Selasa, Agustus 19, 2008

Proklamasi di Perut Bumi

TAHUN ini saya merayakan hari kemerdekaan dengan cara yang sedikit agak luar biasa. Kalau yang lain merayakan hari lahirnya Republik Indonesia itu dengan cara melakukan upacara, pawai, karnaval, menggelar berbagai lomba di permukaan tanah, maka saya dan sejumlah kawan dari Jurnal Nasional dan Mapala UI menggelar upacara di dalam perut bumi. Tepatnya di komplek gua Buniayu, Kabupaten Sukabumi.

Benar-benar upacara, karena kami juga menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengucapkan Pancasila dan membacakan naskah Proklamasi. Bahkan saya didaulat teman-teman untuk menyampaikan pidato hari kemerdekaan. Bisa jadi satu-satunya pidato hari kemerdekaan 17 Agustus di bawah tanah pada saat itu. Saya tidak tahu seberapa dalam gua landak yang kami masuki saat itu, tetapi saya yakin tidak kurang dari 25 meter dari permukaan tanah.

Kami memulai ekspedisi ini pada Sabtu, 16 Agustus 2008. Berangkat dari kantor di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur sekitar pukul 17.00 WIB dan sampai di lokasi sekitar pukul 23.00 WIB dini hari. Kamipun menginap di rumah salah satu penduduk yang terletak tidak jauh dari lokasi penelusuran gua. Penat karena perjalanan jauh, dengan cepat kamipun tertidur di peraduan masing-masing.

Selain tim Jurnas yang terdiri dari saya, Lina, Devi, Ferry, Tono, Wening dan Esthi, ikut serta pula dua orang pembaca Jurnas yaitu Astri dan Dewi. Kedua gadis manis ini adalah teman Esthi yang berminat ikut serta dalam kegiatan kami. Jadi kesemuanya ada dua belas orang. Enam orang laki-laki dan enam orang lainnya perempuan.

Sebelum turun ke dalam gua, terlebih dahulu para mahasiswa yang menjadi pemandu kami dalam menelusuri gua landak menyampaikan briefing, juga memberikan pakaian khusus untuk keperluan ekspedisi tersebut. Pengetahuan dan wawasan kami mengenai ilmu gua yang disebut speleologi pun bertambah berkat anak-anak muda dari Mapala UI itu : Damsyik, Riri, Aji dan Maryan. Usia mereka tak lebih dari 25 tahun, tapi soal pengalaman menelusuri gua, jangan ditanya lagi. Merekalah ahlinya.
Gua Landak yang kami masuki itu adalah gua yang masih benar-benar alami. Tak banyak tangan yang menyentuh gua tersebut. Pintu masuknya juga begitu sempit, hanya sekitar setengah meter di muka tanah, meskipun bertambah lebar dan luas saat sudah masuk ke dalam gua tersebut. Kontur dinding dan dataran gua yang kami masuki tidaklah datar, melainkan turun naik dan terkadang dengan tingkat kesulitan yang lumayan tinggi.

Para peserta ekspedisi menjalaninya dengan tabah. Padahal kebanyakan kami yang ikut dalam ekspedisi tersebut benar-benar amatir. Jadi penelusuran gua yang diikuti itu adalah kegiatan pertama di perut bumi yang diikuti. Hanya mereka yang memiliki jiwa petualang sejati sajalah yang mampu menekuni kegiatan yang memakan begitu banyak energi seperti yang kami lakukan saat itu.

Bayangkan saja. Gua tersebut nyaris tak pernah tersentuh tangan manusia. Bila senter sebagai satu-satunya alat penerang gua dimatikan maka keadaan langsung seketika itu gelap gulita. Tak setitik cahayapun bisa menggapai kedalaman gua yang dijalani oleh kami.

Kami turun ke dalam perut bumi pukul 08.30 WIB, dan tanpa terasa jam-jam berlalu. Semangat mendapatkan sesuatu yang baru membuat semua orang tak begitu peduli dengan rasa lelah dan pegal yang mulai menghinggapi sekujur tubuh. Untung kami mengenakan baju khusus untuk menelusuri gua yang disediakan oleh kawan-kawan Mapala UI, sehingga meskipun harus bertiarap atau merangkak dan mengotori kostum yang kami kenakan, bukan masalah bagi kami.

Dan sekitar pukul 10.00 WIB, kami tiba di tempat yang agak lapang dan luas di dasar gua landak. Kamipun bersiap menggelar peringatan detik-detik proklamasi. Lina, layouter Jurnal Nasional kami tunjuk sebagai dirijen untuk memimpin lagu yang kami nyanyikan. Kami memulainya dengan menyanyikan lagu Syukur karya H Mutahar. Setelah itu naskah Proklamasi saya bacakan, dengan membayangkan seolah-olah sayalah Bung Karno itu.
Lantas Aji, satu orang anggota Mapala UI membacakan Pancasila, dasar negara yang lantas ditirukan oleh semua peserta upacara. Baru setelah itu Lina memimpin kami semua menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kesannya yang tercipta sungguh mendalam, tak menyangka bahwa kami akan memperingati detik-detik proklamasi di perut bumi. Luar biasa perasaan yang kami semua alami saat itu.

Setelah lagu Indonesia Raya, pidato hari kemerdekaan pun saya sampaikan secara singkat. Wening, fotografer Jurnas yang juga alumni Mapala UI sampai takjub dan lama sesudah itu mengatakan pada saya. "Wah, pidatonya pak Iwan serius juga ya," ujarnya. Saya cuma tersenyum mendengarnya. Kalau untuk nasionalisme dan patriotisme tentu saja harus serius, karena kalau tidak ya kita tidak merdeka.

Soekarno, Hatta dan para pendiri negara ini pada 17 Agustus 1945 itu orang-orang yang keras hati dan teguh pendirian. Mereka tak peduli, meskipun harus mengorbankan jiwanya untuk kemerdekaan rakyat dan bangsanya ketika itu.

Sore hari, sekitar jam 15.00 WIB, setelah sempat menelusuri sungai di bawah tanah dan menemukan sarang kelelawar yang dihuni ratusan kelelawar kamipun keluar dari goa tersebut yang ternyata tembus ke gua utama yaitu goa Buniayu, tempat wisata utama kawasan hutan lindung yang dikelola pihak Perhutani. Kamipun pulang dengan membawa pengalaman baru yaitu merayakan hari kemerdekaan di perut bumi.
(Naskah oleh Iwan Samariansyah dan Foto oleh Wahyu Wening Priambodo).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar