Selasa, Agustus 19, 2008

Penderitaan Sang Kupu-kupu

Pesan bermakna dalam dilansir perupa F.X Harsono dalam pameran bertajuk Aftertaste di Koong Gallery, Jakarta Selatan. Resikonya dia mesti menerima untuk dikecam penyayang binatang yang tak bisa menerima kreativitasnya itu.

TEKS DAN FOTO IWAN SAMARIANSYAH

LAMA tak muncul ke publik berpameran tunggal sejak setahun silam di Jakarta, perupa F.X. Harsono kembali menyeruak di belantara pentas seni rupa nasional dengan menggelar pameran tunggal di Koong Gallery pada 26 Juli – 10 Agustus lalu. Mengusung pameran dengan judul ”Aftertaste”, perupa yang namanya mulai mencuat sejak mengusung Gerakan Seni Rupa Baru pada era 1970-an itu tak kekurangan kreativitas.

Kini obyek yang dijadikannya sebagai fokus pamerannya adalah serangga cantik yang punya kemampuan bermetamorfosis : kupu-kupu. Seluruh ruangan galeri dipenuhi gambar potret dirinya dan kupu-kupu. Dalam bentuk karya lukisan di bidang datar, multi media yang bisa ditonton pengunjung maupun karya instalasi berupa meja makan yang ditata begitu elok dengan hidangan utama kupu-kupu. Luar biasa.

Judul Aftertaste bagi pameran ini merujuk pada gambaran jelas pada karya-karya yang dipamerkan, yaitu F.X. Harsono yang tengah melahap berbagai jenis makanan dan minuman yang disajikan berisi kupu-kupu berjarum. Kembali dia menggabungkan ketrampilan melukis tradisionil dengan teknologi fotografi modern. Tak heran bila lukisan yang dihasilkan menjadi begitu pekat dan menyala.

Perupa kelahiran Blitar, 22 Maret 1949 ini tampaknya sejenak ingin bergenit-genit dengan serangga bernama kupu-kupu itu. Warna-warna cerah dan memikat menyedot perhatian pengunjung pameran dan membuat mereka penasaran dengan pesan yang hendak disampaikan oleh seorang F.X. Harsono. Pameran malam itu rupanya menjadi penanda lebih jauh tentang perubahan tematik yang dijalani sang perupa.

Kurator pameran Rizki A Zaelani dalam buku katalog itu menulis dengan yakin bahwa Aftertaste menunjukkan adanya tanda-tanda pergeseran canon ekspresi mutakhir sosok F.X. Harsono. Kebanyakan orang mengenal alumni ASRI Yogyakarta itu sebagai perupa yang cenderung menghasilkan karya-karya yang bersifat kritis bahkan politis. ”Apa yang terjadi ? Tidakkah F.X. Harsono tetap bersifat kritis ?” tulis Rizky.

Sesiapapun yang mengenal F.X. Harsono pasti bersepakat betapa dia dikenal sebagai perupa yang suka melawan arus. Dia senang melibatkan diri dan memihak pada persoalan ketidakadilan sosial, serta menyokong bentuk-bentuk perlawanan terhadap kekuatan dominasi dan praktek kekuasaan. Karya-karyanya membuktikan hal itu, tak heran bila dia sempat mendapat pengawasan khusus dari penguasa Orde Baru saat berpameran.

Kini dalam usianya yang hampir 60 tahun, sang perupa menampilkan karya tentang serangga yang bermetamorfosis. Seakan dia hendak memakai bahasa metafora kupu-kupu bahwa dirinya sebagai perupa juga berhak untuk melakukan metamorfosis, dari seekor ulat yang melampaui fase hidup sebagai kepompong dan kemudian menjelma menjadi sosok yang sama sekali baru dan indah : kupu-kupu.

Satu hal lagi, dia juga meneruskan tradisi barunya sejak tahun 2000 saat dia memasukkan gambaran wajah dan tubuhnya sendiri dalam karya-karyanya. F.X. Harsono menjadi model untuk karyanya, dan kali ini adalah potret wajahnya dalam berbagai ekspresi dan atraksi dengan kupu-kupu sebagai fokus lukisannya. Penggabungan ini menghasilkan karya yang berbau narsis, tetapi ya tetap saja indah dan memikat.

Karya yang dilakukannya dengan campuran antara teknik kuas seni rupa tradisional acrylic on canvas dengan digital print computer imaging menghasilkan karya yang berkualitas tinggi. Tak heran bila sekitar 15 karyanya itu sold out selama pameran berlangsung. Harganya juga tidak murah, karena kolektor mesti merogoh kocek sampai Rp 250 juta untuk memiliki karya-karya tersebut.

Bagaimanapun seni rupa dengan menggunakan teknik digital printing memang tak bisa dibatasi. Seni rupa dapat dipandang sebagai media seni yang luas, dapat menggunakan media apa pun. ”Ini citraan fotografis. Foto hanya sebagai elemen,” ujarnya merujuk pada karya-karyanya berjudul Celebrate The Pain 3 dan A Cup of Pain. Image fotografis itulah yang menghasilkan citraan.

Proses yang dilakukan biasanya dengan scanning, dimanipulasi dengan program computerize. Itulah seni rupa, teknik fotonya telah dipadu dengan digital. Meski begitu Harsono tidak sama sekali meninggalkan sisi manual dalam prosesnya. Sabetan kuas masih terasa sekali pada karya-karyanya yang berjudul Lolly Pain atau Peanut Project berukuran 175 x 150 cm.

Buat saya, karya-karya FX Harsono adalah cerminan kemampuan teknik tinggi dan perenungan yang tajam tentang citra diri. Meminjam penilaian Rizky A Zaelani, potret dirinya dalam lukisannya bukan sekedar ingin bertindak narsis, melainkan seolah-olah hendak mewakili tubuh-tubuh yang lain, bersifat metonimik.

Maknanya, jika penjelasan apa yang tengah dikonsumsi dan dinikmati sang figur pada karya-karya Harsono memang sudah jelas (kupu-kupu yang tertusuk jarum), maka soal siapa yang tengah mengkonsumsi dan menikmati sajian itu adalah sisa pertanyaan penting yang ditinggalkan karya-karya ini. Ibaratnya, Harsono menjadikan tubuhnya sendiri sebagai obyek contoh yang bisa ditunjuk bagi apa yang juga bisa pihak lain lakukan. Pesannya tidak main-main : tetaplah kritis dan estetis.

Karya-karya Harsono kontemporer, termasuk karya video yang diputar sepanjang pameran berdurasi 4,45 menit berjudul Pain Project dan karya instalasi berjudul Selamat Makan membawakan pesan yang jelas tentang penderitaan. Harsono secara jeli memilih tanda penyiksaan berupa benda berbentuk jarum yang menusuk kupu-kupu. Alat yang remeh namun bagi kupu-kupu berfungsi mematikan.

Lelaki yang pernah berpameran di Adelaide (Australia) dan Amsterdam (Belanda) ini adalah contoh perupa yang senang bereksperimen. Karya-karyanya tentang kupu-kupu di Koong Gallery malam itu merupakan contoh dari sebagian besar karyanya, yang bahkan sudah memikat mata sebelum memerangkap dengan judul maupun teks-teks yang dipasang di atas gambarnya.

Hanya saja, kritik tetap muncul. Dan itu saya dapatkan justru dari pengelola galeri yang menyatakan bahwa ada sejumlah pengunjung yang justru merasa tidak tega menikmati pameran Harsono tersebut karena ”penyiksaan” jarum pada kupu-kupu. ”Ya mungkin mereka penyayang binatang yang tidak tega menyaksikan kupu-kupu dijadikan obyek seni rupa,” ujar salah satu karyawan pada saya.

Karya instalasi Harsono berbentuk meja makan dengan hidangan utama kupu-kupu itu adalah yang paling jelas menjadi sasaran kritik para pengunjung. Yang dipakai oleh Harsono adalah kupu-kupu dan jarum sungguhan. Ini membuat Harsono mesti rela dikritik karena telah mengorbankan puluhan ekor kupu-kupu untuk membangun instalasi meja makannya tersebut. Apa boleh buat. iwansams@jurnas.com

*) Dimuat pada Majalah ARTi edisi 006, 21 Agustus - 4 September 2008 pada rubrik Seni Rupa halaman 54 - 55, majalah ini dapat diakses di http://www.arti-online.com

Tidak ada komentar: