Minggu, April 20, 2008

Diskusi Panel PP KAGAMA


Menyambut 100 Tahun Kebangkitan Nasional PP Kagama menggelar serangkaian Diskusi Panel. Salah satu yang aku ikuti adalah Refleksi Atas Tatanan otonomi Daerah di Indonesia yang digelar di Hotel Millenium Jakarta pada Jum'at, 11 April 2008.

Bertindak sebagai pemakalah adalah Dr Kausar AS, M.Si (Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri), Dr Pratikno, M.Soc.c (Ketua Pengelola Program Pasca Sarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM) dan Prof Dr Mudrajad Kuncoro (Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM).

Acara yang dimoderatori oleh Hikmat Hardono (Ketua Panitia yang juga alumni FE UGM itu) berlangsung selama tiga jam lebih. Berbagai aspek dan evaluasi kritis mengenai pelaksanaan otonomi daerah disoroti. Salah satu yang terungkap adalah, penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah selama era reformasi ini terjadi justru karena ada masalah di sistem politik nasional. "Masalahnya justru tidak terletak di daerah," ujar Pratikno.

Yang menarik, saking tidak jelasnya aturan main soal otonomi daerah dari pemerintah pusat di Jakarta maka kerapkali pemerintah daerah bingung. Alhasil APBD yang seharusnya singkatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak tepat sasaran dan salah penggunaan sehingga muncul anekdot bahwa APBD sesungguhnya adalah singkatan dari Anggaran Pejabat dan Belanja Dewan.

Dalam diskusi panel yang diikuti sekitar 20 peserta aktif itu, selain aku sebagai wakil media massa, juga ikut hadir Dr Rajab Ritonga, Direktur HRD dan Urusan Umum Kantor Berita Antara. Sejumlah LSM seperti ICW mengirimkan Heni Yulianto dan Yaury Gautama dan terjadi perdebatan yang cukup seru dengan para pemakalah. Hadir pula Dosen UMY yang kini menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bambang Eka.

Menurut Pratikno, momentum seabad Kebangkitan Nasional harus digunakan sebagai momentum untuk tidak mengulang kegagalan-kegagalan Indonesia di masa lalu dalam mensejahterakan rakyat. "Jika desentralisasi dan demokratisasi adalah amanah konstitusi dan veto reformasi, maka otonomi dan demokrasi daerah adalah sebuah keharusan," ujarnya.

Saat ini banyak cerita buruk di sekitar soal otonomi daerah seperti prosentase belanja publik sangat rendah, pilkada yang mahal, korupsi yang marak di daerah, terjadinya inkosistensi pembangunan horisontal dan vertikal serta praktek pemekaran daerah yang terkadang dilaksanakan secara serampangan. Karena itu diperlukan perbaikan dengan memperkuat akses atau kontrol pusat dan Gubernur atas nama pusat terhadap daerah.

Sementara itu Mudrajad Kuncoro melontarkan gagasan perlunya reformasi keuangan daerah secara mendasar. Hal itu diperlukan mengingat banyaknya kewenangan yang tumpah tindih antara pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi. Diantaranya adalah dalam sektor ketenagakerjaan, pertambangan, pendidikan, perikanan, kelautan, Amdal, pariwisata, kebudayaan dan perdagangan.

Ada empat masalah mendasar yang perlu dipecahkan. Pertama, relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi pasca krisis yang hanya mencapai 4,5 % pertahun. Kedua, masih tingginya angka pengangguran, sekitar 9 - 10 % dari jumlah angkatan kerja. Ketiga, tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia yang angkanya mencapai 16 - 17 % dari jumlah penduduk. Dan yang keempat adalah rendahnya daya saing industri Indonesia serta terjadinya gejala deindustrialisasi di berbagai daerah yang sungguh mengkhawatirkan.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata belum on the right track karena hanya dinikmati oleh 40 % golongan menengah dan 20 % golongan terkaya, sementara pangsa 40 % golongan termiskin makin merosot sejak 2005," ujar Mudrajad.

Guru Besar FE UGM itu lantas menawarkan agar pemerintah hendaknya fokus pada beberapa langkah perbaikan. Pertama, setiap daerah harus dipaksa untuk mengadopsi prinsip penyederhanaan perijinan usaha. Harus ada simplifikasi prosedur perijinan : satu atap, satu pintu dan satu meja. Kedua, pengurangan pungutan/pajak baik pajak jinak maupun liar yang dipungut oleh Pemda maupun pusat. Pungutan atau retribusi dengan alasan memperbesar PAD sungguh kurang tepat bila hendak meningkatkan investasi. Ketiga, harus ada transparansi biaya perijinan.

"Saya yakin bila reformasi keuangan daerah ini dijalanakan secara konsisten, maka secara perlahan tapi pasti kita akan memasuki era baru yang lebih baik. Masa depan Indonesia itu terletak di daerah bukan di Jakarta. Itulah keyakianan saya," ujarnya. (Dilaporkan oleh Iwan Samariansyah).

1 komentar:

Hartati Nurwijaya mengatakan...

Assalammu'alaikum wrwb,

Salam kenal Mas, saya anggota milis Dikbud di Yunani.

Anda juga alumni UGM toh?
Weh nek iya, sama dong (saya alumni Fisipol angkatan 87).