Selasa, Agustus 24, 2010

Menjejak Potensi Minyak via Satelit

Perkembangan teknologi satelit memungkinkan banyak hal yang dulunya mustahil menjadi mungkin. Termasuk mencari potensi sumber minyak di laut dalam.


BEBERAPA tahun terakhir ini pemerintah getol memasyarakatkan apa yang disebut dengan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) yaitu suatu sistem satelit pemantau kawasan maritim terintegrasi. Bila IMSS ini terwujud, maka berbagai institusi bisa memanfaatkan teknologi ini untuk berbagai kepentingan. Untuk uji coba, teknologi IMSS ini kemudian diterapkan di selat Malaka dan Selat Makassar.

”Dari segi kepentingan nasional, IMSS ini besar sekali peranannya bagi negara kita yang merupakan negara kepulauan. Jaringan radar maritim yang terintegrasi akan membuat tugas perencanaan dan upaya kita mengatasi berbagai masalah di bidang kemaritiman menjadi lebih mudah,” ujar M Rudi Wahyono, peneliti Indonesian Maritime Domain Awareness (IMDA) kepada saya di Jakarta, baru-baru ini.

Mengapa demikian ? ”IMSS itu berbasis radar dan airborne (patroli udara). Bila kemudian dipadukan dengan teknologi EOS atau earth observation satellite atau maritime surveillance maka hasilnya bisa optimal,” ujar Rudi yang juga menjabat Direktur Kajian Energi,Kelautan dan Lingkungan CIDES ini.

Menurut Rudi, IMSS adalah sebuah sistem yang besar, kompleks dan rumit. Karena itulah, menurut dia, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sebagai pemegang otoritas di bidang keamanan perairan negara perlu mengoptimalkan sumberdaya yang tersebar di berbagai stakeholder kemaritiman lainnya.

Ada banyak lembaga di Indonesia yang memiliki kepentingan dan kapabilitas dibidang kemaritiman seperti Kementerian Lingkungan Hidup, LAPAN, BMKG, Bakosurtanal, lembaga riset, Pemda dan LSM.

Dukungan utama untuk IMSS adalah penguatan kemampuan maritime surveillance dengan memanfaatkan teknologi informasi yang dipadukan dengan teknologi satelit. Integrasi berbagai bidang surveillance dan sensor-sensor keamanan laut (berupa Radar pantai, radar udara, VTMS, AIS, GMDSS dan SAR-SAT) yang tersebar di berbagai instansi seperti Departemen Perhubungan, TNI AL, TNI AU, DKP, Bakorkamla, BMKG, LAPAN dan Departemen Kehutanan amatlah diperlukan.

Rudi mengatakan bahwa Forum World Oceanic Conference (WOC) yang digelar di Manado, Sulawesi Utara tak lama lagi bisa dijadikan momentum yang pas untuk membenahi sederet keruwetan pengelolaan kemaritiman di negeri ini dengan IMSS.

Saat ini, Indonesia menghadapi begitu banyaknya musibah (kapal tenggelam, tabrakan, kebakaran), pencemaran laut (tumpahan minyak, limbah/tailing dan sampah), illegal fishing (pencurian ikan), penyelundupan (kayu, komoditi dagang dan narkoba) hingga perompakan dan perdagangan anak-anak. Semuanya berkaitan dengan kegagalan pengawasan jalur laut kita yang memang luar biasa luasnya itu.

Dengan menggunakan metode satellite surveillance maka kita dapat segera menampilkan data secara tepat, akurat dan terkini. Teknologi satelit penginderaan jarak jauh menghasilkan data citra digital yang dapat memberikan informasi tentang kondisi riil di permukaan bumi. Informasi yang diperoleh tergantung dari jenis gelombang dan resolusi citra satelit.

Apalagi teknologi infra merah saat ini memungkinkan penggunaan sensor aktif atau SAR-synthetic aperture radar, dengan wahana satelit (spaceborne) sehingga surveillance dapat dilakukan hampir setiap saat. Baik saat siang maupun malam dan tidak lagi perlu takut terkendala oleh awan atau cuaca buruk sebagaimana di masa lalu.

Menurut Rudi, dengan penggunaan satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) yang dilengkapi teknologi SAR-sytnthetic aperture radar, maka kita dapat dengan cepat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut. Kemudian melacak siapa dan kemana sumbernya bersembunyi. Tatkala minyak membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan laut, maka minyak akan menghilangkan gelombang-gelombang kapileri yang biasanya mengganggu citra satelit.

Disebabkan perbedaan dalam sebaran yang berasal dari areal yang ada riak gelombang dan areal yang tidak ada atau kurang adanya gelombang, maka satelit radar dapat mendeteksi lapisan tumpahan minyak yang berada di permukaan laut. Informasi tentang lapisan minyak, posisi, ukuran, dan sebagainya, dapat diteruskan kepada pihak yang berwenang. ”Dengan begitu pencemaran laut yang lebih luas bisa ditanggulangi,” kata Rudi.

Berdasarkan teknik-teknik yang sama – sebagaimana pemantauan tumpahan minyak - pendeteksian rembesan minyak mentah (hydrocarbon) dari dasar laut mungkin saja terjadi. Hidrokarbon yang berada di bawah permukaan laut mungkin saja mengalami rembesan dan keluar membentuk lapisan minyak di permukaan laut. Gelombang-gelombang gas yang dikelilingi oleh minyak dapat muncul ke permukaan melalui ledakan-ledakan dalam air. Lalu akan tercipta lapisan minyak yang kecil dan tipis (film).

Areal wilayah alami tersebut diketahui terjadi dari waktu ke waktu dalam cadangan-cadangan minyak yang potensial, namun frekuensi dan jumlah rembesannya dapat berbeda-beda. Model seperti ini jelas menarik bagi perusahaan-perusahaan minyak, yakni melakukan pencarian minyak di ladang-ladang samudera yang baru atau sebagai pendukung terhadap kegiatan eksplorasi lainnya yang ada di wilayah tersebut.

Teknik ini pula yang telah dipakai oleh Stat-Oil Norwegia untuk menemukan cadangan minyak di selat Makassar Indonesia, baru-baru ini.

Kemampuan mendeteksi sumber daya laut dalam, khususnya minyak mentah itu tentu saja menarik. Apalagi ada pula nilai tambah dari citra satelit yang ada. Variasinya berbeda-beda antara satelit yang satu ke yang lain. Pantauan satelit dipergunakan untuk menampilkan citra, modifikasi output dan menggabungkan (overlay) citra satelit tersebut dengan citra AIS/VTS dan meteorologi.

Melalui kombinasi data dari kapal patroli laut dan pesawat udara maka pihak otoritas hankam bisa pula mempergunakan citra SAR untuk mendeteksi lalu-lintas sipil dan militer di wilayah perairan luas dengan biaya cukup murah dan efektif.

Informasi yang diperoleh dari citra SAR dapat dipergunakan untuk mengarahkan pesawat udara dan kapal laut untuk melakukan inspeksi lebih jauh terhadap sasaran. Informasi ini tentu saja sangat membantu tatkala menjalankan operasi penangkapan illegal fishing atau adanya lalu-lintas yang mencurigakan di dalam wilayah laut nasional.

Kegunaan lainnya meliputi ”nowcasting”, seperti menganalisa tipe/jenis awan, temperatur puncak awan, dan produk-produk klimatologi lainnya yang bermanfaat bagi aktivitas penerbangan dan pelayaran nasional. Citra satelit juga bisa menentukan dengan rinci temperatur permukaan laut dan indeks vegetasi normal (Normalized Vegetation Index).

Dengan fitur ini peramalan cuaca akan lebih akurat. Juga bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan dukungan pada sektor pertanian menyangkut luas lahan serta timing yang tepat untuk masa tanam dan panen. Sementara untuk sektor kehutanan untuk mendeteksi hot-spot dan mendukung pengelolaan hutan secara lestari.

Apa yang menjadi kendala penerapan teknologi citra satelit ini ? ”Kendala utamanya adalah kita belum punya satelit sendiri, atau setidaknya satelit yang dikendalikan sendiri oleh bangsa Indonesia,” kata Rudi. Situasi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia dikenal sebagai negara pemilik satelit pertama di kawasan Asia. Namun kini dalam soal satelit kemaritiman, kita telah dikalahkan sesama negara ASEAN yaitu Thailand.

Dari data yang ada, satu satelit remote sensing sekelas THEOS, Thai Earth Observation Satellite milik Thailand dengan resolusi panchromatic 1 m dan 4 band multispektral resolusi 5-7 m, berikut peluncuran, pembangunan dan operasi ground station selama lima tahun, bernilai sekitar US$115-125 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun.

Apabila kita hanya membeli citra satelit komersial dengan resolusi 1 m panchromatic adalah sekitar US$65 per km persegi. Bila diasumsikan luas wilayah kita 5 juta km persegi maka diperlukan biaya tidak kurang dari US$365 juta atau sekitar Rp 4 trilyun pertahun. Bila operasional selama lima tahun saja dibutuhkan total biaya tak kurang dari Rp20 trilyun. ”Ini jumlah biaya yang cukup besar untuk negeri kita,” ujar Rudi.

Namun angka itu masih jauh lebih kecil dibanding dengan kerugian dari nilai ikan (atau sumber daya laut lain) yang dicuri dari perairan kita akibat lemahnya surveillance negara yang mencapai angka Rp30 triliun pertahunnya. Angka kerugian itu jauh lebih besar bila dihitung dari kerugian akibat penyelundupan, perompakan dan pencemaran.

Rudi mengusulkan jalan keluar untuk mengatasi kendala mahalnya biaya satellite marine/earth surveillance tersebut. Menurut dia, Indonesia seharusnya berfokus pada dua hal pokok saja terlebih dahulu yaitu ground segment dan user segment. Artinya dengan segala keterbatasan finansial dan sumber daya manusia sebaiknya Indonesia berfokus pada optimalisasi stasiun bumi dan pengembangan SDM untuk mengoperasikannya.


Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo Edisi 20 Tahun 2009


Tak Mampu Beli, Sewa Saja

MESKI Indonesia tidak punya satelit khusus untuk pembuatan citra udara, karena mahalnya biaya pengoperasiannya, sebenarnya ada solusi lain. Istilahnya kalau tak mampu membeli, sebenarnya Indonesia bisa menyewa saja.

”Kita tak perlu merasa rendah diri karena hal seperti itu juga banyak dilakukan oleh beberapa negara lain seperti Norwegia, Jerman, Jepang dan Taiwan,” ujar Rudi Wahyono kepada saya.

Menurut dia, kebutuhan satelit tersebut cukup sewa berlangganan saja dengan provider satelit komersial yang tersedia seperti Radarsat-1 & 2 (MDA), QuickBird / Orb-View (Digital globe), Ikonos, SPOT, EurImage dan lain sebagainya.

”Melalui suatu koordinasi dan scheduling area yang akan dipantau disesuaikan dengan satellite pass/track dan ternyata metode ini terbukti cukup efisien dan efektif,” ujarnya.

Dalam suatu diskusi mengenai penginderaan jauh di BPPT beberapa waktu lalu terungkap bahwa sistem MEOS atau Multimission Earth Observation System adalah sistem pemantauan yang dianggap paling cocok untuk kondisi Indonesia saat ini.

Mengapa demikian ? Karena sistem MEOS ini tidak didukung oleh wahana space segment atau satellite sebagai komponen pendukung utama, tapi lebih fokus pada jaringan ground station. Pendukung utama system MEOS adalah ground segment serta user segment (user atau human resources) yang mengoperasikan sebuah stasiun bumi.

Jadi MEOS ini didukung oleh satelit-satelit komersial dan riset yang telah tersedia dan telah beroperasi, bukan satelit baru. Dengan optimalisasi sistem recieving dan processing data oleh ground station (dengan dukungan ground station network) untuk memaksimalkan penerimaan data satelit karena wilayah Indonesia yang sangat luas.

Bila dioptimalkan sebuah ground station mampu mengakses sekitar 10 satelit yang lewat dalam jangkuannya. Sayangnya selama ini gound station kita  hanya di pakai untuk satu  satelit. Padahal dalam kurun waktu 24 jam, banyak sekali satelit lalu lalang dilangit Indonesia yang bisa diakses dan dimanfaatkan datanya.

Beberapa departemen dan lembaga pemerintah yang memiliki stasiun bumi seperti LAPAN-Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan serta lembaga baru seperti Bakorkamla memiliki ground station mereka masing-masing.

Misal, Departemen Kehutanan memiliki ground station untuk satelit NOAA untuk memantau hot spot atau kebakaran hutan, sementara LAPAN memiliki ground station dengan kemampuan serupa. Departemen Kelautan dan Perikanan memiliki ground station untuk satelit Seawifs, satelit JASON, Envisat MERIS dan Themis untuk monitoring parameter lingkungan kelautan seperti suhu permukaan laut, arus laut dan pergerakan plankton (klorofil-a) di lautan.

Fitur-fitur diatas sebenarnya bisa ditangani oleh sebuah ground station multifungsi yang bisa merangkum semua misi menjadi satu. Ditambah kemampuannya untuk mengakses data satelit Radar seperti Envisat ASAR maka ground station tersebut bisa melayani berbagai kepentingan seperti pemetaan banjir dan badai, pemetaan gempa, memantau pencemaran laut, deteksi kapal, memantau berapa luasan hutan atau luasan sawah produktif. Pendek kata, banyak hal bisa dilakukan dengan sistem tersebut.

Dalam kondisi siaga atau krisis maka ground station tersebut mampu dipergunakan untuk kepentingan hankam dengan memanfaatkan data-data satelit untuk kepentingan taktis dan strategis.

Beberapa lembaga antariksa raksasa dunia seperti NASA EDOS-Earth Observation Sattellite Data Operating System , ESA ERS (EnviSat), Eumetsat EPS – European Meteorology Polar Satellite, KSAT-Kongsberg Satellite Service telah melengkapi sytem ground station mereka dengan fitur-fitur MEOS Capture HRD FEP -High Rate Demodulator and Front End Processor- yang mampu mengolah data baik satelit optis, satelit radar maupun satelit cuaca.

Jaringan stasiun – stasiun bumi MEOS yang tersebar di seluruh dunia mulai dari  stasiun bumi SVALSAT (di Svalbard-Kutub utara), Tromso, sampai stasiun bumi di kutub selatan (TrollSat, O’Higgins dan Mc Murdo) memperoleh gambar-gambar satelit yang berasal dari satelit radar dan optis dan satelit cuaca. Hasilnya bisa dipergunakan untuk beragam kepentingan diantaranya untuk monitoring mencairnya es kutub akibat global warming. Juga untuk pemanfaatan kelautan lokal.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo Edisi 20 Tahun 2009

Tidak ada komentar: