Agus Sopian.
Begitu namanya. Sosoknya kecil. Kepalanya bulat, dan perawakannya sedang. Orang Garut.
Sebagai pelanggan Majalah Pantau, saya lebih banyak mengenal Agus lewat karya-karyanya. Nyaris tak pernah bertemu. Tetapi semua teman yang saya jumpai sepakat bahwa kang Agus, begitu saya memanggilnya, adalah orang baik. Baik budi dan baik hati.
Saya mulai mengenalnya lebih dekat saat sama-sama bekerja di sebuah surat kabar baru. Jurnal Nasional. Posisinya lebih tinggi. Kang Agus menjadi Redaktur Pelaksana dan saya salah satu Redaktur. Kami sering bertemu saat Rapat Redaksi digelar.
Kang Agus teguh memegang prinsip jurnalisme. Dan dia rela berdebat berjam-jam untuk mempertahankan prinsipnya itu. Tetapi dia juga seorang yang terbuka dengan kritik. Bahkan kritik yang sangat pedas dan keras sekalipun.
Diam-diam saya mengagumi kebesaran jiwanya.
Saya pernah bekerja di bawah almarhum saat pimpinan di Jurnas menugaskan saya memperkuat armada Redaksi Tabloid Koktail, salah satu penerbitan di bawah Jurnas. Ini tabloid yang berhasil dalam pengelolaan keredaksian tetapi sayangnya gagal dalam pemasaran. Dan akhirnya diamputasi.
Tim pengelola Koktail, termasuk saya kemudian membuat terbitan baru. Sebuah Majalah Seni. Namanya ARTi. Dan Mas Agus tetap memimpin tim yang sama dengan sedikit perombakan. Satu tahun penuh saya bekerja di bawahnya.
Dia pemimpin yang luar biasa. Juga konsisten. Saya sungguh beruntung bisa bekerjasama dengannya. Editingnya cermat. Cenderung kejam. Tapi dia selalu mampu menjelaskan mengapa dia membuang satu kata, satu kalimat atau mengganti diksi. Saya belajar banyak soal editing bidang kesenian dan budaya dari Kang Agus.
Sampai akhirnya tibalah 9 Desember 2009 itu. Hari ini saya mengikuti ajakan sejumlah teman untuk ke pusat peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia di kawasan Thamrin-Sudirman. Semacam ajang reuni untuk bekas pegiat mahasiswa di Jogjakarta. Pegal-pegal kaki saya karena mesti berjalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia menuju depan Istana Negara di silang Monas.
Sore harinya saat usai mengikuti unjuk rasa, empat SMS masuk. Salah satunya dari Hamid Dipo, Wakil Pemimpin Redaksi Jurnas. Saat itu saya tengah memegang stir mobil menuju kantor. Biasanya saya abaikan saja SMS atau telpon masuk saat sedang menyetir. Berbahaya.
Tapi entah kenapa, saya penasaran. Kebetulan jalan sedikit macet dan lalu lintas tersendat. Saya lirik SMS dari Hamid. SMS lain saya abaikan. Seketika sayapun kaget. SMS itu memberitahukan wafatnya Agus Sopian. Sudah beberapa bulan saya tak lagi bekerja di bawah mentor pria yang senang becanda itu. Saya dipindahkan dari Redaktur Kebudayaan Majalah ARTi menjadi Redaktur Bisnis dan Teknologi Majalah Eksplo.
Majalah Eksplo adalah majalah bisnis pertambangan dan energi. Berbeda jauh dengan ARTi. Saya dipindahkan ke Eksplo sejak April 2009 setelah genap setahun bekerja sebagai Redaktur ARTi. Kang Agus sendiri dipindahkan ke unit kerja baru bernama Unit News Development bersama Rusman.
Rusman, mantan wartawan Jakarta Post itu punya kisah menarik soal perkenalannya dengan kang Agus. Kedua orang ini punya perilaku sama. Senang bercanda. Klop. Rusman sebelumnya juga Redaktur di Majalah ARTi, sama dengan saya.
Saya mencoba menelpon Hamid dan Rusman usai mendapatkan SMS itu. Tidak bisa tersambung. Nadanya sibuk. Sayapun menelpon Doddy, salah satu Redaktur di Majalah ARTi. Dari Doddy saya mendapat kepastian tentang kabar itu. Tak terasa air mata saya jatuh. Pipi saya basah. Sayapun mengubah arah perjalanan langsung menuju RS Persahabatan di Rawamangun, Jakarta Timur.
Disana, sudah banyak teman yang datang. Kami bersalaman. Dan saya segera menuju tempat jenazah mendiang Agus disemayamkan. Kamar jenazah. Semua orang menunggu kedatangan Yanti, isteri almarhum dan anggota keluarganya dari Bandung.
Sampai akhirnya jenazah dimandikan, lantas dibawa ke kantor Jurnas. Banyak juga handai taulan yang datang ke Gedung Jurnas dan ikut menshalatkan jenazah almarhum di Musholla Jurnas.
Sedih saya kehilangan seorang sahabat dan mentor jurnalistik yang baik. Kang Agus lah yang memperkenalkan saya dengan istilah garis api (firewall) satu prinsip utama jurnalisme yg tak bisa ditawar-tawar. Kang Agus pula yang mengasah tulisan saya agar lebih berbau jurnalisme sastrawi.
Sedih saya menyaksikan jasadnya yang terbujur kaku. Tak terasa air mata saya menetes saat Andreas Harsono datang, menyalami isteri almarhum dan puteri semata wayang mereka. Puteri semata wayang mendiang Agus dan Yanti baru berusia 12 tahun, dan duduk di kelas 6 SD. Agus sendiri adalah anak tertua dari empat bersaudara. Saya sempat berbincang dengan Ade, adik kandung almarhum.
Kang Agus sebetulnya menderita sakit yang cukup lama, sejak lebaran tahun lalu. Saat itu, dokter memperingatkan almarhum agar mengurangi rokoknya dan memperbaiki pola hidupnya. Ada ancaman terhadap jantungnya.
Almarhum sudah berupaya untuk hidup sehat, dan berat badan juga pelan-pelan menyusut. Tetapi memang umur benar-benar rahasia Allah, dan berakhir hari ini di tengah-tengah peringatan hari anti korupsi sedunia, 9 Desember 2009.
Prosesi dan penglepasan almarhum oleh keluarga besar Jurnas berlangsung singkat dan sederhana. Diberangkatkan menuju rumah almarhum di Bandung malam ini juga.
Esok hari rencananya akan dilanjutkan ke Garut, dan dimakamkan dekat mertua beliau. Semoga amal dan jasa baik almarhum diterima Allah SWT dan dosa-dosanya diampuni.
Selamat jalan kang Agus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar