Jumat, Desember 25, 2009

Mendekonstruksi Tubuh Manusia


Deden Sambas, perupa asal Bandung yang dikenal saat pertengahan tahun 1990-an menggelar seni rupa koran kini berupaya mendekonstruksi ulang tubuh manusia.

Oleh: Iwan Samariansyah

APA jadinya jika manusia tampil dalam lukisan dalam bentuk persegi empat atau penuh sudut, atau ditampilkan secara tidak lengkap. Hanya wajah saja, kaki saja, ataupun bagian-bagian tubuh lainnya, seolah termutilasi. Itulah yang hendak dijelajahi oleh seorang Deden Sambas, perupa kelahiran Bandung, 15 Juni 1963 itu dalam pameran tunggalnya kali ini.

Menurut Rizki A. Zaelani, karir artistik Deden Sambas dibentuk melalui banyak kisah persahabatan terutama dengan sejumlah perupa asal Bandung. Sebagai perupa yang berasal dari keluarga tradisi (Sunda) yang sederhana, pembentukan kecenderungan artistik dan prinsip estetik Deden dipengaruhi oleh semangat religiusitas yang kental, terutama dari Islam tradisi (pesantren).

Sedangkan kedekatan dirinya dengan beberapa figur seniman senior di Bandung diantaranya adalah : Sunaryo, Heyi Ma’mun dan Tisna Sanjaya mempengaruhi gaya sabetan kuasnya di atas kanvas. Begitu juga keakrabannya bergaul dengan sejumlah perupa yang tergabung dalam Sanggar Olah Seni (SOS) Babakan Siliwangi. Hasilnya adalah sosok yang multi talenta.

Tak heran saat pembukaan pameran tunggalnya, Deden juga menggelar aksi performance arts yang disambut hangat para pengunjung. Dia rela berjumpalitan di lantai galeri sembari mengingatkan pengunjung bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan bagian tak terpisahkan dari pameran lukisannya. ”Saya ingin total berkesenian, dan karena ini adalah pameran tentang dekonstruksi manusia maka semua saling terkait,” ujarnya.

Sekitar 23 karya terbaru Deden Sambas dipamerkan di galeri berlantai tiga tersebut. Pengaruh kuat Sunaryo terlihat kuat pada sebagian besar karyanya yang bercorak abstrak. Dekonstruksi tubuh manusia antara lain terlihat dalam karya-karyanya yang berjudul Berdiri, Big Brother Green, Meet (Tanpa Batas), Centrum Librium, On Green, The Face, Memilih Pilihan, Selalu Tumbuh, Sexy War, The Work dan Still Life.

Keseluruhan tubuh manusia digambarkannya banyak sudut (segi empat atau persegi panjang), dan tanpa wajah. Perkecualian terlihat pada karyanya berjudul Woman yang justru menampilkan potret seorang perempuan cantik sedang memegang sehelai kain berwarna kuning.

Dia juga menggambarkan botol wine dengan cara yang tidak lazim yaitu membelahnya menjadi dua bagian besar. Eksperimen ini justru menarik perhatian pengunjung pameran karena hasil potongannya yang disatukan kembali membentuk ornamen yang artistik dan unik. Hasil karya Deden ditawarkan pada kolektor mulai harga Rp 16 – 25 juta. (*)

Data-data :
Judul Pameran : Vice Versa
Seniman : Deden Sambas
Kurator : Rizki A. Zaelani
Tempat : Galeri Mon Décor, Jalan Gunung Sahari Raya Jakarta
Waktu : 21-30 Januari 2009

Mempuisikan Grafis dan Lukisan

Ada batas tipis antara mereka yang bergerak dalam dunia seni grafis dengan seni lukis. Dan kini tokoh muda penggerak seni grafis asal Yogyakarta Syahrizal Pahlevi berupaya memadukannya lewat pameran tunggalnya.

TEKS : IWAN SAMARIANSYAH

PAMERAN tunggal Syahrizal Pahlevi, perupa sekaligus pegrafis yang akrab dipanggil dengan sebutan Levy dihadiri puluhan pengunjung di Koong Gallery, Jakarta Selatan. Tema pameran tunggalnya alumni ISI Yogyakarta kali ini adalah ”Poetical Intrusion”, yang seakan mendeklarasikan dirinya bahwa dia konsisten dengan tema-tema lingkungan dan pemandangan alam (landscape).

Hanya saja, lukisan-lukisan mutakhir Levy memang menunjukkan watak sekaligus karakternya yang makin bersifat ekspresif-abstraktif namun juga fotografik. Bisa jadi karena beberapa tahun ke belakang, Levy banyak mendalami – bahkan berkampanye – untuk mendalami seni grafis. Pengaruh seni grafis dalam karya-karyanya yang dipamerkan kali ini begitu terasa.

Levy bukanlah pelukis anyar di dunia seni rupa Indonesia. Namanya sudah dikenal luas sejak awal tahun 1990-an dengan menggelar berbagai pameran baik bersama-sama dengan kawan-kawannya sesama alumni ISI maupun komunitas seni rupa lainnya di berbagai kota di Indonesia. Uniknya, Levy memulai semuanya itu dengan hobinya menggambar kartun dan mengirimkannya ke berbagai media massa di usia remaja.

Pada 1985, Levy dengan kegemarannya di bidang gambar-menggambar akhirnya memutuskan untuk masuk Diskomvis ISI Yogyakarta, setelah sebelumnya kuliah di Fakultas Sastra UI, Jakarta. Setahun kemudian pada 1986, Levy lantas tertarik mendalami seni lukis. Dan sejak itulah dia lantas menekuni seni lukis dan lulus pada 1994. Selepas lulus, Levy sempat aktif di Sanggar Bidar Sriwijaya.

Dalam catatan saya, bersama 15 orang temannya sesama pelukis, pada pertengahan tahun 2000, Levy lantas mendirikan Rumah Seni Muara yang terletak di jalan Parangtritis, Yogyakarta. Kegiatannya antara lain yaitu diskusi, pameran, hingga menerbitkan newsletter ”Muara”. Namun sayangnya, karena kesibukan pengelolanya, Rumah seni Muara pun menghentikan aktivitasnya.

Kini setelah mengalami perawatan di rumah sakit Levy belum bisa secara total menekuni hobinya tersebut, namun meski dalam kondisi yang tidak sehat ia masih ingin untuk terus menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Dan pameran di Koong Gallery mulai 21 November 2008 itu seakan mentasbihkan kembalinya Levy ke dunia yang dicintainya, dunia seni lukis.

Ada 15 karya yang dipamerkan Levy pada kesempatan itu, kesemuanya menampilkan lukisan pemandangan alam (landscape) yang sekaligus juga bersisian dengan tema pemandangan kota (cityscape) tempat tinggalnya : Yogyakarta. Uniknya, Levy bereksperimen dengan lukisan yang dilengkapi peta yang merujuk dimana lokasi lukisan tersebut diambil. Levy tampaknya tertarik memasukkan unsur-unsur geografis dalam karya-karyanya meski tak lengkap.

Lukisannya juga temanya berseri, misalnya : Landscape-landscape I dan Landscape-landscape II atau Persawahan Yang Dilihat dari Ringroad Barat I - IV. Judulnya pun banyak yang merupakan gambaran dari isi lukisan yaitu kerisauan seorang Levy mengenai perubahan penggunaan lahan di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Yang tadinya sebuah kampung, menjadi bagian dari sebuah kota besar.

Dalam buku kuratorial pameran, Rizky A Zaelani menilai bahwa lukisan-lukisan Syahrizal Pahlevi bersifat puitik dan fotografik. ”Pada jejak-jejak ekspresi yang bersifat puitik itulah, saya rasa, Pahlevi berhasil seolah-olah menyatukan berbagai koordinat pengalaman hidup yang terpecah atau terpisah-pisahkan. Gangguan-gangguan visual pada lukisan itu justru bersifat produktif,” tulis Rizky.

Secara keseluruhan, demikian kurator seni rupa kelahiran Bandung, 27 Desember 1965 ini, subject matter lukisan-lukisan Levy nampak sebagai gambaran dari suatu susunan koordinat ingatan atau pengalaman. Sekilas, komposisi bidang lukisan-lukisan itu mengandung semacam gangguan atau percampuran (intrusion) visual yang atraktif sekaligus mencerminkan hasil pertimbangan yang cermat.

Dalam sebuah pembicaraan antara Rizky dengan Pahlevi, maka sang pelukis pernah mengungkapkan bahwa : ”saat kita memandang sesuatu, kita sebenarnya juga tengah ingat tentang sesuatu yang lain”. Dan karena itulah Rizky berpendapat bahwa sebagai pelukis, Levy jelas amat paham bahwa fotografi adalah salah satu metode yang tepat untuk menunjukkan persoalan tersebut.

Dari segi harga, pihak galeri Koong menawarkan harga atas karya-karya Levy yang dipamerkan saat itu secara variatif. Mulai dari harga Rp 22,5 Juta hingga yang paling mahal sebesar Rp 50 juta. Situasi perekonomian memang tengah sulit akibat pengaruh krisis global di Amerika Serikat, namun minat para kolektor mengkoleksi lukisan-lukisan di berbagai pameran tidaklah surut. Terbukti beberapa lukisan Levy pun terjual.

Kelompok Semoet Menggigit Kota

Enam orang perupa yang tergabung dalam Kelompok Semoet tampil dalam pameran yang mengulas persoalan dunia urban. Unik dan mengandung gugatan sosial.

TEKS : IWAN SAMARIANSYAH

DALAM jagat seni rupa Indonesia, para perupa asal Minangkabau menempati posisi yang terhormat. Banyak tokoh-tokoh penting perupa yang berasal dari provinsi Sumatera Barat itu. Sebut saja nama Wakidi (1889-1979) disebut-sebut sebagai salah satu legenda seni rupa Indonesia yang karyanya bisa disejajarkan dengan R Abdullah Suriosubroto (1879-1941) dan RM Pirngadi (1875-1936).

Wakidi yang bermukim di Bukit Tinggi, disebut-sebut sebagai seorang pelukis yang disebut sebagai orang pertama di ranah Minangkabau yang melukis teknik dan gaya baru. Selain Wakidi, dikenal pula nama-nama seperti Marah Sutan dan Muhammad Syafei, tokoh yang berjiwa seni dan membentuk banyak sosok penekun seni termasuk seni rupa di tanah Minangkabau.

Kesadaran sebagai pelukis tanah Minang itu tampaknya terbawa hingga saat mereka merantau ke berbagai kota untuk menuntut ilmu. Panggilan tanah rantau itulah yang akhirnya membuat enam perupa asal Minang yang bermukim di Yogyakarta akhirnya sepakat berkumpul. Lahirlah Kelompok Semoet yang beranggotakan pematung Abdi Setiawan dan Jhoni Waldi, pelukis Darvies Rasjidin, Denny ’Snod’ Susanto, Khairul El Kamal dan Zulkarnaini.

Usia mereka relatif masih belia, sekitar 30-an tahun. Yang paling senior tentu saja Darvies Rasjidin. ”Ya kami semua bertemu antara sengaja dan tak sengaja di tempat kami menuntut ilmu di jurusan seni murni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Kami berasal dari berbagai angkatan dan generasi. Kesamaan idelah yang membuat kami bertemu dalam kelompok ini,” ujar Darvies kepada saya.

Bertempat di Bika Graha Mandiri, ke enam perupa itu unjuk karya mereka, dibuka sejak 19 November 2008 dan dipamerkan selama sebulan, ditutup pada 18 Desember 2008. Sejumlah karya lukis di atas kanvas, karya patung kayu dan patung perunggu dipamerkan dalam kesempatan tersebut. Pihak penyelenggara yaitu Ide Global Art mematok harga mulai dari Rp 18 juta hingga yang tertinggi Rp 50 Juta untuk karya mereka.

Pameran bertajuk lampu merah itu dikuratori oleh Mikke Susanto. Mengapa tema pameran kali ini Lampu Merah? Bisa jadi karena karya-karya yang ditampilkan oleh Kelompok Semoet terkait erat dengan gagasan-gagasan sosiokultural. Karya-karya mereka tak jauh dari persoalan dan dunia sekitar mereka tinggal, dan kali ini sudut-sudut kota lah yang mereka bidik. Ikon utama lalu lintas kota adalah lampu merah.

Mikke Susanto menulis pada kuratorial pameran, betapa kelompok ini memaknai tema tersebut begitu serius dan intens. Sejak berpameran pertama kali di Purna Budaya, Yogyakarta pada tahun 2000 kelompok ini selalu menggigit erat kisah dan narasi perihal kehidupan sosial. Terkadang sekedar menyindir, namun kadang juga menggugat fenomena ketidakadilan sosial yang berseliweran di sekitar kita.

Pematung Abdi Setiawan secara kreatif mengungkap kehidupan anak-anak jalanan di kota melalui karya-karyanya. Anak-anak yang kehilangan masa kecilnya karena dipaksa melawan kemiskinan yang mendera mereka. Lusuh, kumuh dan menghentak. Anak-anak jalanan adalah potret kelabu kegagalan sebuah sistem kota mensejahterakan warganya. Patung-patung alumunium itu terkesan biasa, tetapi pesannya begitu jelas : tolong perhatikan kami wahai penguasa !

Berbeda dengan karya Jhoni Waldi yang banyak bermain bahasa tubuh. Mediumnya adalah patung logam bercampur kayu jati. Ciri khasnya adalah hampir semua patung manusia ditampilkan dengan kepala tanpa otak, seakan hendak menyindir bahwa manusia-manusia yang hidup di kota telah dilemahkan daya fikirnya. Hidup tanpa pikiran dan perasaan, bekerja mekanis bak mesin.

Sang pelukis senior Darvies Rasjidin seakan hendak menjadi juru bicara simbolik kelompok semoet. Dia melukis rumah-rumah semut di ujung-ujung daun pohon. Dan begitulah judul lukisannya : Di ujung-ujung Ranting #1 dan di ujung-ujung ranting #2, yang menggambarkan rumah semut yang berkabut dan berasap. Aneh, namun mengundang senyum para penikmat karya seni.

Yang paling mengundang perhatian dari karya Darvies ini adalah Randu yang tenggelam, menggambarkan sebuah kota yang terletak di atas kapas, perlahan tenggelam di lautan dalam. Permainan warnanya sungguh memikat dan mempesona. ”Isu lingkungan dan pemanasan global telah menginspirasi saya menghasilkan karya ini,” ujar Darvies kepada saya di sela-sela pembukaan pameran.

Sedangkan karya-karya lukisan Zulkarnaini dibuat dengan teknik yang tidak biasa, seperti menyaksikan klise film hitam putih. Potret kehidupan sehari-hari dalam kehidupan modern sebuah kota telah menarik perhatiannya untuk berkreasi : penumpang bus way, sayap pesawat terbang, mobil di jalanan dan permainan komidi putar. Semua dibuat dengan teknik melukis ala klise foto dengan pendaran warna dominan hijau.

Adapun Denny ”Snod” Susanto menggunakan pendekatan olahraga secara simbolik tentang sudut-sudut kota. Dia memilih bola biliard dan golf dalam semua lukisannya untuk mewakili kehidupan urban. Semua karyanya dengan gaya seperti itu mulai dari Enemy Between Us, Beautiful Game #2 dan Life Rhythm Section. Seolah memberi pesan betapa berpengaruhnya kedua jenis bola tersebut pada orang kota !

Perupa terakhir, Khairul El Kamal tampaknya menggunakan obyek yang berkaitan dengan perempuan, khususnya pekerja seks komersial (PSK). Bibir dan gincu perempuan menjadi andalannya. Itulah yang dia tampilkan pada karyanya yang berjudul A Thousand Gossips (2008) dengan visual puluhan bibir yang berjajar rapi, dalam keadaan bicara maupun diam. Atau karyanya yang lain berjudul Klien dan Tak Selamanya Indah. Semua bicara soal dunia PSK yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan malam hari di sudut-sudut kota.

Mengkaburkan Lanskap Kota

Lukisan-lukisan Dadan berupaya menghentak kesadaran warga kota mengenai lanskap dan pemandangan yang ada di sekitar mereka dengan cara tak lazim.

TEKS : IWAN SAMARIANSYAH

MEMANG pelukis yang terlebih dahulu mendalami fotografi, mau tak mau akan terpengaruh oleh teknik-teknik pemotretan. Itu pula yang sepertinya dialami oleh perupa asal Bandung, Dadan Setiawan. Hasil karyanya yang dipamerkan dalam pameran tunggal di D Gallerie Jakarta pada 26 November – 6 Desember dengan tema ”Critical Gauge” jelas-jelas menunjukkan kuatnya pengaruh fotografi pada karyanya.

Hanya saja, Dadan berupaya menawarkan suatu karya seni dengan pendekatan fotografis yang agak berbeda. Obyek lukisan yang sebagian besar adalah pemandangan lanskap kota dipindahkannya ke atas kanvas dengan cara yang tak lazim. Bukan memakai kuas, lazimnya para pelukis melainkan memakai palet. Terciptalah lanskap lukisan yang seakan adalah karya foto yang tidak fokus dan agak kabur, namun mengandung keindahan.

”Ide saya adalah mencoba mengambil gambar dari kamera beresolusi rendah, kemudian dari gambar itu lantas saya tuangkan di atas kanvas. Semua lanskap yang tertangkap itu lantas saya konsep dengan teknik piksel, baru kemudian dituangkan di atas kanvas dengan memakai palet,” ujar Dadan kepada saya, berbincang-bincang sejenak di sela-sela pembukaan pameran yang ramai dikunjungi pencinta seni lukis itu.

Begitulah. Dadan berhasil menarik perhatian pengunjung dengan kreatifitasnya yang tidak biasa sehingga mewujud dalam sebuah pencapaian estetika yang unik. Ada 16 karya terbarunya berbagai ukuran mulai 100 x 170 cm hingga 120 x 190 cm digelar di ruangan tempat pameran yang tak begitu luas itu. Lukisan-lukisan tersebut dilego dengan kisaran harga Rp 14,5 – 18,5 juta. Beberapa langsung terjual dan diminati sejumlah kolektor malam itu.

Fotografi, bagi seorang Dadan, memang diakrabinya sedari usia remaja. Anak muda kelahiran Bandung, 11 September 1979 itu mendalami seni rupa di FSRD ITB Bandung yang diselesaikannya pada 2004. ”Saya sudah terbiasa menggunakan peralatan fotografi sejak remaja, jadi wajar kalau kemudian saya berupaya mengkombinasikan seni lukis dan fotografi dalam karya-karya,” katanya.

Sikap Dadan ini tentu saja seolah bertentangan dengan sikap dan pandangan para pelukis impresionis klasik yang menganggap penting untuk tegas mengambil jarak dengan hasil dan teknologi fotografi. Dadan mengakrabi lukisan piksel itu setelah secara tidak sengaja menghasilkan sejumlah gambar kabur dari kamera digital telepon seluler generasi awal yang menghasilkan imej sederhana namun menarik.

Rizki A Zaelani dalam kuratorial pameran menulis bahwa jejak pembesaran imej yang dihasilkan teknologi representasi yang sederhana itu pada lukisan-lukisan Dadan, menampakkan efek bentuk yang terpecah. Namun keterpecahan ini bukan membuatnya menjadi produk yang gagal, malah menjadikan situasi keberadaannya sebagai bagian-bagian yang terstruktur. Efek inilah yang disebut dengan efek piksel atau picture selection.

”Buat saya, penetapan subject matter pemandangan (scenary) dalam lukisan-lukisan Dadan Setiawan menunjukkan hasil penumpukan persepsi mengenai tema pemandangan alam (landscape) dan pemandangan kota (cityscape) sekaligus. Selain itu dia tak lagi soal dengan apakah hasil karyanya merupakan ekspresi abstrak ataukah realistik,” urai Rizki, dalam buku katalog pameran.

Kesemua lukisan Dadan memang seperti karya fotografi yang blur, terlihat tidak maksimal, berbayang dan kabur. Tetapi justru disitulah letak keunikan sekaligus keindahan karya tersebut. Mengapa Dadan tertarik membuat karya seperti ini? ”Ya, bisa jadi saya sekedar mengikuti kata hati sesuai semangat zaman dan gejala global. Yaitu banyaknya orang tertarik pada karya digital,” kata Dadan.

Teknik pembuatannya juga unik. Pertama-tama Dadan menggunakan kamera fotografi mengambil lanskap yang dia inginkan. Kemudian di atas kanvas dia menggunakan pisau palet, cat minyak menorehkan lanskap itu sedemian rupa, sedikit demi sedikit. Semua tentu saja membutuhkan ketelitian dan kerapian, sehingga menghasilkan karya yang unik, seperti lukisan yang tersusun dari ratusan kotak-kotak kecil.

Dan memang bila dilihat dari dekat, nyata sekali bahwa torehan pisau palet itu lantas membentuk gambar terdiri dari bentuk kotak-kotak yang tersusun rapi. Kalau dari jauh, hal itu tak terlihat. Semua lanskap yang dia tampilkan di D Gallery kesemuanya berkisah mengenai berbagai sudut kota Bandung, tempat dia bermukim saat ini.

Saya menyimak satu karyanya berjudul ”Still from a Glimpse” yang menampilkan salah satu sudut kota Bandung. Figur yang ada di jalan dibuatnya tak fokus, kecil sementara pohon-pohon di kota dengan warna hijaunya mendominasi kanvas. Kadang warna hijau pepohonan dibaurkannya dengan warna-warna lain sehingga terkesan misterius, namun tetap harmonik.

Dia melukiskan suasana lingkungan hidup dan urbanisasi yang digaya-gayakan. Karya Dadan dengan judul yang kesemuanya berbahasa Inggris itu mengambil lanskap kota di Jalan Taman Sari, dekat kebun binatang, di kawasan Dago, dekat tempat tinggalnya, ada juga alun-alun Bandung dan Gedung Asia Afrika. Karyanya pun berseri seperti seri What is Visually Exciting dan An Actual Experience of Being there to See it Ourselve.

Untuk menikmati karya Dadan Setiawan yang unik itu, sang pelukis memberi resep sederhana. ”Ambil saja jarak pandang tertentu terhadap lukisan itu untuk bisa mengenal gambaran atau apa pun yang ada di atas kanvas. Maka secara perlahan, akan tercipta satu lanskap yang mungkin anda pernah mengenalnya,” katanya seraya tersenyum.

Balai Lelang Naik Daun

Para perupa lebih banyak berhubungan dengan galeri, namun peran art dealer dan coneurship juga cukup menentukan. Di sini balai lelang menjadi entitas pelengkap perkembangan seni.

TEKS IWAN SAMARIANSYAH

Ada sinyalemen kuat balai lelang telah menjadi salah satu alternatif investasi paling mempesonakan, saat berbagai komoditas cenderung mengalami penurunan nilai, seiring krisis ekonomi di Indonesia. Dan memang, nama-nama balai lelang yang berkembang belakangan ini cenderung baru berdiri setelah tahun 2000.

Dampaknya bukan main. Harga karya seni tiba-tiba saja banyak yang melambung hingga ke tingkat yang tidak masuk akal. Perupa yang baru saja naik daun seperti Dipo Andi, Galam Zulkifli, dan mungkin yang paling fenomenal adalah I Nyoman Masriadi dan Rudi Mantovani langsung melonjak. Karya-karya lukis mereka dihargai ratusan juta, bahkan hingga milyaran rupiah. Balai lelang telah menjadi ajang untuk menggoreng harga karya seni secara gila-gilaan.

Konon, naik daunnya balai lelang banyak ditentukan oleh sepak terjang sejumlah art dealer di tanah air. Merekalah yang menentukan karya lukis mana yang perlu ”digoreng” dalam rangka mencari untung dan komersialisasi karya seni yang dibuat oleh para perupa di tanah air. Para art dealer ini, terkadang bukanlah seorang coneurship, sebuah kosakata yang mengacu pada pihak yang dapat melihat masa depan karya seorang perupa. Mereka hanya mencoba mencari peruntungan dengan mengomodifikasikan benda seni, termasuk lukisan.

Sekadar menyegarkan ingatan, balai lelang di tanah air yang berkonsentrasi di bidang karya seni kurang dari satu dasawarsa ini adalah Larasati, Sidharta Auctioneer, Masterpiece, Cempaka Auction, Borobudur dan Balindo (Balai Lelang Indonesia).

Dari catatan yang ada, nama-nama balai lelang yang disebutkan di atas, baru berdiri pada kurun waktu tahun 2000-an. Balai Lelang Larasati, misalnya, didirikan pada April 2000 oleh tiga serangkai anak muda yakni Daniel Kumala, Yudi Wanandi dan Amir Sidharta. Ketiga anak muda ini berasal dari keluarga kolektor lukisan terkemuka di tanah air masing-masing Halim Kumala, Jusuf Wanandi dan keluarga Sidharta.

Sebenarnya balai lelang Masterpiece berdiri sudah lebih dahulu, yaitu pada 7 September 1997. Pendirinya adalah Wesly, Benny Rahardjo dan Swany Ninawati. Hanya saja, lelang lukisan pertama baru dilakukannya pada 27 Juni 2003. Benny Rahardjo adalah usahawan ulet yang berpengalaman menjadi penyelenggara pameran lukisan di berbagai mall di tanah air sejak tahun 1990-an.

Masterpiece lantas menjadi balai lelang yang dikenal dinamis dan secara rutin melakukan kegiatan lelang lukisan. Selain itu para pengelolanya juga mendirikan dua anak perusahaan lelang bernama Heritage dan Treasure.

Setahun setelah Masterpiece, berdirilah Balindo (Balai Lelang Indonesia) yang didirikan oleh George Gunawan pada 18 Februari 1998. Sebenarnya, balai lelang ini tidak dimaksudkan untuk melelang karya seni, melainkan membantu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menjual aset-aset perbankan yang terlikuidasi saat itu mulai dari mesin ketik, komputer, meja kursi, mobil sampai gedung.

Balindo akhirnya terjun juga ke lelang benda-benda seni karena ternyata diantara aset-aset perbankan itu ada pula sejumlah karya seni yang sebelumnya menjadi hiasan kantor bank-bank tersebut. Kegiatan ini dibawah koordinasi Johan Karunia dan marak sampai dengan tahun 2003. Setelah itu kegiatan Balindo cenderung sepi.

Pada tahun 2006, Amir Sidharta yang ikut mendirikan Larasati lantas membuat balai lelang sendiri yang dinamakannya Sidharta Auctioneer. Bila Larasati kerap memamerkan karya-karya seni yang cenderung konservatif dengan rekor harga yang spektakuler, maka balai lelang Sidharta ini cenderung melelang lukisan dan karya seni lainnya yang relatif terjangkau harganya.

Pada tahun 2004, berdiri pula balai lelang Cempaka Fine Art Auction, bersamaan dengan susutnya kegiatan lelang karya seni di Balindo. Pegiatnya tak lain Johan Karunia yang dibantu Yuanita Sawitri, puteri dokter Poernomo yang sejak lama dikenal sebagai kolektor lukisan di Malang, Jawa Timur.

Di luar itu, pasar seni rupa kontemporer Indonesia juga masuk ke dalam Sotheby’s dan Christie. Melalui kedua koridor bisnis internasional itu, banyak karya seni Indonesia menerobos batas wilayah. Beberapa nama kadung dikenal. Riangkah seniman-seniman kita?

Tak semua. Ada banyak seniman yang merasa tak nyaman dan rela karyanya ”digoreng” di balai lelang. Ada seniman yang menganggap karya seni lukis baru itu tidak memiliki estetika atau sense of art ketika masuk di ruangan lelang.

Agus Suwage, perupa asal Yogyakarta, bahkan mengatakan terus terang bahwa dia tidak rela menjual karyanya lewat balai lelang. ”Saya juga tidak pernah berhubungan dengan balai lelang. Tapi, beberapa orang membeli karya saya, lalu mereka menjual lagi lewat lelang itu saya ketahui belakangan,” ujarnya kepada Ahmad Nurhasim dari ARTi.

Menurut dia, untuk karya yang dilelang, biasanya orang membeli lukisan bukan karena kesukaan mengoleksi, tapi semata-mata motif bisnis. Mereka hanya mencari untung. ”Ini yang merusak seni rupa,” tegasnya.

Dikatakannya, balai lelang memang mengangkat harga dan martabat perupa. Tapi, menurut Agus Suwage, lelang lukisan di Indonesia kurang selektif dan terlalu sering dilakukan. ”Masakan satu balai lelang dalam setahun berkali-kali lelang. Karya yang baru saja jadi lalu dipamerkan di galeri, pada bulan yang sama atau tahun yang sama dijual lagi lewat lelang. Gila kan ?” katanya.

”Saya kecewa kalau karya saya dibeli orang lalu dilelang. Biasanya, kalau tahu saya hanya bisa melakukan personal black. Saya lebih suka karya saya benar-benar dibeli kolektor sejati untuk disimpan pribadi atau museum. Saya kurang suka dibeli kolekdol (koleksi sebentar lalu didol). Lelang memang meramaikan bisnis seni rupa. Tapi, harus seimbang antara bisnis dan kualitas karya. Jangan sampai karena mengejar untung, etika dalam seni rupa ditabrak,” ujarnya.

Sementara itu, perupa asal Bandung yaitu Tisna Sanjaya mengatakan bahwa sudah sepatutnya para perupa mewaspadai sepak terjang balai lelang. Menurut dia, motif dari lelang itu jelas untuk kepentingan kapitalisme. Tidak ada kepentingan apresiasi terhadap karya seni di dalam dunia lelang saat ini dan seniman tidak pernah diajak bicara mengenai karya seninya.

”Buat saya, lelang adalah sebuah konspirasi besar antara curator lelang, pedagang dan mafia lukisan. Seniman hanya diposisikan sebagai obyek untuk keuntungan para mafia lukisan. Memang, lelang lukisan sangat berdampak pada ekonomi seniman secara positif. Pada satu sisi harga yang tinggi dalam lelang merupakan hikmah dari seni rupa kontemporer di Indonesia saat ini. Di sisi lain justru akan menjadi bom waktu yang akan membunuh seniman itu sendiri. Bagaimana nasib seniman setelah lelang itu?” ujar Tisna kepada Argus Firmansyah dari ARTi di Bandung.

Sementara itu, satu hal menarik diungkap oleh Amir Sidharta, pemilik balai lelang Sidharta Auctioneer yang dihubungi Ahmad Nurhasim secara terpisah. Amir menolak tudingan Agus Suwage dan Tisna Sanjaya bahwa semua motif balai lelang semata-mata demi keuntungan komersial belaka. ”Sidharta Auctioneer memberikan alternatif yang berbeda dari balai lelang-balai lelang yg ada,” kata dia.

Menurut dia, balai lelang yang dia miliki bermaksud untuk memperlihatkan suatu cara pandang yang berbeda dalam menilai karya seni. Dia melihat bahwa balai-balai lelang yang ada selalu menawarkan karya-karya yang memang sudah laku di pasar dan biasanya juga didapat dari galeri, para dealer, dan spekulan. Karya para perupa yang belum pernah muncul ke permukaan juga masih cukup banyak dan dapat diangkat.

Itulah yang membuat Sidharta Auctioneer lantas mempelopori lelang Artfordable dan Luxurious Vintage untuk barang-barang antik.

Dikatakannya, lelang jangan dinilai negatif saja. Lelang bisa menjadi wadah bagi orang untuk mendapat harga yang paling fair dalam waktu yang paling cepat meskipun memang tidak selalu begitu, untuk aset yang perlu dilepas. Selain itu, di balai lelang para peminat karya seni juga mendapatkan alternatif tempat untuk mencari karya-karya seni yang menarik dengan harga yang juga fair dan transparan.

”Di forum lelang kelihatannya memang ada beberapa usaha goreng-menggoreng harga. Hal ini bisa terjadi karena kebanyakan karya seni dianggap undervalued dan mereka ingin menciptakan harga yang lebih pantas. Hal ini konon juga sering terjadi di pasar modal. Untuk itu perlu ada perangkat hukum untuk mengatur soal ini, terutama melindungi pembeli dari penipuan,” ujarnya.

Sementara itu, dihubungi secara terpisah Hauw Ming yang dikenal sebagai kolektor lukisan dan relasinya luas di dunia balai lelang menyampaikan keluhannya soal tiadanya seleksi dan standarisasi karya seni yang dilelang di Indonesia. ”Kalau di luar negeri relatif lebih baik, sistemnya lebih mapan sehingga kita sebagai kolektor mendapatkan jaminan bahwa kita membeli suatu karya dengan harga yang pantas,” ujarnya kepada Ahmad Nurhasim.

”Kalau dulu kita mesti hati-hati dengan lukisan palsu, sekarang karyanya asli harganya yang palsu. Maksudnya, karya yang sama dilelang dalam jarak yang berdekatan. Katakanlan bulan pertama di lelang, bulan kedua dan ketiga juga dilelang. Setiap lelang harganya naik. Bisa dilihat dikatalog lelang. Pembelinya juga itu-itu saja. Kayak main-main saja. Ini yang saya sesalkan,” katanya.

Sekedar membandingkan, Hauw Ming mengatakan bahwa ada perbedaan lelang karya lukisan di Indonesia dengan di luar negeri, terutama Singapura dan Hongkong. Lelang di Indonesia sangat sering. Bisa setiap minggu atau setiap bulan. Ada barang langsung dilelang. Kalau di luar negeri lelang setahun hanya dua kali, sehingga memiliki waktu yang panjang untuk menyeleksi dan memilih karya-karya seni yang berkualitas dan layak lelang. Idealnya memang setahun dua kali.

Menurut dia, para pemain lelang baru di Indonesia benar-benar bermotif untung. Bahkan pernah ada pengelola lelang mencari dan membeli karya seni dari perupanya langsung. Mereka bergerilya langsung ke seniman. Itu kan tidak boleh. Balai lelang tidak boleh membeli langsung ke perupanya. Perupa kan hubungan dengan galeri. Itu kan namanya melanggar etika.

”Karya yang boleh dilelang kan mestinya karya-karya yang sudah lama dikoleksi oleh para kolektor. Di Indonesia belum ada aturan lelang. Saya kasihan dengan para pemain baru ini. Mereka tidak tahu kualitas karya dan jejak rekam para perupa yang karyanya mereka perjual-belikan. Asal ada barang, ya mereka beli lalu dijual lagi di lelang. Ini jelas merusak,” kata pria yang menjabat Ketua Asosiasi Pecinta Seni Indonesia itu.

Keadaan seperti ini jelas tidak hanya merugikan pemain baru, tapi juga seniman. Dia belum teruji kualitas dan konsistennya, tiba-tiba harga karyanya melambung tinggi. Dalam jangka pendek mereka bisa dapat uang banyak, tapi karier dan kreatifitasnya terancam. Seniman berkarya mengikuti selera pasar dan laris dijual. Saat ada arus pasar baru dia tidak bisa menyesuaikan, karyanya menjadi tidak laku. n iwansams@jurnas.com


*) Bahan-bahan tulisan dikumpulkan oleh Doddy Ahmad Fauzi dan Ahmad Nurhasim (Jakarta) serta Argus Firmansah (Bandung).

Humor Madihin Orang Banjar

Seni tradisi Madihin di kalangan orang Banjar mampu terus bertahan dan memiliki penggemar fanatik di kawasan Kalimantan bagian Selatan dan Timur.

IWAN SAMARIANSYAH

…balimbing matang diulah pancuk, anak saluang cucukiakan, para penonton nang datang silahkan masuk, kursi nang puang dudukiakan …”

Begitulah pantun khas pembukaan sebuah pentas madihin yang sempat saya datangi di sebuah perhelatan pernikahan di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Memakai bahasa Banjar dan dengan syair yang mendakik-dakik, penuh humor dan sindiran, itulah dia madihin, seni sastra lisan masyarakat Banjar yang begitu populer di Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur.

Pada awalnya saya tak begitu tertarik dengan kesenian madihin. Selain tak pernah mengenalnya sebagai satu seni tradisional yang punya penggemar begitu banyak, saya juga tak bergaul akrab dengan komunitas suku Banjar asal Kalimantan Selatan yang menggemari madihin ini. Barulah setelah adik kandung saya menikah dengan keluarga asal Banjar, Desember 2008 lalu, terusiklah rasa ingin tahu saya.

Madihin memang banyak ditampilkan pada acara-acara keluarga orang Banjar mulai dari pernikahan, kelahiran anak, hingga acara sunatan anak lelaki orang Banjar. Madihin juga dihadirkan ketika orang hendak berangkat ke tanah suci Makkah untuk berhaji atau perayaan nasional seperti peringatan HUT Proklamasi atau Dies Natalis. Iramanya rancak, riang dan syair-syairnya jenaka penuh humor.

Saya terpesona mendengar para pemadihin bersenandung. Begitu spontan dan lugas. Sindir sana-sini dan nuansa humornya begitu kental. Tak ayal lagi, para pendengarnya pastilah tertawa, setidaknya tersenyum saat pemadihin melontarkan bait-bait syair madihin yang khas itu. Tak heran bila pemadihin banyak dicari orang yang tujuannya untuk menghidupkan suasana perayaan, khususnya di daerah Banjar.

Dari sumber-sumber kepustakaan, saya memperoleh keterangan yang menarik soal asal-muasal istilah madihin. Versi pertama menyebutkan bahwa asal kata Madihin dari kata madah, sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia karena menyanyikan syair-syair yang berasal dari kalimat akhir yang bersamaan bunyinya. Madah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah kalimat puji-pujian. Bisa jadi karena memang banyak syair-syair madihin yang berisi puji-pujian.

”Seni madihin memiliki kemiripan dengan kesenian lamut atau mamanda, bedanya terdapat pada cara penyampaian syairnya. Kalau mamanda, syairnya berupa cerita atau dongeng rakyat yang mengarah pada seni teater dilengkapi dengan pemain dan tokoh cerita. Sedang lirik syair pada madihin seringkali spontan oleh pemadihinnya dan lebih mengandung humor segar yang menghibur,” ujar Dina Indriyati, salah satu aktivis kesenian di Banjar Baru, Kalimantan Selatan kepada saya.

Meski begitu, ada pula pendapat lain yang berkembang. Madihin disebut-sebut berasal dari bahasa Banjar yaitu papadahan atau mamadahi (memberi nasihat), pendapat ini juga bisa dibenarkan karena isi dari syairnya memang banyak berisi nasihat. Tak heran, pemadihin banyak dikontrak dalam berbagai acara pernikahan. Tugasnya memberi nasihat perkawinan untuk sang pengantin, tentu saja.

Darimanakah asal muasal kesenian madihin tersebut ? Sirajul Huda, mantan Kepala Taman Budaya Kalimantan Selatan dan sesepuh para seniman madihin kepada saya mengatakan bahwa asal muasal kesenian madihin sulit ditegaskan. ”Ada yang berpendapat dari kampung Tawia, Angkinang, Hulu Sungai Selatan. Dari Kampung Tawia inilah kemudian menyebar kemana-mana,” ujarnya.

Dan memang pemain madihin atau pamadihin yang terkenal itu umumnya berasal dari kampung Tawia. Namun, sebagian Sirajul mengakui bahwa ada pula yang mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari Malaka (salah satu daerah di Malaysia, red). Alasannya, ada pengaruh kuat syair dan gendang tradisional dari tanah semenanjung Malaka yang sering dipakai dalam mengiringi irama tradisional Melayu asli.

Namun, yang jelas madihin hanya mengenal bahasa Banjar dalam semua syairnya. Dan hanya populer di komunitas orang Banjar. Artinya, orang yang memulainya tentulah orang-orang dari suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan, sehingga bisa dilogikakan bahwa madihin berasal dari Kalimantan Selatan. Diperkirakan madihin telah ada semenjak Islam menyebar di Kerajaan Banjar, dan dipengaruhi kasidah.

Menurut Sirajul, pada abad lalu, fungsi utama madihin adalah untuk menghibur raja atau pejabat istana. Dan karena itulah isi syair yang dibawakan kebanyakan berisi puji-pujian kepada kerajaan. Selanjutnya setelah pengaruh kerajaan meredup, madihin lantas berkembang dan berubah fungsi menjadi hiburan rakyat di waktu-waktu tertentu, misalnya pengisi hiburan sehabis panen, acara pernikahan dan perayaan lainnya.

Dari sisi bentuk, kesenian madihin umumnya digelar pada malam hari, dengan lama pergelaran biasanya lebih kurang 1 - 2 jam sesuai permintaan. Dahulu pementasannya banyak dilakukan di lapangan terbuka agar menampung cukup banyak penonton, namun seiring dengan perkembangan jaman, saat ini pementasan madihin lebih sering digelarkan di dalam gedung tertutup. Pemadihin bisa secara kelompok atau tunggal.

Yang menarik, bila dibawakan kelompok, biasanya madihin dilakukan oleh 2 - 4 pemain yang saling bersaing. Dan sungguh unik. Mereka seolah-olah bertanding adu kehebatan syair, saling bertanya jawab, saling serang, saling sindir, dan saling kalah mengalahkan melalui syair yang mereka lontarkan. Jadi seolah-olah antara pasangan yang satu dan pasangan yang lain melakukan jual-beli syair.

Duel madihin seperti ini disebut baadu kaharatan (adu kehebatan). Kelompok atau pemadihinan yang terlambat atau tidak bisa membalas syair dari lawannya akan dinyatakan kalah. Sayangnya, menurut para pamadihin sendiri, pentas duel madihin seperti ini sudah jarang sekali diadakan. ”Kebanyakan sekarang ya pentas berpasangan saja, jarang sekali ada undangan untuk baadu kaharatan,” kata salah seorang seniman.

Jika dimainkan hanya oleh satu orang maka pemadihin tersebut tentu harus bisa mengatur rampak terbang dan suara yang akan ditampilkan untuk memberikan efek dinamis dalam penyampaian syair. Pemadihinan secara tunggal layaknya seorang orator, maka dia harus pandai menarik perhatian penonton dengan humor segar serta pukulan tarbang yang memukau dengan irama yang cantik.

Struktur pegelaran kesenian madihin umumnya sudah baku. Urutan-urutannya selalu dimulai dari pembukaan, dilanjutkan dengan memasang tabi baru kemudian materi madihin dimulai, yang kemudian diakhiri dengan berpamitan kepada para penonton. Itu pula yang sempat saya saksikan saat saya berkunjung ke Kalimantan Selatan tempo hari dan menyaksikan salah satu pentas madihin.

Pembukaan dilakukan dengan melagukan sampiran sebuah pantun yang diawali pukulan tarbang disebut pukulan pembuka. Sampiran pantun ini biasanya memberikan informasi awal tentang tema madihin yang akan dibawakan nantinya. Sedangkan memasang tabi yaitu membawakan syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, ucapan terima kasih dan memohon maaf apabila ada kekeliruan dalam pergelaran nantinya.


Materi atau isi madihin (manguran) baru dimulai setelah tabi disampaikan. Ini semua untuk menunjukkan kerendahan hati. Isi madihin yang disampaikan syair-syairnya haruslah selaras dengan tema pergelaran atau sesuai yang diminta tuan rumah. Untuk itu, sebelum sampai ke pokok acara, disampaikan terlebih dahulu sampiran pembukaan syair kepada penonton (mamacah bunga).

Dan akhirnya, setelah 1-2 jam pamadihin kemundian menyampaikan penutup. Dia lantas menyimpulkan apa maksud syair yang disampaikannya seraya menghormati penonton memohon pamit ditutup dengan pantun penutup. Dan penggemarpun bertepuk tangan meriah sembari membubarkan diri. Mulai dari pemadihin di pelosok-pelosok desa hingga yang seterkenal John Tralala dan anaknya Hendra selalu bermadihin dengan cara itu.

Sebagai bentuk seni sastra lisan yang dipentaskan, maka bila dicermati madihin dari Banjar, Kalimantan Selatan ini mirip dengan bakaba atau saluang dari masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat), atau Sinrilik dari Makasar (Sulawesi Selatan). Pada beberapa segi bahkan pentas Madihin yang saya saksikan sedikit banyak mirip dengan marawis pada masyarakat Betawi di pinggiran kota Jakarta.

Jika isi cerita berasal dari bentuk pantun, syair, puisi ataupun prosa pada saluang dilagukan dengan diiringi instrumen sejenis yaitu suling, dan pada sinrilik dengan instrumen berupa rebab (keso-keso), maka pada madihin instrumen yang digunakan sebagai pengiring cerita yang dilagukan adalah instrumen perkusi berupa terbang (sejenis gendang rebana, namun berukuran lebih besar dan berat).

Instrumen yang digunakan pada kesenian madihin ini memang dibuat khusus untuk membawakan madihin (bamadihin), sehingga mempunyai bentuk, cara penggunaan, dan mengeluarkan bunyi agak berbeda dari terbang yang biasa digunakan di dalam kesenian rebana, hadrah maupun sinoman yang juga kesemuanya dikenal sebagai seni tradisi dengan pengaruh Islam yang kuat.

Nanang, salah satu seniman madihin yang sempat saya temui memperlihatkan terbang madihin. Menurut dia, terbang madihin itu dibuat dari bahan-bahan seperti kayu nangka, jingah atau rajawali untuk badan terbang (kerongkong); kulit kambing untuk selaput (membrane) sumber bunyi bila ditabuh; pasak dari kayu atau bambu; rotan dan latung (belatung), atau bisa juga dari lempengan tembaga atau jenis metal lainnya untuk penguat dan mengencangkan kulit selaput terbang.

Ukuran garis tengah lingkaran pada permukaan terbang yang ditutupi kulit sekitar 35 sampai 45 cm, sedangkan garis tengah lingkaran bagian belakang (bawah) lebih kecil, dan tinggi badan terbang sekitar 27 cm. Ketebalan rata-rata kerangka badan (kerongkong) terbang sekitar tidak lebih dari dua sentimeter. Spesifikasi terbang semacam ini cukup berat bila hendak dimainkan secara berdiri sebagaimana pada rabana atau hadrah.

Karena itulah untuk memainkan atau menggunakan instrumen ini haruslah dilakukan dengan cara dipangku oleh si seniman (pamadihin). Barangkali karena beratnya itu dan juga besarnya, Sirajul mengatakan, untuk paling tidak pada masanya dahulu, ”bila perempuan yang bermadihin maka biasanya tidak menggunakan terbang”.

Instrumen pada seni madihin memang relatif sangat sederhana, begitu pun perlengkapan maupun aksesoris lainnya pada saat madihin dipentaskan. Kekuatan seni ini sesungguhnya terletak pada kemampuan senimannya dalam mengekspresikan fenomena sehari-hari yang disesuaikan dengan acara atau situasi pada saat dipentaskan. Pakaian yang digunakan pamadihin biasanya pakaian daerah adat Banjar, dan ini pun bukan sebagai suatu keharusan.

Kesederhanaan seni ini juga tampak pada saat penampilannya yang tidak perlu banyak gerak. Gerakan hanya seperlunya dan gerakan lebih banyak karena proses menabuh terbang. Pamadihin cukup duduk di kursi, atau bahkan di lantai, dengan posisi memangku terbang kemudian melantunkan cerita yang telah dipersiapkan secara garis besarnya dengan diiringi suara tabuhan terbang yang dia lakukan sendiri.

Popularitas pamadihin John Tralala dan Hendra puteranya memang sebuah fenomena yang menarik. Dia beberapa kali juga pentas di TVRI dan beberapa stasiun TV swasta nasional. Dia tetap mempertahankan gaya dan bahasa Banjar yang khas itu dan merupakan contoh yang positif bagi perkembangan kesenian daerah. Penampilannya nampak tetap memikat penonton.

Kesuksesan dan popularitas John Tralala sebagai seniman madihin, boleh dikatakan sungguh menarik perhatian. Bahkan salah satu partai politik secara cerdik kemudian menjadikanya sebagai salah satu calon legislatif pada Pemilu 2009 ini. Kehadiran John Tralala dan Hendra memang ibarat jaminan mutu bagi suatu pentas madihin di tanah Banjar. Orang bahkan rela membayar untuk menyaksikan penampilannya.

Selain John Tralala, tentu saja cukup banyak seniman pemadihin yang terus bekiprah di daerah ini. Ini dikarenakan cukup banyaknya festival festival madihin yang relatif rutin diselenggarakan baik untuk umum, mahasiswa, maupun remaja atau pelajar oleh berbagai organisasi. Di masa depan, madihin tak akan kekurangan kader, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.

…… kahada lagi kita malalakun akan, jadi bamandak ka‘ai kita batahan, ayu kita cuba batahan, ibarat motor masuk nang ka taksian, kapal udara turun di medan, bila kapal di laut ka‘ai di palabuhan, iabrat sapida dikacak rim kanan, lihat di subalah nang laki binian, sidin ka‘ai pina u‘ungutan, nang apa lagi dipikirakan, nang kaya punai sadang ka kayangan, jadi bamandak kita ka‘ai batahan, balajur tarbang disarahakan, sadang bamandak dahulu baahan ……..

Begitulah syair seorang pamadihin saat sang seniman mengakhiri pagelarannya, disambut gegap gempita tepuk tangan dan suitan para penggemarnya.

Sabtu, Desember 12, 2009

Hongkong Memulainya dengan Pemecatan Massal

BEGITU banyaknya orang yang frustasi menghadapi penyakit kronis bangsa ini yaitu korupsi. Kenapa tidak mencoba belajar dari Hongkong? Ya, karena akutnya praktek korupsi di kepolisian Hongkong akhirnya pemerintah negara itu pada tahun 1970-an melakukan langkah drastis yaitu semua polisi dan jaksa di negara pulau itu dipecat tanpa kecuali !

Pemberantasan korupsi di Hongkong puncaknya terjadi tahun 1973. Sebelumnya, usaha pemberantasan korupsi ini sudah dilakukan beberapa kali namun selalu gagal, dan sudah banyak korban pula yang berjatuhan. Nyaris tak ada polisi, jaksa dan hakim baik panjang umurnya di negara pulau itu.

Benar-benar seperti cerita perang antar mafia di film-film Hongkong, saling tembak dan saling bunuh di jalanan. Bagaimana bandit-bandit di Hongkong kala itu bersekongkol dengan polisi menguasai dan berbagi "wilayah" operasinya, untuk pelacuran, penjudian dan narkotika. Bahkan merampok bank dengan senjata AK-47 juga terjadi. Luar biasa memang.

Pernah dibuat satu film untuk menggambarkan situasi parahnya korupsi di Kepolisian Hongkong ketika itu. Judulnya ICAC. I Corrupt All Cops 2009. Ngeri dan brutal. Pimpinan polisipun dibunuh dengan ditabrak truk didepan anak buahnya. Yang lucu, saking parahnya dunia korupsi di kepolisian Hongkong, istri dipakai atasanpun tidak bisa menolak!

Usaha yang berhasil dalam soal pemberantasan korupsi di Hongkong pada awalnya digagas oleh seorang polisi baik, yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah kolonial Inggris, yang ketika itu tentu saja pusing tujuh keliling menghadapi jaringan kerja sama antara koruptor dan mafia kuning.

Bisa berhasil diatasi, tentunya faktor yang cukup menentukan adalah Gubernur koloni Inggris di Hongkong ketika itu, Sir Murray Mac Lehose (1971-1982) termasuk seorang pemimpin Hongkong yang keras dan berani ambil tindakan tegas. Dan jelas dia tidak terlibat dalam persekongkolan mafia yang terjadi. Tak lama setelah ditunjuk sebagai Gubernur, dia mencanangkan dua tahun masa jabatannya adalah bertempur dengan korupsi ! Dan itu tidak sekedar dia pidatokan. Dia langsung bertindak !

Usahanya itu membutuhkan aparat yang bersih dan berwibawa. Dan dia dibantu oleh sejumlah polisi baik bermental baja yang rela bertarung nyawa dengan mafia pengadilan. Sejumlah "polisi gila" yang punya nyawa cadangan benar-benar melakukan perang terhadap mafia Hongkong tersebut. Semua polisi baik itu berada langsung di bawah komando sang Gubernur ! Kepala polisi pun tak bisa apa-apa dan mafia-mafia Hongkong kalang kabut.

Dari pihak pemerintah Hongkong sendiri, usaha ini ditunjang pula dengan berbagai tindakan yang sama-sama gilanya. Extra Judisial. Yang paling drastis ya itu tadi : memecat semua aparat polisi, jaksa dan hakim di seluruh Hongkong, diganti sementara dengan polisi, jaksa dan hakim dari India dan Australia. Berbarengan dengan itu Hongkong melakukan perekrutan polisi, hakim, dan jaksa baru yang diseleksi dengan sangat ketat.

Bukan hanya aparat penegak hukumnya saja. Petugas administrasi yang bekerja di semua kantor polisi, jaksa dan hakim juga dipecat. Diberhentikan. Semua dengan pesangon yang cukup. Lebih dari separoh APBN Hongkong dipakai untuk memberikan pesangon bagi mereka.

Lantas kepada polisi, hakim dan jaksa yang dipecat dan terindikasi korupsi itu ditawarkan untuk pergi dari Hongkong, dengan jaminan tidak akan diusut, dan harta hasil korupsinya juga tidak akan dirampas oleh negara.

Tetapi kepada mereka yang memilih tetap tinggal di Hongkong akan diusut. Jelas yang berani dan punya nyali untuk tetap tinggal di Hongkong hanya yang benar-benar bersih saja. Yang merasa tangan dan kantongnya berlumuran harta hasil korupsi kabur ke luar negeri.

Mantan Polisi, hakim dan jaksa tersebut sebagian besar kabur ke Kanada, dengan membawa semua harta haramnya, tersebar di beberapa China Town di kota-kota besar. Pemerintah Kanada memilih menutup mata terhadap latar belakang mereka, asalkan mereka membawa uang yang cukup besar yang diperlukan untuk membangun Kanada.

Anehnya, para mafia tersebut di Kanada tidak berani berbuat onar, hanya menguasai lingkungan China Town saja. Sampai awal tahun 90-an, sekitar 17 tahun sejak berhasilnya pemberantasan korupsi tersebut, mulailah perilaku aparat hukum berubah. Sogok-menyogok tak ada lagi karena ketahuan sanksinya dipecat !

Hanya saja kelakuan masyarakat Hongkong yang selama puluhan tahun hidup dalam cengkeraman mafia, masih belum bisa secara total merubah kebiasan buruknya. Tipu-tipuan dalam bisnis berlangsung terus, terutama kepada para turis yang mampir ke Hongkong. Tak terhitung banyaknya orang Indonesia yang tertipu di Hongkong, mulai dari tipuan dalam hal pengobatan, ditakut-takuti agar membeli obat yang mahal-mahal, sampai tipuan barang dagangan seperti barang lama dikatakan model terbaru.

Tetapi karena polisi, jaksa dan hakimnya sudah bersih. Perilaku macam begitu tidak dibiarkan begitu saja. Dan pebisnis Hongkong yang nakal itu kena batunya. Disidik, diajukan ke pengadilan dan dijebloskan ke penjara tanpa ampun. Menyuap atau mencoba menyuap? Hukumannya langsung dilipatgandakan ! Tidak ada ampun. Tidak ada belas kasihan.

Kemudian tahun 1974 Gubernur Mac Lehose membentuk ICAC (Independent Commission Against Corruption) yaitu lembaga semacam KPK yang ada di Indonesia. Hasilnya, masyarakat Hongkong mulai teratur dengan tegaknya hukum, menjadi satu masyarakat yang hidup didalam jalur ketentuan hukum yang ada. Orang bilang sejak itulah Hongkong ekonominya maju pesat dan bertahan sampai gempuran krisis moneter akhir 1997, sesaat setelah Hongkong kembali kepangkuan ibu pertiwi.

Krisis ekonomi 1997 di Hongkong memang mengerikan. Bom-waktu yang ditinggalkan pemerintah kolonial Inggris pun meledak. Saat itu karena pelayanan publik sudah bagus, dan kasus korupsi semakin jarang ditemui, sejak pertengahan tahun 80-an ekonomi Hongkong mengalami pemanasan. Gaji buruh dan pegawai naik begitu cepat.

Saat itu para pegawai di Hongkong merasa senang setiap tahun naik gaji bisa belasan bahkan lebih 20%. Hanya saja untuk mengejar harga rumah, sewa rumah juga naik dengan kecepatan tinggi. Begitulah kejar-mengejar adu cepat naik dengan harga yang terus membumbung tinggi. Tak perlu korupsi untuk menjadi kaya di Hongkong !

Akibatnya, menjelang krisis moneter 1997 melanda, banyak perusahaan dan pabrik tidak tahan untuk meneruskan usaha di Hongkong. Produknya tidak bisa bersaing di pasaran dunia. Dan kebetulan saat itu Tiongkok daratan sudah mulai melancarkan politik pintu-terbuka, maka berpindahlah sejumlah perusahaan dan pabrik ke Shen Zhen dan Zhu Hai.

Bahkan pabrik tenun terbesar di HK yang sudah bersejarah lebih setengah abad juga pindah ke Shen Zhen. Pengangguran dengan sendirinya meningkat, kehidupan mulai terasa berat.

Beruntung Pemerintah pusat di Beijing cukup kuat mengatasi kerumitan yang terjadi di Hongkong. Hanya dengan memperkenankan penduduk Tiongkok daratan lebih banyak melancong dan berbelanja di Hongkong, bisa membantu menghidupkan dan menaikkan ekonomi Hongkong dengan cepat. Tahun 2004 ekonomi sudah kembali pulih kembali, dan maju lebih baik dari tahun ketahun.

Di Indonesia, usaha pemberantasan korupsi baru tahap permulaan, baru menyentuh kulit2nya saja yang tentu masih sangat jauh untuk sampai ke inti permasalahannya. Belajar dari pengalaman Hongkong yang baru berhasil setelah pemerintah bertindak dengan tangan besi, tampaknya kita harus menunggu sampai beberapa kali pemilu lagi, sampai kita menemukan pimpinan negara yang benar-benar bertangan besi tapi bersih dan benar-benar membela rakyat. Bukan pemimpin negara yang cengeng dan minta dikasihani !

Iwan Samariansyah/bahan-bahan dari milis tionghoa-net

Kamis, Desember 10, 2009

Selamat Jalan Agus Sopian

Agus Sopian.

Begitu namanya. Sosoknya kecil. Kepalanya bulat, dan perawakannya sedang. Orang Garut.

Sebagai pelanggan Majalah Pantau, saya lebih banyak mengenal Agus lewat karya-karyanya. Nyaris tak pernah bertemu. Tetapi semua teman yang saya jumpai sepakat bahwa kang Agus, begitu saya memanggilnya, adalah orang baik. Baik budi dan baik hati.

Saya mulai mengenalnya lebih dekat saat sama-sama bekerja di sebuah surat kabar baru. Jurnal Nasional. Posisinya lebih tinggi. Kang Agus menjadi Redaktur Pelaksana dan saya salah satu Redaktur. Kami sering bertemu saat Rapat Redaksi digelar.

Kang Agus teguh memegang prinsip jurnalisme. Dan dia rela berdebat berjam-jam untuk mempertahankan prinsipnya itu. Tetapi dia juga seorang yang terbuka dengan kritik. Bahkan kritik yang sangat pedas dan keras sekalipun.

Diam-diam saya mengagumi kebesaran jiwanya.

Saya pernah bekerja di bawah almarhum saat pimpinan di Jurnas menugaskan saya memperkuat armada Redaksi Tabloid Koktail, salah satu penerbitan di bawah Jurnas. Ini tabloid yang berhasil dalam pengelolaan keredaksian tetapi sayangnya gagal dalam pemasaran. Dan akhirnya diamputasi.

Tim pengelola Koktail, termasuk saya kemudian membuat terbitan baru. Sebuah Majalah Seni. Namanya ARTi. Dan Mas Agus tetap memimpin tim yang sama dengan sedikit perombakan. Satu tahun penuh saya bekerja di bawahnya.

Dia pemimpin yang luar biasa. Juga konsisten. Saya sungguh beruntung bisa bekerjasama dengannya. Editingnya cermat. Cenderung kejam. Tapi dia selalu mampu menjelaskan mengapa dia membuang satu kata, satu kalimat atau mengganti diksi. Saya belajar banyak soal editing bidang kesenian dan budaya dari Kang Agus.

Sampai akhirnya tibalah 9 Desember 2009 itu. Hari ini saya mengikuti ajakan sejumlah teman untuk ke pusat peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia di kawasan Thamrin-Sudirman. Semacam ajang reuni untuk bekas pegiat mahasiswa di Jogjakarta. Pegal-pegal kaki saya karena mesti berjalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia menuju depan Istana Negara di silang Monas.

Sore harinya saat usai mengikuti unjuk rasa, empat SMS masuk. Salah satunya dari Hamid Dipo, Wakil Pemimpin Redaksi Jurnas. Saat itu saya tengah memegang stir mobil menuju kantor. Biasanya saya abaikan saja SMS atau telpon masuk saat sedang menyetir. Berbahaya.

Tapi entah kenapa, saya penasaran. Kebetulan jalan sedikit macet dan lalu lintas tersendat. Saya lirik SMS dari Hamid. SMS lain saya abaikan. Seketika sayapun kaget. SMS itu memberitahukan wafatnya Agus Sopian. Sudah beberapa bulan saya tak lagi bekerja di bawah mentor pria yang senang becanda itu. Saya dipindahkan dari Redaktur Kebudayaan Majalah ARTi menjadi Redaktur Bisnis dan Teknologi Majalah Eksplo.

Majalah Eksplo adalah majalah bisnis pertambangan dan energi. Berbeda jauh dengan ARTi. Saya dipindahkan ke Eksplo sejak April 2009 setelah genap setahun bekerja sebagai Redaktur ARTi. Kang Agus sendiri dipindahkan ke unit kerja baru bernama Unit News Development bersama Rusman.

Rusman, mantan wartawan Jakarta Post itu punya kisah menarik soal perkenalannya dengan kang Agus. Kedua orang ini punya perilaku sama. Senang bercanda. Klop. Rusman sebelumnya juga Redaktur di Majalah ARTi, sama dengan saya.

Saya mencoba menelpon Hamid dan Rusman usai mendapatkan SMS itu. Tidak bisa tersambung. Nadanya sibuk. Sayapun menelpon Doddy, salah satu Redaktur di Majalah ARTi. Dari Doddy saya mendapat kepastian tentang kabar itu. Tak terasa air mata saya jatuh. Pipi saya basah. Sayapun mengubah arah perjalanan langsung menuju RS Persahabatan di Rawamangun, Jakarta Timur.

Disana, sudah banyak teman yang datang. Kami bersalaman. Dan saya segera menuju tempat jenazah mendiang Agus disemayamkan. Kamar jenazah. Semua orang menunggu kedatangan Yanti, isteri almarhum dan anggota keluarganya dari Bandung.

Sampai akhirnya jenazah dimandikan, lantas dibawa ke kantor Jurnas. Banyak juga handai taulan yang datang ke Gedung Jurnas dan ikut menshalatkan jenazah almarhum di Musholla Jurnas.

Sedih saya kehilangan seorang sahabat dan mentor jurnalistik yang baik. Kang Agus lah yang memperkenalkan saya dengan istilah garis api (firewall) satu prinsip utama jurnalisme yg tak bisa ditawar-tawar. Kang Agus pula yang mengasah tulisan saya agar lebih berbau jurnalisme sastrawi.

Sedih saya menyaksikan jasadnya yang terbujur kaku. Tak terasa air mata saya menetes saat Andreas Harsono datang, menyalami isteri almarhum dan puteri semata wayang mereka. Puteri semata wayang mendiang Agus dan Yanti baru berusia 12 tahun, dan duduk di kelas 6 SD. Agus sendiri adalah anak tertua dari empat bersaudara. Saya sempat berbincang dengan Ade, adik kandung almarhum.

Kang Agus sebetulnya menderita sakit yang cukup lama, sejak lebaran tahun lalu. Saat itu, dokter memperingatkan almarhum agar mengurangi rokoknya dan memperbaiki pola hidupnya. Ada ancaman terhadap jantungnya.

Almarhum sudah berupaya untuk hidup sehat, dan berat badan juga pelan-pelan menyusut. Tetapi memang umur benar-benar rahasia Allah, dan berakhir hari ini di tengah-tengah peringatan hari anti korupsi sedunia, 9 Desember 2009.

Prosesi dan penglepasan almarhum oleh keluarga besar Jurnas berlangsung singkat dan sederhana. Diberangkatkan menuju rumah almarhum di Bandung malam ini juga.

Esok hari rencananya akan dilanjutkan ke Garut, dan dimakamkan dekat mertua beliau. Semoga amal dan jasa baik almarhum diterima Allah SWT dan dosa-dosanya diampuni.

Selamat jalan kang Agus.