Pekerja PLN sedang memperbaiki kabel listrik |
Pembangunan sektor kelistrikan di Indonesia berjalan tersendat-sendat. Meski sejak 2007 lalu telah dicanangkan program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt (MW), hingga kini masih terjadi defisit listrik. Kondisi ini pada gilirannya mengancam iklim investasi.
PT Perusahaan Listrik Negara saat ini hanya mampu mencapai rasio elektrifikasi sekitar 60 - 65 persen. Sekitar 80 persen listrik dihasilkan di Jawa dan Bali, 11 persen di Sumatera dan sisanya di Kalimantan, Sulawesi dan wilayah Indonesia timur hanya sekitar 9 persen. PLN menargetkan rasio elektrifikasi 100 persen baru bisa dicapai pada 2020.
Direktur Utama PT PLN Fahmi Mochtar mengatakan, kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional sekarang baru mencapai 29 ribu MW, sekitar 80 persennya adalah pembangkit milik PLN. Karena itu, keberhasilan megaproyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt sangat diharapkan. Kenyataannya, proyek ini masih kekurangan dana yang sangat besar.
Defisit listrik terjadi karena lebih dari 10 tahun tak ada pembangunan pembangkit baru. Megaproyek pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt (MW), yang awalnya digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla, memang sebuah terobosan. Tapi sejak awal banyak kepentingan politik banyak terjadi, dan terkesan dipaksakan.
Akibatnya jalan proyek ini pun tak mulus. Awalnya, investor yang masuk diharapkan membawa dana sendiri. Dalam perjalanannya, investor yang kebanyakan dari China, meminta ada jaminan dari pemerintah. Belakangan, PLN sendiri yang harus pontang-panting mencari dana.
Di sisi lain, Koordinator Working Group on Power Sector Restructuring, Fabby Tumiwa pernah menyatakan, anggapan bahwa Indonesia kaya energi konvensional seperti batu bara, minyak dan gas bumi perlu dikoreksi. Faktanya tidak demikian, karena hal itu memakai data 1980-an yang belum di-update.
Untuk energi terbarukan juga demikian. Secara potensi, Indonesia diperkirakan memilika 27 Giga Watt (GW) dari energi panas bumi. “Tetapi tidak semuanya bisa dimanfaatkan karena lokasinya yang terpencar di berbagai wilayah terpencil,” ujar Fabby.
Dalam pemanfaatan energi air, khususnya mikrohidro, terkendala dengan daerah aliran sungai (DAS) yang rusak dan kritis. Kerusakan itu hampir terjadi di seluruh Jawa, dan sebagian Sumatera. Yang agak baik hanya ada di Papua namun penduduknya sedikit sehingga pembangunan pembangkit di Papua menjadi kurang ekonomis.
Untuk energi angin, tampaknya posisi Indonesia yang ada di Khatulistiwa dan pada rentang iklim tropis membuat kekuatan angin kurang bisa diandalkan. Energi angin bisa dikembangkan dengan baik di daerah timur, yang memang lumayan berangin. Sedangkan pemanfaatan energi matahari masih terkendala dengan teknologi yang belum efisien dengan kandungan bahan impor yang tinggi sehingga relatif mahal.
Iwan Samariansyah