Selasa, Juli 24, 2007

Pergantian Kepemimpinan Gerakan Non Blok

Malaysia Pragmatis, Kuba Non Kompromis

Iwan Samariansyah
iwansams@jurnas.com

SETELAH tiga tahun dipimpin Malaysia, Gerakan Non Blok (GNB) berganti pemimpin ke negara Amerika latin, Kuba. Kaukus negara-negara yang didominasi oleh negara-negara sedang berkembang ini masih menghadapi persoalan yang kurang lebih sama setelah berlangsungnya 14 KTT GNB sejak yang pertama di Beograd, Yugoslavia tahun 1961 yang lalu.

Persoalan kemiskinan, kebodohan, kesulitan pangan, ancaman disintegrasi, dan berbagai masalah yang membahayakan ketahanan nasional negara-negara anggotanya merupakan tantangan yang tak ada habis-habisnya. Malaysia telah membuktikan bahwa menjadi Ketua GNB bukanlah hal yang mudah. Ketua GNB mesti mampu bermain cantik, dan mempertemukan kepentingan banyak pihak.

Kelompok negara-negara anggota GNB memang sebuah kelompok pelangi. Negara-negara anggotanya terdiri dari berbagai latar belakang, merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB. Negara-negara yang telah menggelar KTT sekaligus menjadi Ketua GNB berturut-turut sejak 1961 adalah Yugoslavia, Mesir, Zambia, Aljazair, Sri Lanka, Kuba, India, Zimbabwe, Indonesia, Kolumbia, Afrika Selatan, Malaysia dan terakhir kembali ke Kuba lagi.

Pada eranya masing-masing, para Ketua GNB telah membawa gerakan ini untuk tetap mempertahankan sikapnya sejak didirikan : bebas dari pengaruh blok manapun. Tidak ada aliansi dengan dua kekuatan adidaya (pada waktu itu AS dan Uni Soviet). Malaysia memainkan perannya sebagai pemimpin dengan sangat pragmatis. Dan sekarang Kuba memegang tampuk pimpinan Gerakan Non-Blok.

Kuba adalah negara yang kuat secara politis. Juga terkenal karena sikapnya yang tidak suka berkompromi. Ini adalah kali kedua Kuba menjadi Ketua GNB. Yang pertama tahun 1977. Meski organisasi ini tadinya dimaksudkan untuk menjadi aliansi yang dekat seperti NATO atau Pakta Warsawa negara-negara anggotanya tidak pernah mempunyai kedekatan yang diinginkan.

Bahkan pada masa perang dingin, banyak anggotanya yang akhirnya diajak beraliansi dengan salah satu negara-negara adidaya tersebut. Misalnya, Kuba mempunyai hubungan yang dekat dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Filipina dan Singapura bahkan dikenal sebagai sekutu dekat Amerika Serikat, meski mereka bersikeras tetap menjadi anggota GNB. Sebaliknya ada negara-negara seperti Korea Utara dan Iran yang menjadi musuh AS, sebagaimana halnya Kuba. Yang jelas, kelompok ini mendedikasikan dirinya untuk melawan kolonialisme, imperialisme dan neo-kolonialisme.

Kebanyakan anggota GNB adalah negara-negara di Asia dan Afrika dan sebagian Amerika Latin. Yugoslavia sebagai negara pendiri dan satu-satunya negara anggota GNB dari daratan Eropa telah lenyap dari peta dunia. Penggantinya, mewakili Eropa adalah Belarussia, negara yang dulu bergabung dalam Uni Soviet. Timor Leste yang dulu provinsi Indonesia juga memutuskan menjadi anggota GNB.

Ketua GNB harus memiliki kesadaran bahwa bahwa para negara anggota GNB memang berbeda, masing-masing memiliki ciri dan kekhasan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Namun, mereka disatukan oleh rasa solidaritas sebagai bangsa yang sama-sama pernah mengalami masa penjajahan dalam jangka waktu yang lama, terutama dari negara-negara Eropa.

Konstelasi politik luar negeri ketika GNB berdiri dengan situasi sekarang memang sudah jauh berbeda. Ketika didirikan, dan sewaktu Kuba menjadi Ketua GNB pertama kali, masih ada perang dingin antara Blok Barat pimpinan AS dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet. Saat itu kedua blok melancarkan berbagai upaya untuk menjadikan negara lainnya, terutama negara-negara di Asia dan Afrika sebagai pendukung kekuatan salah satu blok.

Kini blok Timur sudah tiada. Tetapi masalah lain yang tak kalah besarnya masih menjadi ancaman serius bagi para anggota GNB. Utang luar negeri Dunia Ketiga yang notabene adalah negara-negara anggota GNB melonjak dari US$ 9 Miliar dollar AS pada 1955 menjadi US$ 572 miliar pada 1980 dan lebih dari US$ 2.200 miliar pada 1998. Saat ini, 2006 diperkirakan utang tersebut sudah menjadi US$ 3.000 miliar !

Untuk mengembalikan utang itu, negara-negara itu membutuhkan dana lebih dari US$ 200 juta per tahunnya atau empat kali lipat dari besar bantuan pembangunan yang mereka terima. Dana tersebut dimiliki negara-negara maju, lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Lebih dari 50 negara terutama negara-negara Afrika terutama Afrika Sub-Sahara harus menanggung pembayaran hutang plus bunga mencapai tiga kali lipat dari nilai ekspor per tahunnya.

Negara Dunia Ketiga telah terjebak lingkaran setan utang. Padahal, utang telah menjadi alat yang sangat efektif dalam upaya kontrol atas satu negara yang memiliki kapital ke negara lainnya. Fenomena utang luar negeri negara-negara Dunia Ketiga beserta berbagai konsekuensinya menunjukkan betapa cita-cita GNB telah nyaris terkubur, dan kita tidak tahu pasti apakah bisa bangkit kembali atau tidak.

Dengan adanya sistem utang multilateral, perlu disadari bahwa yang terjadi selama ini bukanlah pembangunan, tetapi kontrol kepentingan oleh negara-negara donor. Jadi, tidak keliru jika dikatakan bahwa pembangunan selama ini adalah peristiwa neokolonialisme, yaitu kolonialisme (melalui) ekonomi. Dengan demikian, spirit GNB di masa kini adalah perjuangan melawan kolonialisme ekonomi itu.

Itulah yang mungkin bisa dimainkan oleh Kuba sebagai Ketua GNB yang baru. Penghentian utang baru menjadi langkah awal yang penting. Sejak awal utang menjadi alat kendali atas masa depan berbagai bangsa. Ketika kolonialisme berakhir utang menjadi perpanjangan tangan upaya campur tangan negara lain dalam penentuan kebijakan dalam negeri.

Di saat globalisasi, utang juga menjadikan negara-negara Selatan tidak punya kemampuan tawar di depan negara maju dalam negosiasi perdagangan. Jadi, utang harus dihentikan untuk memulai bangsa yang berdaulat. Itu pula sebabnya negara seperti Rusia, pewaris Uni Soviet yang besar memutuskan untuk membayar lunas semua hutang luar negerinya dengan sekali bayar. Mumpung punya duit berlebih.

Tentu saja upaya penghapusan utang ini akan mendatangkan reaksi hebat dari mereka yang terganggu kepentingannya, dan tidak mudah untuk menghadapi reaksi balik itu sendirian. Perlu kerja sama yang erat, kesatupaduan sikap dan pandangan dari bangsa-bangsa yang bernasib sama yaitu bangsa-bangsa Asia-Afrika, sekaligus anggota GNB untuk menghadapinya.

Itulah dia letak dari relevansi GNB saat ini. Kuba memang tidak terlalu kuat secara ekonomi bila dibanding dengan rival AS seperti Rusia, China, dan Jepang. Tetapi Kuba sangat kuat secara politik. Dari sedikit negara di dunia yang berani menentang Amerika, Kuba menjadi salah satunya. Kuba yang dulu: negara yang terbebani oleh heroisme Marxisme-Leninisme. Namun, Kuba sekarang dituntut untuk menyelaraskan konvensi revolusinya dalam era kerjasama global.

Dalam lingkaran GNB, sebenarnya bukan Kuba saja yang cakap dipandang secara politis. Ada Iran dengan Mahmoud Ahmadinejad, ada Venezuela dengan Hugo Chavez, ada India dengan Manmohan Singh, ada Indonesia dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Lebih dari 100 anggota GNB sekarang pun tidak lagi terdiri atas negara-negara berkembang seluruhnya. Lebih jauh, GNB sekarang bisa dipandang sebagai kekuatan besar yang tak boleh diremehkan.

Problem riil yang dihadapi GNB sekarang terutama sekali adalah merumuskan agenda ke depan. Banyak pakar yang mengusulkan bila GNB lebih berkonsentrasi ke wilayah politik, dan tidak cuma meningkatkan kerjasama ekonomi. Pada 2003 lalu, KTT GNB di Malaysia membuat kesimpulan penting untuk mencegah serangan ke Irak. Akankah KTT GNB di Havana Kuba melahirkan deklarasi bersejarah ? Waktu yang akan membuktikan hal tersebut. (AFP/Reuters/BBC/Wikipedia).

Tidak ada komentar: