Kamis, Februari 21, 2008

Orang Jogja di Jakarta


Orang Jogja di Jakarta banyak sekali. Rukun, suka kumpul-kumpul dan senangnya nostalgia saat hidup di Jogja dulu. Apalagi yang dulunya kuliah di UGM, kampus Bulaksumur. Bila ketemu pastilah rame bener celotehan yang terlontar. Saling tanya kabar si anu gimana, terus dengan rasa ingin tahu yang begitu besar tanya nasibnya si dia piye ? Pokoknya heboh.

Aku sendiri hidup di Jogja dalam kurun waktu yang cukup lama. Setidaknya tujuh tahun. Mulai masuk tahun 1987 dan akhirnya menyelesaikan studi S-1 ku tahun 1994. Di Jogja juga aku mendapat jodoh, tetapi kami menikah di Bandung, tempat asal gadisku.

Jogja adalah hulu sungai. Tempat sebuah Universitas tertua di negeri ini berada. Alumninya tanpa malu-malu menamakan dirinya sebagai Universitas Ndeso. Ya. Ndeso. Berbau pedesaan, kampungan dan udik. Malu-maluin buat yang gak faham maknanya, tetapi membanggakan bagi yang mengerti filosofi dasarnya.

Deso (baca ndeso) bisa bermakna negatif, bisa pula positif. Ndeso, itulah sebutan untuk orang yang norak, kampungan, udik, shock culture, Countrified dan sejenisnya. Ketika mengalami atau merasakan sesuatu yang baru dan sangat mengagumkan, maka ia merasa takjub dan sangat senang, sehingga ingin terus menikmati dan tidak ingin lepas, kalau perlu yang lebih dari itu. Kemudian ia menganggap hanya dia atau hanya segelintir orang yang baru merasakan dan mengalaminya.

Maka kemudian dia mulai atraktif, memamerkan dan sekaligus mengajak orang lain untuk turut merasakan dan menikmatinya, dengan harapan orang yang diajak juga sama terkagum-kagum sama seperti dia.

Lebih dari itu ia berharap agar orang lain juga mendukung terhadap langkah-langkah untuk menikmatinya terus-menerus. Hal ini biasa, seperti saya juga sering mengalami hal demikian, tetapi kita terus berupaya untuk terus belajar dari sejarah, pengalaman orang lain, serta belajar bagaimana caranya tidak jadi orang norak, kampungan alias deso dalam makna yang negatif.

Orang Jogja beda dengan ndeso bermakna negatif. Lebih banyak yang bernada positif, apalagi orang Jogja di Jakarta. Teman-teman yang kukenal baik umumnya punya karakteristik sama yaitu humble, rendah hati, senang berbagi, guyub dan kalau bekerja wah bukan main keras dan tekunnya. Benar-benar seperti orang ndeso.

Kalau ingin tahu, mental juang orang Jogja mungkin salah satu yang terhebat di dunia. Orang tua tua disana … pagi hari sudah bangun pagi-pagi dan mulai bekerja. Saat masih tinggal di Jogja, saya sering menjumpai banyak ibu-ibu yang sudah renta, bungkuk …menggendong barang dagangan berupa sayur mayur atau makanan pagi yang siap santap.

Disekitar Malioboro banyak sekali pengemudi becak yang berusia lanjut … dekat Tugu Jogja. Mereka tidak pulang ke rumahnya, tetapi memilih tidur di becaknya yang menjadi tempatnya mencari nafkah. Orang Jogja di Jakarta yang saya kenal memang tidak menjadi tukang becak lagi, banyak yang menjadi kaum profesional. Tetapi kalau mereka masih bujangan, umumnya mereka juga punya kegemaran serupa : tidur di kantor. Heroik sekali ya?

Ketika Indonesia sedang terpuruk, Hutang lagi numpuk, rakyat banyak yang mulai ngamuk, Negara sedang kere, banyak yang antri beras, minyak tanah, minyak goreng dll. Maka kita sepatutnya mulai berhemat. Orang Jogja di Jakarta tanpa banyak cakap menempuh caranya sendiri : rame-rame menjual mobilnya dan berganti sepeda motor.

Paling tidak itu terjadi pada orang-orang Jogja yang saya kenal.

Bangsa ini akan naik harga dirinya kalo utang sudah lunas, kelaparan tidak ada lagi, tidak ada pengamen dan pengemis, angka kriminal rendah, korupsi berkurang, punya posisi tawar terhadap kekuatan global. Maka orang nDeso mampu mengatasi krisis karena mereka bisa menjadikan krisis sebagai paradigma dalam menyiasati hidup.

Yang lebih mengerikan itu adalah orang ndeso yang norak. Itu yang berbahaya, dan harus dijauhi, karena supaya dia tidak terlihat kere, maka harus bisa tampil keren. Makin kiamatlah dunia kalo si kere tidak tahu dirinya kere. Bisa-bisa besar pasak daripada tiang nanti. Ujung-ujungnya korupsi, dan masuk penjara.

1 komentar:

Ade Candra mengatakan...

wah.. postingannya sangat kena.. wong saya yang belum lulus aja kalo ketemu temen yang kul di UGM tapi sedang ada di daerah buat liburan pasti ngobrolnya panjaaang...salam mas.