Sabtu, Maret 22, 2008

Pentas Seni Maulid


Peringatan Maulid Nabi Muhammad dirayakan dengan berbagai cara dan ragam budaya, dari mulai pentas tari marawis di Betawi, gembyung di Cirebon, hingga prosesi sekatenan di Yogya dan Solo.

Iwan Samariansyah

iwansams@jurnas.com

Bulan Maret ini, bisa disebut dipenuhi hari libur keagamaan. Pada Jum’at, 7 Maret lalu, para penganut Hindu merayakan Hari Raya Nyepi yang bertepatan dengan Tahun Baru Saka 1930. Pada 20 Maret, bertepatan dengan 12 Rabi’ul awwal 1429 Hijriyah, adalah Maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW, dan sehari kemudian, adalah hari raya Paskah atau wafatnya Isa Al Masih.


Saya muslim, jadi lebih cocok menengok tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad. Di Indonesia, peringatan maulid sudah mengalami akulturasi dengan bduaya lokal. Paling tidak buat saya yang pernah lama tinggal Yogyakarta, peringatan Maulid melalui acara sekatenan, bisa dimaknai juga sebagai aktivitas seni dan kebudayaan.


Harus diakui, Rasulullah SAW semasa hidupnya sama sekali tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Juga para sahabat, dan beberapa generasi sesudahnya. Jadi kapan perayaan Maulid itu dimulai, situs-situs Islam yang saya telusuri di internet menyebutkan dua versi.


Versi pertama, figur yang memprakarsai perayaan Maulid adalah Shalahuddin Al-Ayyubi (1138-1193
), seorang jenderal muslim Kurdi dari daerah Tikrit (daerah di utara Irak saat ini). Ia dikenal sebagai pendiri Dinasti Ayyubiyah yang pernah berkuasa di Mesir, Suriah dan sebagian Irak. Shalahuddin terkenal di dunia Islam maupun Kristen karena kepemimpinannya yang bijaksana, dan wataknya yang ksatria dan pengampun.


Versi kedua, tokoh yang memeloporinya adalah Sultan Muhammad Qutuz (1259-1260), penguasa Kesultanan Mamalik (Mamluk) di Mesir. Qutuz adalah Sultan yang sukses menahan dan menghancurkan gelombang serangan tentara Mongol di Gaza, daerah Palestina saat ini. Keberhasilan Qutuz itu menjadi titik balik kekuatan Mongol yang sempat meluluhlantakkan daerah kekuasaan Islam saat itu.


Dari situs-situs Islam yang saya temui, terdapat kesepakatan, momentum hari kelahiran Rasulullah SAW pada setiap 12 Rabiul Awwal dipakai untuk menggelorakan semangat kaum muslimin. Saat peryaan itu, dibacakanlah syair perjuangan Rasulullah dan karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran Muhammad Rasulullah.


Di antara karya paling terkenal adalah buah tangan Syeikh Al-Barzanji yang menampilkan riwayat kelahiran Nabi dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Saking populernya, sehingga karya seni Barzanji ini, hingga hari ini masih sering kita dengar dibacakan dalam seremoni peringatan maulid nabi. Jadilah sejak itu ada tradisi memperingati hari kelahiran nabi SAW di banyak negeri Islam, termasuk juga di Indonesia. Sebagai misal, Rendra bersama grup teaternya pernah mementaskan Kasidah Barzanji hingga dua kali. Waktu pertama kali mementaskannya, sekira tahun 70-an, Rendra masih menganut Katolik.


Bentuk acara peringatan Maulid, makin berkembang dan bervariasi. Di banyak tempat di Indonesia, tradisi Mauludan adalah lomba bersyair, berpantun, dan bahkan melukis kaligrafi Islam. Di kalangan masyarakat Betawi, para kyai dulunya hanya membacakan syair dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun belakangan ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada dalam perayaan maulid. Acara biasanya didahului dengan tarian marawis.


Saya pernah datang ke sebuah perayaan Maulid di kalangan kaum Betawi, di kawasan Condet, Jakarta Timur, beberapa tahun berselang. Saat itu, saya benar-benar menikmati sebuah tradisi maulid yang disebut dengan seni marawis. Bentuknya berupa tarian religius dengan iringan musik yang khas.


Disebut Marawis karena tariannya menggunakan alat musik khas yang disebut marawis, yang mirip kendang. Diameternya sekitar 20 Cm dan tinggi 19 Cm. Selain menggunakan marawis, alat musik tetabuhan lainnya yang digunakan adalah hajir atau gendang besar, dumbuk atau sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, tamborin dan ditambah lagi dua potong kayu bulat berdiameter 10 Cm.


Dulu, saat para Wali Songo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, alat musik marawis digunakan sebagai alat bantu syiar agama. Marawis yang ada di setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan marawis itu terletak pada cara memukul dan tari-tariannya. Kalau marawis khas Betawi yang menari dan memainkan marawis hanya pria. Tariannya pun khas memakai gerakan-gerakan silat.


Selain di Betawi, seni marawis juga ditemukan di Palembang, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan bahkan hingga Gorontalo.


Di Cirebon, salah satu peninggalan budaya Islam yang kerap digelar adalah Seni Gembyung. Seni ini merupakan pengembangan dari kesenian Terbangan yang hidup di lingkungan pesantren.
Gembyung adalah ensambel musik yang terdiri dari beberapa waditra terbang dengan terompet berbentuk khas. Namun, beberapa grup kesenian Gembyung di Cirebon ada pula yang tidak menggunakan waditra terompet. Pada perkembangan lebih lanjut, Gembyung tidak hanya sebagai seni auditif, tapi sudah menjadi seni pertunjukan yang melibatkan unsur seni lain seperti seni tari.


Di beberapa daerah wilayah Cirebon, kesenian Gembyung telah dipengaruhi oleh seni tarling dan jaipongan. Hal ini tampak dari lagu-lagu Tarling dan tarian Jaipongan yang sering dibawakan pada pertunjukan Gembyung.


Sementara di pusat kebudayaan Jawa, di Jogja dan Solo, tradisi Mauludan digelar dengan pelaksanaan sekatenan yang akar katanya adalah Syahadatain, yakni dua kalimat persaksian untuk mereka yang hendak memeluk. Semasa tujuh tahun tinggal di Jogja, saya selalu tidak melewatkan kesempatan menghadiri acara sekatenan ini.


Upacara sekaten pertama kali diselenggarakan pada 1477 Masehi oleh Raden Fatah dari Kerajaan Demak. Selain untuk memperingati hari kelahiran Muhammad SAW, sekatenan juga digunakan oleh Raja/Sultan untuk berkomunikasi dengan rakyatnya, serta untuk mensyukuri berkah kepada Tuhan. Oleh karena itu sekatenan juga bisa disebut dengan Pesta Rakyat Tanah Jawa. Pasar Malam Sekaten merupakan ajang wisata lokal tahunan yang keberadaannya selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat Yogya dan Solo.


Saya ingat betul, biasanya satu minggu sebelum acara penutupan sekatenan, gamelan kanjeng kyai gunturmadu dan kanjeng kyai nogowilogo dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di puri Sri Manganti. Biasanya ada empat pasukan kraton yang mengawal yakni pasukan wirobrojo, langenastro, mantrijero dan prawirotomo dengan seragam yang berbeda-beda.


Kedua gamelan lantas ditempatkan di bangsal Ponconiti lalu dipindahkan ke halaman Masjid Agung dengan iring-iringan abdi dalem Kraton dan kemudian dibunyikan setiap hari kecuali hari Jum’at.


Pada penutupan upacara Sekatenan, gamelan akan ditarik kembali ke dalam kraton dengan iringan para abdi dalem. Sebagai klimaks dari Sekatenan adalah acara grebeg maulud. Saat itu akan ada empat "gunungan" yang akan dibagikan kepada rakyat yang dipercaya membawa berkah. Keempat gunungan itu adalah Gunungan kakung, Estri, Gepak dan Pawuhan. Acara rebutan gunungan inilah yang menjadi puncak acara Sekatenen ala Jogja dan Solo.


Ada mitos yang dipercaya banyak warga Jogja bahwa barang siapa yang berhasil mendapatkan gunungan tersebut maka keberkahan akan datang ke dirinya. Makanya orang-orang yang melalap berkah sampai rela mengais-ngais sisa dari gunungan yang tidak terambil. Saya sendiri sempat sesekali ikut rebutan gunungan itu dan berhasil mengambil sebutir telur dari atas gunungan.



Dimuat di Tabloid KOKTAIL edisi 026, 21 Maret - 27 Maret 2008

Tidak ada komentar: