Rabu, November 17, 2010

Menjejak Potensi Minyak via Satelit

Stasiun Bumi tempat menangkap citra satelit
Perkembangan teknologi satelit memungkinkan banyak hal yang dulunya mustahil menjadi mungkin. Termasuk mencari potensi sumber minyak di laut dalam.


BEBERAPA tahun terakhir ini pemerintah getol memasyarakatkan apa yang disebut dengan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) yaitu suatu sistem satelit pemantau kawasan maritim terintegrasi. Bila IMSS ini terwujud, maka berbagai institusi bisa memanfaatkan teknologi ini untuk berbagai kepentingan. Untuk uji coba, teknologi IMSS ini kemudian diterapkan di selat Malaka dan Selat Makassar.

”Dari segi kepentingan nasional, IMSS ini besar sekali peranannya bagi negara kita yang merupakan negara kepulauan. Jaringan radar maritim yang terintegrasi akan membuat tugas perencanaan dan upaya kita mengatasi berbagai masalah di bidang kemaritiman menjadi lebih mudah,” ujar M Rudi Wahyono, peneliti Indonesian Maritime Domain Awareness (IMDA) kepada saya di Jakarta, baru-baru ini.

Mengapa demikian ? ”IMSS itu berbasis radar dan airborne (patroli udara). Bila kemudian dipadukan dengan teknologi EOS atau earth observation satellite atau maritime surveillance maka hasilnya bisa optimal,” ujar Rudi yang juga menjabat Direktur Kajian Energi,Kelautan dan Lingkungan CIDES ini.

Menurut Rudi, IMSS adalah sebuah sistem yang besar, kompleks dan rumit. Karena itulah, menurut dia, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sebagai pemegang otoritas di bidang keamanan perairan negara perlu mengoptimalkan sumberdaya yang tersebar di berbagai stakeholder kemaritiman lainnya.

Ada banyak lembaga di Indonesia yang memiliki kepentingan dan kapabilitas dibidang kemaritiman seperti Kementerian Lingkungan Hidup, LAPAN, BMKG, Bakosurtanal, lembaga riset, Pemda dan LSM.

Dukungan utama untuk IMSS adalah penguatan kemampuan maritime surveillance dengan memanfaatkan teknologi informasi yang dipadukan dengan teknologi satelit. Integrasi berbagai bidang surveillance dan sensor-sensor keamanan laut (berupa Radar pantai, radar udara, VTMS, AIS, GMDSS dan SAR-SAT) yang tersebar di berbagai instansi seperti Departemen Perhubungan, TNI AL, TNI AU, DKP, Bakorkamla, BMKG, LAPAN dan Departemen Kehutanan amatlah diperlukan.

Rudi mengatakan bahwa Forum World Oceanic Conference (WOC) yang digelar di Manado, Sulawesi Utara tak lama lagi bisa dijadikan momentum yang pas untuk membenahi sederet keruwetan pengelolaan kemaritiman di negeri ini dengan IMSS.

Saat ini, Indonesia menghadapi begitu banyaknya musibah (kapal tenggelam, tabrakan, kebakaran), pencemaran laut (tumpahan minyak, limbah/tailing dan sampah), illegal fishing (pencurian ikan), penyelundupan (kayu, komoditi dagang dan narkoba) hingga perompakan dan perdagangan anak-anak. Semuanya berkaitan dengan kegagalan pengawasan jalur laut kita yang memang luar biasa luasnya itu.

Dengan menggunakan metode satellite surveillance maka kita dapat segera menampilkan data secara tepat, akurat dan terkini. Teknologi satelit penginderaan jarak jauh menghasilkan data citra digital yang dapat memberikan informasi tentang kondisi riil di permukaan bumi. Informasi yang diperoleh tergantung dari jenis gelombang dan resolusi citra satelit.

Apalagi teknologi infra merah saat ini memungkinkan penggunaan sensor aktif atau SAR-synthetic aperture radar, dengan wahana satelit (spaceborne) sehingga surveillance dapat dilakukan hampir setiap saat. Baik saat siang maupun malam dan tidak lagi perlu takut terkendala oleh awan atau cuaca buruk sebagaimana di masa lalu.

Menurut Rudi, dengan penggunaan satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) yang dilengkapi teknologi SAR-sytnthetic aperture radar, maka kita dapat dengan cepat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut. Kemudian melacak siapa dan kemana sumbernya bersembunyi. Tatkala minyak membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan laut, maka minyak akan menghilangkan gelombang-gelombang kapileri yang biasanya mengganggu citra satelit.

Disebabkan perbedaan dalam sebaran yang berasal dari areal yang ada riak gelombang dan areal yang tidak ada atau kurang adanya gelombang, maka satelit radar dapat mendeteksi lapisan tumpahan minyak yang berada di permukaan laut. Informasi tentang lapisan minyak, posisi, ukuran, dan sebagainya, dapat diteruskan kepada pihak yang berwenang. ”Dengan begitu pencemaran laut yang lebih luas bisa ditanggulangi,” kata Rudi.

Berdasarkan teknik-teknik yang sama – sebagaimana pemantauan tumpahan minyak - pendeteksian rembesan minyak mentah (hydrocarbon) dari dasar laut mungkin saja terjadi. Hidrokarbon yang berada di bawah permukaan laut mungkin saja mengalami rembesan dan keluar membentuk lapisan minyak di permukaan laut. Gelombang-gelombang gas yang dikelilingi oleh minyak dapat muncul ke permukaan melalui ledakan-ledakan dalam air. Lalu akan tercipta lapisan minyak yang kecil dan tipis (film).

Areal wilayah alami tersebut diketahui terjadi dari waktu ke waktu dalam cadangan-cadangan minyak yang potensial, namun frekuensi dan jumlah rembesannya dapat berbeda-beda. Model seperti ini jelas menarik bagi perusahaan-perusahaan minyak, yakni melakukan pencarian minyak di ladang-ladang samudera yang baru atau sebagai pendukung terhadap kegiatan eksplorasi lainnya yang ada di wilayah tersebut.

Teknik ini pula yang telah dipakai oleh Stat-Oil Norwegia untuk menemukan cadangan minyak di selat Makassar Indonesia, baru-baru ini.

Kemampuan mendeteksi sumber daya laut dalam, khususnya minyak mentah itu tentu saja menarik. Apalagi ada pula nilai tambah dari citra satelit yang ada. Variasinya berbeda-beda antara satelit yang satu ke yang lain. Pantauan satelit dipergunakan untuk menampilkan citra, modifikasi output dan menggabungkan (overlay) citra satelit tersebut dengan citra AIS/VTS dan meteorologi.

Melalui kombinasi data dari kapal patroli laut dan pesawat udara maka pihak otoritas hankam bisa pula mempergunakan citra SAR untuk mendeteksi lalu-lintas sipil dan militer di wilayah perairan luas dengan biaya cukup murah dan efektif.

Informasi yang diperoleh dari citra SAR dapat dipergunakan untuk mengarahkan pesawat udara dan kapal laut untuk melakukan inspeksi lebih jauh terhadap sasaran. Informasi ini tentu saja sangat membantu tatkala menjalankan operasi penangkapan illegal fishing atau adanya lalu-lintas yang mencurigakan di dalam wilayah laut nasional.

Kegunaan lainnya meliputi ”nowcasting”, seperti menganalisa tipe/jenis awan, temperatur puncak awan, dan produk-produk klimatologi lainnya yang bermanfaat bagi aktivitas penerbangan dan pelayaran nasional. Citra satelit juga bisa menentukan dengan rinci temperatur permukaan laut dan indeks vegetasi normal (Normalized Vegetation Index).

Dengan fitur ini peramalan cuaca akan lebih akurat. Juga bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan dukungan pada sektor pertanian menyangkut luas lahan serta timing yang tepat untuk masa tanam dan panen. Sementara untuk sektor kehutanan untuk mendeteksi hot-spot dan mendukung pengelolaan hutan secara lestari.

Apa yang menjadi kendala penerapan teknologi citra satelit ini ? ”Kendala utamanya adalah kita belum punya satelit sendiri, atau setidaknya satelit yang dikendalikan sendiri oleh bangsa Indonesia,” kata Rudi. Situasi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia dikenal sebagai negara pemilik satelit pertama di kawasan Asia. Namun kini dalam soal satelit kemaritiman, kita telah dikalahkan sesama negara ASEAN yaitu Thailand.

Dari data yang ada, satu satelit remote sensing sekelas THEOS, Thai Earth Observation Satellite milik Thailand dengan resolusi panchromatic 1 m dan 4 band multispektral resolusi 5-7 m, berikut peluncuran, pembangunan dan operasi ground station selama lima tahun, bernilai sekitar US$115-125 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun.

Apabila kita hanya membeli citra satelit komersial dengan resolusi 1 m panchromatic adalah sekitar US$65 per km persegi. Bila diasumsikan luas wilayah kita 5 juta km persegi maka diperlukan biaya tidak kurang dari US$365 juta atau sekitar Rp 4 trilyun pertahun. Bila operasional selama lima tahun saja dibutuhkan total biaya tak kurang dari Rp20 trilyun. ”Ini jumlah biaya yang cukup besar untuk negeri kita,” ujar Rudi.

Namun angka itu masih jauh lebih kecil dibanding dengan kerugian dari nilai ikan (atau sumber daya laut lain) yang dicuri dari perairan kita akibat lemahnya surveillance negara yang mencapai angka Rp30 triliun pertahunnya. Angka kerugian itu jauh lebih besar bila dihitung dari kerugian akibat penyelundupan, perompakan dan pencemaran.

Rudi mengusulkan jalan keluar untuk mengatasi kendala mahalnya biaya satellite marine/earth surveillance tersebut. Menurut dia, Indonesia seharusnya berfokus pada dua hal pokok saja terlebih dahulu yaitu ground segment dan user segment. Artinya dengan segala keterbatasan finansial dan sumber daya manusia sebaiknya Indonesia berfokus pada optimalisasi stasiun bumi dan pengembangan SDM untuk mengoperasikannya. (Iwan Samariansyah)

Senin, November 08, 2010

Mendistribusikan BBM, Pahlawan dalam Diam

Taicing : Jumlah mereka ribuan, ada di seluruh pelosok negeri. Mereka bekerja keras dengan penuh dedikasi, kadang tanpa publikasi. Inilah beberapa diantaranya.

Setiap masa ada kisahnya, dan setiap kisah ada pahlawannya. Pada masa lampau, Mahapatih Majapahit Gadjah Mada menjadi pahlawan karena dia berhasil menyatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Pada masa revolusi kemerdekaan, Soekarno-Hatta menjadi pahlawan berkat keberanian mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bagaimana dengan era pembangunan saat ini? Pahlawan seperti apakah yang muncul?

Bagi Pertamina, sosok pekerja yang bertugas mendistribusikan BBM dengan penuh dedikasi di berbagai pelosok negeri pantas dijadikan figur pahlawan. Banyak diantaranya yang bekerja bertahun-tahun sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Merekalah ujung tombak pemasaran produk Pertamina di dalam negeri.

Dua sosok berikut yaitu Purwo Hadiwibowo Kepala Kamar Mesin Kapal Tanker MT Gunung Geulis P 8004 dan Wilhelmus Landa Pasa Labina, Kepala Depot Atapupu, daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Keduanya adalah teladan bagi karyawan Pertamina terutama mereka yang bekerja dalam mendistribusikan BBM untuk masyarakat.

Purwo, bisa disebut sebagai Kepala kapal kanker tiga zaman. Sejak tahun 1970-an dia mulai berkarir di Pertamina. Pria Jawa ini menguasai segala hal teknologi kamar mesin dari berbagai jenis kapal buatan asing maupun dalam negeri. Mengarungi lautan dengan resiko jarang pulang ke rumah menjadi hal biasa. Semua dilakukan demi pengabdiannya kepada Pertamina, dan demi kelancaran pengiriman minyak mentah ke kilang.

Soal teknologi mesin kapal, Purwo bisa dibilang nglothok (menguasai luar kepala). Prinsip belajar dari masing-masing karakter mesin menjadi  kuncinya, hingga ia tak gagap teknologi setiap kali ditugaskan menangani kapal baru. Pengalaman saat ia dipercaya menjadi Kepala Kapal mesin MT Gunung Geulis menjadi pelajaran berharga, bahwa prinsip “mencuri” ilmu dari ahlinya harus diterapkan di tengah minimnya ahli mesin kapal tanker.

Purwo pun bercerita pada saya bahwa awak kapal Rusia dan Filipina sangat pelit berbagi ilmu pengoperasian kapal tanker Gunung Geulis, sebelum dipindahtangankan ke Pertamina. Mereka enggan berbagi dengan awak kapal orang Indonesia. ”Waktu itu manual yang diberikan hanya sebatas buku saja, dan kita memang benar-benar belum akrab dengan teknologi kapal jenis terbaru yang serba otomatis ini,” kenang Purwo.

Dalam waktu dua hari, Purwo mengamati pengoperasian kapal dari awak kapal asing yaitu warga Rusia dan Filipina itu. ”Ada beberapa hal yang sepertinya mereka sembunyikan, agar kita nantinya tergantung pada awak kapal orang asing. Tapi saya tidak menyerah begitu saja,” katanya. Sesekali Purwo mengintip dan berusaha mencatat hal-hal penting untuk diterapkan saat kapal itu di tangan Pertamina.   

”Selain itu saya bersama tim di mesin mengembangkan teknologi pengoperasian mesin kapal, agar sesuai dengan perairan kita yang dangkal,” kata Purwo. Alhasil kini puluhan buku manual pengoperasian mesin terlahir dari inovasi yang diterapkan Purwo dan timnya bisa terdokumentasikan dengan baik sehingga bermanfaat dan bisa menjadi bahan pelajaran siapapun yang bertugas di mesin kapal tanker ini.

Meski terbilang senior, Purwo tak pernah beranggapan dialah yang paling pintar di bagian mesin. Berbagi ilmu menjadi kunci agar transfer teknologi bisa secepatnya dikuasai pada generasi berikutnya. Apalagi regenerasi di perkapalan bisa dibilang tidak lancar.  ”Lihat saja asisten saya seperti Bapak dan anak saja dengan saya,” kata Purwo.

Departemen Mesin dipimpin oleh Kepala Kamar Mesin (KKM) dan membawahi Masinis I (orang mesin nomor dua), lalu ke bawahnya Masinis II, Masinis III, Pengawas Listrik I, Pengawas Listrik II.
Mengenai konotasi negatif yang lekat dengan profesi pelaut, termasuk pula mereka yang bekerja di kapal tanker, Purwo menangkisnya dengan tangkas. ”Ah itukan pelaut jaman dulu. Kalau sekarang itu pelaut BTN,” katanya.

Maksudnya? Lalu Purwo yang termasuk orang mesin kapal Pertamina yang senior sekali ini menjelaskan kalau dulu pelaut ngontrak rumah semua. Tidak ada pelaut yang punya rumah karena mereka tidak bisa menyimpan uang.

Sekarang, kata Purwo, pelaut sudah berpikir rasional tentang masa depannya bersama anak-anak dan keluarga. Itu yang mencegah perbuatan negatif mengham­bur-hamburkan uang di pelabuhan. Jadi sekarang pelaut sudah berpikir mencicil rumah BTN.

Mengatasi kekangenan, Purwo meng­atur dengan khas. Istrinya disuruh datang ke kota di mana kapal tempat Purwo bertugas hendak berlabuh. ”Biaya berapa sudah tidak menjadi pertimbangan lagi. Yang penting bisa berkangen-kangenan dengan isteri tercinta,” katanya sambil terkekeh-kekeh.

Sosok berikutnya akrab dipanggil sebagai Wem. Berbeda dengan Purwo yang pelaut, Wem adalah karyawan Pertamina yang bekerja di bagian distribusi di daratan. Selama 25 tahun dia bekerja di Larantuka, Flores Timur sebelum akhirnya selama dua tahun terakhir ini dia memimpin Depo Pertamina persis di garis perbatasan negara di Atambua, Kabupaten Belu, NTT. 

Uniknya, Depo pimpinan Wem ini biasa pula melayani pasokan BBM untuk Timor Leste. ”Saya memulai karir saya sebagai pemuka distribusi teknik di Larantuka,” kenangnya saat ditanya awalnya dia bekerja di lingkungan Pertamina pada 1983.


Selama bertahun-tahun dia mendistribusikan BBM di Flores Timur. Perharinya 80 kiloliter BBM dipasarkan di wilayah kerjanya. Penyaluran melalui dua pompa bensin dan dua sub pompa bensin Pertamina yang ada di Pulau Adonan dan Pulau Lembata, NTT. Sebagai putera daerah, dia sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan pihak-pihak yang terkait dengan pendistribusian BBM di wilayah kerjanya.

Pengalaman yang menarik bagi dirinya adalah saat pasokan BBM datang terlambat sehingga terjadilah kekosongan pasokan BBM yang ada di Flores Timur. Protespun muncul dan terjadi antrian panjang kendaraan di dua pom bensin yang ada di daerah Larantuka. Untungnya, Wem yang berpembawaan tenang membuat dia bisa menjelaskan dengan baik pada warga dan yokoh masyarakat. Satu keuntungan dari dirinya yang merupakan putera daerah setempat.

Menurutnya, pernah beberapa kali terjadi kekosongan pasokan BBM selama satu minggu. Cuaca buruk menghambat kapal tanker yang hendak merapat di pelabuhan Larantuka. Tak ayal lagi agar semua kebagian maka masyarakat dijatah dalam pembelian BBM agar semua pembeli kebagian. ”Syukur tak ada keributan karena memang hambatan itu karena faktor alam yaitu ombak yang besar hingga kapal tak bisa merapat,” kata ayah lima anak itu.

Pengalaman paling menarik di posnya yang baru di Atambua ini adalah kenyataan bahwa Pertamina di daerah perbatasan ini juga melayani penjualan BBM ke negara tetangga, yaitu Timor Leste. Hanya saja harga yang diberlakukan adalah harga BBM industri, yang naik turun sesuai dengan harga pasaran yang berlaku dalam dollar. Setiap 14 hari sekali, harga BBM jatah Timor Leste itu berubah secara fluktuatif dalam satuan dollar.

Perbedaan harga yang signifikan tersebut membuat Wem harus pandai-pandai mengatur jatah untuk warga sendiri di Belu, NTT dan jatah BBM industri untuk pengusaha negara tetangga. Perdagangan BBM di perbatasan ini diatur dengan MOU tersendiri antara pemerintah kedua negara, dan selama ini berjalan dengan baik. Untuk menjalankan pekerjaannya di perbatasan, Wem dibantu oleh delapan orang stafnya.

Ditulis atas permintaan Direksi Pertamina oleh Iwan Samariansyah