BNPB harus berani mengurai sekat kelembagaan yang ada di pemerintahan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) didesak untuk benar-benar fokus pada penanggulangan bencana dan meningkatkan koordinasinya dengan lembaga lain. Meskipun saat ini ada persoalan kelembagaan yang masih dihadapi oleh institusi tersebut. Bila tidak, kondisi ini menyebabkan penanganan bencana berjalan kurang maksimal.
Demikian disampaikan Abdul Hakim, anggota Komisi VIII DPR-RI yang merupakan mitra kerja BNPB dalam kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia.‘Bila hal ini terus dibiarkan maka persoalan utama yang menjadi tanggungjawab BNPB akan banyak yang terlantar,‘ ujarnya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, Kamis (2/2).
Anggota DPR dari Fraksi PKS itu menilai ada tiga persoalan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan BNPB. Pertama, alokasi dana gempa Padang sejak 2009 yang masih belum dicairkan sebesar Rp3 Trilyun. Kedua, keterlambatan dana bantuan Wasior, Papua Barat karena persoalan politik dan birokrasi lokal. Dan ketiga dana bantuan dari pemerintah Arab Saudi untuk rekonstruksi Padang sebesar Rp490 Miliar yang terkikis oleh penurunan nilai mata uang dollar.
"Itu semua patut disayangkan. Coba dilihat, uang bantuan dari Arab Saudi bisa susut sampai Rp80 Miliar karena nilai dollar turun. Coba jika segera dicairkan tanpa ada hambatan birokrasi, dana itu dapat digunakan untuk membangun pemukiman, rumah sakit atau sekolahan" ujar Hakim.
Karena itu Abdul Hakim menyatakan perlunya landasan hukum yang mengatur hubungan lintas lembaga antara BNPB dengan lembaga pemerintah lainnya. "Mesti diperjelas hubungan lintas lembaganya. Misal dengan pemerintah daerah berkaitan dengan dana on call saat terjadi bencana atau dengan Kementerian Keuangan saat pencairan bantuan bencana" kata Abdul Hakim.
Menurut dia, BPBD perlu diberdayakan dengan baik, agar koordinasi dan sistem terpadu penanggulangan bencana bisa berjalan sesuai dengan tugas pokok BNPB. Yaitu menangani pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana.
Dalam amanat UU No.24 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden No.8 Tahun 2008 menyebutkan bahwa secara teknis BPBD di bawah pemerintah daerah. Harusnya untuk meminimalisir hambatan kelembagaan BPBD mestinya di bawah struktur BNPB. "Jika memungkinkan UU No.24 itu harus direvisi. Ini demi kebutuhan masyarakat juga" kata Hakim.
Mobil dan Motor BNPB |
Kepala Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa dia mendukung perlunya revisi aturan yang ada sehingga rantai komando penanggulangan bencana bisa diperpendek. Saat ini yang sudah dilakukan adalah mengirimkan sejumlah peralatan dan logistik sudah dikirimkan ke 33 provinsi dan 265 kabupaten/kota untuk memperkuat kapasitas BPBD.
"Kami sendiri terus melakukan koordinasi dengan berbagai kementerian/lembaga sebagai tindakan antisipatif atas adanya ancaman bencana banjir, longsor dan puting beliung di seluruh Indonesia. Saat ini penyusunan rencana kontijensi dan rencana aksi terpadu menghadapi bencana sudah tuntas," ujarnya kepada Jurnal Nasional, tadi malam.
Selain itu pihak BNPB telah pula menyiapkan tim Satuan Reaksi Cepat yang bisa dimobilisasi setiap saat. Dan ada pula dana siap pakai sebesar Rp116 miliar untuk dipakai menanggulangi bencana. BNPB juga telah menggelar Rapat koordinasi di tingkat provinsi dan gelar kesiapan di DKI Jakarta dan Jawa Timur, dua daerah yang dianggap rawan bencana.
Sutopo Purwo Nugroho |
* Dimuat di Harian Jurnal Nasional edisi Jum'at, 3 Februari 2012 halaman 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar