Minggu, Januari 27, 2008

Soeharto Wafat, so what gitu loh ....


SAYA tengah menonton film Robin William, Man of The Year, sebuah film satire politik yang sungguh memikat ketika anak perempuan tetangga sebelah menyerbu masuk ke ruang keluarga saya. "Oom, di TV ada berita Pak Harto ..." katanya, bingung menyaksikan saya malah asyik-asyik saja menonton saluran TV kabel HBO. Akting Robin di film itu, pelawak yang terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat memang memikat.

Isteri dan pembantu saya yang tengah mengobrol di ruang dalam dekat dapur minta saya memindah channel sejenak. Setengah menggerutu, karena harus meninggalkan alur cerita film asyik itu sayapun menurutinya. Di SCTV tampak tampil penyiar jelita berambut pendek yang kerap salah saat memberikan reportase di RSPP. Kamera bergerak menyoroti barisan polisi yang menjaga ketat hampir semua sudut rumah sakit.

Tak lama kemudian tampil puteri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Indra Rukmana. Berkerudung hitam, matanya sembab terbata-bata menyampaikan bahwa bapaknya sudah meninggal dunia. "Hmmm, akhirnya meninggal juga Pak Tua itu," batinku seraya memijit SMS untuk kukirimkan ke Nirwan Arsuka, Lutfi Yazid, Janoe Arijanto dan Nurhidayat Agam, kawan-kawan segenerasiku dulu saat menjadi aktivis mahasiswa.

Dan tak lama kemudian, HP saya berbunyi lirih. Sebuah SMS dari seorang teman di Jakarta. “Barusan saja Pak Harto meninggal dunia, jam 13.10. Allahummagfirlah.” Menyusul SMS lainnya dengan isi yang kurang lebih sama.

Saya berdiri, meninggalkan ruang keluarga untuk pergi ke kamar. Bersiap berangkat kerja ke kantor redaksi Jurnal Nasional di Rawamangun. Sambil berganti baju, saya merenungkan berita apa yang kira-kira harus saya siapkan untuk besok. Dalam benak saya, rubrik yudikatif yang saya asuh tentu saja akan tetap memuat persoalan hukum Soeharto yang belum selesai. Kasus perdatanya masih bergulir di PN Jakarta Selatan.


Segera saya hubungi Okky, wartawati desk yudikatif yang sedang ditugaskan ke Nusa Dua Bali untuk membuat beberapa berita yang berkaitan dengan soal pengembalian asset harta hasil korupsi. Okky Puspa Madasari, wartawati muda alumni UGM ini tengah meliput KTT PBB Anti Korupsi di Nusa Dua sejak 24 Januari lalu. "Tulis soal penyitaan aset yang berkaitan dengan Soeharto ya," tulisku pada SMS yang kukirim padanya.

Sempat terlintas di benak saya untuk menyampaikan kabar kematian Soeharto kepada beberapa teman lain. Terutama yang seusia dengan saya. Dan mereka yang sedikit banyak, saya percaya, memiliki pengalaman yang sama seperti saya di zaman Orde Baru, namun saya urungkan. Biarlah teman-teman itu mengetahui dari televisi dan radio yang begitu gencar memberitakan wafatnya sang diktator itu.

Kalau bicara dengan mereka, melalui email atau kadang-kadang bertemu langsung. Seperti ada benang merah di antara kami. Meski kami sama memakluminya. Tak ada diantara kami yang menganggap Soeharto pahlawan besar. Dia hanyalah bekas penguasa yang 32 tahun mengatur negara sekehendak hatinya. “We ever experienced live under the same Soeharto. Just let it be our memories,” kata teman-teman.

Keluar dari kamar, saya menemukan kartu Halo saya penuh dengan miss-called dan pesan pendek. Seorang redaktur senior Harian Media Indonesia mengirimkan pesan singkat, “HMS wafat.” SMS itu tidak saya balas.

Adik perempuan saya yang tengah dalam perjalanan Bandung - Jakarta juga tak lupa mengirimkan pesan, “Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, Pak Harto wafat.”

Adik saya tentu tahu pasti bagaimana pandangan saya mengenai tokoh yang satu ini. Tetapi bagi adik saya - juga isteri saya - para perempuan yang selalu mencoba menjaga sopan santun dan penghormatan kepada orang yang lebih sepuh, kematian adalah tetap kematian yang harus direnungkan. Ia adalah pengalaman semua umat manusia. Hanya saja beberapa di antara kita belum menjalaninya.

Karena itu perlulah berucap “segala yang berasal dari Allah akan kembali kepada-Nya” setiap kali kita mendengar kabar kematian. Ucapan seperti ini semacam pengingat pada diri sendiri, “siapkah kita menjemput ajal?”

Di benak saya, sungguh Soeharto berada bersama para penindas yang lain. Saya teringat wajah-wajah yang saya kenal, korban penindasan Soeharto, mereka-mereka yang tanpa sebab pasti dituding sebagai bagian dari kelompok yang hendak menghancurkan negara di tahun 1965. Mereka orang-orang yang mendapat cap sebagai anggota PKI, kaki tangan Peking, dan karena itu sudah sepantasnya dihabisi.

Saya juga teringat mereka yang disiksa karena tudingan terlibat ekstrimis Islam, juga tanpa pengadilan, korban pelanggaran hak asasi manusia di Aceh dan Papua, peristiwa Tanjung Priok, insiden berdarah Talangsari, juga para petani miskin di Kedung Ombo dan para petani di Badega, Jawa Barat yang mesti kehilangan tanahnya hanya karena keluarga Cendana menghendaki tanah mereka.

Mereka, yang bila selamat dari hukuman mati tanpa pengadilan ala Orde Baru, menjalani kehidupan setelahnya tanpa hak politik dengan cap ekstrim-kiri yang melekat di punggung mereka dan di kening mereka, serta mereka bawa sampai ke liang lahat.

Bukan hanya mereka, tetapi anak dan cucu mereka juga harus menanggungkan sakit yang sama, dianggap sebagai musuh masyarakat, dibuang dari pergaulan. Tidak punya kesempatan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Sekali “tidak bersih lingkungan” maka selamanya mereka “tidak akan pernah bersih lingkungan.”

Kemanakah orang-orang seperti ini, anak dan cucu mereka melarikan diri? Apakah yang mereka lakukan untuk bisa bertahan di tengah kehidupan yang mengecam mereka tanpa ampun–walau mereka sama sekali tak pernah dibuktikan bersalah dalam pengadilan?

Saya mengenal beberapa keluarga–banyak keluarga–yang mengalami penindasan seperti ini. Anak-anak dan cucu mereka terpaksa hidup melata. Generasi kedua dan ketiga memilih bekerja serampangan. Sebagian dari mereka masuk ke kota dan jadi bromocorah. Sebagian lainnya memilih masuk hutan, diperalat para cukong pemegang HPH, dan juga pencuri-perampok hutan–yang kini dilembutkan istilahnya dengan kata pembalak.

Merekalah bibit kemiskinan generasi pertama di era Orde Baru. Kemiskinan yang diciptakan melalui proses politik secara massif. Pemiskinan dan penindasan yang tidak tertahankan.

Pemiskinan yang tentu saja ditutupi dengan utang luar negeri dan pemusatan pembangunan negara hanya di pulau Jawa dan Jakarta saja.

Setelah Soeharto turun dari kekuasaannya tahun 1998 lalu, orang-orang ini (sebagian dari mereka sudah lebih meninggal dunia), berikut anak dan cucunya, pun tak memperoleh hak mereka yang direnggut paksa oleh Orde Baru. Generasi keempat, atau cicit mereka, kini tetap hidup dengan cap yang sama.

Kematian, sungguh akan menjadi kenyataan bagi semua yang hidup di muka bumi ini. Sambil menghidupkan kendaraan saya menuju kantor saya di Rawamangun, sayapun bertanya : Soeharto wafat, so what gitu loh?

Rabu, Januari 23, 2008

Ayah Mertuaku Wafat

Ya, Ayah mertuaku akhirnya wafat.
Usianya 69 tahun.

Saat isteriku, Yundri menelponku malam itu, aku tengah menyelesaikan tugas-tugas terakhirku hari itu di kantor. Arloji di pergelangan tanganku menunjuk pukul 22:15 WIB, hari Minggu, 20 Januari 2008.

Yundri mengabarkan satu hal : ayahnda sudah tiada, kira-kira lima menit yang lalu. Ayah mertuaku, Erlan Dasuki meninggal dunia di pangkuan isteriku, puteri ketiganya pada pukul 22:10 WIB setelah berjuang keras melawan penyakit kanker hati yang dideritanya sejak lama. Beliau meninggal dalam perawatan di RS Hasan Sadikin, Bandung.

Hari itu aku memang masuk kerja dalam kondisi terlambat. Bosku, Wahyudi Marhaen dan Sekretaris Redaksi, Mbak Atik sudah ku SMS siang harinya bahwa aku bakal masuk terlambat. Karena mesti pergi ke Bandung mengantarkan anak-anakku menengok kakeknya yang sedang dirawat di Bandung.

Untunglah mereka bertemu dengan kakeknya pada saat-saat terakhir.

Orang yang menikahkan aku dengan isteriku pada 1 Oktober 1994 yang lalu ini, akhirnya harus meninggalkan dunia yang fana ini.

Buatku sendiri, Erlan Dasuki adalah orang tua yang patut dikagumi. Dia sempat kuliah di jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Sospol UGM pada tahun 1960-an. Sayangnya beliau tak menyelesaikan kuliahnya dan memilih bekerja di dunia birokrasi di Bandung, Jawa Barat. Cuma, bakatnya yang tak bisa diam dan gelisah dengan situasi di sekitarnya membuatnya tidak betah sebagai orang yang meniti karir di birokrasi.

Diapun menengok keluar, bergaul dengan berbagai pihak. Dia berkawan akrab dengan Marzuki Darusman (belakangan sempat menjadi Jaksa Agung di jaman pemerintahan Abdurrahman Wahid), dan Nugraha Besoes (saat ini Sekjen PSSI). Juga dengan Paskah Suzetta (kini Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas).

Erlan dikenal sebagai pendiri KNPI Jawa Barat bersama tokoh-tokoh yang aku sebutkan tadi. Saat itu dia menjabat posisi penting yakni sebagai Sekretaris Pengurus Daerah KNPI Jawa Barat. Ketuanya dijabat oleh Nugroho Besoes.

Jabatan birokrasinya di lingkungan Polri, sebagai PNS Polri nyaris terbengkalai bertahun-tahun karena semasa mudanya ini, Erlan aktif di dunia politik. Dia juga sedikit-sedikit mencoba bisnis kecil-kecilan. Sang isteri, yang kemudian menjadi ibu mertuaku, Nanik Sularni lebih tekun. Sama-sama di PNS Polri, ibu mertuaku terus meniti karir di birokrasi.

Terakhir, sebelum pensiun pada tahun 2002, ibuku adalah Kepala Tata Usaha Dinas Kepolisian Wilayah Priangan. Jabatan tertinggi di lingkungan Polri yang pernah dipegang orang sipil. Jabatan Kataud itu setara dengan Kolonel.

Semasa hidupnya dan saat masih sehat sebelum agak sakit-sakitan sejak setahun terakhir, Erlan Dasuki sering berdiskusi dengan aku, sang menantunya. Bukan hanya aku menantu lelakinya, tetapi kami berdua cocok dalam berdebat. Sama-sama keras kepala.

Aku mengagumi kekerasan pendirian orang tua ini, dan kritiknya yang keras pada pemerintahan negeri ini. Mendiang Erlan Dasuki memang pengagum negara-negara maju, dan karena itu dia sangat bangga pada Yuliadi Erdani, putera keduanya yang juga kakak iparku yang bisa menempuh pendidikan lanjutan di negara maju yaitu Swiss dan Jerman.

Yudi, begitulah kakak isteriku ini sekarang mengajar sebagai dosen/instruktur tetap di Politeknik Manufaktur ITB. Doktor pertama lulusan Swiss dan Jerman yang dimiliki oleh institusi pendidikan tinggi yang dulunya bernama Poltek Mekanik Swiss itu.

Mendiang Erlan Dasuki juga dikenang oleh sejumlah koleganya sebagai orang yang tak suka dengan penyimpangan dan penyakit dunia birokrasi yaitu korupsi. Itu pula sebabnya, dia hidup begitu sederhana sementara teman-temannya sesama bekas aktivis di KNPI banyak yang kemudian menjadi Bupati atau Walikota.

Menjadi teman-teman orang penting juga tidak membuat Erlan terpikat. "Saya ini bukan orang yang senang meminta pada teman, meski banyak tawaran untuk saya. Tapi kalau saya tak mampu, saya tak bersedia memenuhinya." Begitulah suatu ketika dia berkata kepadaku, anak menantunya.

Kini ayah mertuaku telah tiada. Kepergiannya diantar banyak keluarga, handai tolan dan sahabat masa lalu. Nugroho Besoes mengirimkan sebuah pesan singkat (SMS) melalui HP ibu mertuaku. Dan aku sendiri - serta isteriku - mendapatkan ucapan SMS dari berbagai teman yang mengetahui peristiwa ini secara bertubi-tubi.

Dia wafat meninggalkan seorang isteri, empat anak (dua perempuan dan dua lelaki) dan delapan cucu (tiga laki dan lima perempuan). "Saya sudah lega sekarang. Anak-anak sudah berkeluarga semua. Sudah punya pekerjaan masing-masing. Saya bisa tenang meninggalkan dunia yang fana ini," begitu kata ayahnda, seakan bercanda pada suatu hari di tahun 2004. Saat itu ayahnda masih sehat-sehatnya dan berolahraga dengan melakukan jogging rutin.

Tetapi di tahun 2008 ini, rupanya Tuhan berkehendak. Jasad Erlan Dasuki boleh terkubur di pemakaman keluarga di Ciamis. Tetapi kenangannya akan terus hidup abadi sepanjang hayatku nanti. Semoga ayahnda mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.

Sabtu, Januari 19, 2008

Ayahku


Aku ingin bercerita tentang Ayahku. Sekaligus Keluargaku.

Ini salah satu cerita tentang keluarga dan orang-orang yang dekat denganku.

Seperti semua anak di dunia yang mencintai orang tuanya, aku juga mencintai dan menghormati ayah kandungku. Aku mengagumi ayahku, orang besar di tengah masyarakat kecil, begitu aku menjulukinya. Namanya Zainal Abidinsjah.

Pria kelahiran Tarakan, 7 September 1943 ini menghabiskan usianya dengan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Aku mengenalnya sebagai aktivis organisasi sejak masa mudanya. Awalnya sebagai pengurus Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), organisasi pelajar underbouw PNI di Kota Tarakan, lantas saat mendapat tugas belajar di Universitas Mulawarman Samarinda, dia aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kaltim.

Ayahku juga aktif berbisnis, untuk menambah uang sakunya saat kuliah di Samarinda. Kebetulan, sang pacar yang kemudian dinikahinya dan menjadi ibuku bekerja sebagai staf di Dolog (Depot Logistik, Samarinda. Jadilah dia bekerja sebagai juragan beras sekaligus aktivis mahasiswa.

Ketika lulus Sarjana Muda dengan gelar B.Sc, Zainal memilih kembali ke kampung halamannya. Bisnis berasnya pun berakhir. Diapun mulai bekerja sebagai PNS di Perusahaan Daerah (Perusda) milik pemerintah Kabupaten Bulungan di Kecamatan Tarakan.

Aku ingat sekali kantor ayahku ini, karena aku bersekolah di TK yang letaknya bersebelahan dengan kantornya. Namanya TK Kartini. Ibuku juga sudah berhenti sebagai pegawai Dolog dan menjadi pegawai honorer di kantor yang sama. Keadaan itu berjalan sampai aku mempunya tiga orang adik, yaitu Tuty, Nanang dan Upik.

Pada tahun 1974, ayahku ditarik untuk bekerja di bagian perek0nomian Bupati Bulungan. Ini mengharuskan semua keluarga kami pindah ke ibukota Kabupaten Bulungan yang letaknya di pedalaman Pulau Kalimantan. Kamipun naik kapal menuju Tanjung Selor, demikian nama kota kecil berpenduduk lima ribu jiwa itu. Waktu itu sudah tahun 1974. Usiaku masih lima tahun.

Sebagai pegawai negeri, kami tinggal di sebuah rumah dinas di Tanjung Selor. Ayahku bekerja naik sepeda onthel di kantor Bupati yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Jaraknya mungkin sekitar 2 kilometer. Tanjung Selor memang kota yang mungil. Bila menggunakan sepeda mini, aku hanya memerlukan setengah jam saja untuk mengelilingi seluruh bagian kota itu.

Kami tinggal dekat Pasar Baru, sebuah pasar Inpres yang didirikan di bantaran Sungai Kayan. Setiap pagi, ibuku membuat kue-kue terutama kue donat dan untu-untu yang dititipkan pada pedagang di pasar tersebut. Hasilnya bisa untuk menambah biaya rumah tangga.

Berbeda dengan di Tarakan, ibuku kini memilih menjadi ibu rumah tangga dan tidak lagi bekerja sebagai tenaga honorer. Repot mengurus anak-anaknya. Ada empat mulut mungil yang mesti disuap, dan tidak ada tenaga pembantu di rumah kami.

Ayahku kemudian pindah kantor dari bagian perekonomian ke Kantor Dinas Pajak. Dia menjadi Kepala Tata Usahanya. Bos ayahku di Kantor Dinas Pajak namanya Abdul Wahab. Karena usianya yang lebih tua dari ayahku, maka aku memanggilnya julak. Kata lain dari Pakde.

Ayahku orangnya tegas, lurus dan tidak pernah neka-neko menjadi pegawai negeri. Bakat aktivisnya disalurkannya dengan menjadi Ketua AMPI, kemudian Ketua KNPI Kabupaten Bulungan. Dia aktif di Golkar. Ibuku juga ikut aktif di berbagai organisasi perempuan. Sebagai PNS, tentu saja Dharma Wanita adalah tempat ibuku aktif.

Karir ayahku terus menanjak, sampai akhirnya tawaran beasiswa tugas belajar datang dari Pemda Kabupaten Bulungan. Beasiswa Sarjana. Ayahku menerimanya, meski untuk itu dia harus meninggalkan pekerjaan dan organisasi yang sudah dibangunnya dari bawah. Kamipun sebagai anggota keluarga diajaknya untuk mengikuti masa tugas belajarnya.

Ayahku memilih Universitas Negeri Jenderal Soedirman di Purwokerto sebagai tempat dia tugas belajar. Saat itu aku sudah duduk di kelas IV SD, catur wulan pertama. Tahun kepindahan kami ke Purwokerto itu adalah bulan Maret 1978. Akupun pindah sekolah dari SD Negeri 02 Tanjung Selor ke SD Negeri Purwokerto Kulon III di Purwokerto.

Kami tinggal di Tipar Baru, Penisihan Purwokerto. Waktu itu adikku sudah bertambah satu orang yaitu Dodi, yang lahir tahun 1977 di Tanjung Selor. Ayahku kuliah diFakultas Ekonomi jurusan Manajemen, Universitas Jenderal Soedirman.

Kenapa memilih Purwokerto ? Alasannya sederhana. Ini untuk mendekatkan kami, anak-anaknya pada keluarga ibuku di Purwokerto. Ibuku, Musliah memang kelahiran Purbalingga. Orang Banyumas. Ibuku anak tunggal nenekku, karena itu kami tak mempunyai Oom atau Tante dari pihak ibu. Kalaupun ada, mereka adalah sepupu ibuku, anak-anak saudara nenekku. Sementara nenekku, Darsiyah menetap di Kota Tarakan. Beliau sudah berpisah dari kakek kandungku, dan menikah lagi dengan Hamsi, pria asal Makassar.

Hanya dua tahun kami di Purwokerto, karena masa tugas belajar ayahku habis tahun 1980 bulan Maret. Akupun pindah sekolah lagi ke Tanjung Selor, langsung duduk di kelas VI SD. Ayahku langsung bekerja di lingkungan kantornya yang lama, Dinas Pajak yang sekarang berubah nama menjadi Dinas Pendapatan Daerah. Tentu dengan gelar akademis yang baru yakni Drs. Adikku yang bungsu, Imam lahir di Purwokerto pada tahun 1979.

Kelas VI SD, kelas 1 - 3 SMP akupun hidup bersama keluarga intiku ini. Ayahku meniti karier dengan mantap, dan perlahan dia menanamkan pengaruh yang besar di masyarakat. Namanya dikenal luas, lagipula dia aktif pula di Golkar, organisasi politik yang mewadahi aspirasi para Pegawai Negeri Sipil. Dua partai politik lainnya, PPP dan PDI cuma jadi penggembira saja setiap Pemilu. Tetapi ayahku tak pernah mau menjadi calon legislatif. Dia memilih hanya menjadi vote getter saja, pencari suara atau juru kampanye untuk Golkar.

Aku berpisah dari keluarga saat lulus SMP tahun 1984. Dan aku ingin melanjutkan masa sekolahku berikutnya di Purwokerto, kota di kaki Gunung Slamet ini benar-benar telah memikatku. Ayahku lah yang mengantarku untuk tinggal bersama Mbah Musa - begitu aku memanggilnya. Mohammad Musa adalah adik kandung Darsiyah, nenekku. Pria yang memilih karir sebagai dosen ini adalah Dekan di Fakultas Ekonomi Unsoed, dan terakhir malah menjadi Pembantu Rektor di kampus tersebut.

Tiga tahun lamanya aku tinggal di Purwokerto. Aku tinggal di lantai dua rumah Mbah Musa, bertetangga dengan Mohammmad Sobri, yang statusnya adalah Pamanku, tetapi karena usianya yang masih muda kupanggil mas Sobri saja. Dia anak Mbah Dawet, salah satu adik Mbahku yang tinggal di Babakan, Purbalingga. Beberapa kali ayahku dinas ke Jawa, dan menyempatkan mampir menengokku di perantauan.

Kudengar karir ayahku terus menanjak. Lantas dia kemudian dipercaya sebagai Kepala Dinas Pendapatan Daerah, jabatan prestisius yang didambakan banyak pejabat karir di Kabupaten Bulungan. Cukup lama beliau memegang jabatan tersebut. Delapan tahun ! Dan selama ini pula aku bertambah mengaguminya. Hidupnya tetap bersih dan lurus. Apalagi sejak kuliah di Purwokerto, dia banyak mempelajari buku-buku agama secara otodidak.

Terakhir ayahku menjadi menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bulungan. Itulah karier tertinggi yang bisa dicapainya di dunia birokrasi. Karena setelah itu dia masuk kotak akibat bertengkar dengan orang nomor satu Bulungan yaitu Bupati, sang Kepala Daerah. Ayahku memang dikenal keras mempertahankan prinsipnya, sehingga tak segan-segan dia adu argumen bahkan dengan atasannya sekalipun.

Saat awal-awal karirnya sebagai PNS, diapun sempat membanting kursi saat menegur perilaku atasannya, Abdul Wahab yang dianggapnya berbuat menyimpang dalam penggunaan uang negara. Dia juga pernah berdebat keras dengan Sekwilda Bulungan, almarhum Arman Djuanun, juga dengan sejumlah pejabat daerah. Dua Bupati Bulungan, masing-masing Yusuf Dali dan almarhum R.A Bessing pernah merasakan "teguran" keras dari ayahku ini. Dan aku bangga karenanya. "Dalam soal kebenaran kita tak perlu takut Nak. Allah bersama kita," ujarnya selalu.

Itulah Ayahku. Sebelum pensiun, ayahku masih sempat menjabat sebagai Kepala BP-7 dan kemudian Direktur Perusda sebelum akhirnya gelombang reformasi ikut juga melanda Kabupaten Bulungan. Ayahku akhirnya terjun ke dunia politik sebagai pensiunan dan terpilih sebagai Ketua Partai Golkar Kabupaten Bulungan. Dia kemudian menjadi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bulungan, sedangkan Ketuanya adalah mantan Sekwilda Anang Dahlan Djauhari.

Saat pemilihan Bupati berlangsung, ayahku mengalah dan memberikan tempat buat Anang Dahlan Djauhari menjadi orang nomor satu di Kabupaten Bulungan sekaligus pemimpin sipil pertama di kabupaten ini. Saat itu Bulungan sudah dimekarkan menjadi empat wilayah otonom yaitu Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan.

Setelah Anang Dahlan Djauhari menjadi Bupati, ayahku menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bulungan. Sifat kerasnya dan "pemberontaknya" rupanya tak pernah surut. Beberapa kali Bupati Anang terlibat perselisihan pendapat dengan ayahku. Ini membuat Anang kurang senang, dan pada Pemilu 2004, Partai Golkar yang dipimpin ayahku dikerjai oleh sang Bupati - yang sebetulnya juga kader Golkar.

Tujuannya satu yaitu agar ayahku gagal menjadi calon Bupati pada periode berikutnya. Bersamaan dengan itu kesehatan ayahku merosot. Penglihatannya mengalami gangguan yang serius dan sering sakit. Karena itu perlahan-lahan dia memutuskan untuk mundur dari kegiatan politik. Dia menyerahkan jabatan Ketua Golkar kepada salah satu kadernya, Abdul Jalil Fatah. Pada pemilihan Ketua DPRD dia juga tersingkir, dan hanya terpilih sebagai Wakil Ketua. Ketua DPRD dijabat oleh Oom Darwin, dari PPP.

Itulah sedikit sejarah keluargaku, dengan pemain utama sang kepala keluarga, Ayahku. Hingga kini, ayahku masih tinggal di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan. Beliau tak lagi aktif di dunia politik, namun lebih banyak mendekatkan diri dengan aktivitas keagamaan. Apalagi memang usianya tahun ini mencapai 65 tahun. "Sudah bonus dua tahun Nak. Usia Rasulullah saja hanya 63 tahun," katanya suatu ketika.

Hebatnya, meski separuh lebih usianya dihabiskan sebagai PNS, tak seorangpun anaknya yang mengikuti jejaknya sebagai PNS. Putera sulungnya aku bekerja sebagai wartawan, puteri keduanya menjadi ahli farmasi, putera ketiganya Nanang menjadi ahli komputer, puteri keempatnya seorang guru, putera kelimanya Dodi menjadi dosen dan yang terakhir si bungsu yang lahir di Purwokerto menjadi pengusaha cum politikus.

Menulis Lagi

Akhirnya bisa juga kugerakkan tanganku kembali mengtuk tuts keyboard untuk menulis kembali di blog sederhanaku ini. Entah kenapa, setelah semangat sekali saat memulai membuat blog ini beberapa bulan lalu, karena tak punya ide untuk ditulis akhirnya berlarut-larut menjadi kemalasan yang menghanyutkan.

Aku kira, ini tidak boleh lagi terulang. Salah satu cara mengatasinya mungkin mengurangi keinginanku untuk selalu perfeksionis dalam menulis. Meski kusadari, hasilnya juga sama sekali tidak perfek.

Jadi sejak 18 Januari 2008, aku akan mulai menulis esai pendek-pendek saja. Yang penting menulis, melawan kemalasan terstruktur yang ada di benakku. Pembaca, teman-temanku yang baik, mungkin kecewa dengan keputusanku ini. Maafkanlah diriku ya ?

Hanya ini yang bisa kuberikan kepada kalian. Lebih baik pendek-pendek dan tidak sempurna, namun bisa tetap up to date, daripada diterlantarkan seperti pernah terjadi beberapa bulan terakhir ini.

Aku menulis tentang apa saja mulai sekarang. Dan pendek-pendek. Aku usahakan setiap hari, meski tak menjamin bahwa suatu ketika nanti penyakit malas menulis itu kambuh kembali. Doakan aku konsisten ya ?

Ulang Tahun

Hari ini, 18 Januari 2008 aku ulang tahun ....

Waw, sudah tua. Sudah 39 tahun usiaku sekarang. Rasanya belum cukup banyak manfaat diriku hidup di dunia ini. Tetapi aku bertekad untuk tetap menjadi orang baik, setidaknya menjadi orang baik buat anak-anakku.

Sulit sekali menjadi suami yang baik buat isteriku. Juga ayah yang baik bagi kedua puteriku tercinta. Rasanya aku belum menjadi orang yang baik buat mereka. Aku sering bermuka masam kalau bicara. Suka membentak kalau menyuruh anak-anakku mengerjakan kewajiban mereka. Dan hal-hal buruk lainnya.

Jauh sekali dari teladan Muhammad Rasulullah terhadap isteri-isteri, anak-anak dan cucu-cucunya.

Tidak ada perayaan apapun di hari ulang tahunku ini. Ada peluang bisnis terbuka sebentar. Tapi karena memang belum rejekinya ya kabur lagi. Ya sudahlah. Menjelang tengah malam aku bawakan dua porsi besar sate ayam dan martabak kegemaran kami semua. Dan kami sekeluargapun berpesta merayakan Hari Ulang tahun aku, sang kepala keluarga.

Ada SMS masuk dari ibunda tercinta mengucapkan Selamat Ultah.

Isinya : "Selamat ulang tahun yg ke 39 (dua sudah lho). Semoga sehat selalu dan selalu harmonis dalam membina rumah tangga & keluarga yang penting selalu sukses dalam meraih cita-cita dan bertambah dewasalah pola pikir dalam kehidupan, amiin2 ya rabbal alamin.

Terima kasih Ibunda.