Kamis, Maret 31, 2011

Berikan Hak-hak pada Masyarakat Adat Seutuhnya

Upacara Adat Seren Taun Lembaga Adat Sunda di Ciptagelar Kaki Gunung Halimun, Jawa Barat
Keberadaan masyarakat adat adalah fakta sosial sejak lama di tanah yang sekarang kita kenal dengan Indonesia. Bahkan jauh sebelum bentuk Republik diproklamasikan tahun 1945. "Karena itu dalam rangka mengambil langkah-langkah yang positif terhadap keberadaan masyarakat adat, terutama untuk melindungi mereka perlu UU khusus yang mengatur masyarakat adat," ujar Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan pada acara diskusi dengan wartawan di Jakarta, Kamis (10/3) lalu.

Menurut dia, pembentukan UU itu adalah sebagai wujud kepedulian negara dalam melindungi masyarakat adat. Apalagi hak-hak hidup masyarakat adat sudah dijamin oleh konstitusi.

Abdon menyatakan bahwa banyak sekali persoalan yang hingga kini masih kerap diabaikan pemerintah dalam kaitannya dengan masyarakat adat di daerah seluruh Indonesia. Abdon lantas merinci berbagai persoalan kriminalisasi yang kerap dilakukan aparat negara terhadap masyarakat adat seakan-akan tidak ada hukum yang pasti untuk melindungi mereka, jelasnya.

AMAN sendiri mencatat bahwa ada lebih dari 1.400 kasus konflik agraria yang melibatkan komunitas adat dan ironisnya tidak satu pun yang dimenangkan oleh komunitas adat di pengadilan mana pun. Penyebab utama dari kekalahan komunitas adat itu karena tidak adanya pengakuan pemerintah terhadap hak adat tersebut dalam bentuk undang-undang sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada Pasal 18 B (2).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka AMAN mendesak pemerintah dan DPR untuk dengan segera menyusun Rancangan Undang-Undang yang menjamin dan mengatur hak-hak tradisional masyarakat adat di Indonesia.

Konstruksi masyarakat adat yang diatur dalam UUD 1945 generasi pertama adalah pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah "bawahan" yang istimewa untuk menopang pemerintahan republik di Jakarta. Itu termaktub dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945: "Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen (daerah-daerah swapraja) dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa."

Sayangnya, pada perkembangannya, eksploitasi sumber daya alam yang mengundang intervensi modal dengan dalih pembukaan lapangan kerja berkontribusi besar merusak tatanan dan peminggiran masyarakat adat. Pola seperti ini menghadap-hadapkan masyarakat adat dengan pemilik modal dan pemerintah sebagai fasilitator modal tersebut di lapangan.

Perundang-undangan dan kebijakan pemerintah republik terutama UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) meletakkan masyarakat adat dengan hak ulayatnya dalam rumusan aturan yang ambigu. Antara mengakui dan mencurigai. Kemudian dalam era Orde Baru, di samping ambiguitas yang dipertahankan, masyarakat adat dideskreditkan dengan sebutan sebagai masyarakat terasing, masyarakat primitif, atau masyarakat terbelakang.

Pada taraf internasional, sejak pembentukan Working Group on Indigenous Population (WGIP) pada tahun 1981, baru pada bulan September tahun 2007 lahirlah Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Asli (United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People) yang dapat dijadikan sebagai bahan argumentasi baru bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia.

Pihak AMAN sendiri bersikap optimistis sebab konstitusi sudah memberikan janji bahwa masyarakat adat harus dihormati dan diakui. Pengalaman ketidakadilan dan peminggiran selama ini sudah cukup menjadi konsideran untuk lahirnya suatu pengaturan yang lebih baik bagi masyarakat adat.

Meskipun lahirnya suatu aturan yang baik belum tentu berdampak pada jaminan sosial masyarakat adat. Setidaknya peraturan hukum yang lebih jelas dan tegas bisa menjadi salah satu jaminan serta menjadi arena negosiasi yang deliberatif. Begitulah. (Iwan Samariansyah).

Dimuat di Halaman 5 Rubrik Kesra, Harian Jurnal Nasional edisi Sabtu, 12 Maret 2011