Sabtu, Januari 19, 2008

Ayahku


Aku ingin bercerita tentang Ayahku. Sekaligus Keluargaku.

Ini salah satu cerita tentang keluarga dan orang-orang yang dekat denganku.

Seperti semua anak di dunia yang mencintai orang tuanya, aku juga mencintai dan menghormati ayah kandungku. Aku mengagumi ayahku, orang besar di tengah masyarakat kecil, begitu aku menjulukinya. Namanya Zainal Abidinsjah.

Pria kelahiran Tarakan, 7 September 1943 ini menghabiskan usianya dengan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Aku mengenalnya sebagai aktivis organisasi sejak masa mudanya. Awalnya sebagai pengurus Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), organisasi pelajar underbouw PNI di Kota Tarakan, lantas saat mendapat tugas belajar di Universitas Mulawarman Samarinda, dia aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kaltim.

Ayahku juga aktif berbisnis, untuk menambah uang sakunya saat kuliah di Samarinda. Kebetulan, sang pacar yang kemudian dinikahinya dan menjadi ibuku bekerja sebagai staf di Dolog (Depot Logistik, Samarinda. Jadilah dia bekerja sebagai juragan beras sekaligus aktivis mahasiswa.

Ketika lulus Sarjana Muda dengan gelar B.Sc, Zainal memilih kembali ke kampung halamannya. Bisnis berasnya pun berakhir. Diapun mulai bekerja sebagai PNS di Perusahaan Daerah (Perusda) milik pemerintah Kabupaten Bulungan di Kecamatan Tarakan.

Aku ingat sekali kantor ayahku ini, karena aku bersekolah di TK yang letaknya bersebelahan dengan kantornya. Namanya TK Kartini. Ibuku juga sudah berhenti sebagai pegawai Dolog dan menjadi pegawai honorer di kantor yang sama. Keadaan itu berjalan sampai aku mempunya tiga orang adik, yaitu Tuty, Nanang dan Upik.

Pada tahun 1974, ayahku ditarik untuk bekerja di bagian perek0nomian Bupati Bulungan. Ini mengharuskan semua keluarga kami pindah ke ibukota Kabupaten Bulungan yang letaknya di pedalaman Pulau Kalimantan. Kamipun naik kapal menuju Tanjung Selor, demikian nama kota kecil berpenduduk lima ribu jiwa itu. Waktu itu sudah tahun 1974. Usiaku masih lima tahun.

Sebagai pegawai negeri, kami tinggal di sebuah rumah dinas di Tanjung Selor. Ayahku bekerja naik sepeda onthel di kantor Bupati yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Jaraknya mungkin sekitar 2 kilometer. Tanjung Selor memang kota yang mungil. Bila menggunakan sepeda mini, aku hanya memerlukan setengah jam saja untuk mengelilingi seluruh bagian kota itu.

Kami tinggal dekat Pasar Baru, sebuah pasar Inpres yang didirikan di bantaran Sungai Kayan. Setiap pagi, ibuku membuat kue-kue terutama kue donat dan untu-untu yang dititipkan pada pedagang di pasar tersebut. Hasilnya bisa untuk menambah biaya rumah tangga.

Berbeda dengan di Tarakan, ibuku kini memilih menjadi ibu rumah tangga dan tidak lagi bekerja sebagai tenaga honorer. Repot mengurus anak-anaknya. Ada empat mulut mungil yang mesti disuap, dan tidak ada tenaga pembantu di rumah kami.

Ayahku kemudian pindah kantor dari bagian perekonomian ke Kantor Dinas Pajak. Dia menjadi Kepala Tata Usahanya. Bos ayahku di Kantor Dinas Pajak namanya Abdul Wahab. Karena usianya yang lebih tua dari ayahku, maka aku memanggilnya julak. Kata lain dari Pakde.

Ayahku orangnya tegas, lurus dan tidak pernah neka-neko menjadi pegawai negeri. Bakat aktivisnya disalurkannya dengan menjadi Ketua AMPI, kemudian Ketua KNPI Kabupaten Bulungan. Dia aktif di Golkar. Ibuku juga ikut aktif di berbagai organisasi perempuan. Sebagai PNS, tentu saja Dharma Wanita adalah tempat ibuku aktif.

Karir ayahku terus menanjak, sampai akhirnya tawaran beasiswa tugas belajar datang dari Pemda Kabupaten Bulungan. Beasiswa Sarjana. Ayahku menerimanya, meski untuk itu dia harus meninggalkan pekerjaan dan organisasi yang sudah dibangunnya dari bawah. Kamipun sebagai anggota keluarga diajaknya untuk mengikuti masa tugas belajarnya.

Ayahku memilih Universitas Negeri Jenderal Soedirman di Purwokerto sebagai tempat dia tugas belajar. Saat itu aku sudah duduk di kelas IV SD, catur wulan pertama. Tahun kepindahan kami ke Purwokerto itu adalah bulan Maret 1978. Akupun pindah sekolah dari SD Negeri 02 Tanjung Selor ke SD Negeri Purwokerto Kulon III di Purwokerto.

Kami tinggal di Tipar Baru, Penisihan Purwokerto. Waktu itu adikku sudah bertambah satu orang yaitu Dodi, yang lahir tahun 1977 di Tanjung Selor. Ayahku kuliah diFakultas Ekonomi jurusan Manajemen, Universitas Jenderal Soedirman.

Kenapa memilih Purwokerto ? Alasannya sederhana. Ini untuk mendekatkan kami, anak-anaknya pada keluarga ibuku di Purwokerto. Ibuku, Musliah memang kelahiran Purbalingga. Orang Banyumas. Ibuku anak tunggal nenekku, karena itu kami tak mempunyai Oom atau Tante dari pihak ibu. Kalaupun ada, mereka adalah sepupu ibuku, anak-anak saudara nenekku. Sementara nenekku, Darsiyah menetap di Kota Tarakan. Beliau sudah berpisah dari kakek kandungku, dan menikah lagi dengan Hamsi, pria asal Makassar.

Hanya dua tahun kami di Purwokerto, karena masa tugas belajar ayahku habis tahun 1980 bulan Maret. Akupun pindah sekolah lagi ke Tanjung Selor, langsung duduk di kelas VI SD. Ayahku langsung bekerja di lingkungan kantornya yang lama, Dinas Pajak yang sekarang berubah nama menjadi Dinas Pendapatan Daerah. Tentu dengan gelar akademis yang baru yakni Drs. Adikku yang bungsu, Imam lahir di Purwokerto pada tahun 1979.

Kelas VI SD, kelas 1 - 3 SMP akupun hidup bersama keluarga intiku ini. Ayahku meniti karier dengan mantap, dan perlahan dia menanamkan pengaruh yang besar di masyarakat. Namanya dikenal luas, lagipula dia aktif pula di Golkar, organisasi politik yang mewadahi aspirasi para Pegawai Negeri Sipil. Dua partai politik lainnya, PPP dan PDI cuma jadi penggembira saja setiap Pemilu. Tetapi ayahku tak pernah mau menjadi calon legislatif. Dia memilih hanya menjadi vote getter saja, pencari suara atau juru kampanye untuk Golkar.

Aku berpisah dari keluarga saat lulus SMP tahun 1984. Dan aku ingin melanjutkan masa sekolahku berikutnya di Purwokerto, kota di kaki Gunung Slamet ini benar-benar telah memikatku. Ayahku lah yang mengantarku untuk tinggal bersama Mbah Musa - begitu aku memanggilnya. Mohammad Musa adalah adik kandung Darsiyah, nenekku. Pria yang memilih karir sebagai dosen ini adalah Dekan di Fakultas Ekonomi Unsoed, dan terakhir malah menjadi Pembantu Rektor di kampus tersebut.

Tiga tahun lamanya aku tinggal di Purwokerto. Aku tinggal di lantai dua rumah Mbah Musa, bertetangga dengan Mohammmad Sobri, yang statusnya adalah Pamanku, tetapi karena usianya yang masih muda kupanggil mas Sobri saja. Dia anak Mbah Dawet, salah satu adik Mbahku yang tinggal di Babakan, Purbalingga. Beberapa kali ayahku dinas ke Jawa, dan menyempatkan mampir menengokku di perantauan.

Kudengar karir ayahku terus menanjak. Lantas dia kemudian dipercaya sebagai Kepala Dinas Pendapatan Daerah, jabatan prestisius yang didambakan banyak pejabat karir di Kabupaten Bulungan. Cukup lama beliau memegang jabatan tersebut. Delapan tahun ! Dan selama ini pula aku bertambah mengaguminya. Hidupnya tetap bersih dan lurus. Apalagi sejak kuliah di Purwokerto, dia banyak mempelajari buku-buku agama secara otodidak.

Terakhir ayahku menjadi menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bulungan. Itulah karier tertinggi yang bisa dicapainya di dunia birokrasi. Karena setelah itu dia masuk kotak akibat bertengkar dengan orang nomor satu Bulungan yaitu Bupati, sang Kepala Daerah. Ayahku memang dikenal keras mempertahankan prinsipnya, sehingga tak segan-segan dia adu argumen bahkan dengan atasannya sekalipun.

Saat awal-awal karirnya sebagai PNS, diapun sempat membanting kursi saat menegur perilaku atasannya, Abdul Wahab yang dianggapnya berbuat menyimpang dalam penggunaan uang negara. Dia juga pernah berdebat keras dengan Sekwilda Bulungan, almarhum Arman Djuanun, juga dengan sejumlah pejabat daerah. Dua Bupati Bulungan, masing-masing Yusuf Dali dan almarhum R.A Bessing pernah merasakan "teguran" keras dari ayahku ini. Dan aku bangga karenanya. "Dalam soal kebenaran kita tak perlu takut Nak. Allah bersama kita," ujarnya selalu.

Itulah Ayahku. Sebelum pensiun, ayahku masih sempat menjabat sebagai Kepala BP-7 dan kemudian Direktur Perusda sebelum akhirnya gelombang reformasi ikut juga melanda Kabupaten Bulungan. Ayahku akhirnya terjun ke dunia politik sebagai pensiunan dan terpilih sebagai Ketua Partai Golkar Kabupaten Bulungan. Dia kemudian menjadi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bulungan, sedangkan Ketuanya adalah mantan Sekwilda Anang Dahlan Djauhari.

Saat pemilihan Bupati berlangsung, ayahku mengalah dan memberikan tempat buat Anang Dahlan Djauhari menjadi orang nomor satu di Kabupaten Bulungan sekaligus pemimpin sipil pertama di kabupaten ini. Saat itu Bulungan sudah dimekarkan menjadi empat wilayah otonom yaitu Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan.

Setelah Anang Dahlan Djauhari menjadi Bupati, ayahku menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bulungan. Sifat kerasnya dan "pemberontaknya" rupanya tak pernah surut. Beberapa kali Bupati Anang terlibat perselisihan pendapat dengan ayahku. Ini membuat Anang kurang senang, dan pada Pemilu 2004, Partai Golkar yang dipimpin ayahku dikerjai oleh sang Bupati - yang sebetulnya juga kader Golkar.

Tujuannya satu yaitu agar ayahku gagal menjadi calon Bupati pada periode berikutnya. Bersamaan dengan itu kesehatan ayahku merosot. Penglihatannya mengalami gangguan yang serius dan sering sakit. Karena itu perlahan-lahan dia memutuskan untuk mundur dari kegiatan politik. Dia menyerahkan jabatan Ketua Golkar kepada salah satu kadernya, Abdul Jalil Fatah. Pada pemilihan Ketua DPRD dia juga tersingkir, dan hanya terpilih sebagai Wakil Ketua. Ketua DPRD dijabat oleh Oom Darwin, dari PPP.

Itulah sedikit sejarah keluargaku, dengan pemain utama sang kepala keluarga, Ayahku. Hingga kini, ayahku masih tinggal di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan. Beliau tak lagi aktif di dunia politik, namun lebih banyak mendekatkan diri dengan aktivitas keagamaan. Apalagi memang usianya tahun ini mencapai 65 tahun. "Sudah bonus dua tahun Nak. Usia Rasulullah saja hanya 63 tahun," katanya suatu ketika.

Hebatnya, meski separuh lebih usianya dihabiskan sebagai PNS, tak seorangpun anaknya yang mengikuti jejaknya sebagai PNS. Putera sulungnya aku bekerja sebagai wartawan, puteri keduanya menjadi ahli farmasi, putera ketiganya Nanang menjadi ahli komputer, puteri keempatnya seorang guru, putera kelimanya Dodi menjadi dosen dan yang terakhir si bungsu yang lahir di Purwokerto menjadi pengusaha cum politikus.

2 komentar:

MUHAMMAD SYAIFUDIN SIREGAR mengatakan...

Seru juga tu ceritanya! Sya jg org bulungan.

iwansams mengatakan...

Terima kasih mau mampir ke sini.