Sabtu, Januari 28, 2012

In Memoriam Muhammad Musa

Usianya 75 tahun saat Allah SWT akhirnya memanggilnya kembali ke alam keabadian. Drs. H. Muhammad Musa nama beliau. Seorang lelaki pendiam yang rendah hati, puluhan tahun menjadi pendidik mengamalkan ilmu yang dia dapatkan selama belajar di Fakultas Ekonomi UGM. Lelaki kelahiran Purbalingga, 10 Maret 1934 ini karirnya dihabiskan dengan menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto sejak berdirinya pada 9 Oktober 1963.

Pada waktu itu Fakultas Ekonomi UNSOED masih menempati gedung Balai Desa Purwokerto Lor dan gedung Kesenian Jalan Ragasemangsang No. 384 Purwokerto. Jurusan yang ada barulah Ekonomi Perusahaan dan Ekonomi Pertanian. Sebagian besar tenaga pengajar adalah tenaga pengajar dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Baru kemudian pada tahun 1971 Fakultas Ekonomi pindah ke Gedung di Kalibakal sampai tahun 1983.

Pada tahun 1974, Musa terpilih sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Unsoed menggantikan Roedhiro yang belakangan terpilih sebagai Rektor Unsoed. Dia adalah Dekan ketiga sejak FE Unsoed berdiri. Musa menjabat Dekan periode pertama hingga 1979, kemudian digantikan oleh Soejitno pada 1979 - 1981. Musa kemudian menjadi Dekan periode kedua pada 1981 - 1987. Satu-satunya Dekan yang menjabat dalam dua periode selama berdirinya FE Unsoed.

Musa juga aktif dalam organisasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan sempat menjadi Ketua ISEI cabang Banyumas. Musa menikah dengan Nurul Laili (Nunung), puteri tokoh Muhammadiyah KH Abu Dardiri yang dikenal juga dalam sejarah modern Indonesia sebagai pendiri Departemen Agama.Sang isteri yang telah memberikannya tiga puteri dan dua putera ini telah pergi mendahului sang suami pada 30 Desember 2010 yang lalu karena sakit.


KH Abu Dardiri adalah Wakil Komite Nasional Indonesia Daerah Banyumas bersama M. Saleh Suaidi dan M. Sukoso Wirjosaputro mengusulkan pendirian Depag RI pada Sidang Pleno Badan Pekerja KNIP 25-28 November 1945. Saat itu Dardiri mengatakan bahwa dalam negara Republik Indonesia yang sudah merdeka maka hendaknya urusan agama tidak hanya menjadi bagian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saja atau Departemen lainnya melainkan diurus oleh satu Departemen sendiri. Usulan ini lantas mendapat dukungan dari Mohammad Natsir, Dr Mawardi, Dr Marzuki Mahdi dan N Kartosudarmo. Abu Dardiri juga salah satu tokoh yang ikut mendorong pendirian Unsoed di Purwokerto.


Hubunganku dengan Musa, pria berkacamata yang selalu tampil rapi dan kelimis semasa hidupnya tersebut adalah hubungan keluarga. Dan cukup dekat pula. Ibuku, Hj Musliah adalah keponakan langsungnya karena nenekku Hj Darsiyah adalah kakak kandung Musa, dengan beda usia sekitar 10 tahun. Mereka berdua adalah anak dari pasangan Tarnuji dan Rainten. Sewaktu bersekolah SD di Purwokerto, aku masih sempat berjumpa dan hidup bersama dengan Mbah Rainten, nenek buyutku itu dan mendapat cerita-cerita menarik jaman penjajahan Belanda dan Jepang dulu. Rainten meninggal dunia pada tahun 1982.


Selama pernikahannya, Mbah Tarnuji dan Mbah Rainten ini dikaruniai tiga putera dan tiga puteri dengan urutan Suminah (alm), Syuaib (alm), Darsiyah, Harun, Musa dan Romlah. Anak, cucu, cicit dan canggahnya kini tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Beranak pinak hingga ratusan keturunan. Adapun Musa dan Nurul Laili sendiri mempunyai anak-anak yaitu Eviati Tentamina, Eliati Lustiana, Triani Arofah, Henki Yul Agrianto dan Aktif Subhan. Dua diantaranya tinggal di Jakarta dan tiga lainnya menetap di Purwokerto.


Almarhum Muhammad Musa dan Isteri
Seorang diantara puteri beliau yaitu Triani Arofah meneruskan karir sang ayah sebagai dosen di FE Unsoed bidang Akuntansi. Semuanya sudah berkeluarga dan memberikan delapan orang cucu kepada Musa. Saat masih aktif bekerja keluarga Musa tinggal di Jalan Masjid Nomor 11 Purwokerto. Pada sekitar tahun 2000, rumah peninggalan KH Abu Dardiri itu berpindah tangan pada Fuad Yahya, salah satu kerabat Nurul Laili, dan keluarga Musa pindah ke Perumahan Purwosari di Jalan Gunung Slamet No. 28 Purwokerto.


Selama bersekolah di SMA Negeri 2 Purwokerto aku tinggal bersama keluarga Musa di Jalan Masjid No. 11 sampai akhirnya lulus pada tahun 1987. Terkadang orang keliru menganggapku sebagai putera Musa, karena kesamaan nama panggilanku dengan putera keempatnya yaitu Iwan. Kebetulan usiaku pas terletak antara Triani (puteri ketiga) dengan Henky Yul Agrianto (putera keempat). Di rumah itu, untuk membedakan dengan Henky yang juga punya nama panggilan Iwan, aku akhirnya dipanggil dengan nama Iwan Syah. "Biar gampang membedakannya," kata Musa.

Rumah di Jalan Masjid itu terbagi menjadi dua bagian, sebelah utara adalah Kantor Percetakan Serayu yang selalu berisik setiap hari kecuali hari libur, penuh kertas dan bau tinta, dan sebelah selatan adalah rumah keluarga Musa. Aku sendiri tinggal di lantai dua bagian belakang persis di atas Musholla keluarga. Aku di kamar sebelah barat dan Mohammad Sobri, putera Mbah Syuaib yang bekerja di Unsoed di kamar sebelah timur. Asyik juga punya kamar sendiri disitu.

Dalam tiga tahun yang singkat itulah, aku menitipkan diriku pada keluarga yang hebat itu. Prestasi belajarku sebagai murid SMA biasa-biasa saja. Maklum sajalah, aku terlalu aktif berorganisasi ketika itu. Terutama dalam Gerakan Kepanduan. Musa beberapa kali mengingatkanku agar mengurangi aktivitasku dalam berorganisasi karena menyita waktu belajarku. Dia prihatin melihat nilai-nilaiku di sekolah yang terus melorot terutama saat duduk di kelas 2 SMA. Aku mengenang masa-masa itu dengan sedih pula.

Meski terlambat, akupun mulai memperbaiki diri. Musa memberikan masukan buatku agar belajar mengatur waktu dengan baik. Dan saat duduk di Kelas 3 SMA, nilai-nilaiku membaik. Aku juga mulai bisa mengejar ketertinggalanku dalam pelajaran sekolah. Dia gembira melihat perkembanganku dan terus memberiku semangat dengan caranya sendiri. Meski segan, aku selalu mendengar nasihat-nasihatnya. Aku juga belajar sangat keras bak prajurit Spartan.

Menjelang ujian masuk perguruan tinggi, Musa sempat bertanya padaku apa jurusan yang aku pilih. Aku lalu mengatakan bahwa aku ingin ke Jogjakarta. "Jurusan apapun yang engkau pilih, bertanggungjawablah pada pilihanmu," ujarnya memberi petuah. Yang jelas, aku belajar dengan semangat tinggi dan menjalani ujian Sipenmaru 1987 dengan harapan bisa membanggakan orangtua ini. Juga tentu saja kedua orang tuaku di Kalimantan Timur yang tiga kali lebaran ini tak pernah kukunjungi.

Tiga tahun yang penuh kenangan itu berakhir happy ending ketika aku dinyatakan lolos Sipenmaru dan diterima sebagai mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta. Tepatnya di jurusan Geografi Teknik. Musa tak dapat menutupi rasa bangganya bahwa salah satu anak yang dididiknya dan diasuhnya di Jalan Masjid Nomor 11 dapat juga mengikuti jejaknya sebagai mahasiswa UGM. Musa sendiri adalah alumni FE UGM tahun 1960-an.

Kini, pria baik itu telah pergi. Allah SWT telah memanggil beliau pada Jum'at Kliwon, 27 Januari 2012 lalu di Purwokerto setelah menderita sakit berkepanjangan yang membuatnya sulit berkomunikasi lisan dengan orang lain. Amal ibadahnya sebagai pendidik selama puluhan tahun membuatnya menjadi pemilih kunci-kunci surga. Aku akan selalu berdoa untuk Musa. Namanya abadi di hatiku dan pria jujur dan berintegritas tinggi ini akan terus kuingat hingga ajal menjemputku nanti. Insya Allah khusnul khotimah.

Kamis, Januari 12, 2012

Berurusan dengan Birokrasi

Birokrasi yang sedang mereformasi dirinya
Oleh : Iwan Samariansyah

Sesekali aku ingin menulis pengalaman berurusan dengan birokrasi. Biar jadi pengalaman buat pembaca yang mungkin saja ingin tahu rasanya berurusan dengan birokrasi pemerintahan di Indonesia. Banyak orang yang bilang bahwa berurusan dengan birokrasi adalah pekerjaan paling membosankan, merepotkan dan bikin sakit kepala. Apa benar begitu? Ini pengalaman sewaktu aku mengurus selembar Surat Keterangan dari Pengadilan Negeri Bekasi.

Pada umumnya cerita-cerita mengenai berurusan dengan birokrasi memang negatif. Bahkan di jaman saat reformasi birokrasi menjadi program pokok pemerintah sekarang ini. Salah satu Kementerian dalam kabinet Indonesia Bersatu bahkan bernama "Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi". Namanya mentereng sekali bukan? Benarkah aparatur negara sudah berdaya guna? Benarkah sudah ada reformasi dalam berurusan dengan birokrasi kita?

Hari itu, aku pergi ke gedung Pengadilan Negeri Bekasi untuk mencari informasi apa persyaratan untuk mendapatkan selembar Surat Keterangan dari Pengadilan Negeri Bekasi yang menyatakan bahwa aku tidak pernah terlibat dalam kasus atau perkara hukum apapun dengan ancaman lebih dari lima tahun penjara di wilayah hukum polisi dan jaksa Kota Bekasi, tempat aku tercatat sebagai warganya sejak tahun 1998. Akupun pergi ke bagian informasi PN Bekasi.

Syaratnya ternyata kita harus memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dikeluarkan oleh Polres Bekasi. Jadi setelah dari Pengadilan Negeri akupun berjalan kaki menuju Polres Bekasi yang gedung kantornya bersebelahan dengan gedung PN Bekasi. Disana ternyata sudah ada keterangan cara memperoleh SKCK. Ada tujuh persyaratan. Pertama, aku harus memiliki surat pengantar dari Kelurahan untuk memperoleh SKCK. Kedua, mengisi biodata yang formulirnya disediakan oleh Polres Bekasi.

Ketiga, melampirkan fotokopi KTP yang masih berlaku. Keempat, melampirkan fotokopi kartu keluarga yang sah. Kelima, melampirkan fotokopi ijazah terakhir. Keenam, melampirkan hasil pemeriksaan sidik jari. Ketujuh, menyertakan pasfoto berwarna ukuran 6x4 sebanyak enam lembar. Hwaduh banyak benar ya? Tetapi karena memang memerlukan SKCK tersebut maka akupun mulai mengurus semua persyaratan tersebut. Diurus sendiri.

Pertama-tama aku harus meminta surat pengantar dari RT dan RW tempatku berdomisili. Surat pengantar itu ada di tempat Bapak Ketua RT, tetanggaku sendiri. Dengan mudah aku memperolehnya, lantas surat itu ditandatangani pula oleh salah satu Pengurus RW. Kebetulan saat datang ke rumah Pak RW nya ternyata beliau sedang tidak ada di tempat, sedangkan Sekretaris RW nya sedang pulang kampung ke Jawa. Satu-satunya yang bisa kutemui adalah Bendahara RW, jadilan dia menandatangani surat tersebut. Tok.

Lalu dengan bekal surat pengantar dari RT yang diketahui RW itu akupun pergi ke kantor kelurahan untuk mendapatkan Surat Pengantar pengurusan SKCK. Kantor Kelurahan Pejuang saat itu sedang direnovasi sehingga suasana pekerjaan di kantor itu dalam kondisi darurat. Aku hanya perlu memberikan surat pengantar itu pada seorang perempuan muda yang dengan cekatan meminta semua dokumen yang diperlukan yaitu surat pengantar dari RT/RW, fotokopi KTP dan fotokopi kartu keluarga.

Formulirnya sudah tersedia di salah satu file yang ada di mejanya. Lantas dia mengisikan semua data-dataku dengan mesin ketik yang ada didepannya. Masuk kesalah satu ruangan, meminta tanda tangan Kepala Kelurahan, menstempelnya dan menyerahkan surat itu padaku. "Ada biayanya Bu?" tanyaku sopan. Pegawai Kelurahan itu tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tidak ada Pak. Ini suratnya sudah selesai. Tidak ada biaya apa-apa," ujarnya sembari menyerahkan surat itu. Wah, alhamdulillah.

Selesai dari Kelurahan, akupun menuju tempat cetak pasfoto untuk mencetak fotoku yang sebelumnya tersimpan secara digital dalam flashdisk. Tidak lama disitu, aku memfotokopi beberapa dokumen seperti ijazah, KTP dan Kartu Keluarga kemudian segera menuju Kantor Kecamatan untuk minta tanda tangan dan stempel Kecamatan yang ada di surat pengantar SKCK tersebut. Aku hanya perlu menunggu sekitar 15 menit di kantor Kecamatan Medan Satria sebelum akhirnya surat itu kuterima kembali. Juga tanpa biaya.

Salah satu pemandangan suasana kantor kelurahan
Dari Kantor Kecamatan akupun bergegas menuju Polres Bekasi, menyerahkan semua persyaratan yang diperlukan, membayar Rp 10ribu pada salah satu petugas dan mengisi formulir yang disediakan oleh Polres tersebut. Usai mengisi formulir akupun lantas menuju bagian pengambilan sidik jari, kemudian menunggu panggilan dari petugas loket SKCK. Menunggunya lumayan lama juga karena antrian cukup panjang. Akan tetapi pada akhirnya beberapa saat sesudah sholat Dhuhur, SKCK tersebut keluar juga.

Dengan SKCK di tangan akupun menuju Gedung Pengadilan Negeri kembali, tetapi sial. Ketua Pengadilan Negeri Bekasi yang seharusnya menandatangani Surat keterangan yang kuminta sudah pulang. Selain SKCK, kita juga harus membuat selembar surat permohonan yang ditandatangani di atas materai Rp 6.000 agar Pengadilan Negeri Bekasi bersedia menerbitkan Surat Keterangan Tidak terlibat perkara  kriminal itu untuk kita. Lampirkan juga KTP dan Kartu Keluarga.

Esok harinya setelah menelepon ponsel salah satu staf Bagian Hukum Pengadilan Negeri Bekasi akhirnya Surat Keterangan yang ditandatangani oleh Ketua PN Bekasi keluar juga. Namun, setelah surat tersebut aku terima dan ketika hendak berlalu, sang petugas yang menanganinya bahwa ada biaya leges untuk surat tersebut. "Berapa Pak?" tanyaku. Dia menjawab "Terserah pak kalau soal jumlahnya". Akhirnya akupun mengeluarkan uang Rp 20ribu untuk keperluan biaya leges itu. Eh ada yang tahu biaya leges itu apaan ya?

Mengurus SIM A dan SIM C
Kira-kira seminggu setelah urusan surat keterangan dari PN Bekasi itu selesai, akupun harus kembali ke Polres Bekasi soalnya SIM A dan SIM C milikku yang dikeluarkan oleh Polda Jateng dan DIY habis masa berlakunya. Aku tidak bisa memperpanjang lagi di Sleman Yogyakarta soalnya KTP ku sudah mati sejak tahun 2010, dan aku sudah menyatakan pindah domisili ke Kota Bekasi sepenuhnya. Jadi bisakah aku perpanjang SIM A dan SIM C di Kota Bekasi?

Akupun datang kembali ke Polres Bekasi. Sejak dari parkiran sampai ke ruang tempat pengurusan SIM dilaksanakan sejumlah pria menawarkan jasa baik kepadaku mengurus SIM tersebut. Tetapi karena ingin merasakan bagaimana mengurus SIM A dan SIM C sendiri akhirnya akupun menolak dengan ramah tawaran mereka semua. Pertama-tama yang harus kulakukan adalah melakukan KIR Kesehatan khusus untuk para pencari SIM yang letak kliniknya ada di belakang Gedung Polres Bekasi.

Untuk pemeriksaan kesehatan itu, seorang petugas perempuan yang melayaniku memeriksa tekanan darah dan mewawancaraiku sebentar soal riwayat kesehatanku. Dan akhirnya surat KIR kesehatan tersebut yang bentuknya lembaran kecil itu segera kuperoleh. Tarifnya Rp 10.000,- Kemudian dari situ aku langsung menuju Gedung Polres Bekasi. Info yang kuterima mengecilkan hatiku, karena perpanjangan SIM dengan cara mutasi dari Polda Jateng dan DIY agak repot juga.

Jadi, aku harus menarik dulu berkas-berkas lama di Polres Sleman Yogyakarta dan surat pengantar pindah berkas SIM dari Polda DIY dan Jawa Tengah. "Wah mana sempat mengurusnya," pikirku waktu itu. Lantas seorang polisi yang baik dan mendengar kesulitanku menyarankan agar aku ambil SIM baru saja. "Ikut ujian saja mas, dijamin lolos kok. Soal-soal yang diujikan pasti masnya tahu karena sudah sering melihatnya di jalanan," ujar polisi yang ramah itu.

Para PNS sedang menggelar Upacara Bendera
Biaya perpanjangan SIM sebenarnya cukup murah, yaitu SIM A Rp 85ribu dan SIM C Rp 75ribu. Tetapi karena perpanjangan SIM dengan cara mutasi berkas itu aku rasa cukup merepotkan aku akhirnya menuruti saran dari petugas polisi tadi. Akupun membeli formulir SIM A dan SIM C dengan masing-masing Rp 120ribu dan Rp100ribu. Caranya dengan membayarnya ke loket BRI. Kemudian ikut serta asuransi pengemudi dengan membayar Rp60ribu untuk dua macam SIM. Sebenarnya asuransi ini tidak wajib.

Dari situ, aku kemudian menuju loket satu kemudian memberikan kuitansi pembelian dari BRI tadi ke petugas yang ada disitu lantas mengisi formulir SIM baru. Yaitu SIM A dan SIM C. Setelah diisi komplet akupun ke Loket 2 untuk mengembalikan formulir tersebut sembari melampirkan fotokopi KTP. Tak lama kemudian akupun menuju ruangan ujian teori dan mulai mengerjakan soal-soal ujian yang ada. Benar juga, soal-soalnya cukup mudah karena soal pilihan berganda. Ada 40 soal yang harus selesai dalam tempo 30 menit. Usai mengerjakan soal ujian SIM, aku ternyata tak perlu ujian praktik karena sudah melampirkan fotokopi SIM A dan SIM C lama milikku. "Kalaupun mau ujian praktik ya cuma formalitas," kata salah satu petugas yang ada di ruangan tersebut.

Jadi begitulah. Sekitar 15 menit sesudah ujian teori namaku dipanggil lantas pengambilan sidik jari dan foto secara elektronik kemudian menunggu sebentar. Tak lama kemudian namaku dipanggil untuk menerima SIM A dan SIM C yang sudah jadi. Inilah SIM baru yang aku tunggu-tunggu dan dikeluarkan oleh Polda Metro Jakarta Raya dan berlaku sampai tahun 2017 yang akan datang. Alhamdulillah. Waktu untuk mengurus SIM baru itu tak lebih dari dua jam saja. Tanpa calo. Dan tidak dipersulit sama sekali.

*) Ditulis sepenuhnya atas dasar pengalaman pribadi.


Jumat, Januari 06, 2012

Akademisi Jadi PM Libya yang Baru

Abdurrahman al-Keib
Iwan Samariansyah

Tripoli | Jurnal Nasional
DEWAN Transisi Nasional (NTC) Libya yang kini menjadi pemerintah sementara Libya akhirnya menunjuk seorang akademisi asal Tripoli, Abdurrahman al-Keib sebagai Perdana Menteri Libya yang baru. Abdurrahman al-Keib, akademisi dengan spesialisasi teknik kelistrikan lulusan Amerika Serikat itu mengalahkan delapan kandidat lainnya dengan meraup dukungan 26 dari 51 suara anggota NTC.

Wartawan
BBC di Tripoli, Katya Adler melaporkan Keib dipandang sebagai calon yang cakap dan dianggap memenuhi semua konsensus yang diharapkan bisa mengatasi persaingan di dalam tubuh NTC pasca-Khadafi. Keib yang menggantikan posisi Mahmoud Jibril itu diharapkan segera menyusun anggota kabinetnya dalam beberapa hari ke depan. Kabinet ini akan menjadi bagian dari pemerintahan sementara yang mengendalikan Libya hingga digelarnya pemilu parlemen delapan bulan mendatang dan pemilu multipartai pada 2013.

Juru bicara Jalal el-Gallal mengatakan NTC ingin membentuk pemerintahan sementara setelah tergulingnya Khadafi karena para anggota NTC mulai kehilangan orientasi. Perpecahan serius dalam NTC bermula dari keputusan NTC mengganti PM Libya Mahmoud Jibril. "Pemilihan ini membuktikan rakyat Libia mampu membangun masa depan," kata Ketua NTC, Mustafa Abdel Jalil.


PM Mahmoud Jibril dianggap gagal mencegah pembunuhan atas Muammar Khadafi. Dan dia dianggap sebagai bagian dari rezim lama yang digulingkan. Jibril tadinya adalah Menteri Kehakiman Libya sejak 2007. Ia baru mundur empat hari setelah protes besar-besaran terjadi pertama kali di Kota Benghazi.

Saat Khadafi berkuasa, mantan Perdana Menteri Mahmud Jibril sempat pula menjabat sebagai Ketua Dewan Pembangunan Ekonomi Nasional selama empat tahun (2007-awal 2011). Pengumuman pemilihan perdana menteri baru ini dilakukan hanya beberapa jam setelah NATO mengumumkan penghentian operasi militernya pada Senin (31/10) tengah malam waktu Libya. Abdurrahman diharapkan bisa menjadi penengah bagi faksi-faksi yang bersaing di NTC mengingat latar belakangnya sebagai akademisi.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen mengunjungi Tripoli dan menyatakan NATO merasa bangga bisa terlibat dalam membantu perlawanan rakyat Libya yang mengakhiri 44 tahun masa kediktatoran. Meski telah menghentikan operasinya di Libya, Rasmussen menjamin NATO tetap akan membantu negeri itu mereformasi sistem pertahanan dan keamanan negara kaya minyak itu. Namun untuk saat ini PBB yang akan memimpin program bantuan internasional di Libya. (BBC/Reuters)


Dimuat di Harian Jurnal Nasional edisi Rabu, 2 November 2011 hal 13 Internasional

Mantan Pemberontak Sayap Kiri Jadi Wali Kota

Gustavo Petro
Iwan Samariansyah
Bogota | Jurnal Nasional
PARA kandidat kiri merebut kursi-kursi baru dalam pemilihan-pemilihan lokal dan regional, Selasa (01/11) di Kolombia. Bahkan, mantan pemberontak Gustavo Petro berhasil meraih kursi wali kota Bogota, ibu kota negara dan kota penting strategis di negara Amerika Latin yang bergolak itu.

Itu adalah pemilihan pertama sejak kemenangan Presiden berhaluan kanan-tengah Juan Manuel Santos tahun 2010 yang menggantikan Alvaro Uribe yang berhaluan kanan, yang politik-politiknya tampaknya dikecam pemilih setelah ia secara pribadi berkampanye bagi kandidat yang kalah.

Para pemilih Kolombia memilih gubernur di 32 daerah dan lebih dari 1.000 wali kota serta wakil bagi majelis-majelis negara mereka dan dewan-dewan kota. Pemilihan regional dianggap akan mengundang risiko pribadi paling besar bagi para kandidat, yang mendapat tekanan dari gerilyawan dan kelompok-kelompok paramiliter yang bersaing untuk menguasai pemerintah-pemerintah lokal.


Terutama apa yang diperkirakan merupakan daerah-daerah Uribe--seperti wilayah Antiquia di barat laut tempat ia adalah gubernur sebelum menjadi presiden tahun 2002-2010. Yang jelas, di ibu kota Bogota, Gustavo Petro, yang pernah menjadi anggota pemberontak kiri nasionalis M-19, meraih kemenangan gemilang.


Kemenangan itu penting, kata pengamat politik Fernando Girado kepada
AFP, karena hal tersebut bukan pertama kali seorang mantan gerilyawan dipilih memegang jabatan seperti itu di Kolombia, tetapi karena sebagai seorang senator ia berkonfrontasi langsung dengan Uribe, pemegang pucuk pemimpin sayap kanan negara itu.

Warisan pemerintah sayap kanan Uribe, kata para pengamat dinodai oleh sejumlah skandal korupsi,di antaranya tuduhan-tuduhan memata-matai para lawan politik dan mengawasi secara tidak sah para hakim, polisi dan wartawan. Pemilihan itu menandakan berakhirnya masa kampanye yang ditandai aksi kekerasan, dengan sekitar 41 kandidat tewas tahun ini, kata satu kelompok pengawas.

Satu serangan gerilyawan kiri Oktober menewaskan 23 tentara, ketika para gerilyawan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) menyerang pasukan keamanan. FARC adalah kelompok gerilyawan terlama dan terbesar di Kolombia. Kelompok itu telah aktif 47 tahun dan sekitar 8.000 pejuangnya memiliki senjata, kata Kementerian Pertahanan. (iwansams/AFP/Antara) 

Dimuat di Harian Jurnal Nasional edisi Rabu, 2 Nov 2011 rubrik Internasional halaman 13

Selasa, Januari 03, 2012

Mitigasi Bencana dan Masalah Perbatasan : Akibat Otonomi Daerah Setengah Hati

Aturan main harus diperjelas dan pengawasan serta penegakan hukum harus dipertegas


Meneropong outlook atau prospek permasalahan daerah pada 2012 mau tak mau akan kembali pada perdebatan klasik soal otonomi daerah. Benarkah otonomi daerah telah on the right track? Sebagian menilai otonomi daerah mampu melahirkan kesejahteraan dan kemajuan di sejumlah daerah. Sragen dan Solo di Jawa Tengah, Tarakan di Kalimantan Timur dan Solok di Sumatera Barat setidaknya menjadi contoh yang baik.

Akan tetapi sebagian lainnya beranggapan otonomi daerah telah kelewat batas dan membuka peluang korupsi lebih besar dan melahirkan banyak 'raja-raja kecil' di daerah. Kewenangan yang berujung pada praktik korupsi tanpa kontrol. Akibatnya di sepanjang 2011 ini, halaman surat kabar diwarnai berita digelandangnya sejumlah kepala daerah dan mantan kepala daerah ke penjara sebagai terdakwa maupun narapidana tindak pidana korupsi.

Lantas bagaimana dengan tahun 2012 mendatang? Di era reformasi dengan semangat desentralisasi dan demokratisasi maka kedaulatan akhirnya bisa dimiliki oleh daerah. Sejumlah kewenangan diberikan pada para bupati, walikota dan Gubernur. Namun setelah lebih dari satu dekade bergulir, timbul wacana yang menganggap otonomi daerah mulai 'lepas kendali'.

Namun akibat isu 'raja-raja kecil' tadi, pemerintah pusat secara perlahan namun sistematis menarik kembali kewenangan yang telah diserahkannya pada awal era reformasi. Maka polemik pun mencuat. Sepanjang 2011 ini diwarnai pula dengan dua masalah yang kerap dihadapi daerah dan bikin sakit kepala para Bupati dan Gubernur. Apalagi kalau bukan masalah bencana alam dan konflik perbatasan.

Sebut saja daerah rawan bencana macam Sumatera Barat. Dihantam gempa, banjir dan tanah longsor hampir setiap tahun APBD tanah Minangkabau itu tersengal-sengal dan nyaris tak bisa melakukan pembangunan apapun. Sebab anggaran yang tersedia habis terserap untuk dana rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana yang susul menyusul sejak gempa dahsyat (September 2009), tsunami Mentawai (Oktober 2010) dan Banjir Badang Pesisir Selatan (November 2011).

APBD Sumbar secara kasat mata jelas tidak mampu mendukung beban anggaran mitigasi bencana. Untungnya masih ada bantuan dari BNPB, lembaga PBB, swasta dan LSM baik lokal, nasional maupun internasional. Hal serupa dihadapi pula oleh daerah rawan bencana lainnya sebagaimana laporan koresponden Jurnal Nasional dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Utara.

Masalah lain yang masih membutuhkan perhatian serius untuk dituntaskan pada 2012 adalah sengketa perbatasan. Ada dua macam masalah kisruh perbatasan yaitu perbatasan antar negara, terutama dengan Malaysia dan perbatasan antar provinsi. Kisruh perbatasan memang tak hanya terjadi antarnegara dan yang celakanya lantas menyalakan nasionalisme semu.

Sepanjang 2011 mencuat beberapa kasus sengketa perbatasan yang hingga kini belum tuntas. Misalnya sengketa Pulau Berhala antara Jambi dan Kepulauan Riau, Pulau Tujuh antara Sumatera Selatan dan Bangka Belitung, Pulau Lari Larian antara Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat, dan tapal batas Kota Bandung dengan Bandung Selatan.

Jika kisruh perbatasan ini tak segera diantisipasi dan segera dilaksanakan bisa memicu konflik horizontal dan ketidakpercayaan terhadap pusat. Sengketa antara Provinsi Kepri dan Jambi mengenai Pulau Berhala, misalnya. Melalui Permendagri No 44/2011 tertanggal 27 September dan diundangkan 7 Oktober 2011, Mendagri menetapkan pulau itu masuk wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Ini membuat masyarakat Kepri marah sampai melarang Mendagri berkunjung ke pulau tersebut.

Salah satu akar masalah mengapa daerah seolah-olah tidak berdaya mengatasi problematika mereka justru karena penerapan kebijaksaaan otonomi daerah yang dianggap masih setengah hati. Akibatnya, tidak jarang kepala daerah menemui kendala krusial dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan proses pembangunan di wilayahnya.

Sebagai contoh dalam hal pembentukan organisasi pemerintah daerah, maka dibawah UU yang lama, pemerintah daerah dapat menentukan sendiri besar dan jenis organisasi pemerintah daerah atau SKPD-nya sesuai kebutuhan. Namun dibawah UU No.32, kewenangan tersebut tak ada lagi, karena semuanya sudah diatur dari pusat.

Akibatnya ada sejumlah kabupaten yang sebelumnya memiliki organisasi pemerintahan yang kecil dan efisien, namun karena ada perintah dari pusat maka terpaksa harus membentuk dinas-dinas baru yang sebelumnya sudah disatukan. Akibatnya mekarlah organisasi birokrasi didaerah.

Implikasinya adalah makin besarnya biaya birokrasi. Padahal seharusnya biaya birokrasi yang besar tersebut dapat digunakan untuk membiayai pelayanan publik. Termasuk membiayai program mitigasi bencana dan melakukan perluasan pelayanan pemerintah hingga daerah-daerah perbatasan. Seharusnya sebuah aturan yang dianggap tidak bagus dievaluasi terlebih dahulu baru kemudian diganti.

Contoh lainnya lagi adalah dalam soal perizinan. Perusahaan penanaman modal asing (PMA) atau perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang akan berinvestasi di suatu daerah harus mengurus perizinan yang justru tidak melalui daerah yang bersangkutan, tetapi melalui badan yang dibentuk pemerintah pusat. Oleh karena itu hal-hal seperti ini sudah seharusnya segera dibereskan pada 2012. Paling tidak aturan mainnya harus lebih jelas agar pemerintah daerah baik kabupaten, kota maupun provinsi tidak bingung, dan akhirnya malah tak bisa berbuat apa-apa. Begitulah.

* Dimuat oleh Harian Jurnal Nasional edisi 30 Desember 2011 halaman 7

Senin, Januari 02, 2012

Kita Butuh Pemimpin Yang Adil


KEBANGKITAN Nasional telah memasuki usia 100 tahun. Organisasi kemasyarakatan dan keagamaan jelas memainkan peranan penting dan strategis dalam proses konsolidasi nasional saat Indonesia masih menjadi sebuah impian masa depan. Tiga tahun sebelum Budi Oetomo didirikan pada 1908, Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) sudah memprakarsai berdirinya Sarikat Dagang Islam di Bogor.

Sebagai pemimpin Sarikat Dagang Islam, Tirto bekerja sebagai pemimpin surat kabar Medan Prijaji terbitan Bandung Dia dengan penuh kesadaran menggunakan surat kabarnya sebagai alat pembentuk pendapat umum. Tirto menyadari bahwa semangat keagamaan yang digabung dengan kekuatan bisnis bisa menjadi kekuatan pemersatu yang disegani pihak kolonial.

Apa yang dirintis Tirto lantas diikuti oleh dua ormas Islam terbesar yang berdiri tak lama kemudian, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Sejak berdirinya, kedua ormas Muhammadiyah (1912) dan NU (1926) telah bergerak dalam lapangan pendidikan, sosial dan ekonomi.

Secara konsisten kedua ormas itu menjadi tempat penyemaian bibit sejumlah pemimpin nasional yang berperan penting dalam pengembangan semangat kebangsaan di tanah air. Haluan moderat yang dipilih kedua ormas tersebut juga sesuai dan cocok dengan kultur masyarakat Indonesia.

Sebagai arus utama dakwah di tanah air, meski kultur keagamaan yang dikembangkan kedua ormas berbeda, akan tetapi kedua ormas tersebut terbukti bisa berjalan bersama. Kendati tidak mudah dan sederhana, tetapi kerjasama lebih sering terwujud dan memberi pengaruh positif pada perjuangan mencapai kemerdekaan untuk tanah air.

Dalam sejarah, terbukti bahwa umat Islam Indonesia bisa mengesampingkan perbedaan demi satu tujuan kemerdekaan dengan kebersamaan. Landasannya semangat persatuan dan kesatuan yang senafas dengan semangat ukhuwah Islamiah dan ukhuwah wathoniah. Sikap moderat dan penuh semangat toleransi dari NU dan Muhammadiyah mampu meredam berbagai gejolak sosial di tanah air.

Saat ini, globalisasi menjadi judul besar kemajuan zaman. Kemerdekaan menjadi jauh lebih kompleks untuk diterjemahkan. Keberdayaan dan kemandirian dalam bidang ekonomi sepatutnya menjadi basis kekuatan untuk kemajuan umat. Paling tidak itulah yang ditunjukkan dan dilakukan oleh para pemimpin ormas-ormas keagamaan di masa lalu. Nyatanya kita masih bergulat dengan kemiskinan. PR dan tantangan ormas-ormas keagamaan masih banyak dan perlu diatasi dengan kerjasama lintas agama.

H
arus disadari bahwa kodrat beragama jelas memiliki tafsiran yang berbeda dan bagaimanapun kebhinekaan beragama adalah fakta real. Jika moral dan spiritual kita baik, takkan mudah terprovokasi, hanya karena berbeda pandangan dan keyakinan.

Hendaknya semua pemimpin umat kembali ke jati diri bangsa yang cinta pada keadilan sosial. Menurut dia, ancaman disintegrasi bangsa bisa merusak komitmen 20 Mei 1908. Ancaman disintegrasi ini bisa muncul karena ketidakadilan. Karena korupsi, karena kolusi, di dalam kehidupan dan pergaulan sosial warga bangsa.

Oleh sebab itu, yang harus diselesaikan secepatnya dengan baik dan cermat adalah bagaimana menghapus ketidakadilan, menyelesaikan pelanggaran HAM dan praktek-praktek buruk nepotisme, kolusi dan korupsi di negeri ini. Itu akan menyelamatkan kita dari perpecahan dan sekaligus menyelamatkan kita sesudah 100 tahun. Itu akan menyelamatkan kita semua.