Kamis, September 11, 2008

Nias Yang Tak Terlupakan


Keindahan alam dan budaya orang Nias, Sumatera Utara diabadikan oleh sejumlah fotografer Swiss dan kemudian dipamerkan pada masyarakat Indonesia. Foto-foto dari awal abad 20 itu berupaya mencatat sejarah budaya eksotik bangsa kita.


TEKS DAN FOTO IWAN SAMARIANSYAH


Masih satu rangkaian acara JakArt@2008, sebanyak 27 foto-foto masa lalu dari masyarakat dan alam Nias tempo dulu digelar dalam Pameran foto Nias pada 14-28 Agustus di Darmint Café, Tebet Raya, Jakarta. Foto-foto artistik berusia tua yang dipamerkan tersebut merupakan karya warga Swiss, dan disponsori oleh Kedutaan Besar Swiss di Jakarta. Seluruh foto merupakan koleksi Museum Budaya, Basel, Swiss.


Pameran foto tersebut adalah pameran kedua kalinya yang digelar di Indonesia, namun yang pertama di Jakarta. Pameran pertama digelar di Museum Pusaka Nias pada Maret-Mei 2008 dalam rangka peringatan bencana gempa bumi di pulau itu. ”Foto-foto yang ditampilkan ini adalah manifestasi dari globalisasi yang terjadi dalam rentang waktu yang berbeda,” ujar Wakil Dubes Swiss untuk Indonesia Roman Busch saat membuka pameran, Kamis (14/8) malam lalu.


Bisa jadi globalisasi yang dimaksudkan oleh Busch itu terkait dengan fotografer yang mengabadikan Nias tersebut. Ada enam orang fotografer yang terlibat dalam pembuatan foto-foto Nias tersebut. Tiga diantaranya sudah wafat. Mereka adalah Gustav Forrer (1864-1933), Eugen Paravicini (1889-1945), Paul Wirz (1892-1955), Rudolf Elber dan John Hauser.

Busch dengan nada bangga mengatakan bahwa negaranya, Swiss adalah negara Eropa yang tidak memiliki sejarah kolonialisme. Saat itu warga Swiss berkunjung dan pergi ke berbagai belahan dunia umumnya untuk melakukan perjalanan kebudayaan sebagai upaya memuaskan rasa keingintahuan mereka. Hal ini seperti yang terjadi pada enam warga Swiss yang datang ke Nias pada kurun waktu 1830 hingga 1985.

Yang menarik, tidak kesemua warga Swiss yang datang ke Nias ketika itu adalah para fotografer profesional. Gustav Forrer adalah seorang manajer perkebunan. Antara tahun 1893 – 1921 dia tinggal di Tebingtinggi dan Medan, mengepalai perkebunan tembakau, karet dan the milik perusahaan Jerman. Dia melakukan beberapa perjalanan selama di Indonesia, terutama ke masyarakat Batak di pedalaman Sumatera Utara.


Karya Forrer yang ditampilkan malam itu antara lain ”Nias-Woman” yang dibuat pada 1924 sebuah foto yang menampilkan seorang ibu bangsawan Nias (Inada Si’ulu) Desa Bawomataluo, kecamatan Teluk Dalam. Perempuan Nias saat itu tampak bertelanjang dada. Adat berpakaian perempuan Nias saat itu mirip dengan tradisi berpakaian di pulau dewata, yang perempuannya juga membiarkan payudaranya terbuka.


Eugen Paravicini, yang antara lain menyumbangkan foto berjudul ”Warriors from Nias” yang dibuat pada 1923 bahkan seorang ahli Biologi asal Basel. Setelah perang dunia I, dia bekerja sebagai asisten di Botanical Institute di Buitenzorg (ogor) selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu dia kemudian melakukan perjalanan di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera untuk memuaskan keingintahuan antropologinya.


Foto karya Paravicini menggambarkan dua prajurit muda Nias asal Kecamatan Teluk Dalam berpakaian lengkap dengan peralatan tempurnya berupa tombak dan perisai. Kedua prajurit tersebut tak beralas kaki, dan mereka mengenakan pakaian sejenis rompi yang seragam berwarna putih. Tampaknya sengaja diminta berpose oleh sang fotografer untuk kepentingan dokumentasi.


Paul Wirz, seorang antropologis yang hobi fotografi menyumbangkan sejumlah foto warga Nias tempo dulu. Wirz banyak melakukan perjalanan ke New Guinea, Indonesia dan Asia Selatan. Dia menjadi terkenal karena karya-karya etnografinya mengenai monografi budaya dan cara hidup suku Marindanim di Irian Jaya.


Foto-fotonya tentang Nias diambil antara tahun 1925 hingga 1927 antara lain ”Man from South Nias” (foto setengah badan seorang laki-laki asal Nias selatan), ”Man Handling Bark” (foto seorang lelaki Nias yang tengah mengolak kulit pohon menjadi pakaian) dan ”Ready for The Dance Shield and Spear” (foto seorang pria berpakaian campuran kapas, kulit pohon dan rotan yang tengah bersiap menari). Sungguh-sungguh artistik.


Foto-foto Paul Wirz seluruhnya berceritera tentang manusia Nias tempo dulu, dari anak-anak, lelaki, perempuan, pasangan suami isteri bahkan kepala suku Nias (Si’ulu) dari Nias selatan. Dia juga sempat mengambil gambar situasi sebuah desa di Nias utara dalam foto berjudul ”Village in North Nias” dan karya seni warga Nias saat itu pada foto berjudul ”Wooden Idols” (adu-adu Siraha yang berdiri di alam terbuka dan di lantai rumah). Pada bagian akhir katalog, Wirz memotret lembah Susuwa di Nias Tengah.


Seorang geologis bernama Rudolf Elber yang bekerja pada perusahaan minyak juga ikut memberikan sumbangan foto-foto hasil jepretannya. Foto-fotonya diperkirakan diambil pada tahun 1920-1930, sedikit lebih tua dari karya foto Wirz. Dia banyak mengambil foto bangunan-bangunan khas warga Nias masa itu mulai dari Omo Bale, rumah adat kepala negeri Olayama dan rumah di desa megalitik Holi di lembah Idano, Gawo, Nias tengah.


Sementara Jorg Hauser, seorang fotografer profesional mempersembahkan sejumlah foto-foto Nias yang lebih kontemporer. Foto-foto hasil karyanya dibuat pada kunjungannya ke Nias pada tahun 1985. Hauser umumnya memotret bangunan-bangunan warga Nias masa itu yang terkesan dibuat dari bahan bangunan yang lebih baik daripada masa penjajahan Belanda. Desa-desa Nias juga terkesan lebih teratur dan indah seperti serial foto-foto berjudul ”View of village” yang diambilnya dari berbagai sudut pandang.


Menurut info dari penyelenggara, sebenarnya ada satu fotografer lagi yang memiliki karya-karya foto soal Nias bernama Muhlberg. Dia memiliki karya-karya mengenai Nias di awal kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1948. Sayangnya foto Muhlberg tidak ditampilkan dalam katalog yang dibagikan pada para pengunjung dan saya lihat juga tidak ditampilkan pada pameran kali ini.


Para
fotografer itu tampaknya terkesan dengan hidup keseharian masyarakat Nias dan berupaya mengabadikan keindahan Pulau Nias lewat bidikan kamera mereka. ”Mereka datang bukan karena kepentingan politik atau uang semata, namun karena ingin memenuhi rasa ingin tahu dan apresiasi mereka terhadap keindahan pemandangan dan budaya yang mereka saksikan,” kata Busch kepada saya.

*) Naskah ini dimuat pada Majalah ARTi edisi 07 pada 04-17 September 2008 pada rubrik Seni Foto halaman 70 - 73.



Tidak ada komentar: