Sabtu, Juni 14, 2008

Jalan Sepi Seni Grafis

Semenjak kelahirannya pada masa revolusi hingga kini, seni grafis berjalan sendiri. Sunyi dan sepi. Pamerannya pun tak ramai pengunjung.

Oleh : Iwan Samariansyah

SAAT tengah mempersiapkan penerbitan edisi perdana majalah ini, saya sempat melihat spanduk bertuliskan pameran seni grafis di depan gedung Bentara Budaya. Pameran itu akan berlangsung pada 15-23 Mei 2008. Minat sayapun timbul untuk meliput dan mengunjungi pameran tersebut, dan baru wujud pada Sabtu, 17 Mei lalu. Sayapun masuk ke ruang utama pameran, yang sayangnya sepi pengunjung.

Padahal karya-karya seni grafis yang dipamerkan cukup menarik perhatian. Grafis-grafis hasil cetakan yang dipamerkan sesak dengan kritik sosial tentang kondisi hidup perkotaan Indonesia yang sarat masalah. Mulai dari grafis penuh rudal dari Sri Maryanto di sayap selatan ruang pamer, dekat pintu masuk hingga karya-karya humoris mengundang senyum bertajuk ”Joged Komando” karya Tisna Sanjaya di sayap barat.

Efix Mulyadi, Direktur Eksekutif Bentara Budaya dalam buku kuratorial pameran mengakui bahwa seni cetak grafis memang belum mendapatkan perhatian layak dari publik di Indonesia. Itu sebabnya, lembaganya kemudian menyelenggarakan pameran seni grafis khususnya untuk para pemenang Trienal Seni Grafis Indonesia yang sudah dua kali digelar pada 2003 dan 2006.

”Dengan begitu, mereka tidak dibiarkan bersendiri merebut tempat dan kesempatan di dalam hiruk pikuk percaturan seni rupa masa kini, di tengah keniscayaan serta keanekaragaman budaya kontemporer,” tulis Efix.

Pameran di Bentara Budaya tersebut diikuti oleh pegrafis Agus Prasetyo, Agus Yulianto, Sri Maryanto. AC Andre Tanama dan Arief Eko Saputro. Mereka semua adalah para pemenang Trienal seni grafis Indonesia besutan Bentara Budaya. Satu pemenang yaitu Agus Suwage, karena kesibukannya, tidak bisa menyertakan karyanya dalam pameran bertajuk Grafis Hari Ini tersebut.

Penyelenggara lantas mengajak serta pegrafis-pegrafis lain yang lebih senior seperti Syahrizal Pahlevi, Tisna Sanjaya, Agung Kurniawan, Setiawan Sabana dan Haryadi Suadi untuk ikut serta meramaikan pameran tersebut. Kurator pameran tersebut adalah Aminudin TH. Siregar. ”Pameran ini layaknya dipandang sebagai survei untuk membaca konfigurasi terkini dari seni grafis,” katanya dalam kuratorial pameran.

Aminudin TH Siregar adalah dosen jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung yang juga dikenal luas sebagai kurator seni di berbagai pameran seni rupa di tanah air. Dia juga menjabat sebagai Direktur Galeri Soemardja milik Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB di Bandung. Ucok – begitu panggilan akrabnya – sering menulis soal seni rupa di berbagai media massa.

Di Indonesia, seni grafis mulanya dipandang sebagai media penyebaran komunikasi dealam bentuk ilustrasi yang bersifat persuasif serta propagandis. Itu terjadi sejak negara ini masih berusia muda. Pada Agustus 1946, saat menyambut perayaan kemerdekaan, Baharuddin Marasutan dan Mochtar Apin meluncurkan paket hasil cukilan grafis mereka yang oleh Kementerian Pemuda disebarkan ke berbagai negara sebagai bagian dari propaganda kemerdekaan Indonesia.

Seni grafis kerap dipandang sebagai salah satu cabang dari seni lukis. Pendapat ini tidak bisa dielakkan mengingat banyak pegrafis juga dikenal sebagai pelukis. Dan produk seni grafis juga sebagaimana halnya seni lukis ditorehkan di atas kanvas, meskipun dari segi teknik pembuatan sedikit berbeda. Kalau seni lukis sepenuhnya menggunakan tangan guna menghasilkan karya seni, maka seni grafis menggunakan teknik cetak mulai dari cetak digital, cukilan hardboard, monoprint atau cetak saring.

Setidaknya itulah yang terlihat pada pemeran Grafis Hari ini yang saya saksikan di Bentara Budaya itu. Pada karya Setiawan Sabana dan Haryadi Suadi, dua pegrafis yang dianggap senior dalam urusan cetak-mencetak ini (cetak digital) terlihat bertahan dengan ciri khasnya karyanya yang konsisten. Karya Setiawan Sabana memadukan masa lalu dan masa kini sebagai ajang kelana alegoris. Sedangkan Haryadi Suadi memadukan estetika lokal bernuansa timur, dengan prinsip-prinsip modern ala barat.

Generasi pegrafis sesudah kedua tokoh itu yakni Tisna Sanjaya, Agung Kurniawan dan Syahrizal Pahlevi yang aktif berkarya pada dekade 1990-an serta generasi abad 21 seperti Agus Prasetyo, Agus Yulianto, Arief Eko Saputro, A.C. Andre Tanama dan Sri Maryanto berupaya menampilkan karya-karya kontemporer. Karya-karya mereka merepresentasi pelbagai patologi di dalam kebudayaan kontemporer Indonesia, terutama di kota.

Tiga karya Sri Maryanto yakni Hujan, 13 Mei dan Kena Kepala yang kesemuanya dibuat pada 2008 sungguh menghentak. Ketiganya menunjukkan gambar manusia yang terkena rudal, senjata mematikan yang menghujam ke kepala dan gedung-gedung. Grafis berupa cukilan hardboard di atas kanvas ukuran 60x80 cm penuh sesak dengan warna mengingat latar belakangnya sebagai pelukis. Hal serupa tergambar pada tiga karyanya yang lain yakni Tempat Sampah, Pasti Sampai dan Mendadak Kena.

Berbeda halnya dengan pegrafis Agus Yulianto yang grafis buatannya didominasi cukilan harboard hitam-putih. Bagi Yulianto, kesederhanaan warna di dalam karyanya secara sengaja dilakukan mengingat citraan yang hadir disitu penuh sesak. Misalnya pada karya berjudul Chaos is Pop (detail). Pegrafis kelahiran Pacitan, 8 Juli 1976 ini sadar harus memanfaatkan ruang cetak yang besar, berukuran 132x250 cm. Karya yang dihasilkannya menjadi terkesan ikonik dan kontras, sebagaimana lazimnya sejumlah karya dalam sejarah seni grafis.

Kekuatan garis hitam putih juga mendominasi karya dua pegrafis lainnya yakni Arief Eko Saputro dan Agus Prasetyo. Hanya saja pada Agus Prasetyo, hasil cetakannya secara manual diwarnai. Ini sungguh mengherankan, karena teknik seperti itu tidak lazim dalam seni grafis. Pewarnaan dalam seni grafis layaknya dihasilkan melalui cetakan, bukan diwarnai oleh tangan, lazimnya teknik dalam melukis.

Tisna Sanjaya dan Agung Kurniawan adalah dua pegrafis yang dikenal publik melalui karya-karyanya yang sinis mengomentari mentalitas masyarakat, persoalan sosial dan juga praktik-praktik politik yang kotor di tanah air. Kekuatan karya grafis mereka diantaranya dapat dilihat dari ketepatan teknik dan tema.

Yang menarik, Agung bereksperimen dengan memadukan seni grafis dan instalasi. Dia memasang sepatu adidas di salah satu sudut ruang pamer, dan pada bagian tumitnya dia tuliskan bahwa sepatu itu adalah Adidas tragedi Peristiwa Mei.

Karya Syahrizal Pahlevi sepintas mengalami perubahan. Pada karya-karya sebelumnya, pegrafis kelahiran Palembang, 14 Oktober 1965 ini intens menggarap tema-tema figur, sosok-sosok yang secara personal dianggap lekat dengan pengalaman biografisnya. Kali ini dengan lanskap, Pahlevi tengah memberi suatu pemahaman baru tentang ruang imajinasinya.

Aspek kekinian yang terkandung di dalam karya-karya para pegrafis tersebut, menurut Aminuddin, dinyatakan tidak saja melalui pencapaian teknik cetak yang prima atau tema-tema yang aktual. Akan tetapi menyasar pula pada konsistensi menghadapi kekinian mereka di tengah kepungan atau dominasi produk seni rupa lainnya. ”Hemat saya, hal itu jauh lebih signifikan untuk dijadikan variabel pokok penilaian,” ujarnya.

*) Tulisan ini dimuat di Majalah dwimingguan ARTi, edisi 002 - 12 Juni - 25 Juni 2008 di rubrik Seni Rupa halaman 76 - 77

Tidak ada komentar: