Kamis, Februari 07, 2008

Imlek Milik Siapa ?


Oleh Ws Budi Santoso Tanuwibowo


ADA yang bertanya, "Sebenarnya Tahun Baru Imlek itu milik siapa?" Orang Tionghoa, umat Budha atau siapa? Kalau dibilang dirayakan oleh orang Tionghoa, pada kenyataannya banyak yang tidak merayakan. Demikian juga kalau dikatakan umat Budha. Lantas kalau tidak jelas demikian, mengapa Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai Hari Nasional? Pertanyaan lebih lanjut adalah, "Kalau didasari pertimbangan etnis, bukankah hal ini akan membuka peluang bagi etnis-etnis lain untuk menuntut hal serupa?"

Untuk menjawab pertanyaan di atas memang tidak mudah. Apalagi bagi mereka yang berumur 40 tahun ke bawah. Selama lebih dari separuh waktu pemerintahan Orde Baru, praktis Tahun Baru Imlek tidak diperbolehkan dirayakan secara terbuka. Imlek hanya boleh dirayakan secara tertutup di lingkungan keluarga atau kerabat. Pada kurun waktu 70an sampai menjelang akhir pemerintahan Orde Baru, jangan harap bisa menonton Barongsai dan Liong sebebas sekarang. Jangan harap pernik-pernik Imlek bisa dijumpai di mana-mana. Semuanya harus ditutup demi kepentingan politik waktu itu.

Apa yang kita sebut sebagai Tahun Baru Imlek, adalah awal atau hari-hari pertama dari sebuah sistem penanggalan yang sudah sangat tua umurnya. Penanggalan yang sekarang kita kenal dengan nama penanggalan Imlek, sudah ada sejak 4.700an tahun yang lalu. Penggagasnya adalah Huang Di atau Kaisar Kuning, yang hidup pada 2696-2598 SM. Beliau di samping seorang Raja Agung, Raja Suci, juga merupakan Bapak orang Tionghoa. Sementara bagi umat Ru Jiao atau yang di Indonesia lebih dikenal sebagai umat agama Khonghucu, Huang Di diakui sebagai salah satu nabi.

Sistem penanggalan karya Huang Di ini, kemudian diterapkan oleh pendiri Dinasti Xia, 2205-1766 SM, Xia Yu - yang juga merupakan salah satu nabi dalam Ru Jiao - sebagai penanggalan resmi Dinasti Xia. Namun ketika Xia jatuh dan diganti Dinasti Shang, 1766-1122 SM, Shang menggantikannya dengan sistem penanggalan Shang. Penentuan awal tahunnya dihitung kembali mulai tahun 1 (pertama), sedangkan penentuan hari pertama tahun barunya ditetapkan maju 1 (satu) bulan. Akibatnya jika menurut sistem penanggalan Xia hari pertama tahun baru jatuh pada permulaan musim semi, menurut sistem penanggalan Shang jatuh pada akhir musim dingin.

Shang runtuh dan digantikan oleh Dinasti Zhou, 1122-255 SM. Wen Wang, pendiri Dinasti Zhou, yang juga merupakan salah satu nabi Ru Jiao, menggantinya dengan sistem Zhou. Tahun pertamanya dikembalikan lagi ke tahun 1 (pertama) dan hari pertama tahun barunya juga dimajukan, persis pada puncak musim dingin, tanggal 22 Desember, ketika matahari berada di atas garis 23,5 derajat Lintang Selatan. Itulah saat dimana wilayah Zhou (ada dalam wilayah Tiongkok modern sekarang) mengalami siang hari yang terpendek. Saat itu dipercaya sebagai awal jatuhnya tahun baru, mengingat setelah itu matahari 'kembali' ke utara Khatulistiwa. Sampai saat ini pun tanggal 22 Desember (atau jatuh 21 Desember pada tahun Kabisat), tetap diperingati sebagai Dong Zhi, Writer Soltice atau Puncak Musim Dingin. Ketika Zhou jatuh dan digantikan Dinasti Qin, 255-202 SM, sistem penanggalannya pun diubah lagi dengan memajukan awal tahun barunya.

Sheng Ren (Nabi) Kong Zi, Khongcu, Confucius, 551-479 SM, yang hidup semasa Dinasti Zhou melihat bahwa bagi masyarakat pada waktu itu yang mayoritas hidup dari pertanian, sistem penanggalan Dinasti Xia lah yang paling baik, karena awal tahun barunya jatuh pada awal musim semi, sehingga bisa digunakan sebagai pedoman dalam pertanian. Sheng Ren Kong Zi menyarankan agar negara kembali menggunakan Kalender Xia.

Namun nasihat bijak ini tidak digubris pemerintahan waktu itu. Juga ketika Zhou diganti Qin. Baru ketika Qin runtuh dan diganti Dinasti Han, 202 sM-206 M, ada keinginan kuat untuk merealisasikan nasihat Kong Zi. Pada masa Kaisar Han Wu Di, 140-86 SM, tepatnya tahun 104 SM, sistem penanggalan Xia diresmikan kembali sebagai penanggalan negara dan tetap digunakan sampai saat ini. Untuk menghormati Kong Zi, penentuan perhitungan tahun pertamanya dihitung sejak tahun kelahiran Kong Zi, 551 -SM. Itulah sebabnya penanggalan Imlek berjarak 551 tahun dibanding penanggalan Masehi. Jika sekarang penanggalan Masehi bertahunkan 2009, maka tahun Imleknya = 551 + 2002-,= 2559. Pada jaman Han Wu Di pula Ru Jiao atau agama Khonghucu ditetapkan sebagai agama negara (state religion).

Di samping agama Khonghucu, di Tiongkok berkembang pula agama Tao dan belakangan agama Budha. Ketiga agama ini hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Bahkan hari rayanya juga disesuaikan dengan sistem penanggalan Xia. Sementara itu agama Khonghucu berkembang sampai ke Korea, Jepang, Vietnam, Mongolia, Myanmar dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di Korea, Jepang, Vietnam dan Myanmar, meski dengan nama atau istilah yang berbeda, tetapi merayakan hari Tahun Baru yang sama.

Ketika pemerintahan Indonesia merdeka belum genap berusia 1 (satu) tahun, tepatnya tanggal 18 Juni 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang Hari Raya, No. 2/OEM­1946. Pada pasal 4 ditetapkan 4 (empat) hari raya Tionghoa : Tahun Baru Imlek, Wafat Nabi Khonghucu (Kong Zi), Qing Ming (Ceng Beng) dan Hari Lahir Nabi Khonghucu. Ketika Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres 14/1967, mulai terjadi pembatasan-pembatasan yang mencapai puncaknya tahun 1978, diantaranya pelarangan merayakan tahun Baru Imlek secara terbuka, pelarangan bahasa Hua Yu (Mandarin), pengingkaran hak sipil umat agama Khonghucu dan pelarangan pengajaran agama Khonghucu yang sebelumnya bebas diajarkan di sekolah.

Angin segar mulai berhembus ketika era Reformasi. Presiden B.J Habibie mulai menghapus istilah pribumi dan non pribumi. Inpres 14/1967 dicabut Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dengan Keppres No. 6/2000 tertanggal 17 Januari 2000. Dengan Keppres ini, segala hal yang sebelumnya dikekang akibat Inpres 14/1967 menjadi cair. Untuk pertama kalinya "Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia" (MATAKIN) mengadakan perayaan Tahun Baru Imlek secara nasional pada tanggal 17 Februari 2000. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, Tahun Baru Imlek dinyatakan sebagai Hari Nasional, yang disampaikan secara langsung ketika beliau memberikan amanat pada perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2553, yang diadakan oleh MATAKIN, di Hall Arena Pekan Raya Jakarta, tanggal 17 Februari 2002.

Dari paparan di atas menjadi jelas bahwa Tahun Baru Imlek merupakan Hari Raya Keagamaan bagi umat Ru Jiao atau Khonghucu, karena di samping mengandung aspek spiritual, penggunaan kembali penanggalan Xia didasari sabda Sheng Ren Kong Zi. Tahun Baru Imlek sekaligus juga merupakan Hari Raya orang Tionghoa, karena sejak awal sejarahnya, orang Tionghoa menyatu dan tidak bisa dilepaskan dari sejarah Ru Jiao sendiri. Ketika Ru Jiao berkembang ke seluruh dunia, maka umatnya - apapun ras atau etnisnya - juga merayakannya. Demikian juga bagi umat Tao dan umat Budha sekte tertentu yang kental berinteraksi dengan tradisi Tionghoa. Sementara itu bagi bangsa Indonesia sendiri, sejarah mencatat bahwa sejak awal berdirinya Republik Indonesia, tepatnya sejak 18 Juni 1946, Tahun Baru Imlek - dan Hari Raya Qing Ming, Hari Lahir dan Wafat Nabi Khonghucu - telah pula ditetapkan sebagai hari raya. Kalau kemudian ada yang bertanya Tahun Baru Imlek itu milik siapa, jawaban yang paling bijaksana adalah sudah bukan lagi milik umat agama Khonghucu atau orang-orang Tionghoa yang masih menghayati tradisi Khonghucu semata, melainkan sudah menjadi milik bangsa Indonesia dan bahkan milik seluruh bangsa di dunia.**



*) Penulis adalah Ketua Umum MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)

Tidak ada komentar: