Penjual ikan hias di pinggir jalan |
Sasaran
program CSR PT Indonesia Power di Buleleng adalah memajukan perekonomian lokal,
kapasitas lokal, dan menggali kemampuan lokal.
Teks : Iwan Samariansyah
Berawal dari keprihatinan seorang Ni Made
Indrawati, perempuan yang hidup dan dibesarkan di pesisir Buleleng, Bali Barat
terhadap kondisi lingkungan hutan dan laut di desanya maka hadirlah sebuah
lembaga bernama Pilang. ”Lembaga ini kami dirikan bersama kawan-kawan pada 2004
untuk menjadi fasilitator bagi pengembangan masyarakat pesisir,” kata Indrawati
kepada kami saat mengunjunginya di sekretariatnya, beberapa pekan lalu.
Kabupaten Buleleng yang terletak di pantai
Utara Pulau Bali mungkin tidak begitu dikenal oleh turis di Denpasar dan Pantai
Kuta. Tetapi wilayah ini sesungguhnya merupakan salah satu lokasi dengan
koneksi internasional yang tak kalah pentingnya dengan pusat wisata dunia itu.
Wilayah yang tenang dan tak jauh dari pintu
gerbang Bali di pesisir barat, Gilimanuk itu, adalah pusat dari perdagangan
ikan hias global dimana ikan hias diekspor melalui Denpasar
dan Jakarta ke berbagai negara di dunia.
Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai
Kabupaten Buleleng seperti Desa Penyabangan, Pejarakan dan Sumberkima telah
menangkap ikan hias sejak tahun 1970 an. Pada masa itu, nelayan menangkap ikan
hias dengan cara tradisional, menggunakan jaring, cara yang ramah lingkungan.
Namun pada tahun 1980an nelayan mulai
menggunakan teknik penangkapan yang lebih agresif dengan menggunakan racun potassium cyanide, dikenal sebagai
potas. Langkah ini tanpa disadari telah merusak lingkungan laut. Betapa tidak. Penggunaan
sianida (potas) ini adalah dengan cara menyemprotkan cairan sianida ke terumbu
karang. Cara ini menyebabkan gerombolan ikan hias keluar dari persembunyiannya
dalam keadaan mabuk karena racun. Dengan mudah nelayan menangkap ikan hias yang
berharga ini dan
memasukkan ke dalam jaring.
Cara baru tersebut membuat perdagangan ikan
hias pada waktu itu berkembang cepat. Nelayan, merasa gembira dengan kesuksesan
mereka, tanpa menyadari bahwa dampak dari teknik tersebut dapat berakibat buruk
pada kesehatan mereka dan kesehatan sumber daya laut dimana mereka menangkap
ikan hias.
”Para nelayan menggunakan potas karena cara
itu gampang untuk menangkap ikan hias,” kenang Indrawati saat dia dan
kawan-kawannya dari Lembaga Pilang mulai bergerak beberapa tahun lalu untuk
menyadarkan masyarakat nelayan mengenai bahaya penggunaan potas itu pada
terumbu karang.
Upaya Indrawati sungguh tidaklah mudah. Di
Kabupaten Buleleng diperkirakan ada sekitar 500 nelayan yang hidupnya
tergantung pada usaha perdagangan ikan hias. Dan bertahun-tahun terbiasa
menggunakan cairan beracun itu untuk menangkap ikan hias. Lambat laun, penggunaan
sianida menyebabkan terumbu karang menjadi putih dan lama-kelamaan akhirnya
mati.
Padahal terumbu karang adalah habitat atau
tempat hidup ikan hias serta biota laut lainnya, tempat mereka makan dan
berkembang-biak. Dengan matinya terumbu karang, maka sudah pasti berbagai jenis
ikan dan biota laut lainnya akan musnah. Akibat dari menurunnya jumlah ikan
hias maka nelayan ikan hias terpaksa mencari ikan hias ke tempat yang jauh dan
mulai merusak lebih banyak lagi terumbu karang, di tempat-tempat terpencil dan
belum tersentuh.
Cara merusak ini tidak hanya berakibat pada
kehidupan nelayan, karena mereka harus berlayar lebih jauh dan lebih lama
dengan lebih banyak biaya untuk menemukan ikan hias, namun masyarakat setempat
yang hidupnya tergantung pada terumbu karang juga merasakan dampak hilangnya
terumbu karang.
Setelah bertahun-tahun terkena sianida maka
tidaklah mengherankan apabila kemudian kondisi terumbu karang di sepanjang 144
kilometer pesisir Kabupaten Buleleng menjadi rusak dan memprihatinkan.
Kelimpahan dan jenis ikan yang semula melimpah menurun secara drastis hampir
tidak meninggalkan sisa.
Kondisi ini masih diperparah oleh ulah nelayan
ikan konsumsi yang mencari ikan dengan menggunakan ledakan bom. Hanya
dibutuhkan beberapa menit untuk merusak terumbu karang, namun memerlukan puluhan
tahun bagi terumbu karang untuk pulih
kembali.
Lembaga Pilang kemudian dibantu oleh LEAD
International, sebuah LSM lingkungan dan PT Indonesia Power lantas melakukan
upaya bersama untuk menghentikan cara penangkapan ikan hias yang merusak ini di
Kabupaten Buleleng. Dimulai April 2005 sampai April 2008, dimulailah pendekatan
baru untuk melindungi terumbu karang kepada nelayan ikan hias di Kabupaten
Buleleng.
Ketika pertama kali diluncurkan, tak sedikit
masyarakat yang pesimis dan bahkan apatis. Bukan perkara mudah mengajak nelayan
untuk menerapkan standar penangkapan ikan hias yang ramah lingkungan. Mengapa?
Karena praktek ini tidak memberikan dampak ekonomi secara langsung bagi para
nelayan.
Menangkap ikan hias dengan cara ramah
lingkungan (eco fish) butuh waktu lebih lama, teknik lebih sulit, tetapi yang
diperoleh lebih sedikit. Harga ikan hias eco fish juga tidak lebih tinggi dari
ikan hias yang ditangkap dengan sianida. Desakan ekonomi keluarga dan
terbatasnya akses masyarakat terhadap jenis pekerjaan lain telah menjebak
mereka dalam praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak.
Meski begitu, Indrawati pantang berputus asa.
Dia terus bekerja tak kenal henti, melakukan pendekatan ke tokoh masyarakat dan
nelayan yang merupakan tetangganya sendiri. Dengan dibantu oleh sejumlah
teman-temannya yang seide di Lembaga Pilang serta dukungan dari Marine Aquarium
Council (MAC) dan Yayasan Reef Check dia terus melakukan upaya tak kenal lelah
menyelamatkan habitat laut di Kabupaten Buleleng, khususnya di Kecamatan
Gerogak.
Hasil akhir dari kegiatan ini adalah kesadaran baru di masyarakat desa Sumber Kima, Pejarakan dan Penyabangan, kecamatan Gerogak, tentang pentingnya perikanan berkelanjutan. Mereka segera menghentikan cara tangkap destruktif, dan beralih ke cara ramah lingkungan.
Masyarakat di tingkat desa memiliki lembaga pengelola sumber daya laut dan pesisir di tiap desa, yang berfungsi memonitor kegiatan penduduk agar tetap menjaga laut mereka, serta berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik yang berkaitan dengan kehidupan nelayan. Selain itu dibentuk kelompok nelayan ikan hias ramah lingkungan yang mempunyai komitmen menerapkan cara penangkapan eco fish.
Sebanyak 218 nelayan telah mendapatkan sertifikasi sebagai nelayan ikan hias ramah lingkungan dari wilayah kabupaten Buleleng. Pada akhir proyek ini nelayan ikan hias telah mendapat bantuan dana dari PT Indonesia Power, melalui koperasi Wana Agung, untuk mengembangkan usaha dagang ikan hias eco-fish. ”Sasaran program CSR PT Indonesia Power memang untuk memajukan perekonomian lokal, kapasitas lokal, dan menggali kemampuan lokal,” kata I Wayan Sumanta dari PT Indonesia Power kepada Eksplo.
Nelayan ikan hias di desa Penyabangan tidak sulit membuktikan bahwa cara penangkapan ramah lingkungan membawa kembali ikan hias yang semula sudah lama berkurang jumlahnya. Ikan hias tambak kuncir (Symphorithys spirulu), bara kuda (Sphiraena barracuda) dan piama (Pomacanthus navarchus) telah muncul kembali. Ni Made Indrawati dan teman-teman dari Lembaga Pilang serta mitra mereka, kalangan nelayan di Kecamatan Gerokgak pantas berbangga.
Upaya tak kenal lelah yang dilakukan selama tiga tahun terakhir terbukti membawa hasil. Hal ini juga dibuktikan dari hasil survey terakhir dari berbagai lembaga dimana keragaman jenis ikan hias dan jumlah (abundance) ikan hias di wilayah kecamatan Gerogak telah meningkat. Meski belum sebanyak dulu, tetapi ini merupakan sebuah langkah awal menuju masa depan yang lebih baik.