Minggu, Januari 27, 2008

Soeharto Wafat, so what gitu loh ....


SAYA tengah menonton film Robin William, Man of The Year, sebuah film satire politik yang sungguh memikat ketika anak perempuan tetangga sebelah menyerbu masuk ke ruang keluarga saya. "Oom, di TV ada berita Pak Harto ..." katanya, bingung menyaksikan saya malah asyik-asyik saja menonton saluran TV kabel HBO. Akting Robin di film itu, pelawak yang terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat memang memikat.

Isteri dan pembantu saya yang tengah mengobrol di ruang dalam dekat dapur minta saya memindah channel sejenak. Setengah menggerutu, karena harus meninggalkan alur cerita film asyik itu sayapun menurutinya. Di SCTV tampak tampil penyiar jelita berambut pendek yang kerap salah saat memberikan reportase di RSPP. Kamera bergerak menyoroti barisan polisi yang menjaga ketat hampir semua sudut rumah sakit.

Tak lama kemudian tampil puteri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Indra Rukmana. Berkerudung hitam, matanya sembab terbata-bata menyampaikan bahwa bapaknya sudah meninggal dunia. "Hmmm, akhirnya meninggal juga Pak Tua itu," batinku seraya memijit SMS untuk kukirimkan ke Nirwan Arsuka, Lutfi Yazid, Janoe Arijanto dan Nurhidayat Agam, kawan-kawan segenerasiku dulu saat menjadi aktivis mahasiswa.

Dan tak lama kemudian, HP saya berbunyi lirih. Sebuah SMS dari seorang teman di Jakarta. “Barusan saja Pak Harto meninggal dunia, jam 13.10. Allahummagfirlah.” Menyusul SMS lainnya dengan isi yang kurang lebih sama.

Saya berdiri, meninggalkan ruang keluarga untuk pergi ke kamar. Bersiap berangkat kerja ke kantor redaksi Jurnal Nasional di Rawamangun. Sambil berganti baju, saya merenungkan berita apa yang kira-kira harus saya siapkan untuk besok. Dalam benak saya, rubrik yudikatif yang saya asuh tentu saja akan tetap memuat persoalan hukum Soeharto yang belum selesai. Kasus perdatanya masih bergulir di PN Jakarta Selatan.


Segera saya hubungi Okky, wartawati desk yudikatif yang sedang ditugaskan ke Nusa Dua Bali untuk membuat beberapa berita yang berkaitan dengan soal pengembalian asset harta hasil korupsi. Okky Puspa Madasari, wartawati muda alumni UGM ini tengah meliput KTT PBB Anti Korupsi di Nusa Dua sejak 24 Januari lalu. "Tulis soal penyitaan aset yang berkaitan dengan Soeharto ya," tulisku pada SMS yang kukirim padanya.

Sempat terlintas di benak saya untuk menyampaikan kabar kematian Soeharto kepada beberapa teman lain. Terutama yang seusia dengan saya. Dan mereka yang sedikit banyak, saya percaya, memiliki pengalaman yang sama seperti saya di zaman Orde Baru, namun saya urungkan. Biarlah teman-teman itu mengetahui dari televisi dan radio yang begitu gencar memberitakan wafatnya sang diktator itu.

Kalau bicara dengan mereka, melalui email atau kadang-kadang bertemu langsung. Seperti ada benang merah di antara kami. Meski kami sama memakluminya. Tak ada diantara kami yang menganggap Soeharto pahlawan besar. Dia hanyalah bekas penguasa yang 32 tahun mengatur negara sekehendak hatinya. “We ever experienced live under the same Soeharto. Just let it be our memories,” kata teman-teman.

Keluar dari kamar, saya menemukan kartu Halo saya penuh dengan miss-called dan pesan pendek. Seorang redaktur senior Harian Media Indonesia mengirimkan pesan singkat, “HMS wafat.” SMS itu tidak saya balas.

Adik perempuan saya yang tengah dalam perjalanan Bandung - Jakarta juga tak lupa mengirimkan pesan, “Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, Pak Harto wafat.”

Adik saya tentu tahu pasti bagaimana pandangan saya mengenai tokoh yang satu ini. Tetapi bagi adik saya - juga isteri saya - para perempuan yang selalu mencoba menjaga sopan santun dan penghormatan kepada orang yang lebih sepuh, kematian adalah tetap kematian yang harus direnungkan. Ia adalah pengalaman semua umat manusia. Hanya saja beberapa di antara kita belum menjalaninya.

Karena itu perlulah berucap “segala yang berasal dari Allah akan kembali kepada-Nya” setiap kali kita mendengar kabar kematian. Ucapan seperti ini semacam pengingat pada diri sendiri, “siapkah kita menjemput ajal?”

Di benak saya, sungguh Soeharto berada bersama para penindas yang lain. Saya teringat wajah-wajah yang saya kenal, korban penindasan Soeharto, mereka-mereka yang tanpa sebab pasti dituding sebagai bagian dari kelompok yang hendak menghancurkan negara di tahun 1965. Mereka orang-orang yang mendapat cap sebagai anggota PKI, kaki tangan Peking, dan karena itu sudah sepantasnya dihabisi.

Saya juga teringat mereka yang disiksa karena tudingan terlibat ekstrimis Islam, juga tanpa pengadilan, korban pelanggaran hak asasi manusia di Aceh dan Papua, peristiwa Tanjung Priok, insiden berdarah Talangsari, juga para petani miskin di Kedung Ombo dan para petani di Badega, Jawa Barat yang mesti kehilangan tanahnya hanya karena keluarga Cendana menghendaki tanah mereka.

Mereka, yang bila selamat dari hukuman mati tanpa pengadilan ala Orde Baru, menjalani kehidupan setelahnya tanpa hak politik dengan cap ekstrim-kiri yang melekat di punggung mereka dan di kening mereka, serta mereka bawa sampai ke liang lahat.

Bukan hanya mereka, tetapi anak dan cucu mereka juga harus menanggungkan sakit yang sama, dianggap sebagai musuh masyarakat, dibuang dari pergaulan. Tidak punya kesempatan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Sekali “tidak bersih lingkungan” maka selamanya mereka “tidak akan pernah bersih lingkungan.”

Kemanakah orang-orang seperti ini, anak dan cucu mereka melarikan diri? Apakah yang mereka lakukan untuk bisa bertahan di tengah kehidupan yang mengecam mereka tanpa ampun–walau mereka sama sekali tak pernah dibuktikan bersalah dalam pengadilan?

Saya mengenal beberapa keluarga–banyak keluarga–yang mengalami penindasan seperti ini. Anak-anak dan cucu mereka terpaksa hidup melata. Generasi kedua dan ketiga memilih bekerja serampangan. Sebagian dari mereka masuk ke kota dan jadi bromocorah. Sebagian lainnya memilih masuk hutan, diperalat para cukong pemegang HPH, dan juga pencuri-perampok hutan–yang kini dilembutkan istilahnya dengan kata pembalak.

Merekalah bibit kemiskinan generasi pertama di era Orde Baru. Kemiskinan yang diciptakan melalui proses politik secara massif. Pemiskinan dan penindasan yang tidak tertahankan.

Pemiskinan yang tentu saja ditutupi dengan utang luar negeri dan pemusatan pembangunan negara hanya di pulau Jawa dan Jakarta saja.

Setelah Soeharto turun dari kekuasaannya tahun 1998 lalu, orang-orang ini (sebagian dari mereka sudah lebih meninggal dunia), berikut anak dan cucunya, pun tak memperoleh hak mereka yang direnggut paksa oleh Orde Baru. Generasi keempat, atau cicit mereka, kini tetap hidup dengan cap yang sama.

Kematian, sungguh akan menjadi kenyataan bagi semua yang hidup di muka bumi ini. Sambil menghidupkan kendaraan saya menuju kantor saya di Rawamangun, sayapun bertanya : Soeharto wafat, so what gitu loh?

Tidak ada komentar: