Selasa, Juli 24, 2007

Pembunuhan Theo Van Gogh

Kebebasan Berpendapat Berujung Maut

BANYAK kasus perbedaan pendapat di berbagai negara yang tidak bisa diselesaikan dengan baik. Selain diancam bunuh, ada juga yang pada akhirnya berujung maut. Sebut saja kasus terbunuhnya sutradara terkenal asal Belanda Theo Van Gogh. Van Gogh yang kerap membuat film-film kontroversial mengenai Islam tewas bersimbah darah di jalanan Amsterdam pada 2 November 2004. Dia ditembak beberapa kali. Leher dan dadanya disayat.

Pembunuhnya, Mohammed Bouyeri tertangkap, diadili dan akhirnya mendapat vonis penjara seumur hidup di Pengadilan Amsterdam. Ini hukuman maksimal di Belanda. Bouyeri yang anak imigran Maroko yang besar di Belanda itu menyatakan tidak menyesali perbuatannya. ”Dia pantas mati karena telah menghina Nabi Muhammad,” teriaknya seraya mengepalkan tangannya di sela-sela persidangan sepanjang Juli 2005.

Van Gogh yang juga saudara jauh pelukis abad ke-19 Vincent Van Gogh, tewas akibat film pendek karyanya. Film berjudul Submission ini menampilkan perempuan telanjang dengan ayat-ayat Al Qur’an di tubuhnya.

Tewasnya Van Gogh sempat memicu aksi balasan. Puluhan teror dan pembakaran sekolah Islam serta masjid terjadi di Belanda. Selama dua hari persidangan yang digelar awal bulan ini, Bouyeri tidak mengelak telah membunuh Van Gogh. Menurut Bouyeri, Gogh telah menghina Islam. Bahkan, jika memiliki kesempatan kedua, dia tidak segan melakukannya lagi. Pemuda 27 tahun ini juga rela kehilangan nyawa dalam aksinya itu

Sahabat Van Gogh, Ayaan Hirsi Ali yang juga anggota parlemen Belanda juga mendapat ancaman. Apalagi Ali adalah penulis naskah Submission. Bouyeri sendiri juga meninggalkan pesan berisi ancaman pembunuhan kepada Ali.

Belakangan Ayaan Hirsi Ali dipecat dari parlemen Belanda karena telah melakukan kebohongan publik soal kewarganegaraan Belandanya. Wanita yang dilahirkan di Somalia ini dinyatakan telah memanipulasi data-data serta informasi lainnya agar dia bisa diterima menjadi warga Belanda. Kini, dia pergi ke Amerika Serikat untuk bekerja di sebuah LSM di New York.

Ali tidak sendirian. Taslima Nasreen, novelis Bangladesh juga harus berpindah-pindah ke berbagai negara karena adanya fatwa agar perempuan tersebut dibunuh. Kasus Taslima Nasreen, atau Taslima Nasrin, tak beda dengan apa yang telah dialami Salman Rushdie beberapa tahun sebelumnya. Penulis wanita asal Bangladesh itu menghadapi ancaman dibunuh mati karena novelnya dituduh melecehkan agama Islam.

Alasannya, novelnya berjudul "Malu" (Shame) dianggap melecehkan Islam. Fatwa mati, yang dikeluarkan pada 1994, itu masih berlaku hingga kini. Buku-buku Nasreen sebelumnya, seperti Lajja (Shame atau Malu), My Girlhood Days (Hari-hari Masa Gadis Saya), dan Wild Wind (Angin Liar), dilarang beredar oleh pemerintah Bangladesh karena membikin marah Muslim garis keras. Lajja dilarang karena mengandung penghinaan terhadap Tuhan dan menyarankan free sex.

Perempuan kelahiran 1962 itu sejak lama meninggalkan negerinya, lantas hidup berpindah-pindah dalam pengasingan di Eropa dan AS. Sama persis yang dilakukan Salman Rusdhi. Nasreen sempat menetap di Norwegia, lalu pindah ke Prancis, dan Jerman. Saat ini, dia tinggal di AS dan sedang menggarap riset di Harvard University tentang sekularisasi dan emansipasi kaum wanita di negera-negara Islam.

Kasus lain, menyangkut soal kebebasan berpendapat berkaitan dengan isu holocaust. Di Eropa, menyangkal peristiwa Holocaust yakni pembantaian Nazi-Hitler terhadap sekitar 6 juta warga Yahudi, ternyata bukan termasuk wilayah kebebasan berbicara. Hukuman 10 tahun penjara diperuntukkan bagi siapapun yang menyatakan bahwa holocaust tidak pernah terjadi. Itulah yang kini menimpa sejarawan Inggris David John Cawdell Irving (68 tahun).

Dia diadili pengadilan Wina, Austria karena banyak menulis buku tentang ”ketidakbenaran Holocaust” yang dilakukannya antara tahun 1977-1988. Akademikus kelahiran Essex itu kerap dituduh sebagai Neo Nazi oleh kelompok-kelompok Yahudi Eropa. Sejarawan sayap kanan itu ditangkap November 2005 lalu dalam pemeriksaan rutin lalu lintas di Austria.

Surat penangkapan Irving sendiri sudah diterbitkan sejak 1989 lalu oleh pengadilan Wina, setelah penulis Hitler’s War tersebut menyangkal penggunaan gas pada kamp konsentrasi oleh rezim Nazi. Ketika ditangkap, Irving tengah dalam perjalanan ke klub mahasiswa di Wina, yang sering dihubungkan dengan gerakan sayap kanan ekstrem atau pan-Jerman.

Irving menjadi sejarawan yang cukup dikenal, berkat upayanya untuk mengumpulkan bukti yang bertentangan dengan Holocaust. Dalam beberapa bukunya, Irving mencoba memaparkan fakta bahwa Hitler sebenarnya tidak pernah terlibat dalam peristiwa Holocaust, tidak pernah ada pembunuhan dengan kamar gas di kamp konsentrasi Auschwitz, dan jumlah Yahudi yang tewas terlalu dilebih-lebihkan.

Kasus lama yang populer tentu saja kasus Salman Rushdie, penulis Inggris yang menulis novel berjudul Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Mendiang pemimpin Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini memang pernah mengeluarkan fatwa bahwa novelis Salman Rusdhie harus dibunuh. Isi novel itu dinilai melecehkan Nabi Muhammad serta agama Islam. Novelis keturunan India itu pun diburu. Rusdhie pun mencari perlindungan di negara-negara Barat. Dia akhirnya tinggal di sebuah tempat yang dijaga ketat di Inggris. Belakangan, Rusdhie berani keluar dari persembunyiannya setelah Khomeini wafat.

Dan kini kasus terbaru adalah 12 kartunis Denmark yang membuat kartun Nabi Muhammad di sebuah media di Denmark yang dihargai kepalanya sebesar USD 11,5 Juta (sekitar Rp 106,2 M). Pemberi hadiah tersebut adalah Mohammed Yaqoob Qureshi, seorang Menteri di negara bagian Uttar Pradesh, India yang bertanggung jawab atas urusan minoritas dan ziarah haji tahunan. Pembuatan kartun nabi Muhammad di Tabloid Jyllandas-Posten pada 30 September 2005 memang telah memicu reaksi keras umat Islam di seluruh dunia. Bahkan Kedubes Denmark di beberapa negara diserbu massa dan dirusak.

Sementara itu di Beijing, China, tidak ada tempat yang nyaman bagi pengikut kelompok spiritual Falun Gong. Pemerintah Negeri Tirai Bambu itu menegaskan kebijakannya untuk memberantas sisa-sisa kelompok keagamaan yang dianggapnya sebagai ekstrim tersebut. Negeri itu menilai organisasi tersebut sebagai ancaman bagi stabilitas. Alasannya, Falun Gong mengajarkan penyiksaan, pemusnahan, dan kejahatan terhadap manusia kepada para anggotanya.

Pemerintah China, menurut Kantor Berita Xinhua, menuding Falun Gong adalah kelompok yang bekerja sama dengan "kekuatan Barat anti-China" untuk menyerang pemerintah dan rakyat China. Karena itu, tidak ada toleransi bagi kelompok tersebut. China memang melarang Falun Gong sejak Juli 1999. Mereka menganggap kelompok ini sebagai "aliran setan". Saat larangan itu diumumkan, 10 ribu pengikut aliran tersebut menggelar aksi di kantor pemimpin Partai Komunis China di pusat kota Beijing, menuntut pencabutan larangan tersebut. (iwan samariansyah).

Tidak ada komentar: