Kamis, Januari 20, 2011

Mengenal Teknologi Mikrohidro


Solusi Kekeringan di Gunung Kidul

Sejak bertahun-tahun lalu, Gunung Kidul dikenal sebagai daerah yang kering kerontang dan sulit air. Kini, sebuah solusi telah ditemukan.


Kering kerontang. Itulah citra kabupaten Gunung Kidul sejak lama. Kesulitan air memang ritual tahunan bagi penduduk di kawasan selatan Yogyakarta itu. Pada musim kemarau sepanjang Juli hingga Oktober—saat persediaan air yang ditampung selama musim hujan habis—kekeringan merambat jauh ke utara, meliputi 16 dari 18 kecamatan di kabupaten berpenduduk 650 ribu jiwa itu.

Tiap musim kemarau, kawasan ini bakal diserang kekeringan panjang. Warga terpaksa berjalan beberapa kilometer untuk mendapatkan air bersih. Profil daratan yang separuhnya, sekitar 700 ribu km2 merupakan pegunungan kapur (karst) membuat warga harus menggali lebih dari 50 meter ke bawah tanah untuk memperoleh air. Di kedalaman itulah terdapat jaringan sungai bawah tanah yang airnya melimpah-ruah.

Air sungai itulah yang kemudian dipompa ke permukaan tanah dan digelontorkan ke 38 ribu keluarga, sejak Maret 2010 lalu usai diresmikan oleh Menteri PU Djoko Kirmanto. Proyek ini berjalan, setelah proyek Bribin II di Kecamatan Semanu mulai dioperasikan. Bribin II adalah pembangkit listrik bertenaga air (mikrohidro). Listrik yang dihasilkan dipakai untuk mengangkat air dari bawah tanah ke permukaan. Jadi Bribin II adalah pembangkit listrik sekaligus pompa air.

Bribin II dibangun lantaran proyek pendahulunya, Bribin I, dianggap tidak efisien. Bribin I memakai setrum dari PLN atau solar sebagai penggerak pompa. Akibatnya, biaya produksi dan perawatannya tinggi. Sebagai gambaran, Bribin I hanya mampu menyedot 80 liter per detik, dari total debit sungai 750 liter per detik. Masa kerjanya pun terbatas. Ini membuat harga produksinya menjadi mahal.

Apalagi, pompa Bribin I, juga pompa-pompa lainnya, hanya beroperasi satu hingga empat jam per hari. ”Karena biaya listrik dan solar yang sangat tinggi, akibatnya proyek tersebut menjadi tidak efesien,” kata As Natio Lasman, Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir yang sedari awal disebut-sebut sebagai arsitek yang ikut serta dalam merancang PLTA (Mikro Hidro) Bribin II.

Inilah yang lantas membuat As Natio merancang proyek Bribin II. Teknologi pembangkit listrik mikrohidro dipilih karena sumbernya melimpah-ruah. Di bawah permukaan karst Gunung Kidul terdapat tujuh sungai: Bribin, Ngobaran, Seropan, Baron, Grubug, Toto, dan Sumurup. Dari tujuh sungai bawah tanah itu, baru empat yang sudah dimanfaatkan, yaitu Seropan, Bribin, Ngobaran, dan Baron.

Hebatnya, semua sungai itu rata-rata mempunyai debit air 2.000 liter per detik. Gunung Kidul itu seperti daratan kering kerontang yang berdiri di atas aliran sungai yang derasnya luar biasa. Tinggal mencari cara menaikkan sumber air yang melimpah ruah itu ke permukaan saja. "Saya justru kepinginnya membuat kolam renang, untuk mengubah image Gunung Kidul yang kering,” kata As Natio, setengah bercanda.

Yang jelas, langkah yang diambil Natio untuk mewujudkan gagasan tersebut ibarat sebuah lompatan besar. Pada Februari 2000, dia lantas menyampaikan gagasan itu ke Franz Nestmann, pakar hidrologi dan teknik sipil asal Jerman. ”Waktu itu kami bertemu di acara pertemuan alumni Jerman di Yogyakarta,” katanya.

Ketika itu, Natio menantang, apakah Universitas Karlsruhe dapat memenuhi kebutuhan air minum juga kebutuhan air untuk pertanian di daerah Gunungkidul. Kawasan itu memang sulit air, tapi di dalam perutnya terdapat banyak potensi air sungai bawah tanah yang kemudian keluar di daerah Baron, Ngobaran, dan berbagai lokasi lain hingga ke daerah Wonogiri, Pacitan, dan seterusnya.

Adapun air sungai yang ke arah utara antara lain keluar dan bersama-sama bermuags hingga menjadi Sungai Bengawan Solo. Ini sungguh suatu potensi yang demikian luar biasa jika dapat dieksploitasi untuk kesejahteraan masyarakat, yang memang sangat memerlukan air bersih.

Nestmann rupanya tertarik. Ia bahkan mengupayakan dana dari kementerian pendidikan dan riset di negerinya. Dan dia berhasil memperoleh dana hibah tersebut. Proyek Bribin II pun dimulai, yang melibatkan, antara lain, Universitas Karlsruhe (kampusnya Nestmann), Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Iwan Samariansyah

Selasa, Januari 18, 2011

Pentingnya Pemeliharaan Turbin

Karyawan Siemens sedang menginspeksi turbin

BILA sebuah turbin dalam sebuah Pembangkit listrik dioperasikan terus-menerus, tentu saja lama kelamaan akan aus. Karena itu pemeliharaan rutin untuk turbin penting dilakukan agar masa pakainya bisa lebih lama. Dari segi pemeliharaan, unit PLTG mempunyai selang waktu pemeliharaan  (time between overhaul) yang pendek, yaitu sekitar 4.000 – 5.000 jam operasi.

Maklumlah. Dari segi operasi, unit PLTG tergolong unit yang masa startnya pendek, yaitu antara 15-30 menit, dan kebanyakan dapat distart tanpa pasokan daya dari luar (black start), yaitu menggunakan mesin diesel sebagai motor start. Makin sering unit mengalami start-stop, makin pendek selang waktu pemeliharaannya. Walaupun jam operasi unit belum mencapai 4.000 jam, tetapi jika jumlah startnya telah mencapai 300 kali, maka unit PLTG tersebut harus mengalami pemeriksaan (inspeksi) dan pemeliharaan.

Saat dilakukan pemeriksaan, hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bagian-bagian yang terkena aliran gas hasil pembakaran yang suhunya mencapai l.300°C, seperti : ruang bakar, saluran gas panas (hot gas path), dan bilah-bilah turbin. Bagian-bagian ini umumnya mengalami kerusakan (retak) sehingga perlu diperbaiki (dilas) atau diganti. Pabrik di Cilegon mampu melakukan perawatan turbin ini dengan baik.

Proses start-stop akan mempercepat proses kerusakan (keretakan) ini, karena proses start-stop menyebabkan proses pemuaian dan pengerutan yang tidak kecil. Hal ini disebabkan sewaktu unit dingin, suhunya sama dengan suhu ruangan (sekitar 30°C) sedangkan sewaktu operasi, akibat terkena gas hasil pembakaran dengan suhu sekitar 1.300°C.

Dengan memperhatikan buku petunjuk pabrik, ada pula unit PLTG yang boleh dibebani lebih tinggi 10% dari nilai nominalnya selama dua jam, yang dalam istilah tekniknya disebut peak operation. Apabila dilakukan peak operation, maka hal yang harus diperhitungkan adalah pemendekan selang waktu antara inspeksi, karena peak operation menambah keausan yang terjadi pada turbin gas sebagai akibat kenaikan suhu operasi.

Dari segi masalah lingkungan, yang perlu diperhatikan adalah masalah kebisingan, jangan sampai melampaui ketentuan yang dibolehkan.  Sebagaimana juga yang terjadi pada PLTU, masalah instalasi bahan bakar, baik apabila digunakan BBM maupun apabila digunakan BBG, perlu mendapat perhatian khusus dari segi pengamanan terhadap bahaya kebakaran.

Dari segi efisiensi pemakaian bahan bakar, unit PLTG tergolong unit thermal yang efisiensinya paling rendah, yaitu berkisar antara 15-25%. Dalam perkembangan penggunaan unit PLTG di PLN, akhir-akhir ini digunakan unit turbin gas aero derivative, yaitu turbin gas yang mirip dengan yang digunakan pada pesawat terbang bermesin jet yang dimodifikasi menjadi turbin gas penggerak generator. Keuntungan dan pemakaian unit aero derivative, yaitu didapat unit yang dimensinya lebih kecil dibanding unit stationer untuk daya yang sama. Di samping itu, harga unit bisa lebih murah karena inti turbin strukturnya kurang lebih sama dengan turbin gas pesawat terbang.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 26/Agustus 2009

Turbin untuk Pembangkit Listrik

Salah satu contoh turbin gas produksi Siemens
Secara bertahap, proses alih teknologi dari Jerman kepada anak-anak bangsa Indonesia sendiri berlangsung dalam pembuatan turbin.

Indonesia merupakan salah satu pasar potensial terbesar untuk pembangkit tenaga listrik. Apalagi dengan dicanangkannya proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW pada era kepemimpinan Presiden SBY saat ini. Siemens AG, salah satu perusahaan energi terbesar asal Jerman secara jeli menangkap peluang ini, dan dikembangkanlah sebuah pabrik turbin untuk pembangkit listrik di Cilegon.

Bersama sejumlah wartawan dari berbagai media, saya diajak oleh pihak Siemens untuk mengunjungi pabrik power generation itu pada Rabu (29/7) lalu. Pabrik tersebut berlokasi kurang lebih 110 km sebelah barat Jakarta dan berdiri di atas lahan seluas 43 ribu m2 yang mencakup fasilitas produksi sebesar 24 ribu m2. Ada sekitar 500 karyawan berkebangsaan Jerman dan Indonesia bekerja di pabrik tersebut.

Didirikan pada 20 tahun lalu, serta diresmikan oleh Menteri Perindustrian Hartarto, awalnya pabrik tersebut hanyalah sebuah bengkel servis untuk turbin uap berskala kecil dan komponen turbin gas. Saat itu, Siemens bekerja sama dengan PT (Persero) Pindad dan PT Guna Nusa mendirikan sebuah pabrik onderdil kelistrikan. Komponen turbin gas yang dibuat di situ adalah : turbin hidro kecil, pompa, katup, kompresor dan komponen turbin lainnya. Baik untuk turbin gas maupun turbin uap.

Menteri Hartarto saat itu optimistik bahwa pabrik tersebut akan berkembang dan menjadi salah satu sumber alih teknologi bagi tenaga ahli Indonesia. Seolah menggenapi prediksi tersebut, pabrik Siemens tersebut berkembang pesat. Dari tahun ke tahun, pabrik ini melakukan tahapan investasi di bidang teknologi demi menghadapi persaingan di dunia internasional. Bermula dari 24 orang dengan investasi Rp12 Miliar (US$7 Juta) dengan kurs saat itu, pabrik tersebut terus berkembang dan karyawannya juga terus bertambah.

Sewaktu saya berkunjung ke pabrik yang dipenuhi peralatan berukuran raksasa, namun dengan proses produksi berpresisi tinggi, para karyawannya tengah sibuk bekerja. Mereka sedang memenuhi pesanan dua turbin uap dan gas bernilai hampir Rp2 milyar (DM1,2 juta), untuk diekspor ke Korea Selatan. Satu paket berukuran besar yang kira-kira seukuran dua tumpukan peti kemas telah terbungkus rapi dalam satu unit kerangka penopang dalam sebuah terpal besar berwarna hijau.  

Isi paket raksasa tersebut adalah sebuah turbin bertekanan rendah berukuran 8,7 m2, yang dibandrol seharga 960 ribu Euro, dengan kapasitas 220 MW. Turbin tersebut merupakan pesanan PLTGU Posco Power Unit-5 di negeri ginseng. Pertengahan Agustus 2009 ini, pesanan tersebut dikapalkan ke pemesannya. ”Untuk pertama kalinya, pabrik ini mengerjakan perakitan turbin semacam itu untuk bisa langsung dikirim kepada pemesannya,” jelas Mario Metz, General Manager Pabrik Power Generation PT Siemens Indonesia.

Metz menerangkan bahwa kualitas pengelasan di pabrik yang dipimpinnya itu sudah memenuhi prasyarat standar kualitas Eropa dan Amerika. Dengan angka rasio beban material dibanding beban tenaga kerja bernilai 60 banding 40, dia menjamin efisiensi harga untuk bisa mendapatkan kualitas yang terbaik. ”Turbin yang dihasilkan pabrik ini sudah memiliki kompetensi internasional,” tukasnya.

Pekerjaan perakitan turbin untuk generator listrik tersebut dimungkinkan di pabrik tersebut dengan adanya mesin bubut vertikal (VTL) berdiameter delapan meter dengan kapasitas 150 ton. Juga adanya mesin miling horisontal (HBM) yang baru saja dioperasikan di pabrik tersebut. Saya beruntung bisa mendapat kesempatan melihat secara langsung proses pembuatan turbin dan kondensator berstandar dunia tersebut.

Dikatakan Metz, untuk memproduksi satu turbin diperlukan waktu selama tiga bulan. Artinya bila pesanan cukup banyak jumlahnya, pabrik tersebut bisa memproduksi sedikitnya empat unit turbin dalam setahun yang dipergunakan oleh pembangkit listrik di berbagai belahan dunia. Salah satu turbin yang sedang dikerjakan pabrik di Cilegon itu merupakan pesanan dari salah satu pembangkit listrik di Amerika Serikat.

Pasar untuk turbin yang diproduksi di Cilegon tersebut memang datang dari seluruh penjuru dunia. Eropa tetap merupakan pasar utamanya, mengingat Siemens berasal dari Jerman. Disusul kemudian Timur Tengah, Thailand, Malaysia, Singapura dan akhir-akhir ini mengalir pula pesanan dari Kanada dan Amerika Serikat. Pendek kata, pabrik tersebut tak akan kekurangan order meski krisis global tengah melanda dunia.

Presiden Direktur & CEO PT Siemens Indonesia, Hans Peter Haesslein menyatakan bahwa turbin yang diproduksi memiliki standar kemampuan dan keandalan kualitas yang tinggi. Tidak mengherankan bila pesanan-pesanan internasional terus mengalir dari seluruh penjuru dunia. ”Tentu saja kami berharap bahwa Indonesia yang tengah giat membangun pembangkit listrik juga menjadi pasar utama kami,” ujarnya.

Yang menarik, meskipun berkonsentrasi pada energi yang bersumber pada bahan bakar fosil, namun pabrik ini juga terlibat dalam fabrikasi dan manufaktur kondensor berat untuk pembangkit tenaga nuklir. Dengan total investasi sebesar 15 juta Euro selama dua tahun terakhir ini, Hans optimis bahwa target pertumbuhan tahunan sebesar 30 % dapat dicapai dengan baik.

Turbin yang diproduksi juga menggunakan 93 persen materi dan pabrikasi lokal serta sekitar 80 persen materi baja lokal. Uniknya, baja yang dipakai untuk turbin tersebut tidak memakai produk dari Krakatau Steel melainkan dari sebuah pabrik baja di Surabaya. ”Ada standar kita yang belum bisa dipenuhi oleh pabrikan di Cilegon ini,” ujar salah satu teknisi Siemens kepada saya.

Dari segi teknologi, turbin yang diproduksi mempunyai keunggulan dalam menghasilkan listrik yang sangat efisien dan ramah lingkungan. Berat turbin sekitar 310 ton, mampu menghasilkan tenaga sebesar 250 MW atau setara dengan daya yang dihasilkan oleh sekitar 3.500 mobil ukuran standar. Pusat-pusat tenaga listrik mengubah energi panas menjadi energi mekanikal yang menggerakkan piston atau memutar generator.

Energi yang dihasilkan dari suatu kompleksitas arus energi pada sebuah sistem turbin akan tergantung pada jumlah panas, pola suhu dan suhu lingkungan atau suhu penerima panas yang tersedia. Pada sebuah pusat listrik tenaga gas, siklus energi terjadi dari sebuah kompresor, ruang pembakaran dan turbin gas dengan generator.

Udara dikompresi dalam kompresor, kemudian dialirkan ke ruang pembakaran, bersamaan dengan bahan bakar yang disulut. Pembakaran bahan bakar dalam ruang bakar itu sendiri menghasilkan gas bersuhu tinggi hingga kira-kira 1.300° C dengan tekanan 13 kg/cm2. Gas terkembang yang memiliki suhu dan tekanan tinggi itu lantas dimasukkan ke dalam turbin gas. Turbin berputar dan pada gilirannya menggerakkan generator.

Sebuah turbin gas pada umumnya memiliki tingkat efisiensi yang rendah, pemakaian bahan bakarnya tinggi dan suhu dari gas buang yang meninggalkan turbin juga tinggi. Oleh sebab itu pemakaian spesifik bahan bakar turbin gas cukup tinggi, dan sebuah PLTG karenanya sering dipakai khusus sebagai pusat tenaga listrik beban puncak.

Efisiensi turbin gas dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan gas buang bersuhu tinggi yang meninggalkan turbin untuk memanaskan udara sebelum dimasukkan ke dalam ruang pembakaran. Dengan demikian sebagian dari energi yang terkandung dalam gas buang masih dapat dimanfaatkan secara optimal. Inilah yang membuat turbin dari pabrik di Cilegon tersebut unggul dari produk pesaingnya dari China.

Karena pembakaran yang terjadi pada turbin gas mencapai suhu sekitar 1.300° C, maka bilah-bilah turbin beserta porosnya perlu didinginkan dengan udara. Hal tersebut dilakukan dengan membuat saluran udara dalam turbin. Pendinginan dilakukan dengan udara dari kompresor melalui lubang pendingin yang pembuatannya memerlukan teknologi canggih.

Selain masalah pendinginan, ada pula resiko korosi suhu tinggi akibat bereaksinya logam kalium, vanadium dan natrium yang terkandung dalam bahan bakar dengan bagian-bagian turbin. Oleh karenanya kebanyakan pabrik pembuat turbin memberi syarat agar bahan bakar yang digunakan tidak boleh mengandung logam-logam tersebut di atas melebihi batas tertentu.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 26/Agustus 2009