Senin, Agustus 13, 2007

Menggugat Peristiwa Kelam 1964


Kraton Bulungan Dibakar Tentara

BANYAK peristiwa di masa lalu yang sekedar menjadi catatan sejarah yang tenggelam dalam tumpukan arsip di masa lalu. Tetapi banyak pula sejarah masa lalu yang menimbulkan keinginan banyak pihak untuk mengungkapkannya lebih jauh. Apalagi bila peristiwa itu berkaitan dengan tragedi dan tindakan yang bertentangan dengan rasa keadilan dan kebenaran.

Kabupaten Bulungan, sebuah daerah otonom yang terletak di provinsi Kaltim juga punya hal yang sama. Aku ingat, saat DPP Golkar dipimpin oleh Akbar Tanjung, tokoh-tokoh di daerah itu pernah mengajukan sebuah tuntutan kepada Akbar yang saat itu menjadi Ketua DPR-RI. Kebetulan, aku mencatat peristiwa itu dengan sangat baik.

Maklumlah, aku berasal dari daerah itu. Meski tidak lagi berdomisili di sana, bekerja sebagai perantau di Jakarta, aku terus mengikuti perkembangan yang ada di daerah itu. Apalagi orangtuaku tinggal di sana. Begitu pula politik lokal yang ada di daerah yang letaknya cukup jauh di pelosok dan dekat dengan perbatasan Malaysia Timur itu.

Tuntutan yang disebut “Bulungan Menggugat” itu disampaikan pada Akbar pada 1 Februari 2003 saat acara Temu Kader Partai Golkar di Lapangan Agathis, Tanjung Selor. Saat itu Akbar memang tengah berkunjung ke Kabupaten Bulungan dalam rangka melakukan konsolidasi partai. Para aktivis Partai Golkar memanfaatkan kesempatan itu mengajukan “Bulungan Menggugat”.

Tuntutan itu meminta Akbar sebagai salah satu tokoh nasional mendukung rakyat di Kabupaten Bulungan menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi Tenguyun – julukan untuk Kabupaten Bulungan – dalam kaitannya dengan peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada tahun 1964.

Maklumlah, setelah era reformasi, baru kali itulah tokoh-tokoh di Kabupaten Bulungan berani menyampaikan aspirasi mereka. Aspirasi yang tersimpan di dalam hati semua anak bangsa yang bermukim di seluruh Kabupaten Bulungan, dan menjadi sesuatu yang mengganjal, menurutku sangatlah wajar. Sesuatu yang menyesakkan dada mereka semua karena bertentangan dengan rasa kemanusiaan patutlah didengarkan.

Sejumlah tokoh dan warga masyarakat saat itu menuntut agar persoalan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1964 itu bisa diselesaikan secara tuntas. Latar belakangnya, kata mereka, adalah tuduhan kontra revolusi kepada tetua adat Kabupaten Bulungan yang umumnya adalah para anggota bangsawan Kerajaan Bulungan dan penistaan habis-habisan terhadap keluarga kerajaan Bulungan ketika itu.

Tuduhan kontra revolusi itu dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) cabang setempat. Dan karena saat itu PKI adalah salah satu partai yang dekat dengan kekuasaan, dengan mudah mereka merekayasa fitnah yang ditujukan pada para tetua adat Kerajaan Bulungan. Akibat fitnah tanpa bukti itu, pasukan KKO dan sejumlah aktivis PKI akhirnya melakukan tindakan sepihak.

Pasukan KKO dari Tarakan yang bergerak atas perintah Panglima Daerah Militer Mulawarman Brigjen Suharyo (Haryo Kecik, red) melakukan penyerbuan terhadap Kraton Bulungan di Tanjung Palas. Akibatnya, Kraton bersejarah itu dibakar habis dan harta kekayaannya dijarah oleh para penyerbu. Para kerabat kraton yang ingin membela Sultan Bulungan dan keluarganya dibantai. Dalam peristiwa pada 1964 itu terbunuh sekitar 50 orang keluarga Sultan Bulungan !

Meskipun peristiwa tersebut sudah berlalu lebih dari 40 tahun yang lalu, namun kejadian tersebut masih terus terbayang-bayang di benak para warga Kabupaten Bulungan. Mereka tak berdaya menggugat tragedi tersebut saat era Soeharto masih berkuasa, karena begitu kuatnya cengkraman rezim militer yang ada. Tetapi setelah reformasi datang, sejumlah keturunan keluarga Kesultanan yang masih hidup merasa perlu mengungkapkan hal itu.

Bagi mereka, peristiwa itu begitu mengerikan dan tak mungkin terlupakan sebelum ditegakkannya kebenaran dan keadilan. Kalau diperlukan saksi-saksi hidup, maka sejumlah orang menyatakan kepadaku bahwa siap untuk menjadi saksi sejarah akan kebenaran peristiwa kelam di masa lalu yang kerapkali hendak disembunyikan rapat-rapat itu !

Sepucuk surat telah dilayangkan ke pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan penyelidikan terhadap kejadian memilukan yang telah melukai harga diri rakyat Kabupaten Bulungan itu. Menurut salah satu tokoh, permintaan yang diajukan kepada pemerintah pusat itu adalah permintaan sederhana yang seyogyanya bisa dipenuhi oleh Jakarta.

“Kami tidak minta merdeka ! Kami tidak pernah menuntut macam-macam sejak Indonesia merdeka sampai sekarang ! Tetapi ijinkan kami kali ini bersuara agar ganjalan di hati kami lenyap,” begitulah ungkap salah satu tokoh kepadaku dengan bersemangat. Aku mencatatnya. Dan aku menuliskannya disini.

Tuntutan yang disebut sebagai “Bulungan Menggugat” itu terdiri dari dua pasal yaitu : Pertama, meminta agar pemerintah pusat menyampaikan permohonan maaf kepada ahli waris Kesultanan Bulungan atas terjadinya pembunuhan terhadap 50 orang keluarga Sultan Bulungan pada kejadian tahun 1964. Kedua, meminta agar pemerintah pusat dapat memberikan ganti rugi yang layak atas hancur dan terbakarnya Kraton Kesultanan Bulungan serta dirampoknya harta benda Kesultanan yang kini lenyap tak bersisa.

Apakah tuntutan tersebut dikabulkan atau tidak, tinggallah pada pihak-pihak yang menuntut untuk terus memperjuangkan haknya. Sedangkan pemerintah pusat di Jakarta, sepatutnyalah mendengarkan tuntutan itu sebaik-baiknya. Bagaimanapun Kabupaten Bulungan adalah bagian sah dari wilayah Republik Indonesia dan mereka juga berhak mendapatkan kebenaran dan keadilan.

1 komentar:

Didud mengatakan...

Saya baru melihatnya di Metro File Pak/Kawan Syam :D

http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2010/10/09/7156/157/Merah-di-Langit-Bulungan


baru tahu kalau ada peristiwa semcam ini, semoga kebenaran bisa terungkap, kalau tidak ya biarlah diadili di Akherat, karna Allah kan Maha Adil :D