Aturan main harus diperjelas dan pengawasan serta penegakan hukum harus dipertegas
Meneropong outlook
atau prospek permasalahan daerah pada 2012 mau tak mau akan kembali
pada perdebatan klasik soal otonomi daerah. Benarkah otonomi daerah
telah on the right track? Sebagian menilai otonomi daerah mampu
melahirkan kesejahteraan dan kemajuan di sejumlah daerah. Sragen dan
Solo di Jawa Tengah, Tarakan di Kalimantan Timur dan Solok di Sumatera
Barat setidaknya menjadi contoh yang baik.
Akan tetapi sebagian
lainnya beranggapan otonomi daerah telah kelewat batas dan membuka
peluang korupsi lebih besar dan melahirkan banyak 'raja-raja kecil' di
daerah. Kewenangan yang berujung pada praktik korupsi tanpa kontrol.
Akibatnya di sepanjang 2011 ini, halaman surat kabar diwarnai berita
digelandangnya sejumlah kepala daerah dan mantan kepala daerah ke
penjara sebagai terdakwa maupun narapidana tindak pidana korupsi.
Lantas bagaimana dengan tahun 2012 mendatang? Di era reformasi dengan
semangat desentralisasi dan demokratisasi maka kedaulatan akhirnya bisa
dimiliki oleh daerah. Sejumlah kewenangan diberikan pada para bupati,
walikota dan Gubernur. Namun setelah lebih dari satu dekade bergulir,
timbul wacana yang menganggap otonomi daerah mulai 'lepas kendali'.
Namun akibat isu 'raja-raja kecil' tadi, pemerintah pusat secara
perlahan namun sistematis menarik kembali kewenangan yang telah
diserahkannya pada awal era reformasi. Maka polemik pun mencuat.
Sepanjang 2011 ini diwarnai pula dengan dua masalah yang kerap dihadapi
daerah dan bikin sakit kepala para Bupati dan Gubernur. Apalagi kalau
bukan masalah bencana alam dan konflik perbatasan.
Sebut saja
daerah rawan bencana macam Sumatera Barat. Dihantam gempa, banjir dan
tanah longsor hampir setiap tahun APBD tanah Minangkabau itu
tersengal-sengal dan nyaris tak bisa melakukan pembangunan apapun. Sebab
anggaran yang tersedia habis terserap untuk dana rekonstruksi dan
rehabilitasi pascabencana yang susul menyusul sejak gempa dahsyat
(September 2009), tsunami Mentawai (Oktober 2010) dan Banjir Badang
Pesisir Selatan (November 2011).
APBD Sumbar secara kasat
mata jelas tidak mampu mendukung beban anggaran mitigasi bencana.
Untungnya masih ada bantuan dari BNPB, lembaga PBB, swasta dan LSM baik
lokal, nasional maupun internasional. Hal serupa dihadapi pula oleh
daerah rawan bencana lainnya sebagaimana laporan koresponden Jurnal Nasional dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Utara.
Masalah lain yang masih membutuhkan perhatian serius untuk dituntaskan
pada 2012 adalah sengketa perbatasan. Ada dua macam masalah kisruh
perbatasan yaitu perbatasan antar negara, terutama dengan Malaysia dan
perbatasan antar provinsi. Kisruh perbatasan memang tak hanya terjadi
antarnegara dan yang celakanya lantas menyalakan nasionalisme semu.
Sepanjang 2011 mencuat beberapa kasus sengketa perbatasan yang hingga
kini belum tuntas. Misalnya sengketa Pulau Berhala antara Jambi dan
Kepulauan Riau, Pulau Tujuh antara Sumatera Selatan dan Bangka Belitung,
Pulau Lari Larian antara Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat, dan
tapal batas Kota Bandung dengan Bandung Selatan.
Jika kisruh
perbatasan ini tak segera diantisipasi dan segera dilaksanakan bisa
memicu konflik horizontal dan ketidakpercayaan terhadap pusat. Sengketa
antara Provinsi Kepri dan Jambi mengenai Pulau Berhala, misalnya.
Melalui Permendagri No 44/2011 tertanggal 27 September dan diundangkan 7
Oktober 2011, Mendagri menetapkan pulau itu masuk wilayah Kabupaten
Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Ini membuat masyarakat Kepri marah
sampai melarang Mendagri berkunjung ke pulau tersebut.
Salah
satu akar masalah mengapa daerah seolah-olah tidak berdaya mengatasi
problematika mereka justru karena penerapan kebijaksaaan otonomi daerah
yang dianggap masih setengah hati. Akibatnya, tidak jarang kepala daerah
menemui kendala krusial dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan
proses pembangunan di wilayahnya.
Sebagai contoh dalam hal
pembentukan organisasi pemerintah daerah, maka dibawah UU yang lama,
pemerintah daerah dapat menentukan sendiri besar dan jenis organisasi
pemerintah daerah atau SKPD-nya sesuai kebutuhan. Namun dibawah UU
No.32, kewenangan tersebut tak ada lagi, karena semuanya sudah diatur
dari pusat.
Akibatnya ada sejumlah kabupaten yang sebelumnya
memiliki organisasi pemerintahan yang kecil dan efisien, namun karena
ada perintah dari pusat maka terpaksa harus membentuk dinas-dinas baru
yang sebelumnya sudah disatukan. Akibatnya mekarlah organisasi birokrasi
didaerah.
Implikasinya adalah makin besarnya biaya birokrasi.
Padahal seharusnya biaya birokrasi yang besar tersebut dapat digunakan
untuk membiayai pelayanan publik. Termasuk membiayai program mitigasi
bencana dan melakukan perluasan pelayanan pemerintah hingga
daerah-daerah perbatasan. Seharusnya sebuah aturan yang dianggap tidak
bagus dievaluasi terlebih dahulu baru kemudian diganti.
Contoh
lainnya lagi adalah dalam soal perizinan. Perusahaan penanaman modal
asing (PMA) atau perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang
akan berinvestasi di suatu daerah harus mengurus perizinan yang justru
tidak melalui daerah yang bersangkutan, tetapi melalui badan yang
dibentuk pemerintah pusat. Oleh karena itu hal-hal seperti ini sudah
seharusnya segera dibereskan pada 2012. Paling tidak aturan mainnya
harus lebih jelas agar pemerintah daerah baik kabupaten, kota maupun
provinsi tidak bingung, dan akhirnya malah tak bisa berbuat apa-apa.
Begitulah.
* Dimuat oleh Harian Jurnal Nasional edisi 30 Desember 2011 halaman 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar