Senin, September 15, 2008
Menggenapi Semangat Olimpiade
Sebanyak 800 karya seni dari 80 negara yang mengekspresikan olimpiade dengan bahasa seni yang tak terbatas digelar sepanjang berlangsungnya pesta olahraga terbesar di dunia, Olimpiade Beijing.
TEKS IWAN SAMARIANSYAH
SEORANG perempuan tampak sedang berenang seperti seorang atlet dengan pakaian merah yang membungkus sekujur tubuhnya. Matanya terpejam, seakan menikmati hangatnya air kolam renang tempat dia mengapung. Lukisan berjudul "Won't Ever Be No. 7" itu adalah karya perupa Indonesia Tiarma Dame Ruth Sirat dalam Pameran Seni Olimpiade Beijing yang digelar 11 – 19 Agustus 2008 lalu.
”Merah adalah warna favorit saya sejak lama. Dengan lukisan yang memang khusus saya persiapkan untuk Beijing ini, saya ingin mempertanyakan lagi tentang cita-cita orang kebanyakan dan bagaimana mereka mencapainya,” ujar pemegang gelar master dalam fashion dan desain tekstil dari Universitas Boras, Swedia saat diminta menjelaskan konsep lukisannya tersebut.
Dia mengatakan bahwa dimanapun cita-cita orang berbeda-beda. Ada yang ingin menggapainya dengan kerja keras, tetapi dia tak menafikan pula bahwa ada pula orang yang cita-citanya hanya bersantai saja. Tentu saja hal ini sah-sah saja, kata Tiarma. Tetapi setiap tujuan yang tinggi dicapai dengan usaha ekstra keras, tandasnya. Kerja keras pula yang mesti ditempuh Tiarma untuk bisa tampil di Beijing ini.
Betapa tidak. Jalan yang ditempuhnya begitu panjang dan berliku hingga bisa tampil sebagai satu-satunya perupa Indonesia yang karyanya tampil di Beijing di sela-sela acara olimpiade. Seleksi untuk Olimpiade Seni tahun ini dimulai beberapa bulan lalu setelah namanya menjadi salah seorang finalis dalam Anugerah Alumni Australia di Indonesia untuk kategori budaya dan seni.
Segera setelah dia memastikan diri bisa ikut serta dalam ajang bergengsi itu, Tiarma segera menyusun proposal guna menggalang dana untuk pergi ke Beijing. Dana itu diperlukan untuk transportasi, fiskal, akomodasi, uang saku dan penginapan selama berada di Beijing. Maklumlah. Panitia memang tak menyediakan anggaran untuk membiayai peserta, mengingat terbatasnya anggaran.
Tiarma memahami keterbatasan itu, namun dia putuskan untuk tetap berangkat. Diapun segera bergerilya mencari dana. Proposal dia kirimkan ke sejumlah instansi pemerintah dan pengusaha. Hasilnya ? Hanya pembebasan biaya fiskal yang dia dapatkan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Respons dari dunia seni, tempat dia berkecimpung nol besar.
Untung di saat-saat terakhir dia bertemu dengan seorang pengusaha kenalan lamanya, yang justru sama sekali tak beririsan dengan dunia seni. Pengusaha itu bersedia membantu tiket pesawatnya. Biaya akomodasi selama di Beijing didapatkannya dengan cara yang bisa dia lakukan : menjual beberapa karya lukisnya. Dengan segala keterbatasan itu, akhirnya diapun terbang ke Beijing.
Dia berada di Beijing selama Olimpiade Seni berlangsung dan akan bertemu dengan sejumlah seniman lainnya selama pameran berlangsung. ”Saya bangga menjadi seniman dan saya sangat bangga mewakili Indonesia dalam acara ini. Saya penasaran tentang pameran di China, dan perjalanan ini saya harap dapat memahami orang-orang di belahan dunia lain. Mereka umumnya sangat tangguh, seni dan budaya mereka,” ujar Tiarma
Seniman lainnya selain Tiarma yang menggelar karyanya guna menggenapi semangat olimpiade ini antara lain perupa China terkenal Zhao Xi Wei. Lukisannya menggambarkan bagaimana seorang anak etnis Tibet tersenyum sambil memeluk boneka Yingying, salah satu maskot Olimpiade Beijing yang mengambil inspirasi dari antelope Tibet yang hampir punah. Tatapan anak itu begitu magnetis dan melankolik.
Sebagai tuan rumah Olimpiade, Beijing memang berusaha keras menampilkan yang terbaik untuk semua tamu yang datang ke negara tirai bambu itu. Mereka mengundang para seniman untuk bercerita tentang olimpiade dengan cara mereka sendiri. Dari Fuwa goresan kaligrafi China, kulit apel berornamen naga, sampai Mona Lisa, masing-masing menyimpan jiwa seni Olimpiade yang beraneka rupa.
Seorang reporter Record TV Network Brazil Carla Cecato yang tengah meliput Olympic Fine Arts ini mengatakan bahwa lukisan Mona Lisa adalah favoritnya. ”Mona Lisa ini menurut saya amat menarik. Ia adalah ikon dunia sehingga semua orang mengenalinya. Tapi di sini ia mengenakan baju tradisional Tiongkok dan membawa Obor Olimpiade. Ini suatu hal yang benar-benar indah dan menarik,” ujarnya.
Slogan Olympic Fine Arts ini adalah "Seni melengkapi semangat Olimpiade." Selama pameran yang menghadirkan 800 karya seni dari 80 negara ditampilkan karya seni rupa yang mengekspresikan Olimpiade dengan bahasa seni yang tak terbatas. Pameran karya seni dari 80 negara ini dibuka oleh Presiden Komite Olimpiade Internasional Jacques Rogge, Presiden Kehormatan Komite Olimpiade Internasional Juan Antonio Samaranch dan Li Changchun, anggota Politbiro Komite Tetap Partai Komunis Tiongkok. iwansams@jurnas.com
*) Dimuat di Majalah ARTi edisi 007 periode 04 - 17 September 2008 Rubrik Seni rupa halaman 52 - 53
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Apa kabar Pak Iwan yang baik..
Senang menemukan blog Anda dan membagi cerita yang unik..
Tetap semangat!
Saleum dari Aceh
(Hairul Anwar)
Baik. Alhamdulillah. Keep contact ya?
Posting Komentar