Kamis, Januari 12, 2012

Berurusan dengan Birokrasi

Birokrasi yang sedang mereformasi dirinya
Oleh : Iwan Samariansyah

Sesekali aku ingin menulis pengalaman berurusan dengan birokrasi. Biar jadi pengalaman buat pembaca yang mungkin saja ingin tahu rasanya berurusan dengan birokrasi pemerintahan di Indonesia. Banyak orang yang bilang bahwa berurusan dengan birokrasi adalah pekerjaan paling membosankan, merepotkan dan bikin sakit kepala. Apa benar begitu? Ini pengalaman sewaktu aku mengurus selembar Surat Keterangan dari Pengadilan Negeri Bekasi.

Pada umumnya cerita-cerita mengenai berurusan dengan birokrasi memang negatif. Bahkan di jaman saat reformasi birokrasi menjadi program pokok pemerintah sekarang ini. Salah satu Kementerian dalam kabinet Indonesia Bersatu bahkan bernama "Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi". Namanya mentereng sekali bukan? Benarkah aparatur negara sudah berdaya guna? Benarkah sudah ada reformasi dalam berurusan dengan birokrasi kita?

Hari itu, aku pergi ke gedung Pengadilan Negeri Bekasi untuk mencari informasi apa persyaratan untuk mendapatkan selembar Surat Keterangan dari Pengadilan Negeri Bekasi yang menyatakan bahwa aku tidak pernah terlibat dalam kasus atau perkara hukum apapun dengan ancaman lebih dari lima tahun penjara di wilayah hukum polisi dan jaksa Kota Bekasi, tempat aku tercatat sebagai warganya sejak tahun 1998. Akupun pergi ke bagian informasi PN Bekasi.

Syaratnya ternyata kita harus memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dikeluarkan oleh Polres Bekasi. Jadi setelah dari Pengadilan Negeri akupun berjalan kaki menuju Polres Bekasi yang gedung kantornya bersebelahan dengan gedung PN Bekasi. Disana ternyata sudah ada keterangan cara memperoleh SKCK. Ada tujuh persyaratan. Pertama, aku harus memiliki surat pengantar dari Kelurahan untuk memperoleh SKCK. Kedua, mengisi biodata yang formulirnya disediakan oleh Polres Bekasi.

Ketiga, melampirkan fotokopi KTP yang masih berlaku. Keempat, melampirkan fotokopi kartu keluarga yang sah. Kelima, melampirkan fotokopi ijazah terakhir. Keenam, melampirkan hasil pemeriksaan sidik jari. Ketujuh, menyertakan pasfoto berwarna ukuran 6x4 sebanyak enam lembar. Hwaduh banyak benar ya? Tetapi karena memang memerlukan SKCK tersebut maka akupun mulai mengurus semua persyaratan tersebut. Diurus sendiri.

Pertama-tama aku harus meminta surat pengantar dari RT dan RW tempatku berdomisili. Surat pengantar itu ada di tempat Bapak Ketua RT, tetanggaku sendiri. Dengan mudah aku memperolehnya, lantas surat itu ditandatangani pula oleh salah satu Pengurus RW. Kebetulan saat datang ke rumah Pak RW nya ternyata beliau sedang tidak ada di tempat, sedangkan Sekretaris RW nya sedang pulang kampung ke Jawa. Satu-satunya yang bisa kutemui adalah Bendahara RW, jadilan dia menandatangani surat tersebut. Tok.

Lalu dengan bekal surat pengantar dari RT yang diketahui RW itu akupun pergi ke kantor kelurahan untuk mendapatkan Surat Pengantar pengurusan SKCK. Kantor Kelurahan Pejuang saat itu sedang direnovasi sehingga suasana pekerjaan di kantor itu dalam kondisi darurat. Aku hanya perlu memberikan surat pengantar itu pada seorang perempuan muda yang dengan cekatan meminta semua dokumen yang diperlukan yaitu surat pengantar dari RT/RW, fotokopi KTP dan fotokopi kartu keluarga.

Formulirnya sudah tersedia di salah satu file yang ada di mejanya. Lantas dia mengisikan semua data-dataku dengan mesin ketik yang ada didepannya. Masuk kesalah satu ruangan, meminta tanda tangan Kepala Kelurahan, menstempelnya dan menyerahkan surat itu padaku. "Ada biayanya Bu?" tanyaku sopan. Pegawai Kelurahan itu tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tidak ada Pak. Ini suratnya sudah selesai. Tidak ada biaya apa-apa," ujarnya sembari menyerahkan surat itu. Wah, alhamdulillah.

Selesai dari Kelurahan, akupun menuju tempat cetak pasfoto untuk mencetak fotoku yang sebelumnya tersimpan secara digital dalam flashdisk. Tidak lama disitu, aku memfotokopi beberapa dokumen seperti ijazah, KTP dan Kartu Keluarga kemudian segera menuju Kantor Kecamatan untuk minta tanda tangan dan stempel Kecamatan yang ada di surat pengantar SKCK tersebut. Aku hanya perlu menunggu sekitar 15 menit di kantor Kecamatan Medan Satria sebelum akhirnya surat itu kuterima kembali. Juga tanpa biaya.

Salah satu pemandangan suasana kantor kelurahan
Dari Kantor Kecamatan akupun bergegas menuju Polres Bekasi, menyerahkan semua persyaratan yang diperlukan, membayar Rp 10ribu pada salah satu petugas dan mengisi formulir yang disediakan oleh Polres tersebut. Usai mengisi formulir akupun lantas menuju bagian pengambilan sidik jari, kemudian menunggu panggilan dari petugas loket SKCK. Menunggunya lumayan lama juga karena antrian cukup panjang. Akan tetapi pada akhirnya beberapa saat sesudah sholat Dhuhur, SKCK tersebut keluar juga.

Dengan SKCK di tangan akupun menuju Gedung Pengadilan Negeri kembali, tetapi sial. Ketua Pengadilan Negeri Bekasi yang seharusnya menandatangani Surat keterangan yang kuminta sudah pulang. Selain SKCK, kita juga harus membuat selembar surat permohonan yang ditandatangani di atas materai Rp 6.000 agar Pengadilan Negeri Bekasi bersedia menerbitkan Surat Keterangan Tidak terlibat perkara  kriminal itu untuk kita. Lampirkan juga KTP dan Kartu Keluarga.

Esok harinya setelah menelepon ponsel salah satu staf Bagian Hukum Pengadilan Negeri Bekasi akhirnya Surat Keterangan yang ditandatangani oleh Ketua PN Bekasi keluar juga. Namun, setelah surat tersebut aku terima dan ketika hendak berlalu, sang petugas yang menanganinya bahwa ada biaya leges untuk surat tersebut. "Berapa Pak?" tanyaku. Dia menjawab "Terserah pak kalau soal jumlahnya". Akhirnya akupun mengeluarkan uang Rp 20ribu untuk keperluan biaya leges itu. Eh ada yang tahu biaya leges itu apaan ya?

Mengurus SIM A dan SIM C
Kira-kira seminggu setelah urusan surat keterangan dari PN Bekasi itu selesai, akupun harus kembali ke Polres Bekasi soalnya SIM A dan SIM C milikku yang dikeluarkan oleh Polda Jateng dan DIY habis masa berlakunya. Aku tidak bisa memperpanjang lagi di Sleman Yogyakarta soalnya KTP ku sudah mati sejak tahun 2010, dan aku sudah menyatakan pindah domisili ke Kota Bekasi sepenuhnya. Jadi bisakah aku perpanjang SIM A dan SIM C di Kota Bekasi?

Akupun datang kembali ke Polres Bekasi. Sejak dari parkiran sampai ke ruang tempat pengurusan SIM dilaksanakan sejumlah pria menawarkan jasa baik kepadaku mengurus SIM tersebut. Tetapi karena ingin merasakan bagaimana mengurus SIM A dan SIM C sendiri akhirnya akupun menolak dengan ramah tawaran mereka semua. Pertama-tama yang harus kulakukan adalah melakukan KIR Kesehatan khusus untuk para pencari SIM yang letak kliniknya ada di belakang Gedung Polres Bekasi.

Untuk pemeriksaan kesehatan itu, seorang petugas perempuan yang melayaniku memeriksa tekanan darah dan mewawancaraiku sebentar soal riwayat kesehatanku. Dan akhirnya surat KIR kesehatan tersebut yang bentuknya lembaran kecil itu segera kuperoleh. Tarifnya Rp 10.000,- Kemudian dari situ aku langsung menuju Gedung Polres Bekasi. Info yang kuterima mengecilkan hatiku, karena perpanjangan SIM dengan cara mutasi dari Polda Jateng dan DIY agak repot juga.

Jadi, aku harus menarik dulu berkas-berkas lama di Polres Sleman Yogyakarta dan surat pengantar pindah berkas SIM dari Polda DIY dan Jawa Tengah. "Wah mana sempat mengurusnya," pikirku waktu itu. Lantas seorang polisi yang baik dan mendengar kesulitanku menyarankan agar aku ambil SIM baru saja. "Ikut ujian saja mas, dijamin lolos kok. Soal-soal yang diujikan pasti masnya tahu karena sudah sering melihatnya di jalanan," ujar polisi yang ramah itu.

Para PNS sedang menggelar Upacara Bendera
Biaya perpanjangan SIM sebenarnya cukup murah, yaitu SIM A Rp 85ribu dan SIM C Rp 75ribu. Tetapi karena perpanjangan SIM dengan cara mutasi berkas itu aku rasa cukup merepotkan aku akhirnya menuruti saran dari petugas polisi tadi. Akupun membeli formulir SIM A dan SIM C dengan masing-masing Rp 120ribu dan Rp100ribu. Caranya dengan membayarnya ke loket BRI. Kemudian ikut serta asuransi pengemudi dengan membayar Rp60ribu untuk dua macam SIM. Sebenarnya asuransi ini tidak wajib.

Dari situ, aku kemudian menuju loket satu kemudian memberikan kuitansi pembelian dari BRI tadi ke petugas yang ada disitu lantas mengisi formulir SIM baru. Yaitu SIM A dan SIM C. Setelah diisi komplet akupun ke Loket 2 untuk mengembalikan formulir tersebut sembari melampirkan fotokopi KTP. Tak lama kemudian akupun menuju ruangan ujian teori dan mulai mengerjakan soal-soal ujian yang ada. Benar juga, soal-soalnya cukup mudah karena soal pilihan berganda. Ada 40 soal yang harus selesai dalam tempo 30 menit. Usai mengerjakan soal ujian SIM, aku ternyata tak perlu ujian praktik karena sudah melampirkan fotokopi SIM A dan SIM C lama milikku. "Kalaupun mau ujian praktik ya cuma formalitas," kata salah satu petugas yang ada di ruangan tersebut.

Jadi begitulah. Sekitar 15 menit sesudah ujian teori namaku dipanggil lantas pengambilan sidik jari dan foto secara elektronik kemudian menunggu sebentar. Tak lama kemudian namaku dipanggil untuk menerima SIM A dan SIM C yang sudah jadi. Inilah SIM baru yang aku tunggu-tunggu dan dikeluarkan oleh Polda Metro Jakarta Raya dan berlaku sampai tahun 2017 yang akan datang. Alhamdulillah. Waktu untuk mengurus SIM baru itu tak lebih dari dua jam saja. Tanpa calo. Dan tidak dipersulit sama sekali.

*) Ditulis sepenuhnya atas dasar pengalaman pribadi.


Tidak ada komentar: