Jumat, Desember 25, 2009

Balai Lelang Naik Daun

Para perupa lebih banyak berhubungan dengan galeri, namun peran art dealer dan coneurship juga cukup menentukan. Di sini balai lelang menjadi entitas pelengkap perkembangan seni.

TEKS IWAN SAMARIANSYAH

Ada sinyalemen kuat balai lelang telah menjadi salah satu alternatif investasi paling mempesonakan, saat berbagai komoditas cenderung mengalami penurunan nilai, seiring krisis ekonomi di Indonesia. Dan memang, nama-nama balai lelang yang berkembang belakangan ini cenderung baru berdiri setelah tahun 2000.

Dampaknya bukan main. Harga karya seni tiba-tiba saja banyak yang melambung hingga ke tingkat yang tidak masuk akal. Perupa yang baru saja naik daun seperti Dipo Andi, Galam Zulkifli, dan mungkin yang paling fenomenal adalah I Nyoman Masriadi dan Rudi Mantovani langsung melonjak. Karya-karya lukis mereka dihargai ratusan juta, bahkan hingga milyaran rupiah. Balai lelang telah menjadi ajang untuk menggoreng harga karya seni secara gila-gilaan.

Konon, naik daunnya balai lelang banyak ditentukan oleh sepak terjang sejumlah art dealer di tanah air. Merekalah yang menentukan karya lukis mana yang perlu ”digoreng” dalam rangka mencari untung dan komersialisasi karya seni yang dibuat oleh para perupa di tanah air. Para art dealer ini, terkadang bukanlah seorang coneurship, sebuah kosakata yang mengacu pada pihak yang dapat melihat masa depan karya seorang perupa. Mereka hanya mencoba mencari peruntungan dengan mengomodifikasikan benda seni, termasuk lukisan.

Sekadar menyegarkan ingatan, balai lelang di tanah air yang berkonsentrasi di bidang karya seni kurang dari satu dasawarsa ini adalah Larasati, Sidharta Auctioneer, Masterpiece, Cempaka Auction, Borobudur dan Balindo (Balai Lelang Indonesia).

Dari catatan yang ada, nama-nama balai lelang yang disebutkan di atas, baru berdiri pada kurun waktu tahun 2000-an. Balai Lelang Larasati, misalnya, didirikan pada April 2000 oleh tiga serangkai anak muda yakni Daniel Kumala, Yudi Wanandi dan Amir Sidharta. Ketiga anak muda ini berasal dari keluarga kolektor lukisan terkemuka di tanah air masing-masing Halim Kumala, Jusuf Wanandi dan keluarga Sidharta.

Sebenarnya balai lelang Masterpiece berdiri sudah lebih dahulu, yaitu pada 7 September 1997. Pendirinya adalah Wesly, Benny Rahardjo dan Swany Ninawati. Hanya saja, lelang lukisan pertama baru dilakukannya pada 27 Juni 2003. Benny Rahardjo adalah usahawan ulet yang berpengalaman menjadi penyelenggara pameran lukisan di berbagai mall di tanah air sejak tahun 1990-an.

Masterpiece lantas menjadi balai lelang yang dikenal dinamis dan secara rutin melakukan kegiatan lelang lukisan. Selain itu para pengelolanya juga mendirikan dua anak perusahaan lelang bernama Heritage dan Treasure.

Setahun setelah Masterpiece, berdirilah Balindo (Balai Lelang Indonesia) yang didirikan oleh George Gunawan pada 18 Februari 1998. Sebenarnya, balai lelang ini tidak dimaksudkan untuk melelang karya seni, melainkan membantu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menjual aset-aset perbankan yang terlikuidasi saat itu mulai dari mesin ketik, komputer, meja kursi, mobil sampai gedung.

Balindo akhirnya terjun juga ke lelang benda-benda seni karena ternyata diantara aset-aset perbankan itu ada pula sejumlah karya seni yang sebelumnya menjadi hiasan kantor bank-bank tersebut. Kegiatan ini dibawah koordinasi Johan Karunia dan marak sampai dengan tahun 2003. Setelah itu kegiatan Balindo cenderung sepi.

Pada tahun 2006, Amir Sidharta yang ikut mendirikan Larasati lantas membuat balai lelang sendiri yang dinamakannya Sidharta Auctioneer. Bila Larasati kerap memamerkan karya-karya seni yang cenderung konservatif dengan rekor harga yang spektakuler, maka balai lelang Sidharta ini cenderung melelang lukisan dan karya seni lainnya yang relatif terjangkau harganya.

Pada tahun 2004, berdiri pula balai lelang Cempaka Fine Art Auction, bersamaan dengan susutnya kegiatan lelang karya seni di Balindo. Pegiatnya tak lain Johan Karunia yang dibantu Yuanita Sawitri, puteri dokter Poernomo yang sejak lama dikenal sebagai kolektor lukisan di Malang, Jawa Timur.

Di luar itu, pasar seni rupa kontemporer Indonesia juga masuk ke dalam Sotheby’s dan Christie. Melalui kedua koridor bisnis internasional itu, banyak karya seni Indonesia menerobos batas wilayah. Beberapa nama kadung dikenal. Riangkah seniman-seniman kita?

Tak semua. Ada banyak seniman yang merasa tak nyaman dan rela karyanya ”digoreng” di balai lelang. Ada seniman yang menganggap karya seni lukis baru itu tidak memiliki estetika atau sense of art ketika masuk di ruangan lelang.

Agus Suwage, perupa asal Yogyakarta, bahkan mengatakan terus terang bahwa dia tidak rela menjual karyanya lewat balai lelang. ”Saya juga tidak pernah berhubungan dengan balai lelang. Tapi, beberapa orang membeli karya saya, lalu mereka menjual lagi lewat lelang itu saya ketahui belakangan,” ujarnya kepada Ahmad Nurhasim dari ARTi.

Menurut dia, untuk karya yang dilelang, biasanya orang membeli lukisan bukan karena kesukaan mengoleksi, tapi semata-mata motif bisnis. Mereka hanya mencari untung. ”Ini yang merusak seni rupa,” tegasnya.

Dikatakannya, balai lelang memang mengangkat harga dan martabat perupa. Tapi, menurut Agus Suwage, lelang lukisan di Indonesia kurang selektif dan terlalu sering dilakukan. ”Masakan satu balai lelang dalam setahun berkali-kali lelang. Karya yang baru saja jadi lalu dipamerkan di galeri, pada bulan yang sama atau tahun yang sama dijual lagi lewat lelang. Gila kan ?” katanya.

”Saya kecewa kalau karya saya dibeli orang lalu dilelang. Biasanya, kalau tahu saya hanya bisa melakukan personal black. Saya lebih suka karya saya benar-benar dibeli kolektor sejati untuk disimpan pribadi atau museum. Saya kurang suka dibeli kolekdol (koleksi sebentar lalu didol). Lelang memang meramaikan bisnis seni rupa. Tapi, harus seimbang antara bisnis dan kualitas karya. Jangan sampai karena mengejar untung, etika dalam seni rupa ditabrak,” ujarnya.

Sementara itu, perupa asal Bandung yaitu Tisna Sanjaya mengatakan bahwa sudah sepatutnya para perupa mewaspadai sepak terjang balai lelang. Menurut dia, motif dari lelang itu jelas untuk kepentingan kapitalisme. Tidak ada kepentingan apresiasi terhadap karya seni di dalam dunia lelang saat ini dan seniman tidak pernah diajak bicara mengenai karya seninya.

”Buat saya, lelang adalah sebuah konspirasi besar antara curator lelang, pedagang dan mafia lukisan. Seniman hanya diposisikan sebagai obyek untuk keuntungan para mafia lukisan. Memang, lelang lukisan sangat berdampak pada ekonomi seniman secara positif. Pada satu sisi harga yang tinggi dalam lelang merupakan hikmah dari seni rupa kontemporer di Indonesia saat ini. Di sisi lain justru akan menjadi bom waktu yang akan membunuh seniman itu sendiri. Bagaimana nasib seniman setelah lelang itu?” ujar Tisna kepada Argus Firmansyah dari ARTi di Bandung.

Sementara itu, satu hal menarik diungkap oleh Amir Sidharta, pemilik balai lelang Sidharta Auctioneer yang dihubungi Ahmad Nurhasim secara terpisah. Amir menolak tudingan Agus Suwage dan Tisna Sanjaya bahwa semua motif balai lelang semata-mata demi keuntungan komersial belaka. ”Sidharta Auctioneer memberikan alternatif yang berbeda dari balai lelang-balai lelang yg ada,” kata dia.

Menurut dia, balai lelang yang dia miliki bermaksud untuk memperlihatkan suatu cara pandang yang berbeda dalam menilai karya seni. Dia melihat bahwa balai-balai lelang yang ada selalu menawarkan karya-karya yang memang sudah laku di pasar dan biasanya juga didapat dari galeri, para dealer, dan spekulan. Karya para perupa yang belum pernah muncul ke permukaan juga masih cukup banyak dan dapat diangkat.

Itulah yang membuat Sidharta Auctioneer lantas mempelopori lelang Artfordable dan Luxurious Vintage untuk barang-barang antik.

Dikatakannya, lelang jangan dinilai negatif saja. Lelang bisa menjadi wadah bagi orang untuk mendapat harga yang paling fair dalam waktu yang paling cepat meskipun memang tidak selalu begitu, untuk aset yang perlu dilepas. Selain itu, di balai lelang para peminat karya seni juga mendapatkan alternatif tempat untuk mencari karya-karya seni yang menarik dengan harga yang juga fair dan transparan.

”Di forum lelang kelihatannya memang ada beberapa usaha goreng-menggoreng harga. Hal ini bisa terjadi karena kebanyakan karya seni dianggap undervalued dan mereka ingin menciptakan harga yang lebih pantas. Hal ini konon juga sering terjadi di pasar modal. Untuk itu perlu ada perangkat hukum untuk mengatur soal ini, terutama melindungi pembeli dari penipuan,” ujarnya.

Sementara itu, dihubungi secara terpisah Hauw Ming yang dikenal sebagai kolektor lukisan dan relasinya luas di dunia balai lelang menyampaikan keluhannya soal tiadanya seleksi dan standarisasi karya seni yang dilelang di Indonesia. ”Kalau di luar negeri relatif lebih baik, sistemnya lebih mapan sehingga kita sebagai kolektor mendapatkan jaminan bahwa kita membeli suatu karya dengan harga yang pantas,” ujarnya kepada Ahmad Nurhasim.

”Kalau dulu kita mesti hati-hati dengan lukisan palsu, sekarang karyanya asli harganya yang palsu. Maksudnya, karya yang sama dilelang dalam jarak yang berdekatan. Katakanlan bulan pertama di lelang, bulan kedua dan ketiga juga dilelang. Setiap lelang harganya naik. Bisa dilihat dikatalog lelang. Pembelinya juga itu-itu saja. Kayak main-main saja. Ini yang saya sesalkan,” katanya.

Sekedar membandingkan, Hauw Ming mengatakan bahwa ada perbedaan lelang karya lukisan di Indonesia dengan di luar negeri, terutama Singapura dan Hongkong. Lelang di Indonesia sangat sering. Bisa setiap minggu atau setiap bulan. Ada barang langsung dilelang. Kalau di luar negeri lelang setahun hanya dua kali, sehingga memiliki waktu yang panjang untuk menyeleksi dan memilih karya-karya seni yang berkualitas dan layak lelang. Idealnya memang setahun dua kali.

Menurut dia, para pemain lelang baru di Indonesia benar-benar bermotif untung. Bahkan pernah ada pengelola lelang mencari dan membeli karya seni dari perupanya langsung. Mereka bergerilya langsung ke seniman. Itu kan tidak boleh. Balai lelang tidak boleh membeli langsung ke perupanya. Perupa kan hubungan dengan galeri. Itu kan namanya melanggar etika.

”Karya yang boleh dilelang kan mestinya karya-karya yang sudah lama dikoleksi oleh para kolektor. Di Indonesia belum ada aturan lelang. Saya kasihan dengan para pemain baru ini. Mereka tidak tahu kualitas karya dan jejak rekam para perupa yang karyanya mereka perjual-belikan. Asal ada barang, ya mereka beli lalu dijual lagi di lelang. Ini jelas merusak,” kata pria yang menjabat Ketua Asosiasi Pecinta Seni Indonesia itu.

Keadaan seperti ini jelas tidak hanya merugikan pemain baru, tapi juga seniman. Dia belum teruji kualitas dan konsistennya, tiba-tiba harga karyanya melambung tinggi. Dalam jangka pendek mereka bisa dapat uang banyak, tapi karier dan kreatifitasnya terancam. Seniman berkarya mengikuti selera pasar dan laris dijual. Saat ada arus pasar baru dia tidak bisa menyesuaikan, karyanya menjadi tidak laku. n iwansams@jurnas.com


*) Bahan-bahan tulisan dikumpulkan oleh Doddy Ahmad Fauzi dan Ahmad Nurhasim (Jakarta) serta Argus Firmansah (Bandung).

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wah..terimakasih infonya, pa
saya mahasiswi seni rupa itb. beberapa hari yang lalu saya dan teman2 saya dari kelas seni rupa dan ekonomi pasar menghadiri sebuah balai lelang yang diadakan di jakarta.kalo saya pribadi memang baru pertama kali itu ke balai lelang. saya kaget. kenapa harga karya dari seniman yang sudah maestro dan legenda seperti basuki abdullah harganya tidak sampai 40 juta tapi harga karya seniman yang bahkan saya baru dengar namanya itu sangat mahal menembus angka diatas 40 juta. sebenarnya dalam balai lelang siapa yang berhak menentukan harga? apakah senimannya, atau pihak balai lelangnya sendiri? bahkan saya juga melihat karya yg seperti bukan karya seniman melainkan hanya karya orang biasa dan anak-anak.apa itu ada kerjasama dengan orang2 yg ingin langsung menjual karyanya di balai lelang? atau ada orang tua yg memang sengaja menjual karya anaknya yg ikut sanggar lukis_di balai lelang?