Bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo |
Tanpa memedulikan keselamatannya, warga korban lumpur Lapindo menduduki titik 25.
RATUSAN warga korban lumpur Lapindo masih terus bertahan di tanggul penahan lumpur di titik 25 menunggu proses pelunasan ganti rugi oleh Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar dari Lapindo Brantas Inc.
Salah seorang korban luapan lumpur asal Glagah Arum, Suhadi, Selasa (24/4), mengatakan, warga akan tetap bertahan di tanggul penahan lumpur di titik 25 sambil menunggu proses pembayaran sisa ganti rugi warga kepada korban lumpur.
"Kami akan bertahan di lokasi ini sampai proses pembayaran ganti rugi tersebut sudah diselesaikan oleh juru bayar ganti rugi mengingat warga saat ini sudah jenuh dengan janji-janji yang diberikan selama ini," katanya.
Ia mengemukakan, sambil menunggu proses ganti rugi tersebut warga bertahan dan tidur di tanggul penahan lumpur yang biasa digunakan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebagai wilayah kerja mereka sehari-hari.
Akibat adanya aksi yang dilakukan oleh warga tersebut, sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh BPLS untuk mengalirkan luapan lumpur dari kolam penampungan ke Kali Porong, menjadi terhenti.
Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Kusairi mengaku pihaknya akan menampung aspirasi masyarakat terkait dengan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur yang belum terselesaikan hingga saat ini.
"Kami akan menampung aspirasi warga terkait dengan tuntutan warga yang melakukan aksinya di untuk sementara ini kondisi di tanggul penahan lumpur di titik 25," katanya.
Ia mengemukakan, untuk saat ini kondisi tanggul penahan lumpur masih belum menunjukkan tanda berbahaya setelah dihentikannya proses pengaliran lumpur dari dalam kolam penampungan ke Kali Porong.
"Namun, jika penghentian pengaliran tersebut terus dilakukan, maka kemungkinan melebarnya luapan lumpur bisa saja terjadi karena sudah tidak dilakukan lagi proses pengaliran ke Kali Porong," katanya.
Banjir Lumpur Lapindo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran milik anak perusahaan Bakrie, PT Lapindo Brantas Inc, di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006.
Semburan selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan, yang mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang, baik untuk mengganti tanah masyarakat, maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun.
Tapi, PT Lapindo lebih sering mengingkari perjanjian yang telah disepakati dengan korban. Padahal dari 12.883 dokumen pada Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah belum jelas. Namun para korban banyak yang mengaku kepada Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa mereka sudah diminta meneken kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo, sementara pembayarannya diangsur belum lunas hingga sekarang.
Dalam keterangannya baru-baru ini kepada pers di Surabaya, Direktur Utama PT Lapindo Brantas, Andi Darusalam Tabusala, mengakui, dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000 berkas yang diselesaikan, kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan banyak keterangan yang simpang siur dan tidak jelas.
*) Naskah berita ini dimuat di Harian Jurnal Nasional edisi Kamis, 26 April 2012 halaman 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar