Sabtu, Mei 24, 2008

Warna-warna Alami Susi Natakoesoemah

Susi mengajak penyair Rendra dan gitaris Jubing membuka pameran tunggal perdananya. Warna dan suara berkolaborasi dalam satu ekspresi.


Iwan Samariansyah
iwansams@jurnas.com

MENCINTAI keindahan adalah langkah kecil untuk menjadi manusia berarti, menuntun kita mencintai alam, menuntun kita mencegah kerusakan alam. Begitu saya baca tulisan yang terpampang pada undangan pembukaan pameran lukisan tunggal Susilowati Natakoesoemah, digelar di lobi Hotel Four Seasons.

Jum’at malam 14 Maret lalu, kolaborasi itu digelar. Di luar hotel, hujan gerimis membuat kemacetan di mana-mana. Saya datang bersama Doddi, teman sekantor, ke ruang lobby hotel, dan seketika disergap oleh warna-warni cerah sapuan kuas sejumlah lukisan di dinding lobi hotel yang cukup luas. Masuk dari pintu lobi hotel, kami berbelok ke kanan menuju ruangan tempat acara bakal digelar. Sejumlah tamu undangan tampak berdiri sembari mengobrol. Di pojok tampak panggung yang sudah disiapkan sebagai arena pentas kolaborasi.

Sang perupa, Susilowati Natakoesoemah, tampaknya ingin tampil beda saat membuka pameran tunggalnya. Dia mengajak serta penyair terkemuka Rendra dan gitaris Jubing Kristianto melakukan penampilan bersama sebagai momen untuk membuka pameran lukisan yang sudah dimulainya sejak 5 Maret lalu, dan dijadwalkan berakhir pada 22 April mendatang.


Rendra, penyair lintas jaman yang digelari si Burung Merak. Lahir di Solo, 7 November 1935, masih aktif dalam dunia seni, khususnya sastra dan teater. Sepulang belajar drama dari Amerika, ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1967. Pertengahan dekade 80, ia pindah ke Jakarta (tinggal di Grogol) dengan diikuti beberapa muridnya. Awal tahun 1990, Bengkel Teater pindah padepokan ke Depok.

Rendra, si penyair aliran balada yang kemudian memproklamirkan diri sebagai penyair pamphlet karena lirik-liriknya sarat kritik terutama dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi.
Salah satu puisinya yang cukup mendapat perhatian berjudul Mastodon dan Burung Kondor (1972). Soal puisi, tak perlu diradukan lagi, ia penyair kritis yang menawan di atas panggung.

Sementara Jubing Kristanto, adalah gitaris yang pernah meniti karir sebagai jurnalis. Dia masih berusia 42 tahun. Hasil karyanya antara lain berjudul Amelia dan Song for Renny. Lagu Amelia adalah lagu anak-anak yang diaransemen untuk solo gitar, sedang Song for Renny, dikemas dalam alur romantik oleh lelaki asal Semarang yang telah empat kali menjadi juara gitar tunggal nasional (1987, 1992, 1994, dan 1995), serta runner up Asia Tenggara (1984). Lagu Song for Renny digubah untuk istrinya, Renny.

Sang perupa, yang menjadi bintang malam itu, Susilowati Natakoesoemah, adalah ibu dua anak kelahiran Jakarta, 31 Oktober 1960. Lulusan Fisip UI jurusan Komunikasi ini sebelum menginjakkan kaki di dunia seni, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja sebagai profesional. ”Pencarian diri yang terus menerus saya lakukan pada akhirnya membuat saya memasuki dunia seni lukis,” ujar Susi kepada saya, di sela-sela acara malam itu.

Malam itu, saya dan puluhan penonton di ruang lobi hotel, menyaksikan aksi kolaborasi Susi, Rendra, dan Jubing. Rendra duduk di sebelah kanan panggung dan Jubing memetik gitar di sebelah kirinya. Susi di belakang keduanya, menggoreskan dan mengayunkan kuas di kanvas yang sudah disiapkan untuknya. Melukis seraya diiringi puisi dan petikan gitar. Sungguh kolaborasi yang apik dan penuh energi. Rendra membacakan dua puisi dengan gaya khasnya, penuh kritik sosial dan menyentil ke sana kemari. Puisi yang pertama berjudul Jangan Takut Ibu, dan puisi yang kedua berjudul Doa Orang Lapar.

Sebelum membaca puisi, sempat-sempatnya Rendra berseloroh : ”Saya tahu. Puisi saya tidak berhubungan langsung dengan tema lukisan malam ini. Saya tidak bawa puisi tentang alam, tetapi tentang soal yang juga tak kalah pentingnya, yaitu tentang perempuan.” Seketika gelak tawa hadirin pecah menyambut gurauannya.

Menurut Bambang B.R. Hardjodarsono dalam kuratorial pameran yang saya baca, pergulatan Susi melapangkan jurusnya dalam Nature On Colour, didasarkan keinginan sang perupa untuk menghirup kebebasan berekspresi. Karena itu, karya-karya yang ditampilkan Susi pada malam itu bernafaskan atmosfer kebebasan dari wadhag wujud mengalami abstraksi di beberapa bagian yang menggambarkan image alam.


Ada ufuk cakrawala, pendaran cahaya pagi matahari terdistorsi, terlihat pada lukisan Sunrise I dan Sunrise II yang dibuat Susi di atas kanvas berukuran 70x90 cm. Medianya sama acrylic campur (mix media) dengan timbulan-timbulan (tekstur) kasar pasir atau semen dan pelototan tube langsung. Berani dan energik. Itu kesan saya pribadi saat menikmati karya Susi. Kedua lukisan yang berkisah tentang terbitnya sang mentari itu dilego dengan harga Rp8 juta.


Dan, tampaknya Rendra punya kesan yang sama dengan saya. Dia menulis dalam buku kuratorial pameran, yang juga ditampilkan di panggung : ”Susi Natakoesoemah tidak punya masalah dengan teknik. Sapuan dan goresannya penuh enerji, bebas, namun terkontrol. Ia tidak pernah menyajikan sesuatu yang ”selesai”, tetapi selalu berhenti pada situasi ”mengambang”. Sehingga dengan begitu, selalu menyajikan sesuatu yang multi-interpretable. Mengambang dalam imajinasi penikmat.”

Susi memang gemar bermain cahaya. Lukisan lain bertajuk Warm Light jelas menunjukkan hal tersebut. Bercak-bercak dan liuk-liuk garis membersit, membangun khasanah pagi yang sedang menggeliat. Warna-warna terang menyemburat, merah membara, kuning, sapuan gelap dan hijau serta aksentuasi putih berkerjap-kerjap memenuhi bidang kanvas. Abstraksi ini benar-benar frontal dan total!

Pewarnaan masif membangun hampir keseluruhan karyanya yang berjumlah 54 buah. Dipajang pada kanvas berukuran 150 x 200 hingga yang terkecil 60 x 90. Harga terendah adalah Rp7 juta untuk lukisan berjudul Red Sky, hingga yang tertinggi lukisan Crying Sun berukuran 150 x 200 yang ditawarkan Rp35 Juta.

Mengapa alam dan lingkungan menjadi daerah rengkuhannya? Di depan hadirin usai pentas kolaborasinya bersama Rendra dan Jubing, Susi mengaku sebagai pelukis, dirinya merasa terpanggil untuk ikut serta mengingatkan publik soal pentingnya lingkungan. ”Kita semua tahu bahwa bumi kita ini tengah mengalami pemanasan global. Maka yang bisa saya lakukan adalah melukis kegalauan hati saya itu,” ujarnya.

Begitulah. Tatkala sabetan kuas dan tamparan pisau paletnya melebam kanvas memerahkan image langit serta membakar ranting dan batang-batang pohon, ini jelaslah menjadi gambaran realita kegelapan. Bukankah ini tragedi yang ia lukiskan bagi mata dunia yang hati nurani mereka apatis melihat kenyataan yang terjadi? Kalau tidak salah, lukisan A Thousand of Trees dalam trypitch 120 x 150 cm mewakili kegalauan hatinya itu secara sangat jelas.

Dimuat di Tabloid KOKTAIL edisi 026, 21 Maret - 27 Maret 2008

Tidak ada komentar: