Pada salah satu bagian novel yang menarik itu, ditulis sebuah laporan yang menarik. Buat saya, yang membaca ulang kembali novel tersebut hari ini, 24 Agustus 2008, apa yang digambarkan oleh laporan tersebut seperti de ja vu buat saya : artinya secara harafiah adalah "pernah lihat". Maksudnya mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya. Bukankah saat ini kita tengah mengalami masa krisis energi juga?
Coba deh simak laporan yang ditulis oleh Dixon, seorang analis lulusan Texas State University yang ditujukan untuk Cyrus V. Miller, CEO dari Pan-Global Oil Corporation. Nama-nama ini tentu saja tokoh fiktif yang ada di novel tersebut, begitu juga nama perusahaannya yang disebut sebagai perusahaan minyak besar dengan aset $3,25 Miliar, kira-kira mirip dengan Shell, Tenneco, Conoco, Enron, Coastal dan Pennzoil.
Begini bunyinya : "Intinya adalah dunia bebas makin kehabisan minyak. Sampai sekarang, mayoritas rakyat Amerika tidak mengetahui fakta ini, karena usaha pemerintah yang tak kenal lelah untuk mempertahankan cerita bahwa situasi 'minyak murah' seperti ini akan berlanjut seterusnya.
Bukti yang mendukung pendapat bahwa minyak makin habis, tercantum dalam tabel cadangan minyak dunia di bagian atas laporan. Dari 41 satu negara penghasil minyak di dunia, hanya 10 negara yang diketahui memiliki cadangan minyak yang dapat bertahan diatas 30 tahun. Tapi angka inipun dianggap terlalu optimistik. Masa 30 tahun tersebut didasarkan pada asumsi produksi terus-menerus dengan tingkat yang sama dengan tingkat produksi sekarang.
Padahal, tingkat konsumsi minyak, dan juga tingkat pengeborannya, makin meningkat setiap saat. Semakin banyak produsen minyak yang cadangannya mati, semakin banyak pula tingkat pengeboran minyak dari cadangan yang tersisa. Jangka waktu 20 tahun bisa dikatakan masa paling wajar untuk mengasumsikan habisnya cadangan minyak 31 negara produsen minyak. Ini berarti tinggal 10 negara produsen minyak di dunia.
Takkan ada energi pengganti untuk menyelamatkan malapetaka ini. Untuk 30 tahun mendatang, hanya ada dua pilihan bagi dunia bebas : minyak atau kematian ekonomi. Posisi Amerika Serikat sendiri juga dengan cepat menuju kehancuran ! Kebijakan impor minyak kita dari Timur tengah adalah kebijakan yang keliru dan akan menimbulkan ledakan depresi ekonomi yang bisa jadi membuat dunia bebas collaps dalam semalam."
Begitulah bunyi laporan tersebut. Saat ini sebagaimana kita ketahui, dunia sedang dihadapi krisis energi yang akut. Harga BBM sudah menyentuh angka diatas US$ 100 per barel. Dampaknya luar biasa bagi perekonomian global saat ini. Bisa dikatakan bahwa tidak ada satu negarapun yang menerapkan sistem ekonomi terbuka yang tidak merasakan dampak kenaikan harga minyak dunia tersebut.
Menurut banyak analis, penyebab utama dari kenaikan harga minyak dunia ini ditengarai sebagai kombinasi dari adanya faktor ketegangan di Timur Tengah—antara Turki dan Irak yang penghasil minyak—serta masalah baru antara AS dan Iran, ditambah jatuhnya cadangan minyak AS menjelang musim dingin, serta keraguan akan penambahan produksi OPEC (Kompas, dalam berbagai edisi hingga Agustus 2008).
Seiring dengan kenaikan tersebut, kemudian bermunculanlah berbagai dampak atas kenaikan harga minyak dunia tersebut. Seperti yang dapat kita lihat di Indonesia bahwa kenaikan harga minyak dunia ini telah menyebabkan industri manufaktur domestik terpukul telak. Namun demikian, tidak semua negara dengan adanya kenaikan harga minyak dunia ini lantas mengalami dampak negatifnya.
Beberapa negara penghasil minyak dunia justru mengalami keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia ini. Keuntungan dari kenaikan harga minyak ini kemudian banyak ditanamkan dalam bentuk Sovereign Wealth Funds (SWFs).
Tercatat bahwa Kuwait adalah negara pertama yang mempraktekkan SWFs sebagai bagian kebijakan ekonominya. Pada tahun 1953 Kuwait mendirikan Kuwait Investment Authority (KIA) sebagai dampak surplus perdagangan minyak yang mendera negara tersebut. Saat ini KIA tercatat sebagai SWFs terbesar kelima dibawah Various Funds milik Arab Saudi.
Dalam konteks ekonomi global kontemporer, terutama dengan kenaikan harga minyak dunia, geliat SWFs dari negara-negara penghasil minyak dunia semakin jelas memperlihatkan tajinya. Bahkan di kancah perekonomian Barat (semisal Inggris dan AS), keberadaan SWFs telah menjadi satu momok yang bergitu menakutkan. Betapa tidak, bahwa saat ini SWFs mengontrol lebih dari 2,2 triliun dollar AS dana investasi atau sekitar enam kali lipat produksi domestik bruto (PDB) Indonesia.
Prediksi pertumbuhan SWFs lima tahun kedepan dapat mencapai aset senilai 5 triliun dollar AS dan senilai 10 triliun dollar AS untuk sepuluh tahun mendatang, dengan asumsi dinamika ekonomi global seperti saat ini. Dana-dana tersebut pun masih jauh lebih besar dibandingkan dengan dana-dana yang dikelola oleh badan investasi global. Dan yang lebih menakutkan pihak barat, dengan kekuatan dana investasi SWFs negara-negara penghasil minyak, bahwa investasi mereka telah merambah tidak hanya kearah negara-negara berkembang namun juga telah merambah negara-negara barat.
Berdasarkan data yang dirilis Harian Inggris, The Independent beberapa SWFs asal negara-negara penghasil minyak telah memiliki beberapa aset yang berasal dari negara-negara Barat. Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) milik Pemerintah Uni Emirat Arab tercatat memiliki dana investasi senilai 625 miliar dollar AS. Namun penelitian Bank Jerman melansir bahwa investasi ADIA lebih besar dari yang dirilis The Independient, yaitu senilai 875 milliar dollar AS.
ADIA ini adalah SWFs terbesar didunia berdasarkan kepemilikan dana investasinya. Hingga saat ini, ADIA telah memiliki perusahaan Apollo Management, perusahaan berbasis di AS, yang bergerak di bidang saham. Selain itu baru-baru ini ADIA pun telah menambah “koleksi” perusahaan AS yang bernama Carlyle, bergerak di bidang investasi global, kedalam jaringan bisnisnya.
Selain ADIA, Uni Emirat Arab juga memiliki SWFs lain yang bernama Dubai International Capital (DIC) yang masih kalah kecil jika dibandingkan dengan ADIA. Namun demikian, DIC ini tercatat merupakan SWFs yang aktif membeli saham-saham berbagai perusahaan di Inggris, termasuk Travelodge, Doncasters dan Merlin. Selain itu, DIC ini juga termasuk sebagai pemilik Madame Tussaud’s. Bahkan sebagian saham HSBC dan perusahaan penerbangan Eropa, EADS, telah berpindah ke tangan DIC.
Tidak hanya bermain di Inggris, DIC inipun telah pula merambah ke AS dengan ikut memiliki saham perusahaan milik jaringan rumah mode milik Barneys dan Standard Chartered. Selain Uni Emirat Arab, masih adapula Arab Saudi dengan Various Funds-nya yang mengelola dana 300 miliar dollar AS, Kuwait dengan KIA yang mengelola dana investasi senilai 250 miliar dollar AS dan Qatar dengan Qatar Investment Authority (QIA) yang mengelola dana sebesar 60 miliar dollar AS.
Dana investasi yang dimiliki SWFs dari negara-negara penghasil minyak ini sepenuhnya berasal dari surplus ekspor minyak. Berbeda dari negara-negara lain yang memiliki SWFs pula, semisal Bostwana dengan Pula Fund yang memiliki dana investasi yang berasal dari penjualan berlian ataupun China dengan China Investment Corporation (CIC) yang dananya berasal dari surplus perdagangan industrinya. Atau juga Singapura dengan Government of Singapore Investment Corporation (GIC) yang dana investasinya berasal dari perdagangan dan sektor jasa.Maka dengan kondisi kenaikan harga minyak dunia seperti saat ini, dapat dibayangkan berapa banyak surplus yang dinikmati negara-negara produsen minyak tersebut serta banyaknya dana yang akan diinvestasikan ke SWFs mereka masing-masing. Andai saja negara kita, Indonesia, punya kesempatan memiliki dana sebesar ini, maka krisis ekonomi dan semua beban finansial negara akibat besarnya hutang luar negeri itu bakal selesai dengan sendirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar