar dari Harian Suara Pembaruan mewakili organisasi pers.
Dengan dukungan masyarakat pers Indonesia, otoritas Dewan Pers semata-mata terletak pada kemauan perusahaan dan redaksi media pers untuk menghargai pandangan Dewan Pers serta secara sukarela mematuhi kode etik jurnalistik dan mengakui kesalahan, segaja atau tidak, secara terbuka. Persoalannya adalah bagaimana jika terjadi kasus pelanggaran jurnalisme ?
Hingga kini, pendapat masyarakat mengenai hal tersebut terpecah dua. Kelompok pertama, terutama dari kalangan jurnalis/pers, meninginkan agar persoalan tersebut diselesaikan secara etika, yaitu menerapkan kode etik profesi jurnalisme. Mereka yang lain, terutama penegak hukum dan masyarakat yang merasa menjadi korban (victim) minta diselesaikan secara hukum, berproses ke pengadilan.
Manakala jalan yang terakhir tersebut – yakni melalui jalur pengadilan -- diambil maka kalangan pers akan mengatakannya sebagai kriminalisasi pers. Kesalahan pers dianggap sama dengan tindak kejahatan biasa, misalnya mencuri, membunuh, merampok, dan menipu. Padahal, demikian alasan mereka, karya jurnalisme adalah karya intelektual, yang tidak mungkin disamakan dengan karya keterampilan mencopet, misalnya.
Pada masa pemerintahan Soeharto, berlaku UU Pers No 21/1982, yang menempatkan dominasi kedudukan dan peran pemerintah dalam pembinaan pers nasional. Pers media cetak dikendalikan dengan pemberian izin yang ketat dan pers media elektronika kebanyakan dikuasai oleh keluarga orang-orang sangat penting.
Pada periode itu, untuk wartawan, hanya diakui satu organisasi yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tidak ada wartawan yang bukan anggota PWI. Bila media melakukan kesalahan jurnalisme maka wartawan tersebut pertama-tama dikeluarkan dari keanggotaan PWI, yang otomatis tidak bisa lagi bisa mencari nafkah melalui kegiatan jurnalisme.
Tidak jarang, jika ada wartawan dianggap melanggar seperti itu, dilakukan tindakan politis oleh pemerintah, yakni penghentian penerbitan. Contoh yang paling terkenal adalah penghentian penerbitan Majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik, yang memuat pemberitaan mengenai pembelian kapal selam bekas oleh pemerintah yang dianggap sarat dengan praktek-praktek Nepotisme, Kolusi dan Korupsi (NKK) pada tahun 1994.
Juga penghentian penerbitan Tabloid Monitor yang memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Nabi Muhammad SAW terpilih menjadi tokoh nomor 11 sementara Arswendo Atmowiloto, pimpinan Tabloid Monitor terpilih menjadi tokoh nomor 10. Sebagian masyarakat Muslim marah, terjadi keresahan di tengah masyarakat.
Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai dihukum penjara. Mestinya kasus ini cukup diproses secara hukum kalau dianggap terjadi tindak pidana berat tanpa harus mematikan terbitnya Tabloid Monitor. UU Pers yang sekarang lebih maju dan reformis. UU ini dilahirkan pada periode Presiden BJ Habibie.
Untuk mendirikan media cetak, tidak perlu lagi izin. PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi wartawan
Pasal 7 Ayat 2 UU Pers No 40/1999 menyebutkan bahwa wartawan
Pelanggaran yang dilakukan oleh wartawan dalam bentuk karya jurnalismenya, diharapkan cukup diselesaikan dengan mekanisme jurnalisme juga. Media yang memuatnya wajib membuat perbaikan atau ralat tulisan yang pertama, dalam format yang kurang lebih sama. Ini dikenal sebagai Hak Jawab yang dimiliki masyarakat dan media wajib melayaninya. Manakala media tidak melayani Hak Jawab diancam hukuman denda paling tinggi Rp 500 juta (Pasal 18 Ayat 2).
Seringkali media kurang memperhatikan kemungkinan dia melanggar tatanan. Jika pihak yang merasa dirugikan bereaksi dalam bentuk somasi sekalian mengancam tuntutan ganti rugi, baru terkejut. Tuntutannya cukup besar sampai miliaran rupiah, yang membuat pusing media. Media lalu mencoba mencari akses ke pihak penuntut termasuk pengacaranya. Biasanya terjadi tawar menawar. Media menawarkan lipuan khusus sebagai imbalan tulisan yang dianggap merugikan tersebut atau pemuatan tulisan perbaikan tanpa revisi.
Mahkamah Agung pernah berpendapat, tidak digunakannya hak jawab oleh seseorang yang dirugikan berarti yang bersangkutan mengakui bahwa tulisan tersebut benar. Pendapat MA ini terjadi pada tahun 1993 atas perkara Harian Garuda, Medan, dan pembacanya, yang dikalahkan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. MA menyatakan, berita-berita yang telah dimuat Garuda tidak tergolong sebagai perbuatan melawan hukum. Tapi sayang, keputusan MA tidak dipakai sebagai jurisprudensi.
Pihak lain di dalam masyarakat ingin memproses ke pengadilan, baik setelah mendapatkan layanan hak jawab maupun tidak. Warga yang merasa dirugikan nama baiknya (pencemaran nama baik) oleh media cetak langsung protes atau menggugat melalui Dewan Pers. Dewan Pers kemudian mencarikan penyelesaian dengan muara penggunaan hak jawab. Jika yang bersangkutan belum puas, dia masih bisa melapor ke polisi untuk proses ke pengadilan, melalui proses hukum pidana. Bisa juga dia langsung melapor ke polisi tanpa menggunakan hak jawab.
Di lingkungan Kode Etik Jurnalistik PWI ada kebiasaan baik. Mereka yang mengajukan perkara ke Dewan Kehormatan PWI Pusat harus menyatakan jika menggunakan proses hak jawab tidak perlu lagi mengajukan proses pengadilan. Di sini ada pilihan yang tegas. Sikap mendua sebaiknya diakhiri. Kalangan pers ingin tidak ada lagi kriminalisasi pers. Paling tinggi kalau ada perkara hasil karya wartawan hukumannya bukan penjara kurungan melainkan denda (perdata), yang tidak dibayar oleh pribadi wartawan yang bersangkutan melainkan dibayar oleh perusahaannya.
Pada zaman UU Pers No 11/1966 dan UU No. 21/1982, pertanggungjawaban yuridis berjenjang seperti air terjun. Jika terjadi pelanggaran pidana pemberitaan maka yang bertanggung jawab adalah pimpinan, yang bisa menurunkan tanggung jawabnya kepada redaktur atau pun reporter.
Mungkin karena sejarah, biasanya yang tetap tampil sebagai penanggung jawab di pengadilan adalah pimpinan redaksi. Namun, menurut UU Pers No 40/1999, jika terjadi tindak pidana pers maka berlaku undang-undang yang telah ada, yakni tidak bisa tidak mestilah KUHP. Itu disebut dalam Penjelasan Pasal 12 UU No. 40/1999. Pertanggungjawaban menurut KUHP adalah siapa yang berbuat harus bertanggung jawab.
Proses yang dijalani oleh obyek berita adalah pengaduan ke Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Media yang memuat/menyiarkan berita tersebut dipanggil oleh Dewan Pers, diminta klarifikasi. Jika menurut penilaian Dewan Pers, berdasar KEWI, tidak terjadi pelanggaran maka media itu bebas. Bila ternyata media bersalah maka media ini wajib melayani hak jawab yang dimuat pada tempat, kolom dan proporsi pemberitaan yang setara.
Masih ada pendapat yang perlu diperhatikan pula, yakni yang mengatakan semua orang berposisi sama dalam tatanan hukum. Artinya, tidak ada keistimewaan yang melekat pada subyek hukum yang berprofesi tertentu. Wartawan diposisikan sama dengan siapa saja terhadap hukum. Karena perbuatan pidana, wartawan akan ditindak dengan KUHP. Persoalannya adalah apakah jika ada pelanggaran atas karya jurnalisme, itu tindak pidana dengan ancaman kurungan ataukah tindak kesalahan profesi.
Seberapa jauh Dewan Pers mampu memikul beban yang berat itu? Tak semuanya merasa optimis. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga salah satu pihak yang pernah kecewa terhadap Dewan Pers. Apa pasal? Ternyata ini buntut sengketa YLKI dan harian Media Indonesia. Suratkabar ini pada 8 Juli 2001 yang lalu memuat berita berjudul "Wakil Ketua YLKI Terima Rp 6 Milyar Dana Untuk Sosialisasi Kenaikan Tarif Dasar Listrik."
YLKI merasa berita itu berbau fitnah. Mereka mengadukan Media Indonesia ke Dewan Pers. Setelah melakukan kajian dan negosiasi, Dewan Pers mengeluarkan pernyataan resmi pada 18 September 2001 yang menyatakan berita itu memenuhi standar jurnalistik serta tak mengandung pelanggaran kode etik. Tapi Dewan Pers mengatakan judul berita memang kurang sinkron dengan isinya.
YLKI tentu saja merasa kecewa. Mereka menilai Dewan Pers kurang konsisten dan tidak transparan. Di satu sisi Dewan Pers mengakui berita Media Indonesia tidak konsisten dan merugikan image YLKI, namun di sisi lain Dewan Pers menyatakan tidak ada pelanggaran prinsipal. “Kalau memang dianggap tidak melanggar kode etik, mestinya secara tegas saja diputuskan begitu. Lagi pula, proses lahirnya PPR (pernyataan) itu tidak transparan sehingga publik tidak tahu apa yang terjadi," ujar Sudaryatmo dari YLKI.
Jadi apa yang sebaiknya dilakukan untuk menyelesaikan persoalan dengan sebaik-baiknya dan memuaskan semua pihak (win-win solution). Sejumlah tokoh masyarakat dan organisasi pers mengusulkan perlunya UU No. 40 Tahun 1999 direvisi. Aliansi Jurnalis Independen, misalnya, mengakui bahwa UU tersebut banyak bolongnya. Hanya saja upaya tersebut terhadang oleh vested interest dari pengusaha pers yang menentang habis-habisan upaya melakukan amandemen terhadap UU tersebut. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar