Sejumlah seniman menggelar pameran dengan misi sosial yang unik. Membantu para pekerja seks komersial memperbaiki nasibnya. Itulah dia Red District Project.
OLEH : IWAN SAMARIANSYAH
SUNGGUH tak terbayangkan bahwa para seniman yang menggeluti dunia yang akrab dengan egoisme, narsistik dan individualis tergerak untuk melakukan aksi sosial. Mengumpulkan dana yang hasilnya nanti disumbangkan untuk memperbaiki kelompok masyarakat yang posisinya begitu marginal : para pelacur. Tapi itulah yang dilakukan oleh sekelompok perupa di Koong Gallery, Jakarta.
Ada lebih dari 25 nama perupa tercantum dalam buku katalog pameran dengan tema Red District Project yang jelas-jelas mencantumkan tujuannya di sampul abu-abu bergambar tengkorak itu. Fund Rising Art Exhibition. Pameran seni untuk pengumpulan dana. Semua hasil penjualan karya seni rupa di Koong Gallery yang akan berlangsung dari 31 Agustus – 20 September 2008 ditujukan untuk aksi sosial.
Nama-nama perupa yang melibatkan diri dalam proyek itu dan menyumbangkan karyanya untuk keperluan itu juga tak main-main. Tercatat diantaranya adalah Agus Suwage, Teguh Ostenrik dan Ugo Untoro. Nama-nama perupa lainnya yang ikut berpartisipasi adalah Alie Gopal, Arahmaiani, Arya Panjalu, Bayu Widodo, A.K. Tommy Surya, Bob Sick Yudhita, Edo Pilu, Erizal AS. Franziska Fennert dan Hamad Khalaf.
Juga perupa seperti Irene Agrivina, Jose Luis Jaime, Iwan Wijono, Doni Kabo, Lashita Situmorang, Lelyana Kurniawati, Lenny Ratnasari, Agung Nugroho Widhi, Nana Tedja, S. Teddy D, Roderick Knudslien, Sonia Prabowo, Theresia Agustina, Titarubi, Tracy Hammer, Dwi Satya Acong, Yani Halim, Yustoni Voluntero, Cahyo Basuki Yopie, Totok Haryanto Basuki, Sudandyo W.A, Wahyu Gunawan, Wilem Sugiri dan Willy Imawan.
Pendek kata semua turun gunung. Semua menyumbangkan karyanya, dari pelukis muda usia dan belum banyak berpengalaman Agung Nugroho Widhi (kelahiran tahun 1981) hingga pelukis kawakan dengan nama besar seperti Agus Suwage (kelahiran tahun 1959). Proyek ini tampaknya menarik banyak orang. ”Ini proyek bersama untuk kemanusiaan. Gotong royong membantu sesama,” ujar Sing-Sing, pemilik Koong Gallery.
Adapun sasaran awal proyek ini adalah lokalisasi pelacuran di Yogyakarta, yaitu Pasar Kembang, dikenal luas sejak lama dengan akronim Sarkem. Visi proyek ini, begitu tertulis dalam katalog, adalah memberikan para penghuni lokalisasi sebuah kepercayaan diri, membangun kembali sesuatu yang hilang akibat trauma lewat kegiatan bersama dalam berkesenian.
Secercah harapan bagi dunia gelap para perempuan yang kerap dituding miring itu dituliskan oleh perupa Ugo Untoro di bagian lain katalog. ”Kita juluki mereka sebagai pelacur, PSK, sampah masyarakat dan sebagainya. Tetapi alangkah bijaknya bila aparat yang bersangkutan memberi mereka ruang, tidak lagi dengan cara-cara bodoh seperti razia, penggerebekan hingga diseret ke kantor polisi,” tulis perupa kelahiran Purbalingga, 28 Juni 1970 itu.
Karya yang ditampilkan dalam pameran tersebut juga kontekstual. Misalnya saja karya Agus Suwage tanpa judul pada kanvas berukuran 150 x 120 cm dengan teknik oil on canvas. Disitu digambarkan empat perempuan PSK yang tengah menunggu pelanggan datang, namun sembari menutup wajah mereka. Lukisan dengan harga Rp 275 Juta itu menggambarkan bahwa betapapun para perempuan itu dituding sebagai perempuan jalang dan dianggap sebagai sampah masyarakat, mereka tetap mempunyai rasa malu !
Bagaimanapun, para pelacur itu juga manusia. Mereka juga bisa menikmati kehidupan, dengan menari misalnya untuk menghibur diri. Itulah yang tertangkap pada lukisan dengan teknik acrylic on canvas berjudul The Dancer karya Alie Gopal. Atau menikmati minuman kopi seperti orang lain meskipun itu di tengah malam pada lukisan berjudul Midnight Coffee karya Lelyana.
Selain lukisan-lukisan, foto dan instalasi terkait dunia prostitusi, pengunjung pameran juga bisa menyaksikan karya yang mengundang senyum dari Arya Panjalu berjudul Migrasi yang melukiskan seekor burung menenteng buntalan kain di paruhnya seakan hendak berpindah tempat. Mungkin karena terdesak oleh pemukiman manusia yang mengganggu habitatnya.
Karya Iwan Wijono berjudul ”Di bawah Bendera Revolusi POP” yang menggambarkan tiga sosok mirip Bung Karno sedang duduk, sementara di bawahnya ada aksara Jawa Hanacaraka dan seorang perempuan telanjang berambut pirang juga menyedot perhatian pengunjung pameran. Karya yang ditawarkan dengan harga Rp 15 Juta menampakkan sosok lain Bung Karno yang memang dikenal menyenangi perempuan cantik itu.
Karya instalasi dari perupa perempuan Lenny Ratnasari juga cukup unik. Dara kelahiran Bandung, 3 Juni 1970 itu bereksperimen dengan batang-batang korek api berukuran raksasa, sebagian sudah terbakar dan memberi judul karyanya ”Indonesia ke 102?”. Dia seakan hendak mengingatkan publik, bahwa bila tak hati-hati mengelola hubungan masyarakat yang begitu pluralis dan multikultural seperti Indonesia maka negeri ini bisa saja terbakar seperti korek api di masa depan.
Kepada saya, Sing-sing mengatakan bahwa upaya para seniman itu mengumpulkan dana patut dihargai. Dia senang bahwa sambutan para kolektor lukisan terhadap upaya mulia tersebut cukup bagus. Beberapa karya yang dipamerkan saat saya berkunjung ke galeri tersebut Jum’at (5/9) lalu sudah laku. ”Saya sendiri akan memberikan 20 % dari yang diterima galeri untuk donasi ke mereka,” ujarnya, bangga. iwansams@jurnas.com
*) Tulisan ini dimuat di Majalah ARTi edisi 08 terbitan Oktober 2008 halaman 44 - 45. Tentang majalah ARTi dapat anda lihat secara online di http://www.arti-online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar