Senin, Juli 23, 2007

Kisah C. Sukma, Wartawan yang Terjebak Aksi Kerusuhan 27 Juli (1996)


"Jangan Pukul Pak, 5 Hari Lagi Saya Kawin''


PERISTIWA kerusuhan pasca-perebutan kantor DPP PDI 27 Juli memang sudah lama berlalu. Banyak korban ditinggalkannya, dari yang cedera ringan, parah, kehilangan harta benda, hingga yang mesti kehilangan nyawa. Salah seorang di antara mereka adalah wartawan foto majalah Ummat, Cecep Sutriatna Sukmadi-pradja. C. Sukma, begitu panggilan akrabnya, baru Kamis lalu bisa pulang ke rumahnya. Sebelumnya dia mesti terbaring di RS Cikini Jakarta menjalani perawatan intensif. Dia menderita cedera parah akibat pemukulan bertubi-tubi saat tengah meliput peristiwa tersebut.

Meski baru keluar dari rumah sakit, pernikahan tak akan ditunda. Meski mengakui, kepalanya juga masih sering pusing-pusing, namun Sukma tak akan menunda lagi: menikahi gadis idamannya, Nur Khatifah, 8 Agustus mendatang di Cimahi, Jawa Barat. Meski begitu, dia mengaku masih trauma dengan peristiwa yang hampir merenggut jiwanya itu.

''Mungkin sudah nasib saya. Apa memang tampang saya ini nggak pantas jadi wartawan. Padahal, saya sudah berteriak-teriak menyebut jati diri saya sebagai wartawan, tetapi kok tetap dipukuli. Sepertinya, kita ini nggak punya perlindungan saat melaksanakan tugas,'' ujarnya kepada Jawa Pos saat dihubungi di rumahnya di bilangan Depok kemarin.

Sukma bisa jadi benar. Karena, tidak hanya dia yang menjadi korban. Wartawan foto Jawa Pos, Agus Wahyudi, yang hari ini juga melangsungkan pernikahan di Probolinggo, Jawa Timur, juga nyaris dipukuli petugas saat meliput peristiwa yang sama. Andai saja dia tidak cepat-cepat kabur, bisa jadi dia akan mengalami nasib yang sama dengan Sukma.

Di lapangan, baik wartawan tulis maupun wartawan foto yang meliput aksi kerusuhan memang mesti waspada. Saat kerusuhan itu, sejumlah wartawan mengalami cedera, baik ringan maupun parah. ''Tetapi, tujuan kita ke situ kan untuk cari berita, bukan untuk dijadikan sasaran gebukan,'' ujar pria kelahiran Bandung, 16 Juli 1970, itu bersungut-sungut.

Cedera yang diderita Sukma memang parah sekali. Dia bahkan sempat diinfus dan dijahit akibat luka-luka yang dideritanya. Memar-memar bekas digebukin petugas juga masih belum hilang. Tampak bilur-bilur lebam berwarna kebiruan di beberapa bagian tubuhnya, terutama di sekitar leher dan punggung.

Pada hari yang naas itu, sekitar pukul 09.00 WIB sebenarnya Sukma sedang meliput berita ringan. Yaitu mengambil gambar para peserta UMPTN yang saat itu sedang melihat pengumuman nasibnya di Senayan. Memang, biasanya terjadi hal-hal yang unik bertepatan dengan saat-saat pengumuman UMPTN itu. ''Saat itulah saya mendapat kabar dari kantor bahwa sedang terjadi kerusuhan di sekitar Jl Diponegoro. Karena itulah, saya segera meluncur ke sana. Waktu itu saya bersama Astadi, wartawan Gatra, yang ketika itu juga berada di Gedung Istora Senayan, Jakarta,'' kisah alumnus Sekolah Tinggi Seni Tari Bandung itu.

Sukma tiba tepat pada saat suasana semakin panas. Dia harus berputar-putar dulu karena jalan menuju ke arah Jl Diponegoro telah ditutup sejumlah petugas. Untunglah, akhirnya dia bisa menerobos salah satu jalan, yaitu Jl Penataran. Dia dan Astadi saat itu sudah melihat kehadiran sejumlah tentara. Dia pun kemudian memarkir motornya di salah satu rumah di jalan tersebut. Ketika berjalan di Jl Anyer, di seberang rel, keduanya melihat ada sekelompok orang sedang
dikejar-kejar petugas di dekat rel kereta Pegangsaan. Arus massa yang ada membuat keduanya terpisah.

''Saya melihat seseorang sedang diburu. Masya Allah, saya melihat dengan mata kepala sendiri perlakuan yang mesti diterima orang itu saat tertangkap. Saya segera mendekat, dan di situlah saya melihat ada orang yang tak berdaya dimasukkan ke gerobak sampah. Di dalam gerobak,
orang tersebut terus-menerus dipukuli dan ditendangi. Tampaknya, orang itu sekarat,'' katanya. Nalurinya sebagai wartawan foto menghendaki dirinya untuk segera mengambil inisiatif. Sukma segera mencoba memotret adegan itu. Tetapi setelah beberapa kali menjepret, Sukma justru dikejar balik beberapa orang oknum petugas.

Dia dibentak dan dipegang oknum itu, yang segera meminta agar Sukma menyerahkan film negatif yang ada di kameranya itu. Semula Sukma enggan menyerahkan film itu, dan menjelaskan bahwa dia wartawan. Dia juga menunjukkan bukti-bukti kartu tanda pengenal
profesi wartawannya. Namun, sebaliknya dari yang diharapkan, dia malah dipukuli dan kameranya dirampas. Tak berhenti sampai di situ, Sukma lantas dipukul berulang-ulang oleh oknum berseragam itu hingga jatuh tersungkur.

Ketika Sukma sudah terjatuh dan nyaris kehilangan kesadarannya, ia mendengar teriakan. Keras dan garang. ''Jangan pura-pura pingsan!'' Sukma pun teringat orang yang dipukuli di gerobak sampah. Orang itu sudah tak berdaya tetapi masih terus dipukuli. Karena itu, dia pun bangkit. Terhuyung-huyung. ''Kalau saya pingsan, bisa mati saya digebuki kayak gini,'' begitu
pikirnya.

Karenanya, meski setengah sadar dan pandangannya berkunang-kunang, ia berusaha bangkit. Ia juga mencoba menahan pukulan dan tendangan para oknum berbaju seragam itu. Tetapi, oknum itu justru membentaknya. ''Kamu melawan, ya?'' bentaknya. Sukma berteriak antara
sadar dan tidak. ''Saya wartawan, Pak.'' Tetapi, teriakan itu tak digubris, dan Sukma tetap digebukin. Ketika Sukma makin lemah, datang seorang oknum polisi. Bukannya melerai, dia justru meneruskan penganiayaan itu. Ia jatuh tertelungkup lagi, darah mulai mengalir di
bagian-bagian tertentu tubuhnya.

Berikutnya, dompet Sukma dirampas. Kamera beserta tas perlengkapan fotografinya diinjak-injak, sambil dia terus dipukuli. Ia pun berteriak lagi untuk ketiga kalinya. Suaranya serak nyaris habis. ''Saya wartawan, Pak. Saya jangan dipukuli, Pak. Saya mau kawin lima
hari lagi!'' jeritnya. Namun setelah itu justru alat kelaminnya yang ditendang. Sakitnya minta ampun. Lantas, tubuhnya dioper-oper dari satu oknum ke oknum lainnya, sambil terus dipukuli dan ditendang. Oknum-oknum itu menganiayanya bagai orang sedang kesetanan. Mereka melakukannya sambil berteriak-teriak.

Bahkan, bermacam alat yang dipegang para oknum itu -- rotan, kayu, dan besi-- juga dihantamkan ke tubuhnya. Penganiayaan itu baru berakhir ketika seorang anggota ABRI dan polisi berhasil membawanya dari lingkaran para oknum yang menghajarnya. Lalu Sukma dibawa ke SMPN VIII. Setelah Sukma dibaringkan di atas meja SMPN VIII, seorang petugas menemui Agus Butar-Butar (wartawan foto majalah Forum). Tentu saja, menerima kabar ini Agus terkejut. Lebih kaget lagi saat dia menyaksikan kondisi Sukma yang bersimbah darah. Dia lantas melarikan teman seprofesinya itu ke RS Cikini. Dan kabar tentang penganiayaan wartawan itu segera menyebar ke pers. Inilah yang akhirnya membuat Pangab Jenderal Feisal Tanjung merasa perlu meminta maaf.

Apakah Sukma mengenal oknum pelakunya itu? ''Tentu saja saya tahu orang-orang yang melakukannya. Saya siap dikonfrontir bila diperlukan dalam pemeriksaan kelak. Saya tak dendam. Saya juga sudah memaafkan mereka semua. Tetapi, kan boleh kalau saya mengharapkan keadilan di sini,'' tuturnya, lemah. Kejadian tersebut membuat Pemred Majalah
Ummat Mustoffa Kamil Ridwan prihatin. Dia lantas mengirimkan surat kepada Pangdam Jaya/Kepala Bakorstanasda Jaya Mayjen TNI Sutiyoso. ''Kami memahami beratnya beban tugas para petugas keamanan dalam menghadapi massa pada peristiwa semacam itu,'' katanya.

Dia juga mempercayai kearifan Pangdam serta jajaran pimpinan ABRI berkenaan dengan peristiwa itu. Hanya, dia beranggapan bahwa tindakan terhadap wartawannya itu berada di luar cakupan tugas yang diberikan kepada para petugas. Pendek kata, dia menyesalkan kejadian itu. Karena itu, pihaknya memprotes perlakuan tak wajar itu. Dia juga meminta agar para oknum pelaku penganiayaan tersebut ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. ''Alhamdulillah, saya sudah mendapat jawaban positif dari pihak Kodam. Pangdam berjanji akan mengusut petugas pelaku penganiayaan itu,'' kata Mustoffa.

Ada baiknya memang bila pihak keamanan mengeluarkan jaminan tertulis agar peristiwa semacam itu tak terulang lagi. Apalagi, penganiayaan itu dilakukan justru ketika wartawan yang bersangkutan sudah menerangkan jati dirinya. (iwan samariansyah)

Diterbitkan Jawa Pos edisi 3 Agustus 1996

Tidak ada komentar: