Sulitnya Komunikasi Lisan di China
DENGAN perkembangan ekonomi yang luar biasa, China memang mampu membangun berbagai infrastruktur dan bangunan yang membuat banyak orang berdecak kagum. Hanya saja, dari segi sumber daya manusia tampaknya rakyat China mesti lebih berbenah diri lagi karena selama kunjunganku mewakili Jurnal Nasional ke negeri Panda tersebut sulit sekali menemui warga China yang bisa berbahasa Inggris.
Tak heran, bila para wartawan yang menyertai kunjungan kerja Presiden SBY ke China kerapkali bergurau. ”Waduh, kita masuk ke China ini benar-benar seperti orang buta huruf. Seperti orang kampung udik pertama kali masuk ke Jakarta,” ujar Arifin Asydhad, Wakil Pemimpin Redaksi detikcom yang selalu ditempatkan satu kamar hotel denganku, baik di Shanghai, Guilin maupun Nanning.
Tidak mengherankan kerapkali banyak terjadi hal-hal lucu sekaligus menjengkelkan karena kesulitan melakukan komunikasi lisan tersebut. Dari sopir taksi, pelayan restoran, penjaga keamanan bahkan hingga resepsionis hotel berbintang lima sekalipun sulit sekali diajak berkomunikasi. Sementara kami yang tak pernah belajar bahasa mandarin hanya mengerti dua kata yaitu Ni Hao Ma (apa kabar?) dan Xie xie (terima kasih).
Jadilah bahasa lisan campur bahasa tulisan diselingi bahasa Tarzan bila menghadapi masalah di China. Sewaktu ada kesempatan membeli barang souvenir di kota Guilin, sebagai contoh, aku sempat tawar menawar sebuah barang dengan menuliskan angka di sebuah kertas untuk menawar sebuah barang. Dalam satuan Yuan tentu saja. Saat itu di China 1 US$ dihargai 8,5 Yuan. Ini lebih tinggi dari harga kurs resmi.
Kalau soal harga barang mungkin relatif masih mudah. Pedagang China juga tahu sedikit bahasa Inggris soal kata-kata cheap (murah) atau expensive (mahal). Kalau dia tidak setuju, dia tinggal menggeleng-gelengkan kepala atau melambaikan tangan sembari berucap ”no money, no money”. Kitapun harus bersabar dalam menawar, karena bisa membuahkan hasil dalam mendapatkan harga yang sangat murah. Bayangkan, satu batu giok yang pada mulanya dijual seharga 450 Yuan (sekitar Rp 475 ribu), akhirnya bisa didapatkan dengan harga tak lebih dari 75 Yuan (sekitar Rp 80 ribu).
Yang tak kalah menggelikannya berkaitan dengan soal makanan. Suatu malam, para wartawan yang baru pulang dari meliput di Nanning kelaparan. Karena memang jadwal kegiatan Presiden selama kunjungan kerja ke China itu ketat sekali. Kalau sekedar pesan makanan biasa mungkin tak jadi soal, namun menentukan apakah suatu makanan halal atau haram jelas persoalan besar bagi mereka yang beragama Islam.
Saat itu sudah jam 11 malam waktu setempat. Restoran di hotel sudah tutup. Mau keluar mencari restoran yang masih buka juga tidak berani, karena sopir taksi di Nanning tak bisa dipastikan apakah bisa berbahasa Inggris atau tidak. Lima wartawan yang perutnya keroncongan memberanikan diri menelpon hotel minta pelayanan kamar. Dengan sedikit kesulitan komunikasi, datanglah seorang pelayan siap mencatat pesanan makanan.
Komunikasi dilakukan dengan menunjuk gambar menu yang tersedia. Tidak ada bahasa Inggrisnya, hanya huruf kanji. Pedomannya cuma gambar sembari menebak-nebak apakah makanan yang dipesan itu bubur ayam atau bukan. Pelayan tersebut mencatat pesanan, dan menghilang dengan cepat. ”Eh, tadi itu benar bubur ayam atau gimana,” celetuk salah satu wartawan. Rekannya angkat bahu.
Tak lama kemudian datanglah sang pelayan dengan semangkok besar ”bubur ayam”. Tampak menggoda selera. Untuk meyakinkan diri, para pemesan itu bertanya pada si pelayan apakah hidangan tersebut mengandung makanan haram atau tidak. Celaka tiga belas, ternyata si pelayan tak faham sama sekali bahasa Inggris. Akhirnya salah satu wartawan menggambar hewan dimaksud dengan susah payah.
Entah gambarnya jelek sekali atau bagaimana, si pelayan tak faham juga. Perdebatan berlangsung lama, sementara perut lapar makin tak tertahankan. Kesal dengan keadaan, salah satu wartawan akhirnya memperagakan hewan dimaksud, barulah si pelayan mengerti. Dan ternyata benar, makanan tersebut terindikasi haram. Akhirnya ”bubur ayam palsu” itu ditarik dari peredaran, dikembalikan ke dapur. Para wartawan akhirnya pergi ke lobby hotel. Beruntung disana mereka bisa menemukan Popmie rebus. Jadilah dini hari saat itu menu tersebut yang bisa mereka santap. ”Wah, jauh-jauh ke China cuma makan popmie,” gerutu salah satu wartawan. (iwan samariansyah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar