Senin, Juli 23, 2007

Dari Jurnalis Jawa Pos Menjadi Calon DPD

Oleh : Iwan Samariansyah

SEJAK memutuskan mundur dari dari Jawa Pos tahun 2000, jarang sekali aku mengikuti perkembangan bekas kantorku itu. Selain kesibukan sehari-hari yang cukup menyita waktu, pekerjaan baruku juga tidak memungkinkan aku untuk sekedar mampir dan minum kopi dengan kawan-kawan lama. Apalagi aku kemudian juga melanjutkan studi Pasca Sarjana di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.

Meski begitu, secara pribadi hubunganku dengan para mantan rekan sejawat tetaplah baik. Selama bekerja sekitar 6 (enam) tahun di Jawa Pos pada periode 1 Februari 1995 hingga 31 Desember 2000, aku menjalin pertemanan yang baik dengan para karyawan lain. Baik di bagian redaksi, maupun non redaksi. Dari mulai Sururi Al Faruk yang karirnya melejit menjadi Redaktur Pelaksana, sampai Bu Ning yang sehari-sehari menjadi sekretaris redaksi di Biro Jakarta.

Aku juga pernah lama menjadi teman satu kost dengan Taufik Lamade, fotografer Agus Wahyudi, dan sama-sama membangun Harian Glodok Standard dengan Ahmad Syafei Zemud dan Sudjatmiko. Namun, ketika akhirnya aku lenyap secara "organik" dari Jawa Pos, rasanya semuanya pertemanan putus begitu saja. Yang tertinggal hanyalah kenangan saat masih bergaul dengan teman-teman di Karah Agung Surabaya, kantor Biro Jakarta di Prapanca, kantor Biro Jakarta di Kebayoran Lama sampai kantor Redaksi Glodok Standard di kawasan Glodok Plaza Jakarta.

Berbagai kejadian di masa lalu selalu menumbuhkan perasaan hangat dan akrab mengalir dalam tubuhku. Perasaan yang membuat aku terdorong untuk menghidupkan komputer dan mencoba membuka kembali memori lama sewaktu masih bekerja di harian tersebut.


***

KETIKA lulus kuliah dari Universitas Gadjah Mada tahun 1994 dan kemudian pergi ke Surabaya untuk bekerja, sama sekali tak terlintas dalam pikiranku untuk bekerja sebagai wartawan. Semasa masih menjadi aktivis dan pemimpin gerakan mahasiswa di Jogja akhir dekade 1980-an, aku memang sudah kenal koran Jawa Pos. Bahkan pernah jadi pelanggannya pula.

Tetapi waktu aku putuskan pergi ke Surabaya, bukan kantor Jawa Pos yang kutuju seperti banyak mantan aktivis mahasiswa waktu itu yang memilih jadi wartawan. Waktu itu aku memilih bekerja di kantor Konsultan Tata Ruang di kawasan Sidosermo, Surabaya.

Dan begitulah. Itulah pekerjaan pertamaku setelah lulus kuliah yaitu menjadi tenaga ahli bidang perencanaan kawasan industri. Meskipun pekerjaan ini cukup mengasyikkan, apalagi untuk pertama kalinya bisa menerima penghasilan sendiri, aku dilanda rasa tidak puas. Dalam
perspektifku, pekerjaannya kurang menantang. Maklum anak muda. Jadi, mulailah aku mencari-cari peluang lain.

Bersamaan dengan itu, bulan Oktober 1994 aku menikah dengan gadisku, moyang priangan yang kujumpai di Jogja. Tuntutan ekonomi bertambah sehingga mau tidak mau aku mulai berfikir pragmatis : mencari penghasilan yang lebih tinggi. Bulan Januari 1995 peluang itu tiba.
Ada iklan di koran Jawa Pos tentang penerimaan karyawan baru. "Ini dia jalan keluarku," fikirku ketika itu.

Dan akupun membolos bekerja waktu itu. Membawa berkas-berkas pendaftaran yang dibutuhkan dan langsung pergi ke Karah Agung tempat kantor Redaksi Jawa Pos berada. Akupun ikut ngantri bersama puluhan calon pelamar lain. Niatku waktu itu Cuma ingin mengubah nasib. Keterima ya syukur, tidak diterima ya cari lowongan lagi. Setelah melewati beberapa tahapan seleksi, diriku dinyatakan diterima.

Aku diterima bekerja sebagai wartawan magang dengan masa percobaan tiga bulan bersama sekitar 30 orang lainnya. Kami semua adalah kelompok rekruitmen Angkatan 14. Angkatanku antara lain Marzuk (mz), Ariyanti Handayani (ah), Imron Mawardi (ron), Syamsudin (din), dan
sebagainya. Kata Mas Elman dan Mas Alex (Ali Murtadho). Konon, rangkingku saat diterima paling buncit. Apalagi statusku sudah menikah. Peduli amat. Yang penting kini aku mulai memasuki babak baru dalam karierku sebagai wartawan.

Dan mulailah aku bekerja di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia. Pekerjaan lamaku di Sidosermo kutinggalkan. Aku mulai kenal dengan arti berpanas-panas dan berhujan-hujan untuk mencari berita. Ketika menjadi wartawan magang itu, berbagai pos pernah aku jalani. Aku pernah ditugaskan meliput kegiatan walikota menjadi wartawan kota bersama Mbak Rindang Herawati, ikut runtang-runtung di pengadilan dan polisi bareng Mas Hari Prastowo, juga sempat wawancara dengan Gubernur Basofi Sudirman karena saat itu Mas Ipam ada acara
lain.

Terakhir, penugasanku adalah untuk klayapan ke café-café, klub malam juga hotel-hotel bersama mas Julie Setyo Budi atau lebih dikenal dengan nama populer Mas Jos. Tugasku adalah mengejar-ngejar berita artis dan selebritis buat dimuat di rubrik hiburannya Jawa Pos. Redakturku saat itu adalah si "brengos berhati lembut" Mas Sugeng. Disitulah aku menemukan duniaku. Dugem. Dunia gemerlap.

Meskipun kupikir-kupikir pahit juga rasanya. Yang diliput memang dunia gemerlap, tetapi sebagai wartawan penghibur – olok-olokan teman-temanku waktu itu --- kehidupanku jauh dari gemerlap karena kesana kemari tetap masih bersepeda motor dan gajiku tidak cukup untuk kehidupan satu bulan. Bayangkan. Jawa Pos cuma memberi gaji wartawan magangnya sebesar Rp 300 ribu.

Tapi aku tak peduli. Kuusahakan membuat berita sebaik mungkin. Aku sempat mewawancarai banyak tokoh selebritis papan atas. Sebut saja nama-nama seperti Meriem Bellina, Rosdiana Dewi, Roy Marten, juga Tamara Bhrezinski. Aku cukup beruntung pula karena pada saat yang
bersamaan Jawa Pos membuat rubrik baru bernama RONCE sehingga kiprahku sebagai wartawan desk hiburan cukup menonjol. Dalam satu bulan rekor jumlah beritaku melampaui jumlah berita kawan-kawanku seangkatan. Singkat cerita. Waktu itu tiada hari tanpa berita dengan kode is. Bangga juga aku.

Melihat prestasiku yang cukup membanggakan itu rupa-rupanya membuat diriku mendapat perhatian dari para senior. Merekapun menawari – tepatnya diperintah--aku untuk pergi ke Jakarta, menjadi wartawan nasional. Hwaduh, mati aku. Sebetulnya aku sudah betah hidup di
Surabaya. Sejak lulus kuliah aku menghindar untuk pergi ke Jakarta akan tetapi nasib rupanya menentukan lain. Tetap saja aku diharuskan masuk ke Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia. Waktu itu akhir tahun 1995.

Dan akhirnya bulan Desember 1995, pergilah aku ke Jakarta. Bertemulah aku dengan Mas Alfian Mudjani, pimpinan Jawa Pos Biro Jakarta yang juga Redaktur Pelaksana Jawa Pos saat itu. Mas Alfian kemudian memberi tugas padaku untuk mengisi pos yang baru saja ditinggalkan
oleh Joko Intarto (jto) yaitu menjadi wartawan hukum dan kriminal. Sebelum Joko Intarto, yang bertugas di desk tersebut adalah Soeparno yang kemudian menjadi pimpinan Koran Sumatera Ekspress di Palembang. Joko sendiri ditugaskan Pak Dahlan pergi ke Sulawesi Tengah memimpin Harian Mercusuar.

Namun, pada prinsipnya wartawan Jawa Pos Biro Jakarta tidak harus meliput satu bidang liputan tertentu. Jadi, terkadang akupun meliput peristiwa-peristiwa di luar desk hukum dan kriminal, misalnya politik, ekonomi dan juga kegiatan-kegiatan kebudayaan. Anehnya sewaktu bekerja di Jakarta tak sekalipun aku meliput para artis, bidang yang menjadi garapanku selama menjadi wartawan hiburan di Surabaya ! Mungkin karena dua wartawan hiburan di Jakarta yaitu Mas Kris Murwanto (krs) dan Afer Malanguna (fer) sudah cukup produktif dalam meliput kegiatan hiburan di Jakarta.

Akan tetapi mungkin yang tidak terlupakan sepanjang tahun 1996 dan 1997 itu adalah "kegilaanku" untuk menulis berita sebanyak mungkin. Baik sejak kantor Biro Jakarta masih berlokasi di Jalan Prapanca di bawah pimpinan Mas Alfian Mudjani maupun ketika akhirnya kami diharuskan hijrah ke kantor yang berlokasi di Jalan Kebayoran Lama di bawah pimpinan Mas Wahyudi (almarhum) akhir 1997.

Jadi selain menulis berita-berita kriminal dan hukum, aku juga menulis features yang aku dapatkan dari beberapa tempat : peristiwa kriminal itu sendiri, ilmu pengetahuan dan teknologi serta bidang kesehatan dan kedokteran. Pada tahun 1996 ada kegiatan Indonesian Air Show (IAS) yang diselenggarakan di Cengkareng. Akupun ditugaskan untuk meliput peristiwa besar tersebut yang mengangkat nama Menristek BJ Habibie sehingga akhirnya terpilih sebagai Wakil Presiden pada tahun 1998.

Cukup banyak features yang kuangkat dari kegiatan IAS tersebut antara lain teknologi pesawat terbang terbaru, profil teknisi IPTN wanita dan tentu saja wawancara eksklusif dengan Menteri BJ Habibie yang diturunkan satu halaman penuh dalam rubrik TOKOH Jawa Pos di hari minggu. Sejak itulah aku kemudian rutin mengisi berita feature halaman depan pojok kanan bawah. Kalau sebelumnya di Surabaya aku dikenal sebagai wartawan hiburan maka di Jakarta aku dikenal sebagai wartawan penulis features (box) halaman 1.

Baik Mas Alfian maupun Mas Wahyudi kalau sudah sore dan aku baru saja nongol ke kantor selalu bertanya kepadaku : "Opo box-nya Wan hari ini ?" dan aku biasanya sudah siap dengan usulan tulisanku yang khas. Pernah di tahun 1996 dan juga beberapa kali terjadi di tahun 1997,
dalam satu bulan aku mengisi tidak kurang dari 25 tulisan feature di halaman satu. Belum termasuk tulisan-tulisan lainnya yang kuperoleh setiap hari. Alhasil, untuk tahun 1996 dan 1997 bisa dikatakan jumlah tulisan yang berhasil kubuat diatas rekor rata-rata yang ada di Jawa Pos.

Aku pernah menghitungnya sendiri : pada tahun 1996 aku membuat tidak kurang dari 1.100 berita (atau rata-rata tiga berita setiap hari). Pada tahun 1997 jumlah tersebut meningkat jauh, karena saat itu Mas Toni -panggilan akrab Wijoyo Hartono - salah satu redaktur di Surabaya mendapat tugas mengkoordinir rubrik baru LAPORAN KHUSUS (Lapsus) yang tema-temanya berganti setiap hari.

Di Jakarta, akulah yang ditugaskan untuk membantu Mas Toni mencari berita-berita Lapsus tersebut. Alhasil, pada tahun 1997, jumlah berita yang kuhasilkan tidak kurang dari 1.700 berita (atau rata-rata 5 berita setiap hari). Produktivitas yang begitu fantastis itu kadang membuat kawan-kawan sejawatku geleng-geleng kepala. Tetapi aku tak perduli. Aku senang menulis, dan kalau sudah menulis terkadang aku lupa waktu. Lupa diri.

Atas prestasiku tersebut, tampaknya bos-bos di Jakarta dan Surabaya lantas memberiku penghargaan yang cukup unik. Aku ditugaskan untuk meliput peristiwa internasional yang berlangsung di Singapura yaitu Sidang WTO yang berlangsung di Suntech City, Singapore. Padahal sehari-hari bukan aku yang meliput bidang ekonomi dan bisnis tetapi rekan sejawatku yaitu Mas Djono dan Mas Syafei Zemud. Tetapi rupa-rupanya atasanku menganggap kemampuan bahasa Inggrisku lebih baik sehingga aku yang dipilih. Ya sudah, prajurit hanya bisa menyatakan siap dan berangkatlah aku ke Singapore dengan bekal USD 3.000. Waktu itu kursnya masih Rp 2.500 per dollar.

Sejumlah berita-berita mengenai WTO aku tulis untuk Jawa Pos dan setiap hari mewarnai berita halaman 1. Aku cukup bangga ketika itu sekaligus berhutang budi. Bisa dikatakan tahun 1997 adalah puncak karirku karena di awal tahun yang sama aku juga mendapat anugerah
yaitu surat pengangkatan sebagai karyawan Jawa Pos. Gajiku juga otomatis naik dan keluargaku tentu saja menyambut hal itu dengan gembira.

Hanya saja, tampaknya ada yang aku lupakan. Situasi sosial ekonomi Republik Indonesia rupa-rupanya memasuki tahun 1998 benar-benar terpuruk. Imbasnya juga berpengaruh pada koran kami, Jawa Pos. Awal tahun 1998, Pak Dahlan Iskan berkunjung langsung ke kantor Jakarta dan menyampaikan kabar yang tidak mengenakkan mengenai kondisi perusahaan yang sedang goyang karena pemasukan dari iklan yang terus menurun.

Aku pun merasa tertantang dan dengan tulus menawarkan diri untuk membantu perusahaan. Yaitu untuk mencarikan iklan ke berbagai tempat dimana aku pernah menjadi wartawan peliput. Sayangnya, menurutku pilihanku ini agaknya keliru. Karena mencari iklan ternyata tidak semudah yang aku sangka-sangka. Sampai tiga bulan kemudian sejak bulan Maret 1998, atau sejak reformasi bergaung aku kemudian keluar dari bagian iklan dan kembali ke redaksi. Tetapi tidak ada tempat lagi bagiku di desk nasional Jawa Pos !

***

Jalan yang diberikan oleh Mas Wahyudi, kepala Biro Jakarta waktu itu adalah mem-BKO-kan diriku ke anak-anak perusahaan. Akupun menjadi staf Badan Pengembangan Anak Perusahaan (BPAP) di bawah kendali Mas Zarmasyah dan Pak Syamsudin. Pada saat yang bersamaan Jawa Pos memang memanfaatkan kemudahan pengurusan SIUPP waktu itu dengan mendirikan koran-koran daerah. Akupun ikut dalam rapat-rapat BPAP, dan ikut pula membidani beberapa koran seperti Radar Bogor, Pos Metro, Radar Tangerang, Radar Cirebon, juga Tabloid Amanat Nasional, tabloid Oposisi dan akhirnya yang terakhir adalah Glodok Standard.

Aku juga membantu mengkoordinir berita untuk salah satu anak perusahaan Jawa Pos di Surabaya yaitu Harian Pewarta Siang (ex Karya Dharma), yang kemudian melahirkan Tabloid Oposisi. Aku menjadi Kepala Bironya di Jakarta. Tetapi berdiri di dua kaki sebagai staf
operasional BPAP sekaligus orang redaksi ternyata membuatku tidak nyaman. Aku akhirnya mundur dari BPAP dan menginginkan untuk berkonsentrasi pada satu penerbitan saja. Pada saat yang sama, Syafei Zemud (sebelumnya wartawan ekonomi Jawa Pos) keluar dari pem-
BKO-an di Radar Bogor dan mengajakku untuk membesarkan Glodok Standard. Tawaran itupun aku terima.

Dan begitulah. Mulai Februari 1999 sampai dengan akhir tahun 2000 akupun boyongan lagi dari dan berkantor di Glodok Plaza, tempat redaksi Glodok Standard berkantor. Sayangnya umur koran ini tidak lama karena timbul konflik antara para pemilik saham koran yang sebenarnya punya prospek yang cukup cerah itu. Ini mengecewakanku. Dan membuatku patah hati. Apalagi aku tidak lagi bisa kembali masuk ke jajaran Redaksi Jawa Pos. Kawanku Sururi Al Faruk sudah menjadi Kepala Biro Jakarta waktu itu. Akupun berketetapan hati untuk mengundurkan diri saja.

Itupula yang kulakukan. Karena aku diterima di Surabaya, maka akupun berangkat ke Surabaya dan menghadap langsung dengan Pemimpin Umum Jawa Pos, Nani Wijaya. Kuutarakan niatku untuk mundur dan dia memenuhinya. Meskipun aku mundur, Nani tetap menganggapku pantas mendapat pesangon. Tak perlu aku sebutkan jumlahnya, pokoknya lumayan untuk bertahan hidup beberapa bulan.

***

Keluar dari Jawa Pos, membuat aku segera mencari pekerjaan baru. Untunglah, banyak teman yang bersedia membantu. Setidaknya memberikan informasi lowongan pekerjaan buatku. Yang aku pilih kemudian adalah sebuah sebuah perusahaan HPH yang ingin membangun industri perkebunan di Kalimantan Timur, kampung halamanku. Disitu aku menjabat sebagai Manager Komunikasi.


Pada tahun 2001 aku mendapat tawaran beasiswa dari sebuah Yayasan di Kalimantan Timur untuk melanjutkan studi di Jakarta. Akupun mengikuti tes penerimaan pasca Sarjana di Universitas Indonesia. Mengingat pengalaman kerjaku aku memilih Ilmu Komunikasi dan diterimalah aku sebagai mahasiswa Pasca Sarjana UI. Di Kaltim aku juga mendirikan sebuah perusahaan konsultan media yang kemudian mendapat order pekerjaan dari PT Pupuk Kaltim, Bontang.

Saat menjelang Pemilu 2004, kawan-kawanku di Kaltim mendesakku untuk terjun ke bidang politik mewakili kalangan generasi muda. Mulanya aku merasa berat, karena sejak tahun 1999 sewaktu masih ada di Jakarta aku juga sudah sering diajak untuk masuk ke Partai Politik tetap selalu saja aku tolak. Entah kenapa, aku sama sekali tidak tertarik untuk bergabung dengan Partai Politik manapun. Padahal dari segi latar belakang ke-organisasian potensiku cukup besar untuk mendapat dukungan.

Betapa tidak. Aku adalah pendiri Badan Eksekutif Mahasiswa Univesitas Gadjah Mada, dan tahun 1990 adalah Sekretaris Jenderal Senat Mahasiswa UGM. Aku juga pimpinan nasional dari Ikatan Mahasiswa Geografi Indonesia (IMAHAGI). Di organisasi ekstra universiter aku anggota dan pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mulai dari cabang sampai Pengurus Besar pernah aku pegang. Jabatan terakhirku di HMI adalah Kepala Bidang Humas PB HMI. Waktu itu HMI terpecah dua dan aku bergabung di kelompok HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).

Pada akhirnya, setelah merenung dalam-dalam dan berkonsultasi dengan keluargaku akupun setuju terjun ke politik tetapi sebagai calon independen. Kebetulan Pemilu 2004 memungkinkan calon independen menjadi peserta Pemilu yang akan tergabung dalam institusi baru yang
disebut Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kalau di Amerika Serikat, wakil daerah (negara bagian) ini disebut senator.

Saat itu untuk wilayah Kaltim ada 32 calon yang ikut maju dalam persaingan memperebutkan empat kursi senator tersebut. Sebagian besar adalah para mantan pejabat di Kaltim, sedangkan
lainnya adalah para pengusaha seperti Luther Kombong, Harbiansyah Hanafiah dan Yos Soetomo. Aku adalah calon termuda dan bisa jadi paling tidak punya dukungan finansial untuk maju dalam pemilihan kali ini. Hasil akhir Pemilu bisa ditebak : diriku tak terpilih, tetapi pengalaman ini menjadi pengalaman berharga bagiku.

2 komentar:

geografician mengatakan...

assalamu'alaikum. Wr.wb
Bapak atau mas, aku bingung manggilnya pak. lebih enaknya mungkin saya panggil bapak saja.
saya saat ini termasuk pengurus besar(nasional) IMAHAGI, organisasi mahasiswa yang dulu pernah bapak ikuti. setelah vakum 4 tahun dan sungguh-sungguh ironis karena terjadi loss generation, akhirnya pada tanggal 11 Maret 2008 dilantik pengurus nasional IMAHAGI 2008-2010 oleh Prof.Dr. Suratman Worosuprojo (ket. IGI. pengurus baru ini hasil kongres 25-28 Februari 2008 di UGM,dihadiri 11 komisariat saja.dan itupun hanya dari UNDANA Kupang yang mewakili luar Jawa.sedihnya, tanpa ada LPJ ketua terdahulu.
saat ini kami butuh bantuan bapak untuk menghidupkan kembali IMAHAGI yang baru, agar tidak terjadi lagi loss kepengurusan.
kami mempunyai email : imahagipusat@yahoo.com

terimakasih, ttd Rudiono(assisten biro administrasi)

SANTRI GODEBAG mengatakan...

Mantap, bos aku juga wartawan grup JP gajinya kecil ya. Tak ada penghargaan lagi. Kini aku berniat mundur. Sudah capek.