Oleh Iwan Samariansyah
DI MALAYSIA ada seseorang bernama Michael Chong, head department dari Malaysian Chinese Association (MCA) Public Service. Orangnya sederhana, rambutnya awut-awutan, mukanya berminyak, bajunya sering lusuh dan kalau pergi ke mana-mana naik mobil Proton butut.
Bagi orang yang berlangganan Star Newspaper, harian berbahasa Inggris dengan tiras terbesar di Malaysia -- Chong ini mirip-mirip guardian angel. Selalu menjadi tempat mengadu, tempat meminta bantuan dan dia ada di mana-mana saat kaum Tionghoa di Malaysia mengalami masalah.
Yang butuh biaya pengobatan, menderita penyakit berat, cari Michael Chong. Yang suaminya kabur sementara istri dan anak dikejar-kejar serta mendapat teror lintah darat, cari Michael Chong. Yang anaknya minggat dan tidak kembali, cari Michael Chong. Yang diusir anak-menantu dari rumah dan tidak mampu masuk rumah jompo, cari Michael Chong. Yang mencetak skor banyak A di ujian STPM tapi tidak mendapatkan beasiswa, cari Michael Chong.
Hampir 100 % yang mencari Michael Chong ini adalah orang-orang Tionghoa, karena nature-nya sebagai bagian dari MCA. Tapi MCA Public Services tidak hanya sekedar menolong Tionghoa. Michael juga menyumbang, menjenguk dan menunjukkan keprihatinan pada kasus-kasus non-Tionghoa, seperti kasus terancam lumpuhnya newscaster TV3 Ras Adiba, Nurul anak Melayu umur sembilan tahun dengan kasus Thalassemia atau pemuda India penderita kanker stadium lanjut yang pengumpulan sumbangannya terlambat sehingga dia keburu meninggal sebelum dioperasi.
Tentu saja bukan hanya Michael Chong. Michael Chong hanya spearhead-nya, di belakangnya ada puluhan pekerja sosial dan sukarelawan, plus penyandang dana dari kalangan masyarakat dan pengusaha Tionghoa di Malaysia. Bagaimana dengan di Indonesia? Kebijakan masa lalu yang memarginalkan peran sosial politik kaum keturunan Tionghoa di Indonesia telah menghambat kemunculan Michael Chong Indonesia. Justru yang menyeruak ke permukaan adalah kisah-kisah sedih seperti Kampung Teko di Bekasi Timur.
Kampung Teko, Desa Kertajaya, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi, bentuk-bentuk rumahnya bentuknya tak jauh beda dengan kediaman penduduk lain di Kabupaten Bekasi. Yang membedakan adalah para penghuninya, yang hampir semuanya bermata sipit dan berkulit cerah. Kampung Teko yang terletak di ujung timur Bekasi, memang kampungnya warga keturunan Tionghoa.
Penampilan rumah mereka yang sama saja dengan rumah penduduk kebanyakan, tak lain karena mata pencaharian mereka juga tidak berbeda. Ada yang jadi buruh, tukang ojek, atau pedagang kecil. Mereka banyak yang lahir, besar dan bekerja di kampung tersebut. Warga Kampung Teko tersebut juga sudah membaur dengan penduduk etnis lainnya karena kampung tersebut sudah ada sejak awal abad ini. Tetapi yang sangat disayangkan, warga Kampung Teko terus mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah daerah. Mereka tetap harus menunjukkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) kalau hendak mengurus dokumen penting !
Di Indonesia, cerita seperti Kampung Teko ini sangat umum. Kalau bukan kampung teko, ada Cina Benteng, Cina Singkawang, Cina Parit Buntar, dan kelompok-kelompok miskin keturunan Tionghoa lainnya di mana-mana yang mengalami kasus serupa soal SBKRI. Kaum Tionghoa banyak yang kemiskinannya sama dengan sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya.
Bedanya antara Tionghoa Indonesia dengan Tionghoa Malaysia adalah, ketika Tionghoa Malaysia dijagal pada tahun 1969, mereka mengkonsolidasikan diri dan menjadi suatu kelompok masyarakat yang ”tight-knit” dalam upayanya memperjuangkan eksistensi dan hak-hak mereka. Sementara Tionghoa Indonesia, setelah dipojokkan pada Mei 1998, menjadi kelompok yang tercerai-berai.
Yang mampu, membawa harta dan fisik badannya ke luar negeri. Yang tinggal, menjadi suatu kelompok yang sudah ”takluk”, tidak berani bicara keras, malah takut dan marah kalau ada di antaranya yang berbicara ”berani”, langsung menimbulkan ketakutan bahwa omongan atau perbuatan si orang nekat ini akan berakibat negatif padanya, langsung dicap tidak nasionalis, anggota barisan sakit hati dan sebagainya.
Soal SBKRI, hanya ada sekelompok kecil dan beberapa orang pemuka masyarakat yang bersuara sebagai orang Tionghoa Indonesia, untuk menghimbau pemerintah. Menghimbau, dan tidak melakukan tindakan nyata apa-apa untuk menolong sesamanya. Misalnya, membentuk suatu SBKRI center untuk menampung semua protes dan aduan SBKRI untuk diajukan permohonan secara bersama-sama ke pemerintah. Atau setidaknya, menyediakan waktu untuk membantu mereka memproses SBKRI itu.
Padahal bantuan sekecil apapun pasti berarti bagi kaum Tionghoa marginal tersebut. Mumpung sebagian etnis keturunan Tionghoa di Indonesia ada yang menjadi lawyer, punya channel atau cukup punya duit. Mestinya ada yang tergerak untuk membantu sesamanya. Tetapi ternyata tidak! Semua hanya berdiskusi, berdiskusi, retorika saja, lalu menghimbau, menghimbau, menghimbau. Kalau ada satu-dua yang panas, agak keluar rel, lantas seratus akan memaki: ”Huss... stop bicara SARA!”
Ketika beberapa waktu yang lalu terungkap kasus Acun di Garut itu, hanya sedikit perhatian diberikan oleh kelompok Tionghoa Indonesia terhadap kasus tersebut, atau setidaknya menunjukkan solidaritas kepada kaum Tionghoa di Garut. Alasan yang dikemukakan untuk tidak dilakukannya perbuatan kebajikan semacam itu adalah: yang susah tidak hanya orang Tionghoa, yang non-Tionghoa juga banyak yang susah, sebaiknya menolong ya menolong secara universal.
Atau, ini justru akan menimbulkan eksklusifisme, yang tidak nasionalis, tidak patriotis! Atau, ini bersifat SARA, memecah-mecah persatuan dan kesatuan! Menurut saya, ini alasan klise dari orang-orang yang tidak peduli sebenarnya. Mengapa tidak berpikir, sebagai individual yang kebetulan keturunan Tionghoa, maka adalah pantas dan wajar mereka saling menolong. Kemudian sebagai kelompok, lantas menolong kelompok lain dan membuat sumbangsih bagi negara secara riil.
Beruntungnya kaum Tionghoa Malaysia punya Michael Chong dan MCA Public Services. Dalam arti, bukan hanya kaum Tionghoa yang kesusahan dapat tempat untuk cari bantuan, tapi Tionghoa peduli, Tionghoa dermawan juga tahu tempat untuk menyalurkan bantuan. Dan keseluruhan keturunan Tionghoa dapat menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang saling tolong-menolong, juga membantu kelompok lain di luar kelompok Tionghoa.
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UI.
* Artikel ini dimuat pada Harian Umum Sinar Harapan, edisi Sabtu, 21 Juni 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar