Rabu, Mei 21, 2008

Ketidakadilan Sumber Disintegrasi

Dengan kualitas moral dan spiritual yang baik, niscaya tidak akan mudah terprovokasi hanya karena berbeda pandangan dan keyakinan

Oleh : Iwan Samariansyah

KEBANGKITAN Nasional telah memasuki usia 100 tahun. Organisasi kemasyarakatan dan keagamaan jelas memainkan peranan penting dan strategis dalam proses konsolidasi nasional saat Indonesia masih menjadi sebuah impian masa depan. Tiga tahun sebelum Budi Oetomo didirikan pada 1908, Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) sudah memprakarsai berdirinya Sarikat Dagang Islam di Bogor.

Sebagai pemimpin Sarikat Dagang Islam, Tirto bekerja sebagai pemimpin surat kabar Medan Prijaji terbitan Bandung. Dia dengan penuh kesadaran menggunakan surat kabarnya sebagai alat pembentuk pendapat umum. Tirto menyadari bahwa semangat keagamaan yang digabung dengan kekuatan bisnis bisa menjadi kekuatan pemersatu yang disegani pihak kolonial.

Apa yang dirintis Tirto lantas diikuti oleh dua ormas Islam terbesar yang berdiri tak lama kemudian, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Sejak berdirinya, kedua ormas Muhammadiyah (1912) dan NU (1926) telah bergerak dalam lapangan pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Para anggota kedua ormas itu juga didorong hidup penuh kemandirian secara ekonomi. Bahkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Pergerakan Muhammadiyah pernah berkata: "Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah. Beramalah engkau demi umat Islam. Jangan mencari hidup di Muhammadiyah."

Itulah yang membuat kedua ormas secara konsisten menjadi tempat penyemaian bibit sejumlah pemimpin nasional yang berperan penting dalam pengembangan semangat kebangsaan di Tanah Air. Haluan moderat yang dipilih kedua ormas tersebut nyatalah sesuai dan cocok dengan kultur masyarakat Indonesia.

Sebagai arus utama dakwah di Tanah Air, meski kultur keagamaan yang dikembangkan kedua ormas berbeda, akan tetapi kedua ormas tersebut terbukti bisa berjalan bersama. Kendati tidak mudah dan sederhana, tetapi kerja sama lebih sering terwujud dan memberi pengaruh positif pada perjuangan mencapai kemerdekaan untuk Tanah Air.

Dalam sejarah, terbukti bahwa umat Islam Indonesia bisa mengesampingkan perbedaan demi satu tujuan kemerdekaan dengan kebersamaan. Landasannya semangat persatuan dan kesatuan yang senapas dengan semangat ukhuwah Islamiah dan ukhuwah wathoniah. Sikap moderat dan penuh semangat toleransi dari NU dan Muhammadiyah mampu meredam berbagai gejolak sosial di Tanah Air.

Saat ini, globalisasi menjadi judul besar kemajuan zaman. Kemerdekaan menjadi jauh lebih kompleks untuk diterjemahkan. Keberdayaan dan kemandirian dalam bidang ekonomi sepatutnya menjadi basis kekuatan untuk kemajuan umat. Paling tidak itulah yang ditunjukkan dan dilakukan oleh para pemimpin ormas-ormas keagamaan di masa lalu. Nyatanya kita masih bergulat dengan kemiskinan. PR dan tantangan ormas-ormas keagamaan masih banyak dan perlu diatasi dengan kerja sama lintas agama.

Harus disadari bahwa kodrat beragama jelas memiliki tafsiran yang berbeda dan bagaimanapun kebhinekaan beragama adalah fakta real. Jika moral dan spiritual kita baik, takkan mudah terprovokasi, hanya karena berbeda pandangan dan keyakinan.

Hendaknya semua pemimpin umat kembali ke jati diri bangsa yang cinta pada keadilan sosial. Ancaman disintegrasi bangsa bisa merusak komitmen 20 Mei 1908. Ancaman disintegrasi ini bisa muncul karena ketidakadilan. Ketidakadilan yang terwujud akibat praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, di dalam kehidupan dan pergaulan sosial warga bangsa.

Oleh sebab itu, yang harus diselesaikan secepatnya dengan baik dan cermat adalah bagaimana menghapus ketidakadilan, pelanggaran HAM dan praktek-praktek buruk nepotisme, kolusi, dan korupsi. Itu akan menyelamatkan kita dari perpecahan dan sekaligus menyelamatkan kita sesudah 100 tahun.

Tulisan Esai pengantar edisi khusus Jurnal Nasional, Seabad Kebangkitan 19-20 Mei 2008 hal 30

Tidak ada komentar: