Jumat, Agustus 31, 2007

Bacaan Bagus untuk Wartawan Muda


Amplop-isme dan Moralitas Wartawan

Oleh : Stanley

Mengikuti rombongan wartawan yang tengah meliput sebuah acara secara beramai-ramai, biasanya kita akan melihat fenomena menarik yang khas Indonesia. Bila yang diliput adalah demonstrasi atau peristiwa politik yang terlihat adalah suasana pertemanan yang luar biasa kompaknya. Yang datang terlambat akan meminta informasi atau bahan dari yang datang duluan. Yang datang di lokasi lebih dulu umumnya juga dengan senang hati membagi informasi atau pers release yang didapatnya kepada sang kolega (dari media yang berbeda).

Namun, lain halnya bila yang diliput adalah sebuah konferensi pers atau undangan menghadiri product launching dari sebuah perusahaan yang memproduksi barang baru. Selesai mengikuti acara, biasanya para wartawan akan diminta panitia untuk mengisi absensi dengan cara membubuhkan tanda tangan. Acara ini kerap merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu wartawan, sebab setelah mengisi absen pihak panitia akan membagikan cinderamata beserta "amplop" berisi uang "ala kadarnya". Harap maklum, yang namanya ala kadarnya di sini berbeda-beda besarnya. Bisa sekadar pengganti uang transpor yang besarnya sekitar Rp 75.000 bisa juga uang "lelah" untuk imbalan jasa pemuatan yang berkisar antara Rp 250 ribu - Rp 400 ribu.

Menghadiri undangan instansi pemerintah, BUMN atau militer, lain lagi. Biasanya acara bagi-bagi amplop telah dikoordinir wartawan kepercayaan instansi yang bersangkutan. Tidak pernah diketahui, berapa besar uang yang diterima para koordinator itu. Yang jelas, sang koordinator membagi amplop secara seragam pada teman-temannya. Kemungkinan kelebihan amplop disimpan sendiri oleh sang koordinator. Meliput acara hiburan, seni, dunia selebritis dan artis tak jauh berbeda. Masing-masing telah punya koordinator sendiri.

Wartawan di Indonesia menganggap pemberian amplop adalah hal yang wajar. Apalagi wartawan senior yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI, Rosihan Anwar, malah menganjurkan agar para wartawan tak menolak pemberian amplop. Pada jaman PWI di bawah kepemimpinan Sofyan Lubis, sang ketua juga menganjurkan hal serupa. "Sejauh hal itu tak ada paksaan dari si wartawan atau sumber berita," ujar Sofyan Lubis mencoba berkilah bahwa hal itu tidak bertentangan dengan kode etik dan moralitas seorang wartawan.

Sikap pragmatisme para tokoh PWI yang nota bene adalah pimpinan di sejumlah media bukan tanpa alasan. Umumnya mereka melihat gaji wartawan yang telalu rendah sebagai dasar legitimasi kebijakan yang mereka berikan. "Mau apa lagi, perusahaan belum mampu menggaji wartawannya secara layak. Jadi silakan cari tambahan di luar, asalkan halal," begitu ucap sejumlah pimpinan media.

Apakah memang demikian halnya? Ternyata sejumlah penerbitan besar terkemuka lebih memilih melarang wartawannya untuk menerima amplop, karena bisa mengganggu integritas wartawan sekaligus kredibilitas lembaga. Para wartawan yang baru masuk diajari teknik menolak amplop. Mulai dari sikap terima dulu untuk kemudian dikembalikan lewat sekretaris, hingga teknik menghindari absensi. Sejumlah pimpinan media malah menerapkan kebijakan keras berupa tindakan langsung mengeluarkan wartawannya yang ketahuan menerima amplop.

Namun, yang jadi pertanyaan apakah kebijakan keras itu disertai dengan sistem penggajian yang memadai bagi para wartawannya? Jawabannya : tidak. Contoh yang terkemuka adalah para wartawan di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menerapkan ketentuan melarang amplop pada karyawannya ternyata tak digaji cukup layak. Gaji pokok seorang wartawan baru di Gramedia Majalah sekarang "cuma" sekitar Rp 400 ribu - Rp 650 ribu (tulisan ini dibuat pada 1 April 2000, red). Wartawan tabloid semacam Citra di lingkungan Gramedia Majalah bergaji paling rendah. Yang tertinggi adalah majalah Intisari dan Bobo yang dianggap telah mapan dan menguntungkan. Di kelompok penerbitan majalah, gaji wartawan Gramedia ini masih berada jauh di bawah rata-rata gaji karyawan Tempo, Forum, Gatra maupun Gamma.

Rendahnya (under-paid -red.) gaji wartawan memang sudah dalam taraf yang memprihatinkan. Hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dilakukan di Jakarta pada Mei-Juni 1999 lalu menyatakan dari 250 wartawan responden tercatat 5% bergaji di bawah Rp 250 ribu, 35% bergaji antara Rp 500-1 juta , 30% bergaji antara Rp 1-2 juta dan 8% bergaji di atas Rp 2 juta. Sayang, hasil survei AJI tak membedakan antara jabatan reporter dan redaktur.

Menurut hasil survei majalah Asiaweek Edisi 29 November 1996 yang memetakan gaji tertinggi kelompok profesional di kawasan Asia-Australia memperjelas rendahnya gaji wartawan. Menurut hasil survei gaji tertinggi reporter di Indonesia berada di urutan no 4 paling rendah setelah Cina, Vietnam dan India. Sedangkan gaji redaktur tertinggi di Indonesia menempati urutan ke 5 terendah setelah Cina, Vietnam, Filipina dan India. Negara di kawasan Asia-Australia yang paling mensejahterakan wartawannya tercatat adalah Jepang, disusul Australia, Hongkong, Korea Selatan dan Thailand.

Sejumlah media malah tak memberi gaji wartawannya. Kepada para wartawan yang baru direkurut, si pemilik media menyatakan bahwa pihaknya hanya bisa memberi kartu pers. Si wartawan dipersilakan untuk mencari uang dan kehidupan yang layak sendiri. Si wartawan diperlakukan seperti halnya anak ayam yang dilepas induknya untuk cari makan sendiri. Kondisi seperti ini paling banyak dipraktekkan para pemilik media di luar Jawa.

Kehidupan wartawan di Indonesia betul-betul tragis. Para wartawan media berpenampilan glossy ala Tiara dan Jakarta-Jakarta (keduanya telah ditutup oleh direksi Gramedia Majalah) setiap hari adalah meliput meliput orang kaya beserta gaya hidupnya yang serba "wah". Si wartawan hanya bisa gigit jari saat dipameri koleksi ratusan arloji narasumber yang mencapai nilai ratusan juta. Apa yang dilihat dan dijalani si wartawan bagai bumi dan langit. Ketika diajak makan siang narasumber si wartawan naik Baby Benz, namun ketika selesai wawancara ia harus naik bajaj untuk balik menuju ke kantor. Dasinya cuma dipakai saat pergi wawancara ke hotel, ketika kembali kekantor dasi yang sama yang cuma satu-satunya terpaksa harus dilepas karena takut kotor.

Gaji wartawan Indonesia memang memperihatinkan, kecuali media baru semacam Astaga!Com. Tak heran bila ada banyak wartawan yang kemudian terkondisikan untuk selalu "mencari" amplop guna menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Beberapa waktu lalu terbongkar ada seorang wartawan gadungan yang telah berhasil menipu sejumlah gubernur dan pejabat daerah. Termasuk Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Si wartawan dengan alasan akan melakukan kunjungan ke daerah guna membuat liputan lantas menyodorkan surat rekomendasi dari DPR pada sang pejabat yang ditemuinya. Si pajabat yang tampaknya berkepentingan agar ditulis beritanya dengan "baik-baik" lantas menyodorkan uang bernilai ratusan ribu.

Untuk menghindari kebutuhan menerima amplop, ada banyak wartawan mengambil pekerjaan sambilan. Kita juga bisa melihat ada sejumlah wartawan yang memposisikan diri sebagai jurubicara atau ghost-writer seorang pejabat. Ada juga yang jadi think-tanker seorang tokoh yang ingin muncul sebagai budayawan. Ada yang mencoba jadi penulis atau editor buku. Ada yang mencoba mengerjakan inhouse magazine. Ada yang mencoba merangkap jadi sales di bidang multi level marketing. Ada juga yang buka usaha baru dengan jadi penggalang tenaga pamswakarsa. Ada yang merangkap pekerjaan sebagai pemberi informasi pada aparat intelijen. Ada juga yang terang-terangan jadi mucikari untuk artis-artis figuran yang pernah diwawancarainya.

Fenomena amplopisme di kalangan wartawan kini telah berada dalam taraf yang betul-betul memprihatinkan. Terutama sejak masa krisis ekonomi yang dimulai pada Agustus 1997, kebanyakan para pemilik media memilih tak menaikkan gaji wartawannya tapi cuma mengkompensasinya dengan "tunjangan kemahalan".

Selain istilah amplop, di kalangan wartawan juga dikenal istilah "wartawan Bodrex", nama obat sakit kepala produksi PT Bayer Indonesia. Wartawan dari kalangan ini setiap tengah bulan selalu "sakit kepala" akibat harus memikirkan kebutuhan diri dan keluarga yang tak tercukupi. Para wartawan ini kemudian mencari-cari kesalahan orang yang bisa diperas dengan cara menuliskannya sebagai berita dan kemudian mendatangi si tokoh. Kepada sang tokoh si wartawan menyodorkan berita yang dibuatnya dan menawarkan apakah si tokoh berkeberatan dengan tulisan tersebut. Bila berkeberatan si tokoh bisa mengambil "konsep" berita tersebut asal membayar dengan jumlah tertentu sesuai kesepakatan.

Cara kerja lainnya adalah dengan mendatangi pengusaha dengan menunjukkan kartu pers dan menyatakan ingin wawancara. Para pengusaha yang umumnya telah hafal dengan langgam semacam ini biasanya akan langsung menyodorkan segepok uang sambil mempersilakan si wartawan untuk pergi.

Sejak 6 tahun terakhir sejumlah wartawan yang medianya menerapkan kebijakan melarang menerima amplop memilih jalan lain yang lebih canggih, halus dan tak mencolok mata. Mereka memberikan nomor rekening bank pada sang narasumber, hingga uang bisa langsung di transfer ke rekening bank wartawan bersangkutan. Demikian juga parsel yang di sejumlah media diputuskan untuk dibagi rata seluruh karyawan, oleh wartawan kalangan ini dianjurkan untuk langsung di antar ke rumah, bukan ke tempat kerja. Luar biasa.

Fenomena amplopisme hampir merata di kalangan wartawan. Termasuk di kalangan media terkemuka di Jakarta. Kalau pun ada media yang malu-malu menolak amplop, mereka tak malu menerima tiket pesawat, fasilitas penginapan di hotel, liburan di spa, jamuan makan, tiket nonton, bahkan voucher main golf. Artinya, yang kecil ditolak tapi yang lebih besar dan lebih nikmat diterima dengan tangan terbuka.

Di Indonesia , amplopisme tak bisa dilepaskan dari semata-mata masalah kemiskinan dan kepelitan pemilik media, tapi juga karena ketidakberdayaan wartawan dalam menuntut hak-haknya. Kebanyakan pemilik media hanya memproduksi sejumlah aturan, namun tak pernah memperhatikan sisi kesejahteraan karyawannya. Sejumlah media terkemuka yang dikenal sebagai pembela demokrasi, yang tiap hari melaporkan soal nasib buruh dan TKW, ternyata justru melarang "gerakan buruh" yang dilakukan wartawannya sendiri. Wartawan yang coba-coba terus melawan keputusan pelarangan "gerakan buruh", biasanya akan dikucilkan atau dimutasi.

Masalah amplop adalah masalah pelik yang juga terkait dengan fenomena para "penjahat" dan para "oknum" yang mempunyai jabatan dan usaha penting. Mereka ini punya kepentingan dengan adanya publikasi positif tentang dirinya. Untuk itu mereka melakukan gerakan amplopisme sebagai upaya sogokan. Yang terjadi kemudian adalah sebuah simbiosis mutualistis, di mana si wartawan dapat uang dan si tokoh dapat nama baik.

Sejumlah kalangan lebih melihat moralitas sebagai salah satu penyebab menjamurnya budaya amplop. Menurut mereka nilai-nilai moralitas bangsa ini memang tengah merosot drastis. Hal ini antara lain bisa dilihat bagaimana para wartawan yang menghadiri undangan seminar sehari biasanya datang menjelang waktu makan siang dan segera pergi setelah menikmati makan siang gratis. Artinya, peristiwa politik dan perjumpaan dengan narasumber, di mata kebanyakan wartawan, tak lebih adalah peristiwa ekonomi biasa, yaitu sekadar cari bahan dan formalitas wawancara serta bisa makan gratis.

Masalah moral dan amplop memang pelik dan khas Indonesia. Seorang mahasiswa doktoral di bidang komunikasi asal Australia pernah bertanya pada saya, "Saya tak habis mengerti kenapa bisa ada wartawan menerima uang dari orang yang diwawancarainya? Bukankah itu suap? Bukankah itu kejahatan?" Terus terang, saya tak mampu menjawabnya. Sebab masalah suap-menyuap dan kejahatan di bidang pers sepenuhnya bukan monopoli wartawan, para pemilik modal yang menguasai media juga melakukan hal serupa. Barangkali karena itulah kita perlu sama-sama perlu mengadili diri sendiri. ***

*) Stanley adalah seorang teman, juga seorang wartawan yang baik dan secara intens berkampanye menentang amplopisme dalam profesi ini.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

wah... wah... ini bacaan bagus tidak hanya untuk wartawan tapi juga untuk profesional yang lain agar bisa saling menghargai peran masing-masing. Bekerja adalah amanah sekaligus ibadah

Muraigondrong mengatakan...

Saya kira masalah "amplop", "angpau" bagi wartawan, kita kembalikan pada pribadi wartawan masing2....
Mungkin di awal2 pekerjaan sebagai wartawan hal itu merupakan sebuah anugerah .., namun seharusnnya dengan semakin matang "soul of jurnalist" mereka..., saya percaya masalah amplop dengan sendirinya sang wartawan dapat mengatasi hal tersebut.
Terkecuali ...(saya pikir), bagi wartawan yg terjerumus dalam sebuah situasi dimana dia tidak mempunyai pilihan " to be someone "
atau memang mereka adalah wartawan kutu loncat ..