Selasa, Agustus 12, 2008

Konsisten di Jalur Abstrak

Konsisten dalam berkarya, dan kukuh memegang pendirian. Itulah seolah penegasan dari seorang Teguh Ostenrik, satu dari sedikit perupa Indonesia yang tetap bertahan dalam kreasi ekspresionisme-abstrak kontemporer. Hasilnya sungguh mengesankan.

TEKS IWAN SAMARIANSYAH

Ruangan galeri Koong di Dharmawangsa Square tampak dipenuhi para penikmat seni rupa, kolektor, kurator dan sejumlah perupa berbagai aliran saat pameran tunggal Teguh Ostenrik dibuka pada Jum’at malam, 11 Juli 2008 lalu. Pameran bertajuk NEO itu seakan hendak mengukuhkan capaian artistik yang diperoleh oleh perupa lulusan Hochschule der Kunste Berlin itu dalam dunia seni rupa Indonesia.

Meski karya-karya yang dipamerkan tak semuanya karya baru, bahkan ada yang merupakan karya Teguh sejak 20 tahun lalu namun satu hal sudah pasti, dia tetap bersikukuh bak karang di jalurnya. Semua lukisan yang ditampilkannya malam itu adalah lukisan ekspresionisme-abstrak. Perupa kelahiran Jakarta tahun 1950 itu konsisten menampilkan kreasinya dengan sabetan warna-warni tak terperikan di kanvas.

”Karya-karya asbtrak Teguh Ostenrik di hadapan kita menunjukkan penghayatannya yang kaya serta khas atas gejala dan penampakan realitas hidup. Saya menyebutnya sebagai suatu spektrum pandangan dan penghayatan. Karya-karya Ostenrik sangat otentik, dan turut menjelaskan alur perkembangan wacana seni rupa abstrak yang hingga kini kurang mendapatkan perhatian yang signifikan,” kata Rizki A. Zaelani dalam catatan kuratorial pameran itu.

Sikap menghayati otonomi seni demi tujuan penyempurnaan kondisi ke-manusia-an inilah yang menjadi prinsip dasar penciptaan karya-karya Teguh Ostenrik. Meskipun untuk seni rupa, karya Teguh konsisten dengan abstrakisme tidak berarti pria yang baru saja dikaruniai bayi mungil itu tak melirik bidang lain. Beberapa karyanya, khususnya karya instalasi, performance atau video art kadang tetap memanfaatkan bentuk-bentuk yang tetap memiliki kemiripan dengan obyek dalam lingkungan keseharian.

Hanya saja pada lukisan-lukisan yang dipamerkannya kali ini, Teguh seolah hendak menyatakan semacam model simbolisme komunikasi yang berbeda dan yang terpisah. Bahkan seolah hendak melampaui adat nalar yang kadung menjadi kebiasaan kita (manusia) sehari-hari yang bersifat imanen. ”Dia menyebutnya sebagai model transcendental power of communication,” tulis Rizki, setengah berfalsafah.

Anehnya, Teguh sendiri menolak kategorisasi sebagai perupa aliran abstrak. Dalam e-mail terpisah yang dikirimkan khusus untuk saya Teguh menyebut dirinya sendiri sebagai perupa yang tergila-gila pada eksperimentasi. ”Begini lho. Istilah-istilah itu di Indonesia kan tidak jelas karena sejarah seni di negeri kita masih belum tertata. Penentuan nama-nama aliran itu kan bukan tugasnya seniman. Dimana arts critic kita? Ternyata sudah menjadi kurator semua ya? Sehingga wacana di dalam seni rupa Indonesia lenyap ditelan oleh prahara diktat pasar seni,” ujar Teguh, seolah menggugat keadaan.

Jadi, bagaimana Teguh menyebut dirinya ? ”Saya ini seniman gila eksperimen. Saya tidak peduli kepada mazhab/aliran. Apa yang kebetulan sedang menarik perhatian saya, maka hal itulah yang saya tekuni,” katanya.

Dari sekitar 29 karya lukisan dan satu karya instalasi yang dipamerkan, Teguh terkesan ingin mempertontonkan bahwa inilah hasil penyerapan dan penghayatan visual dari dirinya atas fenomena dan realitas hidup yang dia representasikan sebagai karya nan unik. Dia ingin mempertemukan dua aspek penghargaan. Pertama, penghargaan atas subyek matter yang diketemukannya dan kemudian dia tetapkan sebagai gagasan bentuk dan warna. Kedua, penghargaan atas penghayatan cara-cara dan sikap tubuh yang kemungkinan terwujud menjadi bentuk yang dimaksudkannya sebagai hasil akhir.

Sepintas mencermati beberapa karyanya yang dipamerkan, seakan ada kemiripan satu dengan yang lainnya. Misalnya enam lukisannya yang berkisah mengenai kehidupan bawah laut dan dibuatnya pada 1989 : Ikan pink, Teri merah, Air pasang di Pulau Seribu, Blue is for Poison, Tuna Lari dan Ubur-ubur Melaju. Saputan warna abu-abu bercampur biru menghantam kanvas berukuran 140x150 cm membentuk bayang-bayang abstrak kehidupan bawah laut yang sibuk dan ruwet.

Saat ditanyakan padanya soal kemiripan lukisan itu, Teguh tersenyum. ”Mirip pada permukaan kesan awal, tetapi kalau anda perhatikan lebih mendalam pasti akan menemukan perbedaan yang signifikan. Seperti halnya kalau anda masuk ke suatu negara yang masih sangat asing bagi mata anda, maka kesan awal adalah, semua tipe orang-orangnya sama, lalu dua tiga hari kemudian, anda akan mulai melihat perbedaannya. Dan dalam waktu sebulan, semakin hilang kesamaannya, kalau sudah satu tahun tinggal di negara itu dan mulai mempelajari bahasa dan karakter manusianya, maka perbedaan di dalam satu bangsa itu akan semakin besar dari sudut pandang mata anda. Demikian pula dengan lukisan-lukisan alam bawah air saya,” ujarnya panjang lebar.

Menurut dia, persepsi seperti itu terjadi karena kebanyakan orang sudah terbiasa melihat lukisan-lukisan figurative, yang notabene masih di batasi oleh bentuk-bentuk geometri dan perhitungan anatomi tubuh. Karena sebagai pengamat tidak bisa mengada-ada lagi maka reinterpretasi tidak sebebas pada lukisan non bentuk. ”Jadi karena mata anda terlalu malas atau manja untuk melangkah lebih lanjut pada eksplorasi warna di dalam lukisan-lukisan itu, maka muncul kesan : ’Ah, semua nya mirip’,” kata Teguh.

Dua karya terbarunya yang dibuatnya tahun ini (2008) masing-masing berjudul Erected Fins dan Through the Golden Rainbow berukuran sama masing-masing 210 x 150 cm dipenuhi warna-warna cerah seperti kuning, merah dan hijau. Bercampur-campur di bidang kanvas yang begitu luas membuat mata dipuaskan oleh pendaran-pendaran sapuan kuas yang memenuhi bidang lukisan dengan teknik acrylic on canvas.

Teguh juga bereksperimen berani dengan melukis di kotak-kotak kecil yang disambung menjadi satu bidang besar. Lukisan itu berjudul Behind The Yellow Tails, memang didominasi oleh warna kuning dan oranye. Dilukis dalam kotak-kotak kecil berjumlah 253 keping yang masing-masing berukuran 10 x 10 cm, karyanya menjadi begitu unik dan orisinal. Aneh sekaligus memikat. Karya ini juga buatan 2008.

Selanjutnya, tanpa ragu Teguh lantas menghantam kanvas dengan sapuan warna kelabu, gelap dan terang bergantian. Membiarkan tetesan-tetesan cat memenuhi seluruh kanvas, yang disusun dari empat panel yang terpisah, dan terciptalah dua karya abstrak kehidupan bawah laut yang unik dan eksentrik. Judulnya Giants through the reef dan Long Live the Snappers. Ukurannya sama yakni 210 x 240 cm.

Yang menghebohkan, lukisan-lukisan abstrak Teguh malam itu laku keras (sold-out). Informasi ini didapatkan langsung dari Sing Sing, sang pemilik galeri. Padahal harga lukisan Teguh juga dipatok tinggi. Untuk lukisan yang kecil-kecil, galeri mematok harga Rp 16 juta, sedangkan yang berukuran besar harga lukisannya berkisar antara Rp 35 Juta hingga Rp 75 Juta. ”Tinggal tiga lukisan lagi yang tersisa,” ujar Sing Sing yang menolak menyebut siapa saja nama kolektor yang memborong lukisan abstrak Teguh itu.

Teguh sendiri mengaku senang saat dikonfirmasi hal itu. ”Ya ini kenyataan yang membesarkan hati. Pasar itu kan berkembang. Tidak stagnan. Seperti halnya manusia, yang berkembang, dari generasi satu ke generasi yang lain. Jadi pasar yang dimaksudkan disini bukan pasar yang 20 tahun lalu masih jual beli lukisan emas koki atau kuda. Kebanyakan kolektor muda kita, dikirim orang tuanya sekolah di luar negeri, mereka pulang bukan saja membawa ilmu tapi juga selera yang sudah jauh berkembang. Itulah yang membuat pasar kita berkembang,” kata dia.

Betapapun, Teguh telah membuktikan bahwa pilihannya untuk terus konsisten di jalur seni rupa abstrak adalah pilihan yang tepat dan benar. Karya-karyanya diterima pasar karya seni yang sukar ditebak. Ini telah mematahkan rumusan klasik bahwa karya-karya perupa abstrak susah diterima. Proses penciptaan karya dan apresiasi penikmat seni pada karya-karya Teguh tampaknya berjalan searah. iwansams@jurnas.com

*) Dimuat di Majalah ARTi edisi 5, 7 – 20 Agustus 2008 halaman 33-35. Untuk edisi online-nya silahkan klik http://www.arti-online.com

Tidak ada komentar: